BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Kepuasan Perkawinan. Menurut Aqmalia dan Fakhrurrozi (2009) menjelaskan bahwa per kawinan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindhi Raditya Swadiana, 2014

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini termasuk penelitian korelasi yang melihat Hubungan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. serta tanggung jawab sosial untuk pasangan (Seccombe & Warner, 2004). Pada

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEPUASAN PERKAWINAN. alasan ekonomi dan atau reproduksi (Gladding, 2012: 434).

BAB I PENDAHULUAN. Para individu lanjut usia atau lansia telah pensiun dari pekerjaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. 1952; klemer, 1970, (Ardhianita & Andayani, 2004) diperoleh dari suatu hubungan dengan tingkat perbandingan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

I. PENDAHULUAN. Perkawinan didefinisikan sebagai suatu ikatan hubungan yang diakui secara

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah intimancy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

Perkembangan Sepanjang Hayat

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keluarga yang harmonis. Dalam berumah tangga setiap pasang terkadang

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Perkawinan. menyeluruh.sejalan dengan itu Gullota, Adams dan Alexander (dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif komparatif, yakni jenis

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II TINJAUAN TEORI. dalam perkawinan. Bradbury, Fincham, dan Beach (2000) mengatakan. sehingga pernikahan dapat terus bertahan.

memberi-menerima, mencintai-dicintai, menikmati suka-duka, merasakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan juga memerlukan penyesuaian secara terus-menerus. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

PENDAHULUAN Latar Belakang

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tiga tahun terakhir angka perceraian di Indonesia meningkat secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB 5 Simpulan, Diskusi, dan Saran

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pancaindra menurun, dan pengapuran pada tulang rawan (Maramis, 2016).

MENGATASI KONFLIK RUMAH TANGGA (STUDI BK KELUARGA)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dalam bab ini menjelaskan tentang pembahasan teori yang sudah disinggung pada bab

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penting yang akan dihadapi oleh manusia dalam perjalanan kehidupannya

BAB II TINJAUAN TEORITIS

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu fase penting dalam. seseorang. Menurut Olson & DeFrain yang dikutip oleh Rini (2009) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. lahir, menikah, dan meninggal. Pernikahan merupakan penyatuan dua jiwa

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Kepuasan Perkawinan 1. Pengertian Kepuasan Perkawinan Menurut Aqmalia dan Fakhrurrozi (2009) menjelaskan bahwa per kawinan merupakan suatu ikatan antara pria dan wanita yang kurang lebih permanen, ditentukan oleh kebudayaan dengan tujuan mendapatkan kebahagiaan. Herning (dalam Aqmalia & Fakhrurrozi, 2009) mengungkapkan pernikahan adalah suatu ikatan janji setia antara pria dan wanita yang kurang lebih permanen, ditentukan oleh kebudayaan dengan tujuan mendapatkan kebahagiaan. Perkawinan itu sendiri memiliki manfaat yang dapat dinikmati bersama, manfaat menikah adalah untuk memenuhi kebutuhan religi seseorang, dengan melakukan pernikahan maka salah satu aspek dalam agama telah dapat dipenuhi sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh individu yang bersangkutan (Walgito, 2002). Kebutuhan-kebutuhan inilah yang melatarbelakangi seseorang untuk menikah. Olson dan Fowers (1993) kepuasan perkawinan merupakan keberhasilan pasangan yang diperoleh melalui pencapaian yang baik antara aspek-aspek dalam kehidupan berumah tangga, yaitu terjalinnya komunikasi, adanya waktu yang dihabiskan bersama, mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi secara 11

