3 TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo (Oryza Sativa L.) Padi gogo merupakan tanaman padi yang diperbanyak dengan memanfaatkan lahan kering. Padi gogo toleran terhadap cekaman lingkungan, sehingga dapat ditanam pada tanah masam yang secara kimiawi memiliki tingkat ketersediaan aluminium dan mangan yang tinggi, serta ketersediaan unsur hara terutama N, P, K, Ca, Mg, Mo yang rendah (Harahap et al., 1995). Secara fisik tanah ini memiliki kapasitas menahan air yang rendah dan mudah tererosi. Hal tersebut merupakan salah satu kendala yang mengakibatkan produktivitas dari padi gogo masih rendah jika dibandingkan dengan padi sawah. Partoharjono dan Makmur (1993) menyatakan bahwa pertumbuhan padi gogo dipengaruhi secara langsung oleh faktor-faktor lingkungan. Lingkungan tumbuh dan kondisi tanah tidak berubah sehingga tanaman mengalami stress yang disebabkan oleh kekeringan, keracunan dan kekahatan berbagai unsur hara serta gangguan berbagai hama penyakit dan gulma. Menurut Gupta de O tooel, (1986) faktor iklim dan tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan padi gogo. Faktor tersebut diantaranya adalah curah hujan, radiasi matahari, suhu, jenis, tekstur dan drainase tanah. Struktur biji padi gogo sama halnya dengan struktur biji padi sawah atau jenis padi lainnya. Menurut Saenong et al. (1989) biji padi tersusun atas dua komponen utama yaitu beras pecah kulit dan sekam. Beras pecah kulit menempati 72-82% dari benih, dan sekam menempati 18-28% dari benih. Bagian beras pecah kulit terdiri dari 90.4-90.6% endosperma, 0.8-1.1% embrio, 2-2.1 skutelum, serta 6.5% perikarp, testa dan aleuron. Verietas padi gogo umumnya memiliki aleuron yang lebih banyak dibandingkan dengan padi sawah. Selain itu, lapisan aleuron akan lebih banyak apabila suhu lingkungan lebih panas pada saat pemasakan biji. Benih padi lebih tahan simpan dibandingkan dengan benih kacangkacangan. Salah satu penyebabnya yaitu kulit biji yang dilindungi oleh perikarp, testa serta kulit biji yang keras berupa lemma dan palea (Saenong et al., 1989) Menurut Champagne (2004) perikarp terdiri dari lapisan kutikula tipis yang membungkus epidermis, parenkim dan saluran sel yang memanjang menuju
5 dormansi sekunder tidak diklasifikasikan lagi kedalam tipe-tipe karena penyebabnya tidak sekompleks dormansi primer (Mugnisjah, 2007). Dormansi eksogenus berkaitan dengan sifat fisik benih, termasuk kulit benih yang tebal, impermeabilitas kulit benih terhadap air dan gas, resistensi kulit biji terhadap embrio, serta adanya inhibitor (Mugnisjah, 2007). Menurut Sutopo (1984), beberapa zat penghambat tumbuh telah ditemukan pada biji padi sehubungan dengan dormansi embrio tersebut antara lain asam absisat (ABA) dan koumarin yang dapat berada pada sekam, aleuron, atau embrio. Copeland dan Mc Donald (2001) menambahkan bahwa pada benih padi, dormansi fisik dapat terjadi karena kulit biji tidak permeable terhadap air dan gas (O 2 ) serta adanya inhibitor. Dormansi endogenus merupakan dormansi yang umumnya ditemukan pada dormansi benih. Dormansi ini disebabkan oleh faktor di dalam benih itu sendiri, seperti pembentukan embrio yang belum sempurna, keseimbangan hormonal, metabolic inhibition seperti senyawa sianida, phenolik dan koumarin, serta osmotic inhibition berupa senyawa gula atau garam yang berada di dalam atau disekitar buah dalam konsentrasi cukup untuk menghambat perkecambahan benih (Copeland dan Mc Donald, 2001). Mugnisjah (2007) menambahkan, dormansi endogenus terdiri dari dormansi endogenus morfologis, dormansi endogenus fisiologis, dan dormansi endogenus morfofisiologis. Dormansi endogenus morfologis jika penyebabnya berupa embrio yang belum berkembang. Dormansi endogenus fisiologis disebabkan oleh impermeabilitas benih terhadap gas, kebutuhan embrio akan penyimpanan kering, kebutuhan embrio akan cahaya serta kebutuhan embrio akan suhu dingin, sedangkan dormansi endogenus morfofisiologis disebabkan oleh kombinasi antara penyebab dormansi morfologis dengan penyebab dormansi fisiologis. Kondisi lingkungan selama pertumbuhan dan pembungaan benih mempengaruhi lamanya durasi dormansi endogenus. Faktor lingkungan yang mempengaruhi dormansi endogenus diantaranya adalah panjang hari, naungan, posisi benih pada buah atau bunga, umur tanaman induk, serta suhu selama pembungaan (Copeland dan Mc Donald, 2001).
