KELENTURAN FENOTIPIK SIFAT-SIFAT REPRODUKSI ITIK MOJOSARI, TEGAL, DAN PERSILANGAN TEGAL-MOJOSARI SEBAGAI RESPON TERHADAP AFLATOKSIN DALAM RANSUM

dokumen-dokumen yang mirip
(PRODUCTIVITY OF Two LOCAL DUCK BREEDS: ALABIO AND MOJOSARI RAISED ON CAGE AND LITTER HOUSING SYSTEM) ABSTRACT ABSTAAK PENDAHULUAN

PERTUMBUHAN STARTER DAN GROWER ITIK HASIL PERSILANGAN RESIPROKAL ALABIO DAN PEKING

Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam Ransum pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher)

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD

Performan Pertumbuhan dan Produksi Karkas Itik CA [Itik Cihateup x Itik Alabio] sebagai Itik Pedaging

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG AMPAS TAHU DI DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN INCOME OVER FEED COST AYAM SENTUL

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO

Yunilas* *) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU.

Pengaruh Pengaturan Waktu Pemberian Air Minum yang Berbeda Temperatur terhadap Performan Ayam Petelur Periode Grower.

PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

PRODUKTIVITAS ITIK ALABIO DAN MOJOSARI SELAMA 40 MINGGU DARI UMUR MINGGU

PENDUGAAN UMUR BERDASARKAN PERGANTIAN BULU PADA ITIK BETINA LOKAL PERIODE INDUKAN SKRIPSI NOVI GIANTI LOKOLLO

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

PENGARUH PERENDAMAN NaOH DAN PEREBUSAN BIJI SORGHUM TERHADAP KINERJA BROILER

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (MA): Masa Pertumbuhan sampai Bertelur Pertama

PERFORMA PRODUKSI ITIK BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN

Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

PENGARUH PENUNDAAN PENANGANAN DAN PEMBERIAN PAKAN SESAAT SETELAH MENETAS TERHADAP PERFORMANS AYAM RAS PEDAGING ABSTRACT

PENGARUH PENUNDAAN PENANGANAN DAN PEMBERIAN PAKAN SESAAT SETELAH MENETAS TERHADAP PERFORMANS AYAM RAS PEDAGING ABSTRACT

MATERI DAN METODE. Materi

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN FINISHER PERIOD

Heterosis Persilangan Itik Tegal dan Mojosari pada Kondisi Sub-Optimal

INTERAKSI ANTARA BANGSA ITIK DAN KUALITAS RANSUM PADA PRODUKSI DAN KUALITAS TELUR ITIK LOKAL

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI : PERIODE AWAL BERTELUR

PROGRAM VILLAGEBREEDING PADA ITIK TEGAL UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI TELUR: SELEKSI ITIK TEGAL GENERASI PERTAMA DAN KEDUA ABTRACT ABTRAK

Performans Produksi Telur Itik Talang Benih pada Fase Produksi Kedua Melalui Force Moulting

RINGKASAN. : Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc. : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS.

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Betina Silangan... Henry Geofrin Lase

Performa Produksi Telur Turunan Pertama (F1) Persilangan Ayam Arab dan Ayam Kampung yang Diberi Ransum dengan Level Protein Berbeda

LINGKUNGAN BISNIS USAHA TERNAK ITIK. : Wahid Muhammad N. Nim : SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

EFEKTIVITAS PENYERAPAN Ca DAN P, KADAR AIR DAN KANDUNGAN AMONIA MANUR AYAM PETELUR DENGAN RANSUM BERZEOLIT DAN RENDAH Ca SKRIPSI SUSILAWATI

RESPON PENGGANTIAN PAKAN STARTER KE FINISHER TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAN PERSENTASE KARKAS PADA TIKTOK. Muharlien

Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan

PENAMPILAN PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI TEPUNG GAMBIR (Uncaria Gambir Roxb) SEBAGAI FEED ADDITIVE DALAM PAKAN.

Kususiyah, Urip Santoso, dan Debi Irawan. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

PERSILANGAN PADA AYAM LOKAL (KUB, SENTUL, GAOK) UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI DAGING UNGGAS NASIONAL

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N.

PERBEDAAN JUMLAH PEMBERIAN RANSUM HARIAN DAN LEVEL PROTEIN RANSUM TERHADAP PERFORMAN AYAM PETELUR UMUR MINGGU

Performa Produksi Puyuh Petelur (Coturnix-coturnix Japonica) Hasil Persilangan..Wulan Azhar

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK SIFAT-SIFAT PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO

BAB III MATERI DAN METODE. periode starter terhadap performans pada Ayam Kedu Hitam umur 0-10 Minggu.