12 bersama-sama, dan mampu berbagi peran dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Kepuasan perkawinan adalah suatu pengalaman subjektif, suatu perasaan yang berlaku dan suatu sikap, dimana semua itu didasarkan pada faktor dalam diri individu yang mempengaruhi kualitas yang dirasakan dari interaksi dalam pernikahan (Pinsof dan Lebow dalam Rini dan Retnaningsih. 2008). Clayton ( dalam Sari dkk, 2012) mendefinisikan kepuasan perkawinan merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan kondisi perkawinan. Selanjutnya Lewis dan Spanier (dalam Sari, Indriana, Ariyati, 2012) mengemukakan kepuasan perkawinan merupakan evaluasi subjektif dari hubungan perkawinan yang merujuk pada keadaan baik, bahagia dan puas. Penilaian subjektif yang dilakukan oleh individu terhadap kepuasan perkawinan tergantung dari harapan, kebutuhan dan keinginan pribadi dalam sebuah perkawinan. Aspek-aspek yang dievaluasi oleh pasangan suami isteri untuk menentukan kepuasan perkawinan ialah kemampuan sosial suami isteri ( marriage sociability), persahabatan dalam pernikahan, masalah ekonomi (economic affair), kekuatan perkawinan (marriage power), hubungan dengan keluarga besar, persamaan ideologi (ideological congruence), keintiman, dan taktik interaksi (Clayton dalam Hidayah & Hadjam, 2006). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan merupakan evaluasi subjektif yang dilakukan secara keseluruhan yang berkaitan dengan kehidupan perkawinan yang dijalani individu dengan pasangannya,

13 ditunjukkan dengan adanya perasaan bahagia, senang, dan puas yang dirasakan secara lahir maupun batin dan dapat terwujud karena adanya kesesuaian antara kebutuhan dan harapan yang diinginkan. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Perkawinan Menurut Nurpratiwi (2010) kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh kematangan emosi dan usia saat menikah. Usia saat menikah memberikan kontribusi yang lebih kecil dibandingkan dengan kematangan emosi. Untuk menciptakan kepuasan dalam perkawinan dibutuhkan adanya kematangan emosi yang baik dan usia yang matang pada saat memasuki perkawinan. Selanjutnya Blood (dalam Nurpratiwi, 2010) salah satu karakteristik orang yang memiliki kematangan emosi yang positif memiliki nilai-nilai yang stabil dalam emosinya, sehingga mereka lebih mampu untuk berfikir dewasa dalam mengatasi masalahmasalah yang timbul dalam perkawinannya. Selanjutnya Papalia ( 2008) mengemukakan usia yang matang pada saat menikah dapat menjadikan individu tersebut memiliki pola fikir yang positif, memiliki tanggung jawab yang tinggi, serta mampu mengambil keputusan-keputusan yang baik dalam hidup dan keluarganya. Larasati (2012) menyatakan faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan adalah pemenuhan tuntutan ekonomi dan pembagian peran dalam rumah tangga. Dukungan yang diberikan suami dalam membantu beban ekonomi keluarga dapat memberikan dampak pada pemenuhan kebutuhan materil. Suami yang dapat melaksanakan perannya dengan baik serta dapat bekerjasama dengan

14 baik dalam melakukan pekerjaan rumah tangga memberikan dampak pada terpenuhinya aspek psikologis. Ketika pemenuhan materil dan psikologis terpenuhi maka akan memberikan dampak pada tercapainya kepuasan perkawinan yang dirasakan. Menurut Rachmawati dan Mastuti (2013) kepuasan perkawinan di pengaruhi oleh penyesuaian perkawinan. Pasangan suami istri yang memiliki tingkat penyesuaian yang tinggi memiliki tingkat kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan suami istri yang memiliki tingkat penyesuaian yang sedang. Penyesuaian mengenai cara pandang dan persamaan kebahagiaan perlu dilakukan, demi mendapatkan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Dyer (dalam Dewi, 2009) penyesuaian pernikahan banyak di kaitkan dengan kepuasan dalam pernikahan. individu yang merasa puas dengan pernikahannya di katakan memiliki penyesuaian pernikahan yang baik, sedangkan individu yang merasa tidak puas dengan pernikahannya di katakana memiliki penyesuaian pernikahan yang buruk. Faktor lain yang mempengaruhi kepuasan perkawinan menurut Rini dan Retnaningsih (2008) adalah adanya komunikasi yang baik dan keterbukaan antara kedua pasangan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keterbukaan memberikan sumbangangan positif terhadap kepuasan perkawinan. Keterbukaan individu mengenai dirinya terhadap pasangannya dapat membuat pasangan lebih memahami mengenai perkawinannya. Keterbukaan dapat meningkatkan komunikasi dan hubungan yang baik, meningkatkan kepercayaan terhadap pasangannya serta

