NIKAH? SEKARANG?!! L aptop di depan, setumpuk catatan sudah rapi tergeletak di samping kiri. Tangan mulai berpangku di atas keyboard dengan ikat rambut yang sudah bertengger manis di bagian belakang kepala serta kacamata yang melekat tepat di depan dua bola mata. Secangkir kopi hangat bisa menjadi teman setia untuk bahagia malam ini. Pukul 02.00 pagi, masih berselancar penuh dengan segudang imajinasi yang dapat tertuang di depan layar. Jari jemari yang lihai dalam menari, menuliskan keinginan, cerita, bahkan impianimpian yang ingin dicapai. Di dukung dengan suasana hening yang semakin menderu menjadi fokus alur cerita yang tertuang. Bisikan angin semilir menambah suasana yang sendu semakin hangat.
Layaknya peri-peri kecil yang bersemangat membantu memberikan warna cerita pada layar ini. Di sekolah, hampir tiap minggu tertempel karya ku di mading. Baik itu cerpen, sekedar puisi, sajak bahkan syair. Apalagi di bulan-bulan yang selalu dikeramatkan oleh kaum muda. Valentine, hari ibu, tahun baru. Tiap-tiap kisah pasti ada coretan pena atas namaku di sana. Kamalia Fatimah Abdullah, namaku. Siswi SMU yang memiliki stempel kutu buku, tidak banyak bicara, selalu berfikir logis, namun tidak mudah menangkis. Banyak teman-teman menyukai karyaku. Namun, keberanianku hanya sebatas pada mading sekolah. Guru bahasa Indonesia, Pak Sugeng juga sering kali memuji hasil tulisan ku. Namun, aku memiliki cita-cita untuk tidak menjadi seorang penulis. Hobi ku memang nulis, tapi itu bukan impian ku. Yang selalu timbul dalam hasrat hati adalah bagaimana caranya agar aku bisa mengambil beasiswa S2 di luar negeri. Memang masih lama 2
untuk anak seusiaku yang baru saja masuk SMU. Tapi, boleh aja kan punya mimpi setinggi langit, sebesar gunung dan setebal awan? Di mana pun negara nanti yang akan ku tuju, tekadku hanya sekolah di luar negri. Hanya ingin mencicip saja ilmu dari negri seberang. Karena menurut analisa tulisan ku, di luar banyak ilmu baru yang aku sendiri belum pernah dapat. Setelah tiga tahun terlewatkan, aku mulai bersiap menuju dunia baru. Perkuliahan. Sementara karya tulisan ku tetap masih beredar di wilayah sekolah saja. Di masa kuliah tidak banyak yang berubah, tetap pendiam dan menjadi yang simpel. Kemeja lengan panjang, celana jeans, sepatu sport dan ikat rambut yang bertengger serta kacamata yang tidak pernah ketinggalan. Jarak kampus dengan tempat kosku lumayan dekat, sekitar empat kilometer dengan mengendarai motor beat merah. Meskipun suka menulis, aku mengambil jurusan Teknik. Bolehlah ya sesekali perempuan kuliah di kalangan 3
para pria. Bukan masalah gender sih menurut ku, tapi cara berfikir. Suka sekali berkumpul dengan orangorang yang kuliah di teknik ini. Mereka banyak mengutamakan tugas selesai daripada memperhatikan penampilannya sendiri. Aku, masih saja tetap menyediakan waktu yang sangat luang demi menumpahkan hasrat tulisan yang tidak pernah berhenti mengalir di kepala ku dan jari-jariku belum bosan untuk tidak berhenti di atas keyboard. Untuk di masa kuliah sekarang aku tidak terlalu update tulisan di mading kampus. Bukan tentang tidak sempat, tapi, pengurus madingnya pasif sekali. Maklum, kampus teknik yang dominasi mahasiswanya adalah pria. Jadi hasil tulisan-tulisan ku ya aku simpan saja di laptop. Empat tahun masa kuliah sudah hampir selesai. Begitulah kehidupanku, dari SMU sampai kuliah, biasa-biasa saja. Tidak ada yang menarik. Diwarnai dengan tugas, menulis, kuliah, buku-buku 4
perpustakaan. Kehidupan sesungguhnya dimulai hari ini, sehari setelah aku wisuda. Papa, Mama, kemudian mengenalkanku pada sosok pria. Pria ini tiba-tiba datang membawa bingkisan dan berbagai pernak pernik serta di dampingi orang tuanya. Salman Alfarisy. Namanya saat berkenalan dengan ku. Aku cukup memberikan isyarat untuk menjaga wudhu saja. Entah bagaimana ceritanya, pria ini tiba-tiba datang melamarku, sementara aku tidak pernah kenal sekalipun. Menerimanya dengan baik karena memposisikan dia dan keluarganya sebagai tamu. Masih belum bisa berfikir jelas, apa maksud dari semua ini? Saat mereka meminta jawaban atas lamaran tersebut, aku meminta waktu. Tanpa pikir panjang aku menyebutkan nominal hari yang harus dia tunggu. Tiga hari. Secepat itu aku mengatakannya dan tanpa pikir panjang. Oh Tuhan, betapa cerobohnya aku? 5