Seminar Nasional Peternakan dan Yeteriner 1998 ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN TERBATAS TERHADAP PENAMPILAN ITIK SILANG MOJOSARI X ALABIO (MA) UMUR 8 MINGGU

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

PRODUKSI TELUR ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN

Roesdiyanto, Rosidi dan Imam Suswoyo Fakultas Peternakan, Unsoed

RESPON PERTUMBUHAN ANAK ITIK JANTAN TERHADAP BERBAGAI BENTUK FISIK RANSUM (GROWTH RESPONSE OF MALE DUCK RESULTING FROM DIFFERENT SHAPE OF RATIONS)

TINGKAT KEPADATAN GIZI RANSUM TERHADAP KERAGAAN ITIK PETELUR LOKAL

PENGARUH TINGKAT PROTEIN RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, PERSENTASE KARKAS DAN LEMAK ABDOMINAL PUYUH JANTAN

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2)

Beberapa Kriteria Analisis Penduga Bobot Tetas dan Bobot Hidup Umur 12 Minggu dalam Seleksi Ayam Kampung

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

I PENDAHULUAN. dari generasi ke generasi di Indonesia sebagai unggas lokal hasil persilangan itik

Kususiyah, Urip Santoso, dan Rian Etrias

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas Terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari x Alabio (MA): 2. Masa Bertelur Fase Kedua Umur Minggu

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

Pengaruh Tingkat Penambahan Tepung Daun Singkong dalam Ransum Komersial terhadap Performa Broiler Strain CP 707

Irawati Bachari, Iskandar Sembiring, dan Dedi Suranta Tarigan. Departemen Perternakan Fakultas Pertanian USU

KOMPOSISI KIMIA DAGING DAN KULIT PAHA ITIK LOKAL JANTAN YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TEPUNG DAUN BELUNTAS(Plucea indica. L) PADA TARAF BERBEDA

PENGARUH PENAMBAHAN ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR ITIK TEGAL

MATERI DAN METODE. Prosedur

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor jantan dan 10 ekor betina Itik

RESPON PENGGUNAAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus L. Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KOLESTEROL ITIK LOKAL SKRIPSI ALFIAN PUTRA DHIMAR NUGRAHA

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 4(4): , November 2016

Kata kunci : Konsumsi, Konversi, Income Over Feed Cost (IOFC), Ayam Kampung, Enzim Papain

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

Tepung Ampas Tahu Dalam Ransum, Performa Ayam Sentul... Dede Yusuf Kadasyah

KARAKTERISTIK UKURAN ORGAN DALAM KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI

KUALITAS TELUR ITIK ALABIO DAN MOJOSARI PADA GENERASI PERTAMA POPULASI SELEKSI

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr.

Buletin Veteriner Udayana Vol. 3 No.2. :91-98 ISSN : Agustus 2011

PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN KELINCI LEPAS SAPIH PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE SKRIPSI BADRI YUSUF

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

Sudjatinah, H.T. Astuti dan S. S. Maryuni Fakultas Peternakan Universitas Semarang, Semarang ABSTRAK

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN ITIK BALI SEBAGAI SUMBER PLASMA NUTFAH TERNAK (GROWTH CHARACTERISTICS OF BALI DUCK AS A SOURCE OF GERMPLASM) ABSTRACT

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS

PENGARUH JUMLAH TELUR TERHADAP BOBOT TELUR, LAMA MENGERAM, FERTILITAS SERTA DAYA TETAS TELUR BURUNG KENARI

Performa Itik Albino Jantan dan Betina bedasarkan Pengelompokan Bobot Tetas

Respon Pertumbuhan dan Efisiensi Produksi Ayam Broiler yang Mendapat Perlakuan Perbedaan Frekuensi Penaburan Zeolit pada Alas Litter

EFEK LAMA WAKTU PEMBATASAN PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERFORMANS AYAM PEDAGING FINISHER

PEMANFAATAN BEKICOT SAWAH (TUTUT) SEBAGAI SUPLEMENTASI PAKAN ITIK UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS ITIK PETELUR DI DESA SIMOREJO-BOJONEGORO

Pengaruh Penggunaan Zeolit dalam Ransum terhadap Konsumsi Ransum, Pertumbuhan, dan Persentase Karkas Kelinci Lokal Jantan

Karakteristik Eksterior Telur Tetas Itik... Sajidan Abdur R

EVALUASI KINERJA ITIK MANILA JANTAN DAN BETINA PADA PEMBERIAN RANSUM DENGAN ARAS PROTEIN YANG BERBEDA

PENGARUH PEMBERIAN FEED SUPPLEMENT VITERNA PADA AIR MINUM TERHADAP PENAMPILAN AYAM PEDAGING

Model Regresi Pertumbuhan Dua Generasi Populasi Terseleksi Itik Alabio

SKRIPSI. PERFORMAN AYAM ARAB YANG DIBERI EKSTRAK PEGAGAN (Centella asiatica (L.) Urban) PADA UMUR 8-13 MINGGU. Oleh: Ardianto