15 keintiman yang memberikan peranan besar dalam meningkatkan kepuasan perkawinan. Pemaafan adalah faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan dalam perkawinan (Dharmawan & Wismanto, 2010) Pemaafan individu terhadap pasangannya memberikan hubungan yang positif dan bermakna terhadap kepuasan perkawinan. Perkawinan tidak akan bertahan bila salah satu pihak menyimpan dendam dan saling membungkam. Suami dan istri harus mampu menciptakan komunikasi yang harmonis agar tercipta ketulusan dan saling pengertian terhadap segala aspek kehidupan perkawinan itu sendiri. Komunikasi berperan di antaranya sebagai pencair kebekuan hubungan interaksi antara suami dan istri, meluruskan kesalahpahaman kedua pihak yang bertengkar karena perbedaan masing-masing pasangan agar lebih terbuka dan kesediaan untuk saling memaafkan. Menurut Hendrick ( dalam Sumpani, 2008) terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan, yaitu: a. Premarital Factors 1. Latar belakang ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan akan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan perkawinan. 2. Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah akan merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lwbih banyak mendapatkan stressor seperti pengangguran atau tingkat penghasilan rendah.

16 3. Hubungan dengan orang tua akan mempengaruhi sikap pasangan terhadap romantisme perkawinan dan perceraian. b. Postmarital factors 1. Kehadiran anak sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan perkawinan terutama pada wanita. Penelitian menunjukkan bahwa dengan bertambahnya anak dapat menambah stress pasangan dan mengurangi waktu bersama pasangan. Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan suami dan istri berkaitan harapan akan keberadaan anak tersebut. Cullen (Elfida, 2011) menyatakan bahwa semakin banyak anak yang dimiliki semakin berkurang waktu dan energi orangtua untuk tugas-tugas dan tujuan-tujuan lainnya sehingga mempengaruhi kepuasannya dalam menjalankan perannya. 2. Lama pernikahan, tingkat kepuasan perkawinan tertinggi di awal pernikahan, kemudian menurun setelah kehadiran anak dan meningkat kembali setelah anak mandiri. Papalia dkk (2008) berpendapat bahwa faktor faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan antara lain adalah (a) Usia saat menikah merupakan salah satu predikor utama. Orang yang menikah pada usia dua puluhan memiliki kesempatan lebih sukses dalam perkawinan, daripada yang menikah pada usia yang lebih muda, (b) Latar belakang pendidikan dan penghasilan, karena pendidikan dan penghasilan adalah saling berhubungan, mereka yang berpendidikan tinggi pada umumnya berpenghasilan lebih tinggi dan memiliki cara berpikir yang lebih

17 terbuka. (c) Agama, dimana orang yang memand ang agama sebagai hal yang penting, relatif jarang mengalami masalah perkawinan dibandingkan orang yang memandang agama sebagai hal yang tidak penting. (d) Dukungan emosional, kegagalan dalam perkawinan ini ada kemungkinan terjadi karena ketidakcocokan secara emosional dan tidak adanya dukungan emosional dari lingkungan, (e) Perbedaan harapan, dimana perempuan cenderung lebih mementingkan ekspresi emosional dalam pernikahan, disisi lain suami cenderung puas jika istri mereka menyenangkan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan dalam perkawinan adalah latar belakang keluarga, usia dan kematangan emosi, penyesuaian dalam perkawinan, penghasilan, komunikasi, pemaafan dan religiusitas. 3. Aspek-Aspek Kepuasan dalam Perkawinan Olson dan Fowers (1993), yang mengacu pada Enrich Marital Satisfication Scale mengemukakan beberapa aspek mencapai kepuasan pernikahan, yaitu: a. Komunikasi Melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasanganya. Area ini berfokus pada rasa senang yang dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi dimana mereka saling berbagi dan menerima informasi tentang perasaan dan fikiranya. Laswell membagi komunikasi perkawinan menjadi lima elemen dasar, yaitu: keterbukaan