6 After-ripening pada Benih Padi Benih padi yang baru dipanen pada umumnya mengalami dormansi walaupun embrio telah terbentuk sempurna dan kondisi lingkungan mendukung untuk berkecambah. Dormansi tersebut dapat dipecahkan jika benih mengalami penyimpanan kering, yang disebut dengan after-ripening (Sutopo, 2002). Periode after-ripening yaitu lamanya penyimpanan kering sampai benih dapat memecahkan dormansinya secara alami. Menurut Copeland dan Mc Donald (2001), pada beberapa benih serealia penyimpanan pada suhu 20 o C selama 1-2 bulan dapat menghasilkan perkecambahan yang maksimum. Selain itu suhu mempengaruhi respon terhadap perkecambahan benih tipe ini. Periode after-ripening berbeda pada setiap spesies dan varietas tanaman. Perbedaan tersebut mencerminkan adanya keragaman genetik sifat dormansi dari setiap spesies dan varietas tanaman tersebut. Pada kelompok padi gogo, varietas Sentani memiliki periode after-ripening selama 2 minggu, varietas Arias memiliki periode after-ripening selama 4 minggu, varietas Way Rarem selama 5 minggu, varietas Tondano, Singkarak, Danau Tempe, dan Danau Atas selama 6 minggu, varietas Klemas dan Batur selama 7 minggu, sedangkan varietas Dodokan selama 8 minggu (Santika, 2006). Varietas padi yang berumur pendek atau genjah (100-115 hari) tidak selalu memiliki periode after-ripening yang pendek. Dormansi akibat kebutuhan akan after-ripening ini dapat dipatahkan dengan perlakuan suhu tinggi, pengupasan kulit, dan perendaman pada larutan kimia (Santika, 2006) Pematahan dormansi Keuntungan dengan adanya sifat dormasi pada benih adalah untuk mempertahankan tanaman dari kepunahan, namun dormansi juga dapat bersifat negatif pada saat benih diperlukan untuk segera tumbuh, terutama pada tanaman budidaya. Metode pematahan dormansi benih diperlukan untuk mempersingkat masa dormansi tersebut. Penyebab dan mekanisme dormansi merupakan hal penting yang harus diketahui dalam menentukan metode pematahan dormansi yang tepat. Pematahan dormansi dapat dilakukan secara fisik maupun fisiologis.