Transkripsi:

KELENTURAN FENOTIPIK SIFAT-SIFAT REPRODUKSI ITIK MOJOSARI, TEGAL, DAN PERSILANGAN TEGAL-MOJOSARI SEBAGAI RESPON TERHADAP AFLATOKSIN DALAM RANSUM M. DEWANTARI Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak, Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari fenomena kelenturan fenotipik sifat-sifat reproduksi itik Mojosari, Tegal, dan Tegal-Mojosari yang diberi ransum mengandung aflatoksin dengan tingkat yang berbeda. Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Tiga populasi itik masing-masing itik Mojosari (MM), Tegal (TT), dan Tegal- Mojosari (TM) diberi ransum yang mengandung aflatoksin selama satu bulan (umur 3 7 minggu). Ransum yang digunakan ada empat macam, yaitu R 0 (ransum kontrol tanpa diberi aflatoksin), R1(ransum kontrol + 50 ppb aflatoksin), R2 (ransum kontrol + 100 ppb aflatoksin), dan R3 (ransum kontrol + 150 ppb aflatoksin). Setelah periode ini, itik kembali diberi ransum tanpa mengandung aflatoksin sampai itik bertelur. Masing-masing populasi terdiri atas 80 ekor itik betina dan 20 ekor itik jantan, sehingga jumlah itik keseluruhan adalah 240 ekor betina dan 60 ekor jantan. Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3 x 4 yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah populasi itik (MM, TT, dan TM) dan faktor kedua adalah kandungan aflatoksin dalam ransum (0 ppb, 50 ppb, 100 ppb, dan 150 ppb). Sidik ragam dua arah digunakan untuk mengetahui perbedaan kelenturan fenotipik di antara ketiga populasi. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, umur dewasa kelamin, bobot dewasa kelamin, dan bobot telur pertama. Hasil penelitian menunjukkan tidak bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap fenomena kelenturan fenotipik dalam sifat-sifat reproduksi (umur dewasa kelamin, bobot dewasa kelamin, dan bobot telur pertama) itik sebagai reaksi terhadap tingkat aflatoksin dalam ransum. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat fenomena kelenturan fenotipik sifat-sifat reproduksi itik Mojosari, Tegal, dan Tegal-Mojosari yang diberi ransum yang mengandung aflatoksin hingga 150 ppb. Kata kunci : Aflatoksin, kelenturan fenotipik, bobot telur, itik PHENOTYPIC PLASTICITY IN REPRODUCTIVE CHARACTER OF MOJOSARI, TEGAL, AND TEGAL-MOJOSARI DUCKS AS A RESPONCE TO AFLATOXIN IN DIETS SUMMARY The objective of this research was to study the phenotypic plasticity in reproductive character of Mojosari, Tegal, and Tegal-Mojosari ducks as a response to aflatoxin addition in diets. The experiments was conducted at The Animal Research Station in Ciawi, Bogor. Three duck populations (Mojosari, Tegal, and Tegal-Mojosari ducks) were grown administered four different aflatoxin levels namely R0 (control diet, without aflatoxin), R1 (control diet + 50 ppb aflatoxin), R2 (control diet + 100 ppb aflatoxin), and R3 (control diet +