18 antara pasangan ( openness), kejujuran ( honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain ( ability to trust), sikap empatiterhadap pasangan ( empathy), dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill). b. Aktifitas waktu luang Area ini menilai pilihan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang yang merefleksikan aktifitas yng dilakukan secara personal atau bersama. Area ini juga melihat apakah suatu kegitan dilakukan sebagai pilihan bersama serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama pasangan. c. Orientasi keyakinan beragama Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-hari jika seseorang memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang perduli terhadap halhal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama. d. Pemecahan masalah Menilai persepsi suami atau istri terhadap suatu masalah serta bagaimana pemecahanya. Diperlukan adanya keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan utnuk mendapatkan solusi terbaik. Semakin baik solusi yang didapatkan maka

19 akan menunjang semakin puas individu dalam menjalani kehidupan berkeluarga dengan pasangannya. e. Pengaturan keuangan Menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan, bentuk-bentuk pengeluaran, dan pembutan keputusan tentang keuangan. Yaitu harapanharapan yang melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam perkawinan. f. Orientasi seksual Area ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak tercapai kesepakatan yang memuaskan kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. g. Keluarga dan kerabat Melihat bagaimana perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan kerabat, mertua serta teman-teman. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan senang menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman. Perkawinan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan sebagian waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga mudah dipengaruhi oleh keluarganya dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu lama.

20 h. Peran menjadi orang tua Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam perkawinan. Orangtua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan itu dapat terwujud. i. Kepribadian pasangan Area ini melihat penyesuian diri dengan tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah menikah perbedaan ini akan memunculkan masalah. Persoalan tingkah laku yang tidak sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku pasangan sesuai dengan harapan maka akan menimbulkan perasaan senang dan bahagia. j. Peran dalam keluarga Adalah menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam dalam kehidupan perkawinan. Fokusnya pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orang tua. Jika masing-masing dapat bekerja sama dalam menjalankan tugasnya, maka kepuasan dan kebahagiaan perkawinan dapat diraih. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kepuasan perkawinan antara lain komunikasi, pemanfaatan waktu luang, orientasi keyakinan

21 beragama, bagaimana pemecahan masalah dalam keluarga. Pengaturan keuangan, orientasi kebutuhan biologis, hubungan dengan keluarga dan kerabat, peran mejadi orang tua dan juga kepribadian masing-masing pasangan. B. Penyesuaian Perkawinan 1. Pengertian Penyesuaian Perkawinan Menurut Spanier (1976) penyesuaian perkawinan didefinisikan sebagai suatu proses yang menunjukkan seberapa jauh pasangan suami dan istri dapat mengatasi perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan masalah, dapat mengatasi ketegangan interpersonal dan kecemasan pribadi, serta dapat mencapai kepuasan dalam hubungan perkawinan, kedekatan hubungan dengan pasangan dan kesepakatan-kesepakatan penting yang diambil bagi kelangsungan fungsi perkawinan. Haber dan Runyon ( dalam Elfida, 2011) menjelaskan penyesuaian sebagai proses yang berlangsung sepanjang waktu karena situasi di dalam kehidupan senantiasa mengalami perubahan. Untuk itu setiap individu perlu menyusun dan mengubah tujuan-tujuan hidupnya seiring dengan perubahan di lingkungannya. Sehubungan dengan proses tersebut, maka penyesuaian yang efektif dapat diukur dari seberapa baik individu dalam menghadapi kondisi yang selalu berubah. Schneiders menyatakan penyesuaian diri adalah usaha yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya,

