BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung menunjukkan masalah gizi ganda, disamping masih menghadapi masalah gizi kurang, disisi lain pada golongan masyarakat tertentu mulai muncul permasalahan obesitas. Beban pembangunan bidang kesehatan nasiona akan semakin berat dengan adanya masalah gizi ganda karena baik gizi kurang dan gizi lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan lain. Gizi lebih dan obesitas dianggap sebagai sinyal pertama munculnya kelompok penyakitpenyakit non infeksi yang sekarang banyak terjadi di negara maju maupun negara berkembang. Fenomena ini dikemukakan oleh Gracey (1995) diberi nama Sindrom Dunia Baru New World Syndrome. Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang yang pemenuhan kebutuhannya melampaui batas lebih dari cukup (kelebihan) dalam waktu cukup lama (Sandjaja,2009). Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk (Apriadji, 1986) Penyakit degeneratif seperti kanker, gangguan respirasi, kardiovaskuler, diabetes mellitus dapat menimbulkan kerugian sosial 1
ekonomi, khususnya masyarakat yang sedang berkembang termasuk negara maju (Achmadi, 2005). Menurut penelitian Domingo et al, (2007), keadaan overweight pada remaja akan memproyeksikan kenaikan prevalensi kejadian obesitas pada usia dewasa awal yaitu sekitar usia 35 tahun sehingga beresiko meningkatkan prevalensi penyakit jantung koroner pada dewasa muda. Penelitian tersebut juga memprediksikan pada tahun 2035 akan terjadi peningkatan prevalensi penyakit jantung sebesar 5-16%. Secara global, prevalensi penyakit degenerative meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan. Sekitar 18 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit kardiovaskular. Dalam 20 tahun terakhir angka obesitas meningkat mencapai tiga kali di Negara berkembang yang banyak mengadopsi gaya hidup barat disertai penurunan aktifitas fisik serta konsumsi yang berlebihan (Hossain, 2007). Dalam beberapa dekade terakhir, obesitas telah menjadi masalah dalam dunia kesehatan dan tantangan besar bagi ahli kesehatan masyarakat. Kegemukan dan obesitas telah menjadi penyebab kematian ke-5 di dunia. Setidaknya terdapat terdapat 2,8 juta orang dewasa yang meninggal setiap tahunnya akibat kegemukan dan obesitas. Sebanyak 1,5 milyar penduduk dewasa menderita kegemukan, 200 juta laki-laki dan 300 juta perempuan diantaranya adalah obesitas (WHO,2011). Pada tahun 2007-2008 berdasarkan pada pengukuran tinggi badan dan berat badan di Amerika Serikat diketahui terdapat 72,5 juta orang dewasa obesitas (CDC,2010). Organisasi kesehatan dunia, WHO memperkirakan terdapat 2,3 milyar orang dewasa yang 2
memiliki berat badan berlebih pada 2015 dan 700 juta diantaranya termasuk dalam golongan obesitas. Angka tahun 2005 memperlihatkan terdapat 1,6 milyar orang dewasa dengan berat badan lebih dan 400 jutanya tergolong obesitas (BBC, 2009). Kejadian obesitas bervariasi di tiap negara, dan cenderung tinggi di Negara-negara maju dan memiliki perekonomian baik. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa prevalensi overweight pada tahun 2007-2008 berdasarkan Indeks Masa Tubuh sebesar 34,2% pada usia 12-19 tahun, sedangkan prewalensi obesitas sebesar 12,5% ada umur yang sama (Ogden et al, 2010). Prevalensi overweight di Brazil pada usia 7-19 tahun yaitu sebesar 19,4% pada laki-laki dan 4,3% pada perempuan di usia yang sama (Duncan, 2011). Prevalensi Faktor Risiko Penyakit Degeneratif Indonesia dibandingkan Negara Lain di Asia Tenggara, gula darah yang tinggi Indonesia 6,9% sedangkan negara lain 10%, tekanan darah tinggi Indonesia 37%, negara lain 19%, Kholesterol tinggi 35% dan negara lain 21 %, kegemukan dan obesitas Indonesia 21% dan negara lain 22%, merokok Indonesia 29% dan negara lain 24% (Global Status Report on Noncommunicable Diseases, 2010) Di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, masalah kesehatan yang berhubungan dengan berat badan seperti kegemukan (obesitas) telah berkembang semakin luas,sedangkan dahulu masalah ini lebih banyak terjadi di negara-negara maju. Hasil Riset Kesehatan Dasar 3