150 ppb aflatoxin) for one month period (aged 3-7 weeks). After the aflatoxin treatment period, all populations were maintained with R0 diet until laying egg production commenced. Each population was compresed 80 female ducks and 20 male ducks. Diets and water were offered ad libitum. A Completely Randomized Design (CRD) with factorial arrangement (3 x 4) was used. The first factor was a population of ducks (Mojosari, Tegal, and Tegal-Mojosari ducks) and the second factor is aflatoxin levels (diets with 0 ppb, 50 ppb, 100 ppb, and 150 ppb of aflatoxin as treatment R0, R1, R2, and R3, respectively). Two way analysis of variance was used to analyse phenotypic plasticity differences between population. Variable observed were feed consumption, sexual maturity, body weight maturity, and the first weight of egg. The results showed that there were no significantly differences (P>0,05) on phenotypic plasticity in reproductive behaviour of Mojosari, Tegal, and Tegal-Mojosari ducks as a responce to aflatoxin addition up to 150 ppb in diets. Key words : Aflatoxin, phenotypic plasticity, egg weight, duck PENDAHULUAN Kenaikan permintaan komoditas peternakan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berpacu dengan adanya pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, serta meningkatnya kesadaran akan gizi dan kesehatan masyarakat. Di lain pihak, daya produksi ternak lokal kita masih tergolong rendah sehingga target minimal konsumsi protein hewani asal ternak belum terpenuhi. Itik merupakan salah satu komoditas ternak yang perlu ditingkatkan produksinya terutama sebagai penghasil telur dan daging. Sumbangan ternak itik sebagai unggas penghasil telur dan daging secara nasional relatif masih kecil yaitu 22 % dari total produksi telur nasional dan 1,5 % dari total produksi daging unggas nasional (Direktorat Jendral Peternakan, 1994). Itik Tegal dan Mojosari adalah dua jenis itik yang cukup dikenal dan banyak dipelihara masyarakat. Karena itik tersebut sudah begitu akrab dengan kehidupan masyarakat dan banyak dipelihara, unggas tersebut disebut itik rakyat atau itik lokal. Pemberian nama itik lokal pada umumnya hanya berdasarkan letak geografis yang berbeda. Jagung merupakan bahan pakan penyusun ransum yang menjadi sumber pencemaran utama dari adanya aflatoksin (Sutikno, 1990). Di samping itu, ransum yang disimpan terlalu lama akan mudah berjamur yang menghasilkan racun yang sangat berbahaya jika termakan oleh ternak. Racun yang dihasilkan oleh jamur ini dikenal dengan nama aflatoksin. Aflatoksin adalah racun yang dihasilkan oleh jamur dari jenis Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Aflatoksin dapat menurunkan produktivitas ternak itik, seperti bobot badan,

produksi telur, dan dapat pula menyebabkan kematian ternak (Murni, 1993). Adanya aflatoksin dalam ransum itik banyak menimbulkan kerugian karena itik merupakan ternak unggas yang paling peka terhadap aflatoksin (Arafa et al., 1981; Ginting, 1983). Kelenturan fenotipik adalah variasi ekspresi fenotip suatu genotip sebagai respon terhadap kondisi lingkungan tertentu dan dapat meningkatkan kemampuan individu untuk tetap bertahan hidup dan berkembang biak pada kondisi lingkungan tersebut dan hal ini diduga pengontrolannya dilakukan secara genetik (Sultan, 1987). Adanya interaksi antara genotip dan lingkungan dapat menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan dalam rangka peningkatan produktivitas ternak. Untuk mengatasi adanya interaksi antara genotip dan lingkungan, cara yang dapat dilakukan adalah mencari dan membentuk galur ternak yang secara genetis dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi lingkungan tanpa terlalu banyak mengalami perubahan pada performansnya. Individu atau ternak yang mampu menyesuaikan diri dengan cepat terhadap kondisi lingkungan yang berbeda dan mampu menampilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi, dan tingkah laku, dikatakan memiliki kelenturan fenotipik (Sultan, 1987). Kelenturan fenotipik ini mencerminkan kepekaan fenotip terhadap perubahan lingkungan (Noor, 1996). Menurut Taylor dan Aarssen (l989), kelenturan fenotipik sebagai suatu variasi ekspresi fenotip suatu genotip merupakan respon terhadap kondisi lingkungan tertentu dan dapat meningkatkan kemampuan individu untuk tetap bertahan hidup dan berproduksi pada lingkungan tersebut. Upaya pengamatan terhadap kelenturan sifat fenotipik adalah langkah penting untuk melakukan seleksi terhadap itik dalam upaya menciptakan galur itik yang tahan terhadap perubahan lingkungan terutama dalam menghadapi perubahan kandungan aflatoksin dalam ransum. MATERI DAN METODE Tempat dan Lama Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kandang percobaan, Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Ciawi - Bogor, berlangsung dari bulan Januari September 1997.