22 sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan dengan diri atau lingkungannya. Konflik dan frustrasi muncul karena individu tidak dapat menyesuaikan diri dengan masalah yang timbul pada dirinya (dalam Indarwati & Fauziah, 2012). Laswel dan Laswel (dalam Nainggolan, 2003) mengemukakan penyesuaian perkawinan adalah dua individu yang belajar untuk mengakomodasikan kebutuhan, keinginan, dan harapan masing masing, ini berarti mencapai suatu derajat kebahagiaan dalam dalam hubungan. Penyesuaian perkawinan bukan suatu keadaan absolute melainkan suatu proses yang panjang karena setiap orang dapat berubah sehingga setiap waktu masing masing pasangan harus melakukan penyesuaian perkawinan. Dari penjelasan diatas mengenai penyesuaian perkawinan maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah usaha yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi konflik serta perubahan yang terjadi dalam rumah tangga, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan dengan diri maupun lingkungannya agar dapat tercapai kebahagiaan dan kepuasan dalam kehidupan perkawinannya sesuai dengan harapan perkawinan tersebut. 2. Faktor Faktor Penyesuaian dalam Perkawinan Menurut Indrawati dan Fauziah (2012) menjelaskan bahwa penyesuaian perkawinan dipengaruhi oleh faktor keluarga. Dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indrawati dan Fauziah bahwa kelekatan ( Attachment) memberikan sumbangan yang positif terhadap penyesuaian perkawinan. Bagaimana seseorang dibesarkan di lingkungan keluarga ternyata akan sangat berpengaruh pada

23 kehidupan seseorang selanjutnya saat dewasa. Pola pengasuhan yang ditanamkan orangtua sejak kecil menjadi modal seseorang dalam menghadapi kehidupan dan berinteraksi dengan lingkungan. Pola asuh yang dibentuk oleh orangtua dapat membentuk ikatan emosi antara orangtua dengan anak. Macam-macam sikap orangtua dalam pengasuhan anak, dilihat dari cara orangtua merespon dan memenuhi kebutuhan anak, akan membentuk suatu ikatan emosional antara anak dengan orangtua sebagai figur pengasuh. Ikatan emosi yang terbentuk antara anak dan orangtua sebagai figur pengasuh oleh Bowlby disebut sebagai kelekatan atau attachment (Yessy, dalam Indarwati & Fauziah.2012). Keluarga merupakan faktor yang paling penting dalam penyesuaian diri seseorang, dalam keluarga terdapat hubungan antara orang tua dengan anaknya. Hubungan orang tua dengan anaknya dapat mempengaruhi individu dalam melakukan penyesuaian karena penerimaan orang tua terhadap anak membuatnya merasa diinginkan, memperoleh kasih sayang akan menimbulkan rasa aman, percaya diri, penghargaan sehingga terjadi penyesuaian diri yang baik. Penolakan dari orang tua menyebabkan permusuhan dan penyesuaian diri yang buruk bagi anak. Pada keluarga besar, setiap anggota harus beradaptasi tingkah lakunya sesuai dengan harapan atau norma yang diinginkan oleh keluarga sehingga menghasilkan penyesuaian diri yang baik. Dengan demikian, jika individu memiliki attachment yang baik dengan orang tua maka akan menghasilkan penyesuaian diri yang baik dan menjadi dasar untuk beradaptasi dengan pasangannya.

24 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Elfida (2011) bahwa yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan adalah: a. Jenis kelamin, perempuan melakukan penyesuaian lebih baik dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan perempuan lebih dituntut untuk melakukan tugas-tugas dalam rumah tangga dari pada laki-laki. b. Latar belakang pendidikan, latar belakang pendidikan memberikan pengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan penyesuaian terhadap kehidupan perkawinannya. c. Usia saat menikah, usia yang matang pada saat menikah turut memberikan kontribusi terhadap kemampuan individu terhadap komunikasi dan konflik di dalam perkawinan. d. Usia pernikahan, bagi banyak pasangan diperlukan waktu yang lebih lama untuk dapat memahami dan menyesuaikan diri terhadap perubahan pola komunikasi dan konflik yang terjadi dalam rumah tangga. Anjani dan Suryanto (2006) mengemukakan dua faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan yaitu: a. Faktor yang mendukung penyesuaian perkawinan 1) Menjaga hubungan yang baik dalam keluarga terutama anakanaknya agar memperoleh kebahagiaan dalam perkawinan 2) Kesediaan masing-masing pasangan untuk saling memberi dan menerima cinta dengan memberikan perhatian-perhatian kecil,