Riskesdas 2007 (Balitbangkes, 2007) menunjukkan bahwa prevalensi obesitas umum (berdasarkan nilai Indeks Massa Tubuh) pada penduduk umur 15 tahun secara nasional sebesar 19,1% (8,8% gizi lebih, dan 10,3% obese). Sebanyak 12 provinsi mempunyai prevalensi diatas nilai nasional beberapa provinsi di pulau jawa termasuk didalamnya. Prevalensi nasional obesitas Sentral pada penduduk umur 15 tahun adalah 18,8%, sedangkan yang berusia 15-24 tahun adalah 8,0%, sebanyak 17 Provinsi berada diatas nilai prevalensi nasional beberapa provinsi di pulau Jawa termasuk di dalamnya. Hasil Riskesdas 2010 (Balitbangkes, 2010) menunjukkan peningkatan prevalensi obesitas yaitu 21,7% (10,0% BB lebih dan 11,7% Obese). Di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung koroner yang terjadi di Indonesia sebesar 7,2% (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala). Sebanyak 16 provinsi berada diatas prevalensi nasional beberapa provinsi di pulau jawa termasuk didalamnya. Remaja berada pada masa transisi dari dunia anak ke dunia dewasa. Kebutuhan gizi remaja relatif besar karena masih mengalami pertumbuhan dan umumnya aktivitas fisiknya lebih tinggi dibanding usia lainnya. Disisi lain, perilaku gizi yang salah banyak dijumpai pada remaja diantaranya pola kebiasaan yang kurang sehat sehingga menimbulkan berbagai masalah kesehatan, seperti gizi kurang maupun gizi lebih. Pola makan tradisional yang tadinya tinggi karbohidrat, tinggi serat kasar, dan 4
rendah lemak berubah ke pola makan baru yang rendah serat kasar, dan tinggi lemak sehingga menggeser mutu makanan kearah tidak seimbang. Data Riskesdas tahun 2007, prevalensi penduduk usia diatas15 tahun yang memiliki status gizi lebih sebesar 10,3%. Pada laki-laki dan 13,9 % dan 23,8% pada perempuan. Sedangkan data Riskesdas 2010 prevalensi usia 16-18 tahun yang memilki satus gizi lebih sebesar 1,4%, pada laki-laki 1,3% dan 1,5% pada perempuan, sedangkan di Pulau Jawa sebesar 2,1%. Sedangkan status gizi untuk usia 19 tahun pada kategori IMT yaitu sebanyak 45,9% kurus, 6,8% berat badan lebih, dan 7,5% obesitas (Riskesdas 2010). Menurut data Riskesdas (2010), rata-rata asupan karbohidrat yang di konsumsi daerah DKI Jakarta sebesar 237gr (56,4%), Jawa barat sebesar 229 gr (58,1%), Jawa Tengah 238 gr (59,3%), Yogyakarta 240 gr (59,6%), Jawa Timur 269 gr (60,6%) dan Banten 260 gr (58,5%), sedangkan pada usia 16-18 tahun rata-rata asupan karbohidrat sebesar 263 gr (58,6%). Rata-rata asupan Lemak yang di konsumsi daerah DKI Jakarta sebesar 56,7gr (30,0%), Jawa Barat sebesar 51,6 gr (29,0%), Jawa Tengah 51,2 gr (28,7%), Yogyakarta 50,6 gr (27,9%), Jawa Timur 52,2 gr (27,2%) dan Banten 54,8 gr (28,1%), sedangkan pada usia 16-18 tahun rata-rata asupan lemak sebesar 55,5 gr (27,6%). Kebutuhan zat gizi makro sehari tergantung dari umur, jenis kelamin, jenis aktivitas, suhu lingkungan dan kondisi tertentu. Triguna makanan 5
adalah sebagai sumber zat tenaga atau energy, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur (Soekirman,2000). Masalah status gizi yang lebih umumnya disebabkan oleh tingginya asupan karbohidrat,lemak namun tidak dimbangi oleh aktifitas fisik yang cukup. Pada remaja, pola makan yang diterapkan sekarang adalah makanan tinggi kalori namun sedikit mengandung serat (Gharib dan Rasheed, 2011). Asupan serat yang kurang merupakan salah satu pencetus terjadinya gizi lebih. Hal tersebut dijelaskan melalui penelitian yang dilakukan Serra- Majem et al 2006 dalam,liou dan Chang 2010 yang menyatakan konsumsi sayur dan buah yang merupakan sumber serat makanan, yang cukup dapat mencegah terjadinya status gizi lebih. Penelitian Anggraeni 2007 juga menunnjukkan bahwa asupan serat berhubungan signifikan dengan terjadinya