Itik Penelitian ini menggunakan itik keturunan dari 80 ekor itik betina dan 20 ekor itik jantan untuk masing-masing populasi itik Tegal (TT), itik Mojosari (MM), dan itik Tegal- Mojosari (TM = silangan itik Tegal jantan vs Mojosari betina), sehingga jumlah seluruhnya 240 ekor itik betina dan 60 ekor itik jantan. Setiap populasi dibagi menjadi empat kelompok, dan setiap kelompok terdiri atas 20 ekor itik betina dan lima ekor itik jantan. Populasi itik tersebut berasal dari daerah Tegal dan Mojosari yang telah dikembangbiakkan di Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Perbanyakan populasi menggunakan teknik inseminasi buatan (IB). Ransum dan Air Minum Ada empat perlakuan ransum yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu R 0 (ransum kontrol tanpa diberi aflatoksin), R1(ransum kontrol + 50 ppb aflatoksin), R2 (ransum kontrol + 100 ppb aflatoksin), dan R3 (ransum kontrol + 150 ppb aflatoksin). Ransum selama periode pertumbuhan disusun isokalori (GE : 16,00 Mj kalori/kg) dan isoprotein (CP : 18 %). Selanjutnya, selama periode peneluran, ransum disusun isokalori (GE : 16,90 Mj kalori/kg) dan isoprotein (CP : 15 %) dan semua ransum berbentuk mash. Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum. Kandang Penelitian Kandang yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: (a). kandang indukan digunakan untuk memelihara anak itik sampai umur lima minggu. Kandang ini mempunyai ukuran 90 x 60 x 30 cm, dan dilengkapi dengan alat pemanas listrik; (b). Kandang litter (sekam padi) ukuran kandang ini panjangnya 5 m, lebar 1.2 m dan tinggi 0.7 m. Kandang ini dipakai untuk memelihara itik umur lima minggu sampai bertelur. Masing-masing kandang dilengkapi dengan tempat makanan yang dibuat dari papan dan tempat air minum terbuat dari bambu. Pelaksanaan Penelitian Itik yang berjumlah 80 ekor betina dan 20 ekor jantan umur satu hari (DOD) untuk masing-masing populasi ditimbang dan kemudian diberi tanda (identifikasi) dengan

menggunakan wing band pada bagian sayapnya. Selanjutnya, itik tersebut dibagi ke dalam empat kelompok secara acak yang terdiri atas 20 ekor betina dan 5 ekor jantan. Selama tiga minggu, itik tersebut dipelihara dan diberi ransum kontrol. Pada umur tiga minggu, itik dipelihara dan diberi ransum perlakuan dengan level aflatoksin (0 ppb, 50 ppb, 100 ppb, dan 150 ppb) selama satu bulan. Setelah periode perlakuan ini, itik diberi ransum kontrol (tanpa mengandung aflatoksin) dan dipelihara sampai bertelur. Rancangan Penelitian Rancangan Penelitian untuk Perhitungan Rataan Sifat. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial. Faktor yang dicobakan ada dua. Faktor pertama adalah tingkat aflatoksin dalam ransum masing-masing 0 ppb (R0), 50 ppb (R1), 100 ppb (R2), dan 150 ppb (R3) serta faktor kedua adalah populasi itik Mojosari (MM), itik Tegal (TT), dan itik Tegal-Mojosari (TM). Setiap kombinasi perlakuan terdiri atas 20 ekor itik betina dan 5 ekor jantan, sehingga jumlah keseluruhan itik adalah 300 ekor. Ada atau tidaknya kelenturan fenotipik terhadap sifat-sifat yang diamati untuk tiaptiap populasi digunakan analisis sidik ragam satu arah dengan model Y ij = µ + A i + e ij (Steel dan Torrie,1991). Keterangan: (a). Y ij adalah respon atas perlakuan. (b). µ adalah rataan umum. (c). A i adalah pengaruh ransum ke i dan (d) e ij adalah galat percobaan. Penentuan perbedaan kelenturan fenotipik di antara populasi digunakan analisis dua arah dengan model Y ij = µ + A i + B j + (AB) ij +e ij (Steel dan Torrie,1991). Keterangan: (a). A i adalah pengaruh ransum ke-i. (b). B j adalah pengaruh populasi itik ke-j dan (c). (AB) ij adalah interaksi antara ransum ke-i dengan populasi galur itik ke-j. Jika A (pengaruh ransum) nyata maka sifat yang diamati lentur. Perbedaan kelenturan fenotipik antarpopulasi itik ditentukan oleh nyata tidaknya pengaruh interaksi antara lingkungan (aflatoksin dalam ransum) ke- i dengan populasi itik ke- j (AP) ij. Interaksi nyata menunjukkan ada perbedaan kelenturan fenotipik.

Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah : Konsumsi ransum : konsumsi ransum diukur setiap minggu berdasarkan selisih antara ransum yang diberikan dengan sisa ransum. Umur dewasa kelamin : umur dewasa kelamin ditentukan saat itik pertama kali bertelur, yang dihitung sejak menetas. Bobot dewasa kelamin : bobot dewasa kelamin diperoleh berdasarkan hasil penimbangan itik pada saat itik pertama kali bertelur. Bobot telur pertama : bobot telur pertama diperoleh dari hasil penimbangan telur yang pertama kali dihasilkan oleh itik penelitian. Analisis Statistika Data dianalisis dengan sidik ragam dengan menggunakan SAS (Statistical Analysis System, 1982). Uji Duncan digunakan sebagai uji lanjutan apabila terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antarperlakuan (Steel dan Torrie, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis sidik ragam satu arah pengaruh tingkat aflatoksin dalam ransum terhadap rataan konsumsi ransum, umur dewasa kelamin, bobot dewasa kelamin, dan bobot telur pertama pada masing-masing populasi itik tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh tingkat aflatoksin dalam ransum terhadap rataan umur dewasa kelamin, bobot dewasa kelamin, bobot telur pertama, dan konsumsi ransum pada masingmasing populasi itik Mojosari, Tegal, dan Tegal-Mojosari Populasi Peubah Itik Mojosari Itik Tegal Itik Tegal- Mojosari Konsumsi Ransum (g/ek/hari) 121,50 tn +1,01 120,00 tn +1,01 122,55 tn +1,01 Umur Dewasa Kelamin (hari) 137,50 tn +2,45 138,00 tn +2,45 140,05 tn +2,45 Bobot dewasa Kelamin (g) 1434,40 tn +13,50 1433,00 +13,50 1440,0 tn +13,50 Bobot Telur Pertama (g) 47,70 tn +2,30 48,30 tn +2,30 51,40 tn + 2,30

Keterangan : tn = tidak berbeda nyata (P>0,05) Itik Tegal (TT), itik Mojosari (MM), dan itik Tegal-Mojosari (TM = silangan itik Tegal jantan vs Mojosari betina) Umur dewasa kelamin, bobot dewasa kelamin, bobot telur pertama, dan konsumsi ransum populasi itik MM, TT, dan TM ternyata tidak dipengaruhi oleh adanya aflatoksin dalam ransum. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pemberian ransum dengan kandungan aflatoksin yang berbeda dilakukan pada waktu itik masih muda, sehingga tidak sampai mempengaruhi umur dewasa kelamin, bobot dewasa kelamin, bobot telur pertama, dan konsumsi ransum. Tabel 2. Pengaruh populasi dan tingkat aflatoksin dalam ransum terhadap rataan konsumsi ransum, umur dewasa kelamin, bobot dewasa kelamin, dan bobot telur pertama itik Peubah Populasi Aflatoksin Populasi x Aflatoksin Konsumsi Ransum (g/ek/hari) 121,35 tn + 1,02 122,30 tn + 1,02 123,31 tn +1,02 Umur Dewasa Kelamin (hari) 138,50 tn + 2,35 139,20 tn +2,35 140,10 tn +2,35 Bobot dewasa Kelamin (g) 1435,8 tn + 3,20 1436,0 tn + 13,20 1437,05 tn +13,20 Bobot Telur Pertama (g) 49,13 tn + 2,10 49,20 tn + 2,10 50,10 tn + 2,10 Keterangan : tn = tidak berbeda nyata (P>0,05) Itik Tegal (TT), itik Mojosari (MM), dan itik Tegal-Mojosari (TM = silangan itik Tegal jantan vs Mojosari betina) Hasil sidik ragam dua arah (Tabel 2) menunjukkan bahwa populasi tidak berpengaruh terhadap rataan umur dewasa kelamin, bobot dewasa kelamin, bobot telur pertama, dan konsumsi ransum. Hal ini berarti bahwa umur dewasa kelamin, bobot dewasa kelamin, bobot telur pertama, dan konsumsi ransum itik lokal tidak dipengaruhi oleh adanya aflatoksin dalam ransum. Hal yang sama juga terlihat pada interaksinya yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kelenturan fenotipik antara ketiga populasi itik (itik Mojosari, Tegal, dan Tegal-Mojosari).