25 berusaha meluangkan waktu untuk menikmati kebersamaan dengan keluarga. 3) Mengekspresikan afeksinya pada pasangan, entah itu mengungkapkan rasa sayang secara verbal, atau membantu mengerjakan tugas rumah tangga. 4) Adanya toleransi, menghargai satu sama lain, masing-masing pasangan menyadari kapasitas dan peran yang harus dijalankan dalam rumah tangga serta tidak memaksakan kehendak masingmasing. 5) Saling terbuka, selalu mengkomunikasikan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan perkawinannya. 6) Menanamkan rasa cinta. Tidak saling mencurigai. b. Faktor yang menghambat penyesuaian perkawinan 1) Tidak dapat menerima perubahan sifat dan kebiasaan pasangan sejak awal perkawinan. 2) Tidak dapat mengatasi konflik yang terjadi dalam perkawinannya. 3) Tidak dapat melaksanakan peran yang telah ditugaskan kepada suami dan istri. 4) Adanya campur tangan keluarga pasangan yang sangat kuat dalam perkawinannya. Kesimpulan yang dapat di ambil dari uraian di atas bahwa faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan adalah faktor internal yaitu: psikologis,

26 jenis kelamin, usia saat menikah usia perkawinan dan faktor eksternal yaitu: latar belakang pendidikan, keluarga dan kerabat. 3. Aspek-Aspek Penyesuaian Perkawinan DAS ( Dyadyc Adjustment Scale) yang disusun oleh Spainer (2006) menungkapkan empat aspek penyesuaian perkawinan yaitu: a. Kepuasan pasangan ( dyadic satisfaction) mencakup persepsi individu mengenai persoalan dalam kehidupan perkawinan. b. Konsensus pasangan (dyadic consesus) mengungkap segi-segi hubungan berupa persepsi individu mengenai kesepakatan pasangannya pada persoalan-persoalan dalam berbagai hubungan yang bersifat mendasar. c. Kohesi pasangan ( dyadic cohesion) menguji kepekaan untuk berbagai koneksi emosi positif satu sama lain. d. Ekspresi afeksi pasangan ( dyadic affectional expression) mengungkap persepsi mengenai kesepakatan pasangannya dalam menunjukkan afeksi dan relasi seksual. Selain itu menurut Atwater dan Duffy (dalam Elfida, 2011) terdapat terdapat empat area penting dalam penyesuaian perkawinan yaitu: a. Pembagian tanggung jawab perkawinan (sharing marital responsibility) Kehidupan di masa kini menuntut pembagian tanggung jawab yang lebih besar dalam kehidupan perkawinan jika dibandingkan dengan masa lalu. Saat ini lebih banyak isteri yang bekerja di sektor publik sehingga perlu

