127 BAB IV KESIMPULAN Berdasarkan analisis dan pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini masih terkurung dengan pemikiran bahwa penilaian identitas seseorang mengenai sesuatu yang normal dan dianggap tidak pantas adalah berdasarkan apa yang tertulis dalam tubuh mereka. Penilaian tersebut merupakan penilaian secara spontan terhadap performa atau tampilan awal seseorang. Sedangkan penilaian mengenai identitas asli mereka hanya bisa dilakukan dengan menganalisis dan menelaah lebih jauh dan mendalam. Identitas yang tampak dari luar bisa saja menipu, tidak selamanya benar dan dapat dimungkinkan akan terus berubah. Perubahan identitas ini bisa terjadi dikarenakan adanya beberapa faktor. Pertama adalah konstruksi diri pribadi, ke dua pengaruh konstruksi sosial dan yang ke tiga adalah ketidakstabilan identitas gender itu sendiri. Seorang individu bisa merasakan adanya perbedaan dalam dirinya mengenai identitasnya semenjak ia kecil. Perasaan berbeda, berada di tempat yang salah dan merasakan ketidak sesuaian dengan lingkungan sekitarnya bisa menjadi pemicu atau alasan identitas seseorang berubah. Pada dasarnya identitas gender seseorang memang bergerak dinamis, mencari kenyamanan dan kecocokan dalam tiap prosesnya, hingga akhirnya lahirlah identitas baru yang diyakini paling sesuai dengan dirinya. Kesesuaian identitas gender seseorang ini tentu tidak serta merta hadir dalam tiap diri. Ada rentetan proses rumit yang mendahuluinya. Seperti proses penemuan identitas seorang transgender yang digambarkan oleh Okky Madasari dalam novelnya yang berjudul Pasung Jiwa ini. Okky menjelaskan proses tokoh
128 transgender ini bertransformasi dari seorang lelaki penurut dari kelas sosial menengah ke atas yang terpasung dalam tubuh yang salah. Ia akhirnya menemukan identitas ketransgenderannya setelah melalui beberapa tahap perkembangan seperti yang dikemukakan oleh Nagoshi, yakni perkembangan identitas transgender model Cass. Dalam model perkembangan ini dijabarkan enam tahapan perembangan identitas seorang transgender. Tahap pertama adalah kebingungan identitas, di mana seorang individu transgender merasa terperangkap dalam tubuh yang salah dan menemukan banyak ketidak sesuaian antara yang dia miliki dengan yang dia harapkan dari tubuhnya. Tahapan kedua yaitu perbandingan identitas, di mana seorang individu transgender akan berusaha mencari kebenaran identitas yang ada dalam dirinya melalui perbandingan dengan identitas lain yang ia temui. Ia akan mulai membandingkan dirinya dengan orang-orang di sekitarnya yang memiliki identitas gender yang berbeda sehingga lewat pengetahuan dan wawasan itulah dia akan mempertimbangnkan dan mencari kesesuaian identitas bagi dirinya. Namun, pada tahap ini seorang individu transgender akan tetap mempertanyakan mengapa dirinya berbeda dan mengapa identitasnya saat ini tidak sesuai. Dia juga akan terus membenturkan konstruksi dirinya dengan konstruksi sosial masyarakata yang berlaku. Tahap ketiga adalah toleransi identitas. Pada tahap ini seorang individu transgender akan mulai menerima ternyata memang ada perbedaan identitas gender pada setiap orang dan adapula ketidakstabilan gender yang akhirnya akan membentuk identitas gender baru yang berbeda. Ia sudah bisa menerima bahwa ada identitas yang mungkin berpindah dari satu identitas gender ke identitas
129 gender lainnya yang berlawanan. Namun, pengakuan akan identitas dirinya sendirilah yang berubah masih sulit diterima. Ia masih harus melewati negosiasi panjang antara konstruksi diri yang ia bangun dengan perwujudan diri yang akan ia tampilkan. Ketiga tahapan ini biasanya terjadi pada masa anak-anak hingga remaja menuju dewasa. Identitas transgender yang mereka miliki masih mereka jaga sebagai identitas privat yang belum bisa dipublikasikan, karena belum adanya penerimaan secara menyeluruh mengenai identitas gender barunya ini. Tahapan keempat adalah tahapan penerimaan identitas. Pada tahap ini seorang individu transgender sudah mulai bisa bernegosiasi dengan konstruksi dirinya dan mulai menampilkan perwujudan diri dari identitas barunya. Pada awal tahap ini seorang individu transgender belum terlalu yakin untuk membagi identitas privatnya ini untuk dikonsumsi sebagai identitas publik. Namun, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya agen yang menjadi koalisi pembangun identitasnya maka kekuatan untuk menunjukan identitas barunya akan semakin besar. Penerimaan dari anggota masyarakat juga merupakan salah satu faktor pendukung percepatan proses penerimaan akan identitas barunya ini. Tahap ke lima adalah tahap kebanggan identitas. Di mana seorang individu transgender akan dengan berani menunjukan dan membagi identitasnya dengan publik secara luas. Ia tak lagi banyak bernegosiasi dengan kosntruksi dirinya untuk menunjukan identitas barunya. Banyak orang menganggap tahapan ini adalah tahapan akhir dari sebuah proses panjang perkembangan idnividu transgender. Pada kenyataannya, masih ada satu tahapan lagi yang akan menyempurnakan identitas seorang individu transgender, yaitu tahap perpaduan identitas. Dalam tahapan ini, tidak lagi dibeda-bedakan antara dua identitas gender
130 yang berlawanan. Seorang transgender akan merasa bahwa identitas barunya adalah perpaduan antara keduanya atau bahkan hasil dari kelahiran identitas baru yang merupakan peleburan dari kedua identitas sebelumnya. Hal penting yang harus difahami dari tahapan-tahapan ini adalah dalam tahapan manapun, tidak menutup kemungkinan seorang individu transgender akan kembali ke identitas sebelumnya. Bahkan terjadi penurunan tahap sedikit demi sedikit, kenaikan tahap yang drastis dan ketidak stabilan identitas yang mungkin dialami oleh individu tersebut. Hal ini sangan bergantung pada konstruksi diri individu transgender tersebut dan juga kosntruksi sosial yang ia temui. Selain itu para agen yang berkoalisi untuk membangun identitas barunya tersebut baik secara sadar maupun tidak sadar dapat berpengaruh dalam perubahan-perubahan tahapan proses perkembangan identitas transgender tersebut. Menjadi seorang transgender, bukanlah sebuah pilihan spontan tanpa melalui proses perenungan panjang. Dengan memilih untuk mengikuti hati nuraninya berpindah identitas dan menunjukan identitas barunya sebagai seorang transgender otomatis akan memberikan dampak baik dan buruk. Dampak baik yang bisa didapatkan dari kejujuran hati nurani ini adalah berupa kebebasan identitas yang ia dapatkan. Ia tidak lagi terperangkap oleh norma dan konstruksi sosial yang meliyankannya. Namun hal ini sebenarnya merupakan jebakan, dimana konstruksi dirilah yang berperan membangun kepercayaan mengenai kebebasan identitas tersebut. Kebebasan yang masih dibatasi oleh penilaian dan lingkungan heteronormatif yang tidak mendukungnya. Ketakutan masyarakat heteronormatif terhadap rusaknya tatanan norma ajeg yang sudah mereka bangun dan pertahankan membuat kaum transgender
131 tersingkirkan. Perasaan jijik terhadap seseorang yang melanggar ekpektasi masyarakat terhadap peran gender dan berkembangnya ketakutan juga kebencian mengakibatkan adanya pelarangan untuk berhubungan maupun berinteraksi dengan kaum transgender ini. Mereka juga menerima penolakan, prasangka negatif dan diskriminasi juga kekerasan dalam berbagai hal. Diantaranya adalah kekerasan fisik seperti pemukulan, kekerasan psikis seperti penghinaan dan pelecehan, juga kekerasan seksual seperti pemaksaan untuk memuaskan kebutuhan seksual laki-laki hetero. Bentuk yang mereka alami termasuk juga kesulitan dalam urusan pendidikan, pekerjaan dan pelayanan di tahanan. Dalam penelitian ini, ditemukan cara-cara atau strategi yang dilakukan oleh para individu transgender dalam rangka mempertahankan eksistensinya dan menghindarkan diri mereka dari opresi, yaitu dengan membuat coalition building dengan orang-orang yang dianggap mampu memberikan kekuatan dan penerimaan juga pengukuhan atas identitasnya yang berbeda. Pada kasus Sasa, ia membangun coalition building dengan Cak Jek dan kawan-kawan, Ibu Sasa, Masita dan para penonton juga penikmat penampilaannya saat manggung/pentas. Strategi lain yang bisa digunakan untuk menghindarkan diri dari opresi menurut Nagoshi adalah dengan mengeksiskan ketidakstabilan identitas gender. Dengan kuatnya identitas gender yang tidak stabil ini maka tatanan norma yang ajeg yang dimiliki oleh masyarakat heteronormatif akan terganggu kestabilannya. Hal ini tentunya akan membuat opresi terhadap kaum transgender semakin berkurang. Lalu mereka akan tetap dapat mengeksiskan diri dengan adanya penerimaan dan pengakuan terhadap kehadiran mereka.