Konsumsi Ransum Rataan jumlah ransum yang dikonsumsi per hari oleh itik Mojosari (MM), itik Tegal (TT) dan itik Tegal-Mojosari (TM) yang diberi ransum dengan penambahan aflatoksin 0 ppb (R0), 50 ppb (R1), 100 ppb (R1), dan 150 ppb (R3) tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh tingkat penambahan aflatoksin dalam ransum terhadap konsumsi ransum (g/ekor/hari) pada populasi itik Mojosari (MM), Tegal (TT), dan Tegal-Mojosari (TM) Kandungan Aflatoksin dalam Ransum Populasi Itik 0 ppb 50 ppb 100 ppb 150 ppb Rataan MM 121,81±2,11 122,93±2,11 121,92±2,11 120,92±2,11 121,72a±1,05 TT 120,69±2,11 117,01±2,11 121,06±2,11 119,99±2,11 119,69a±1,05 TM 125,03±2,11 121,03±2,11 122,29±2,11 123,03±2,11 122,84a±1,05 Rataan 124,09a±1,05 121,06a±1,05 122,60a±1,05 121,55a±1,05 Keterangan : huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama, tidak berbeda nyata (P>0,05) ± standard error Itik Tegal (TT), itik Mojosari (MM), dan itik Tegal-Mojosari (TM = silangan itik Tegal jantan vs Mojosari betina) Umur Dewasa Kelamin Hasil sidik ragam dua arah (Tabel 4) menunjukkan bahwa populasi tidak berpengaruh terhadap umur dewasa kelamin. Demikian pula halnya, kandungan aflatoksin dalam ransum ternyata tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap umur dewasa kelamin itik. Tabel 4. Rataan umur dewasa kelamin (hari) dan populasi itik (MM, TT, dan TM) pada ransum dengan kandungan aflatoksin yang berbeda Populasi Kandungan Aflatoksin dalam Ransum 0 ppb 50 ppb 100 ppb 150 ppb Rataan MM 139,50±5,06 136,50±5,06 139,50±5,06 137,50±5,06 138,50a±2,53 TT 137,50±5,06 138,50±5,06 136,00±5,06 144,00±5,06 139,00a±2,53 TM 141,00±5,06 145,50±5,06 147,00±5,06 143,50±5,06 144,25a±2,53 Rataan 140,00a±2,53 140,62a±2,53 141,50a±2,53 142,00a±2,53

Keterangan : huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama, tidak berbeda nyata (P>0,05) ± standard error Itik Tegal (TT), itik Mojosari (MM), dan itik Tegal-Mojosari (TM = silangan itik Tegal jantan vs Mojosari betina) Umur dewasa kelamin adalah jumlah hari antara tanggal penetasan sampai tanggal itik mulai bertelur. Bila itik yang mencapai umur dewasa kelamin cepat, produksi telur yang akan dihasilkan semakin banyak, tetapi dengan ukuran telur yang cenderung lebih kecil, dan demikian sebaliknya (North, 1984). Sifat dewasa kelamin dini merupakan sifat genetik yang menguntungkan dari segi pemuliaan, karena dapat dipergunakan untuk memperbaiki itik yang dewasa kelaminnya lambat (Hardjoswoe; 1990). Rataan umur dewasa kelamin itik Mojosari, Tegal, dan Tegal-Mojosari dari hasil penelitian ini berkisar antara 138,50 144,25 hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan Dudung (l995) yang menyatakan bahwa umumnya itik mengalami umur dewasa kelamin pada saat mencapai umur 20 22 minggu. Bobot Dewasa Kelamin Hasil sidik ragam dua arah menunjukkan bahwa populasi itik dan kandungan aflatoksin dalam ransum ternyata tidak berpengaruh nyata (P>0,05) pada bobot dewasa kelamin itik. Rataan bobot dewasa kelamin itik Mojosari (MM), Tegal (TT), dan Tegal- Mojosari (TM) tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan bobot dewasa kelamin (g) populasi itik MM, TT, dan TM yang diberi ransum dengan kandungan aflatoksin yang berbeda Populasi Kandungan Aflatoksin dalam Ransum Rataan 0 ppb 50 ppb 100 ppb 150 ppb MM 1439,90±27,38 1430,65±27,38 1432,25±27,38 1438,85±27,38 1435,41a±13,69 TT 1428,45±27,38 1429,55±27,38 1423,50±27,38 1430,60±27,38 1433,02a±13,69 TM 1450,80±27,38 1450,50±27,38 1452,50±27,38 1440,65±27,38 1443,86a±13,69 Rataan 1440,41a±13,69 1440,38a±13,69 1440,05a±13,69 1440,02a±13,69 Keterangan : huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama, tidak berbeda nyata (P>0,05) ± standard error Itik Tegal (TT), itik Mojosari (MM), dan itik Tegal-Mojosari (TM = silangan itik Tegal jantan vs Mojosari betina)