27 bagi suami untuk memberikan dukungan emosional kepada isteri, termasuk dalam hal merawat dan mengasuh anak. Setiap pasangan perlu belajar untuk menempatkan pembagian tugas perkawinan yang memang cukup banyak kepada pasangannya. b. Komunikasi dan konflik (communication and conflict) Komunikasi dan manajemen konflik menjadi hal yang penting dalam sebuah perkawinan. Kegagalan dalam komunikasi cenderung sering terjadi karena rendahnya upaya yang dilakukan suami ataupun isteri untuk berbagi perasaan, harapan, keinginan, dan kebutuhan pribadi. Konflik muncul manakala komukasi tidak berjalan lancar. Pada perkawinan yang efektif, masing-masing pihak merasa bebas untuk berbagi ide satu sama lain. Hal ini memungkinkan mereka untuk memperjelas pemikirannya satu sama lain. c. Seks dalam perkawinan (sex in marriage) Pasangan perkawinan saat ini lebih sering terikat dalam hubungan seksual daripada pasangan pada masa yang lalu. Namun, semakin lama usia perkawinan, semakin jarang melakukan hubungan seksual. Beberapa alasan berkurangnya frekuensi hubungan seksual antara lain masingmasing pihak merasa sudah biasa dengan pasangannya, semakin berkurangnya energi, dan berkurangnya privasi akibat kehadiran anak. d. Perubahan yang terjadi sepanjang waktu di dalam kehidupan perkawinan (changes in marriage over time)

28 Pasangan yang bahagia cenderung menciptakan atribusi yang memperkuat perasaan bahagia, dan sebaliknya pasangan yang tidak bahagia cenderung membuat atribusi yang menekan kebahagiaan. Jika isteri ataupun suami menemukan bahwa dirinya berada di bawah pengaruh model atribusi yang memelihara ketidakbahagiaan, mereka harus membicarakan mengapa mereka membuat atribut semacam itu dan memutuskan apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaikinya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek penyesuaian perkawinan adalah kepuasan pasangan, konsesus pasangan, kohesi pasangan, ekspresi pasangan. Tanggung jawab, komunikasi dan konflik, seks dalam perkawinan, dan perubahan yang terjadi sepanjang waktu dalam perkawinan. C. Kerangka Berfikir Pembentukan sebuah keluarga diawali dengan upacara perkawinan. Pada saat suami istri berikrar untuk melaksanakan perkawinan berarti masing-masing mengikatkan diri pada pasangan hidupnya. Ketika pasangan mampu mempertahankan hubungan perkawinannya, maka hal itu menandakan individu telah memperoleh keberhasilan hidup berumah tangga. Keberhasilan dalam hal ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kepuasan hidup perkawinan. Olson (1989) menjelaskan kepuasan perkawinan suatu keberhasilan yang tercermin dari adanya rasa senang, bahagia yang diperoleh melalui aspek-aspek

29 yang saling terkait yaitu berhasilnya suatu komunikasi antar pasangan, berhasilnya pasangan memanfaatkan waktu untuk bersama, berhasilnya pasangan mengatasi konflik yang dihasilkan akibat adanya perbedaan, berhasilnya pasangan menjalankan tugas sesuai dengan peran yang telah disepakati bersama. Kepuasan perkawinan yang dirasakan pasangan tergambar dari adanya kontak timbal balik yang dilakukan oleh keduanya baik itu secara verbal maupun non verbal, ketersediaan waktu luang diantara keduanya sehingga memungkinkan adanya komunikasi yang baik dalam segala bidang yang berhubungan dengan rumah tangga, dapat menyelesaikan konflik yang terjadi dengan membangun kejujuran, saling mengerti, dan bersedia membagi peran dalam rumah tangga tanpa mengesampingkan nilai-nilai agama yang diyakini bersama. Didalam perkawinan, terjadi pula perubahan yang banyak terkait dengan terbentuknya relasi baru sebagai suatu kesatuan serta terbentuknya hubungan antar keluarga kedua belah pihak. Kehidupan yang senantiasa mengalami perubahan menuntut upaya suami maupun istri untuk menyesuaikan diri terhadap kehidupan perkawinan. Spanier (1976) mengemukakan penyesuaian perkawinan dapat diraih apabila pasangan dapat bertukar fikiran dalam artian berkomunikasi dengan baik yang dilakukan secara terbuka, memberi dan menerima informasi dalam bentuk emosional sehinnga ketika terjadi konflik dalam rumah tangga pasangan mampu menyelesaikanya secara bersama-sama yang ditunjukkan dengan saling mengerti dan memahami satu sama lain, mencari solusi bersama misalkan saling