gizi lebih. Asupan serat terbukti memperpanjang masa transit makanan dalam organ pencernaan sehingga memperlama rasa kenyang (hardinsyah dan tambunan 2004) serat juga tidak dicerna oleh enzim pencernaan sehingga tidak menghasilkan energy dan hal tersebut yang menjadikan serat pencegah terjadinya gizi lebih (Almatsier 2001). Berdasarkan data riskesdas 2007 karakteristik rendahnya konsumsi sayur dan buah pada usia 15-24 tahun sebesar 93,8%. Karbohidrat, lemak dan serat berpengaruh terhadap gizi lebih melalui efek asupan makanan, pencernaan, absorbsi zat gizi, dan metabolisme dalam tubuh. Masukan makanan harus selalu cukup untuk mensuplai kebutuhan 6
metabolisme tubuh dan tidak menimbulkan overweight (kegemukan) karena makanan yang beragam dan mengandung tinggi protein - karbohidrat dan lemak akan menyebabkan gizi lebih. WHO menganjurkan rata-rata konsumsi energi makanan sehari adalah 10-15% berasal dari protein, 15-30% dari lemak, dan 55-75% dari karbohidrat (Almatsier, 2002). 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di dalam latar belakang, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gizi lebih pada penduduk usia 15-24 tahun antara lain asupan karbohidrat, lemak dan serat (buah dan sayur), Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan asupan karbohidrat, lemak dan serat dengan status gizi lebih pada remaja usia 15-24 tahun di pulau Jawa. Alasan pemilihan lokasi ini karena pulau Jawa termasuk salah satu daerah yang memiliki prevalensi gizi lebih diatas angka nasional Riskesdas 2010. 1.3 Pembatasan Masalah Banyak faktor yang mempengaruhi obesitas pada orang remaja. Dan Karena keterbatasan waktu,tenaga dan biaya maka dalam kesempatan ini peneliti hanya mengambil data sekunder Riskesdas tahun 2010, dan data yang diteliti tentang hubungan asupan karbohidrat, lemak dan serat dengan status gizi lebih pada remaja usia 15-24 tahun di pulau Jawa. 1.4 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah, maka penulis merumuskan masalah, yaitu apakah ada 7
hubungan asupan karbohidrat, lemak dan serat dengan status gizi lebih pada remaja usia 15-24 tahun di pulau Jawa. 1.5 Tujuan penelitian 1.5.1 Tujuan Umum Diketahuinya hubungan asupan karbohidrat, lemak dan serat dengan status gizi lebih pada remaja usia 15-24 tahun di Pulau Jawa. 1.5.2 Tujuan Khusus 1.5.2.1 Diidentifikasi gambaran prevalensi status gizi lebih dan karakteristik (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tempat tinggal) pada remaja gizi lebih usia 15-24 tahun di Pulau Jawa dari data Riskesdas tahun 2010 1.5.2.2 Diidentifikasi asupan karbohidrat, lemak dan serat pada remaja gizi lebih usia 15-24 tahun di Pulau Jawa berdasarkan Angka Kecukupan Gizi Tahun 2005 dari data Riskesdas tahun 2010. 1.5.2.3 Dianalisisnya hubungan status gizi lebih terhadap karakteristik (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tempat tinggal) remaja gizi lebih usia 15-24 tahun di Pulau Jawa dari data Riskesdas tahun 2010. 1.5.2.4 Dianalisinya hubungan asupan karbohidrat, lemak dan serat dengan karakteristik (umur, jenis kelamin, tingkat 8
pendidikan, dan tempat tinggal) remaja gizi lebih usia 15-24 tahun di Pulau Jawa dari data Riskesdas tahun 2010. 1.5.2.5 Dianalisisnya hubungan asupan karbohidrat, lemak dan serat dengan status gizi lebih pada remaja usia 15-24 tahun di Pulau Jawa dari data Riskesdas tahun 2010. 1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Bagi Penulis Menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman penulis dibidang gizi, serta untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai masalah-masalah gizi pada khususnya, sehingga bermanfaat bagi penulis maupun bagi masyarakat luas, serta mengaplikasikan ilmu yang didapat selama dibangku perkuliahan. 1.6.2 Bagi Peneliti Lain Penelitian ini bisa digunakan untuk penelitian lain sebagai referensi untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut. 9