7 Pematahan Dormansi Fisik Dormansi fisik dapat disebabkan oleh impermiabilitas selaput benih terhadap air yang dapat dipatahkan jika terjadi kerusakan pada selaput benih sehingga air dapat masuk ke dalam benih dan membantu proses perkecambahan. Pematahan dormansi fisik dapat dilakukan secara mekanis maupun secara kimia. Perlakuan pematahan dormansi secara mekanis merupakan perlakukan yang diberikan pada biji dengan cara skarifikasi, perendaman pada air panas, serta pemberian tekanan. Perlakuan kimia untuk mematahkan dormansi fisik dapat dilakukan dengan menggunakan larutan asam keras seperti HCl, H 2 O 2 dan H 2 SO 4. Perlakuan skarifikasi pada kulit biji dilakukan dengan cara penusukan, pengoresan, pemecahan, pengikiran atau pembakaran. Pematahan dormansi secara skarifikasi merupakan cara yang paling efektif untuk mengatasi dormansi fisik karena setiap benih ditangani secara manual dapat diberikan perlakuan individual sesuai dengan ketebalan biji. Berdasarkan penelitian Suharsono (1997), perlakuan pematahan dormansi dengan pengupasan sekam dapat mengurangi periode afterripening benih padi varietas Way Ramen dari 10 minggu dan Kalimutu dari 4 minggu menjadi 2 minggu setelah panen, serta dapat mengurangi periode afterripening benih varietas Gajah Mungkur dari 5 minggu menjadi 3 minggu setelah panen. Soejadi dan Nugraha (2002) a menambahkan, perlakuan pengupasan sekam yang dilanjutkan dengan penggoresan perikarp dan pelembaban pada air dapat mematahkan dormansi benih padi genotype Taichung Sen Gult, Taiken-9, Taichung Sen-10, Taichung Sen-14, Taichung Sen-17, Taichung Sen-19, ACC.3697, ACC.4882, ACC.6267, ACC.32390, S.969b-265-1-4-3, S.2961e-Kn- 8-32, B.8049, B.7959, dan Oryza glumaepatula tanpa mengalami penyimpan kering terlebih dahulu. Perendaman benih pada air panas dapat mematahkan dormansi fisik terutama pada leguminoceae melalui tegangan yang menyebabkan pecahnya lapisan macrosclereids. Pada benih yang memiliki kulit tipis, pencelupan sesaat lebih baik untuk mencegah kerusakan pada embrio karena apabila perendaman terlalu lama, maka panas akan diteruskan ke dalam embrio yang akan mengakibatkan embrio menjadi rusak.
8 Pematahan Dormansi secara Fisiologis. Pematahan dormansi secara fisiologis dapat dilakukan dengan perlakuan suhu tinggi atau suhu rendah (stratifikasi), perendaman pada larutan KNO 3, thiourea, atau kinin, serta dengan menggunakan hormon pertumbuhan seperti GA dan sitokinin. Menurut Suharsono (1997), perlakuan suhu 50 o C selama 72 jam dapat mematahkan dormansi benih padi gogo varietas Gajah Mungkur setelah mengalami penyimpanan kering selama 3 minggu, sedangkan pada benih tanpa perlakuan, dormansi benih patah setelah mengalami penyimpanan kering 5 minggu. Soejadi dan Nugraha (2002) b menambahkan perlakuan pemanasan benih 50 o C selama 120 jam dapat meningkatkan perkecambahan benih padi varietas Sadang, Jangkok, Progo, Bahbutong, Wai Seputih, Selilin, Lematang, Pb-38, Walanai, Lusi, Batang Pane, Tajum, Atomita 4, IR-46, IR-64, Atomita 2, Membramo dan Cibodah hingga daya berkecambahnya mencapai 80%. KNO 3 merupakan salah satu senyawa yang umum digunakan untuk mematahkan dormansi benih dan terkenal mampu menstimulir perkecambahan khususnya pada benih-benih yang peka terhadap cahaya. Hal tersebut karena KNO 3 mampu meningkatkan kepekaan benih terhadap cahaya (Copeland dan Mc Donald, 2001). Adkin et al. dalam Copeland dan McDonald (2001) menyatakan bahwa kinerja KNO 3 mempengaruhi sistem respirasi secara langsung. Pada beberapa spesies rumput, KNO 3 dapat berinteraksi dengan suhu untuk perkecambahan. Selain itu KNO 3 juga bekerja sinergis dengan giberelin dan kinetin dalam merangsang perkecambahan benih tembakau. Nur Amin (2008), melaporkan bahwa perlakuan perendaman benih pada larutan KNO 3 0.2% selama 24 jam dapat mematahkan dormansi benih varietas Ciherang setelah mengalami penyimpanan kering selama 4 minggu, sedangkan pada benih tanpa perlakuan, dormansi patah secara alami setelah benih mengalami penyimpanan kering 7 minggu. Berdasarkan SNI 01-6233.3-2003, pematahan dormansi dapat dilakukan dengan Co-aplikasi larutan KNO 3 0.2% untuk membasahi substrat, kombinasi antara pemanasan 50 o C selama 2 hari dengan perendaman KNO 3 3% selama 1-2 hari, serta perendaman pada KNO 3 2-3% selama 1-2 hari tergantung varietas.