Populasi itik Mojosari, Tegal, dan Tegal-Mojosari ternyata memiliki rataan bobot dewasa kelamin secara berturutan adalah 1435,41 g, 1433,02 g, dan 1443,86 g. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Hardjosworo (l989) yang menyatakan bahwa rataan bobot dewasa kelamin itik lokal berkisar antara 1300 1500 gram. Bobot Telur Pertama Hasil sidik ragam dua arah (Tabel 6) menunjukkan bahwa populasi dan kandungan aflatoksin yang berbeda dalam ransum ternyata tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap bobot telur pertama. Tabel 6. Rataan bobot telur pertama (g) populasi itik MM, TT, dan TM pada tingkat penambahan aflatoksin dalam ransum Populasi Itik Kandungan Aflatoksin dalam Ransum Rataan 0 ppb 50 ppb 100 ppb 150 ppb MM 42,80±4,09 49,02±4,09 44,70±4,09 49,73±4,09 46,56a±2,05 TT 46,43±4,09 54,04±4,09 53,34±4,09 52,49±4,09 51,58a±2,05 TM 59,15±4,09 54,08±4,09 51,15±4,09 50,26±4,09 53,66a±2,05 Rataan 51,05a±2,05 51,93a±2,05 49,93a±2,05 51,50a±2,05 Keterangan : huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama, tidak berbeda nyata (P>0,05) ± standard error Itik Tegal (TT), itik Mojosari (MM), dan itik Tegal-Mojosari (TM = silangan itik Tegal jantan vs Mojosari betina) Bobot telur adalah salah satu petunjuk yang digunakan untuk melihat ukuran telur. Bobot telur ini sangat berhubungan dengan bobot telur pertama, karena bobot telur pertama merupakan petunjuk bagi bobot telur selanjutnya. Seperti dilaporkan oleh Romanoff dan Romanoff (l963), jika bobot telur pertama besar, maka bobot telur selanjutnya juga akan besar. Populasi itik MM, TT, dan TM ternyata memiliki bobot telur pertama yang sama besar. Hal senada dilaporkan juga oleh Prasetyo et al. (l997) bahwa telur pertama antara itik Tegal dan Mojosari serta silangannya mempunyai bobot yang sama besarnya.

Simpulan SIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat fenomena kelenturan fenotipik sifat-sifat reproduksi pada ketiga populasi itik (Mojosari, Tegal, dan Tegal- Mojosari) sebagai respons terhadap ransum yang mengandung aflatoksin (50 150 ppb). Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk meneliti seberapa jauh kelenturan fenotipik suatu sifat dapat diturunkan dan dapat diseleksi, sehingga nantinya dapat diharapkan terbentuknya galur ternak itik yang tahan terhadap perubahan kandungan aflatoksin dalam ransum, tanpa harus mengalami penurunan produksi yang besar. UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Dirjen Dikti di Jakarta, atas dana penelitian yang diberikan melalui Direktur TMPD. Juga kepada Bapak Prof. Dr. Harimurti Martojo, Dr. Ir. R.R. Noor, M.Rur.Sc. dan Dr. Hardi Prasetyo, M.Agr. atas bimbingan dan sarannya selama penelitian. DAFTAR PUSTAKA Arafa, A.S., R.J. Bloomer, H.R.Wilson, C.F. Simpson and R.H. Harms. 1981. Susceptibility of various poultry species to dietary aflatoxin. Brit.Poult.Sci.22:431-436 Direktorat Jendral Peternakan. 1994. Buku Statistik Peternakan 1994. Jakarta Dudung, A. M. 1995. Budidaya Mina Itik. Penerbit Kanisius, Yogyakarta Ginting, N.G. 1983. Sumber aflatoksin dan pengaruhnya pada pertumbuhan ayam pedaging. Laporan kedua. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. Gupta, A.P. and R.C. Lewontin. 1982. A Study of reaction norms in natural population of Drosophila melanogaster. Evolution 36: 943-948. Hardjosworo, P. S. 1990. Usaha-Usaha Peningkatan Pemanfaatan itik Tegal untuk Produksi Telur. Prosiding Temu Tugas: Sub Sektor Peternakan, Pengembangan ternak Itik di Jawa Tengah. Murni, R. 1993. Penggunaan Zeolit untuk Meningkatkan Daya Simpan Ransum dan Pengaruhnya terhadap Kandungan Aflatoksin serta Kadar Nutrien. Disertasi Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Noor, R. R. 1987. Genetika Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta. North, M. O. 1984. Comercial Chicken Production Manual. Avi Publishing Co., Inc. Wesport, Connecticut.

Prasetyo, L. H. dan T. Susanti. 1997. Heterosis pada Persilangan Itik Lokal. Balai Penelitian ternak Ciawi, Bogor. Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. The Avian Egg. John Willey and Son Inc. New York. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Cetakan ke-2. Gramedia, Jakarta. Sudono, A. 1981. Pengaruh Interaksi antara Genotip dan Lingkungan terhadap Pertumbuhan, Keefisiensian Makanan, Daya Reproduksi dan Produksi Susu pada Mencit. Disertasi Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Hal : 13-20. Sultan, S.E. 1987. Evolutionary implication of phenotypic plasticity in plants. Evol. Bio. 20: 127-178. Sutikno, A. I. 1990. Screening of aflatoxin in duck feedstuffs in West Java. J. Sci. Food. Agric. 50: 459-465 Taylor, D. R. and L. W. Aarssen. 1988. An Interpretation of Phenotypic Plasticity in Agropyron repens (Gramminae). Amer. J. Bot. 75 (3) : 401-413