30 mengingatkan akan peran dan tugas dalam rumah tangga, bersama-sama membagi peran baik itu sebagai suami atau istri maupun sebagai orang tua. Penjelasan Spanier (1976) mengenai penyesuaian perkawinan terkait dengan usaha yang dilakukan oleh pasangan untuk memperoleh keselarasan dalam hubungan perkawinan. Bentuk keselarasan tersebut tercermin dari usaha pasangan menjaga keromantisan, saling bertukar pendapat sehingga ketika terjadi perbedaan yang menimbulkan masalah dapat diatasi dengan saling terbuka mengenai kecemasan dan ketegangan interpersonal. Pasangan juga memiliki komitmen untuk menyeimbangkan interaksi sosial yang terjadi baik itu dalam kehidupan rumah tangga maupun diluar kehidupan rumah tangga, dengan demikian kehidupan perkawinan yang dijalani mencapai kepuasan dalam kehidupan perkawinannya. Hasil penelitian yang dilakukan Anjani dan Suryanto (2006) menyatakan faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian perkawinan baik suami maupun istri yaitu tidak bisa menerima sifat dan kebiasaan di awal perkawinan, suami maupun istri tidak berinisiatif menyelesaikan masalah, perbedaan budaya dan agama di antara suami dan istri, suami dan istri tidak tahu perannya dalam rumah tangga, hal tersebut dirasa kurang membawa kebahagiaan hidup berumah tangga, sehingga masing-masing pasangan gagal menyesuaikan diri satu sama lain. Di masa awal perkawinan individu akan dihadapkan dengan perubahan sikap dan kebiasaan dari pasangan dimana perubahan tersebut akan menuntun individu untuk menerima atau menolak pasangan. Konflik dalam kehidupan rumah tangga akan muncul ketika terjadi penolakan oleh masing-masing individu terhadap

31 perubahan yang terjadi. Terutama bagi pasangan yang usia pernikahannya muda yang sangat rentan terhadap konflik. Hurlock (2002 ) mengatakan bahwa awal pernikahan 1-5 tahun pernikahan merupakan masa-masa rawan karena masa penyesuaian yang dilakukan meliputi penyesuaian peran yang dijalani oleh masing-masing pasangan, tanggung jawab, serta penyesuaian tersebut mencegah kebingungan dan rasa cemas. Berdasarkan hasil penelitian Rachmawati dan Mastuti (2013), pasangan suami istri yang memiliki tingkat penyesuaian yang tinggi memiliki tingkat kepuasan perkawinan yang lebih tinggi pula. Hal ini sejalan dengan penelitian Nainggolan ( 2003) yang menyatakan adanya hubungan yang positif antara penyesuaian perkawinan dengan kepuasan perkawinan. Ini artinya kepuasan perkawinan dapat diperoleh ketika pasangan mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan setelah perkawinan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan dapat diperoleh melalui adanya penyesuaian yang dilakukan oleh suami dan istri dalam perkawinan.penyesuaian sangat penting untuk dilakukan oleh pasangan yang telah menikah. Hal ini dikarenakan penyesuaian yang baik membutuhkan komunikasi dan keterbukaan antara suami dan istri, pasangan dapat mengatasi konflik dan ketegangan yang dihasilkan dari kesuksesan penyatuan individu dengan kehidupan baru dan penerimaan individu terhadap perubahan yang terjadi setelah menikah,dimana pasangan suami istri dapat mengatasi semua permasalahan yang timbul, serta mencapai kesepakatan yang kemudian akan berpengaruh terhadap

32 kepuasan yang dirasakan pasangan sehingga keberhasilan dalam rumah tangga akan dapat diraih. D. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif antara penyesuaian perkawinan dengan kepuasan perkawinan. Dimana semakin tinggi penyesuaian perkawinan maka semakin tinggi pula kepuasan perkawinan dan sebaliknya semakin rendah penyesuaian perkawinan maka semakin rendah kepuasan perkawinan.