BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi secara umumnya dipahami

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. Sebagai daerah yang miskin dengan sumber daya alam, desentralisasi

DAFTAR PUSTAKA. Pemerintahan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Anwar. Saifuddin Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

DISUSUN OLEH : BIDANG STATISTIK DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN BAPPEDA PROVINSI SUMATERA BARAT Edisi 07 Agustus 2015

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Paradigma pembangunan di Indonesia telah mengalami pergeseran dari zaman orde baru

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakangMasalah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan yang diharapkan itu adalah kemajuan yang merata antarsatu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Sumatera Barat. Jam Gadang

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan daerah, dan kurang melibatkannya stakeholder di daerah. Kondisi

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat merasakan kesejahteraan dengan cara mengelola potensi-potensi ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi yang bervariasi, mendorong setiap daerah Kabupaten

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB IV GAMBARAN UMUM

KEADAAN KETENAGAKERJAAN SUMATERA BARAT AGUSTUS 2014

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. nilai inti untuk memahami pembangunan yang paling hakiki antara lain

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN. kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu daerah dalam jangka panjang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah

BAB I PENDAHULUAN. pokok utama suatu negara. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan harus mampu memberi

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama bagi negara-negara

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk. Pertumbuhan Penduduk

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

ANALISIS PENERIMAAN PENDAPATAN ASLI DAERAH SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN MINAHASA SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

DAMPAK BELANJA DAERAH TERHADAP KETIMPANGAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator keberhasilan kinerja

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, maka pembangunan harus dilaksanakan secara berkelanjutan,

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi secara umumnya dipahami sebagai upaya pemerintah untuk mewujutkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pola pembangunan ekonomi yang terintegrasi diharapkan mampu menjadi sarana untuk mendorong kemajuan diseluruh wilayah Indonesia dan pada semua bidang dengan azas semerata mungkin serta tidak menimbulkan ketimpangan yang tinggi antar daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama periode yang sangat panjang, pertumbuhan telah menghasilkan berbagai jenis kemajuan pada berbagai bidang. Dan tak dapat dipungkiri juga bahwa perekonomian Indonesia juga pernah mengalami pasang surut perekonomian yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi negara Indonesia sempat terkoreksi hebat pada saat krisis ekonomi tahun 1997. Sebelum dilanda krisis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah mencapai 7,80 persen pada tahun 1996. Namun dua tahun kemudian angka ini terjun bebas ketitik nadir sebesar (13,00) persen 1. Kegagalan penerapan ekonomi terpusat zaman orde baru inilah yang menjadi momentum perubahan corak pemerintahan dan perekonomian Indonesia dari sistem terpusat menjadi terdesentralisasi. 1 BPS RI. Berbagai Tahun Terbit. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia 2005 2013. Jakarta. 1

Desentralisasi disepakati mengandung suatu nilai dogmatis untuk memecahkan permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Alasan utama dari penerapan konsep desentralisasi ini adalah mencari solusi konkrit terhadap permasalahan kesejahteraan masyarakat, lunturnya nilainilai kearifan lokal, degradasi kualitas pelayanan publik serta penyebaran hasil pembangunan yang tidak merata. Namun bagai dua sisi mata uang, pelimpahan kewenangan melalui desentralisasi ini bisa berdampak positif dan negatif terhadap daerah. Pada sisi positif, akan memberikan dorongan lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah masing-masing. Makin pendeknya rentang kendali menyebabkan pemerintah daerah dapat dengan cepat merespon dan memberikan umpan balik terhadap segala jenis permasalahan daerah baik yang berhubungan dengan ekonomi, sosial budaya, keamanan dan ketertiban. Sedang sisi negatifnya, kebijakan ini daerah berpotensi meningkatkan indeks gini, disparitas pendapatan regional 2, rezim oligarki, primordialisme, maupun politik klientelisme. 3 Bird dan Vaillancourt menyatakan beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa negara membuktikan bahwa desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonominya. Desentralisasi mampu meningkatkan efisiensi 2 Rochana, Siti Herni. 2013. Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Pada Era Otonomi Daerah Di Indonesia. Lomba Karya Tulis Otonomi Daerah 2013. Tidak dipublikasikan. Hal: 2 3 Jati, Wasisto Raharjo. 2012. Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah Di Indonesia : Dilema Sentralisasi Atau Desentralisasi. Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, Desember 2012. 743-770. Hal: 767 2

biaya dan ekonomi, mampu meningkatkan akuntabilitas keuangan pemerintah serta dapat meningkatkan mobilisasi dana dari pemerintah kepada masyarakat 4. Lindahman dan Thurmaier menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Mereka melakukan penelitian terhadap pengaruh desentralisasi fiskal pada komponen IPM yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, lama sekolah dan pengeluaran perkapita, artinya bahwa desentralisasi mampu meningkatkan pencapaian kebutuhan dasar masyarakat pada bidang pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat 5. Penelitian yang lebih komprehensif dilakukan oleh Bambang Saputra tahun 2013 terhadap seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia dalam rentang waktu tahun 2005 sampai 2013. Kesimpulan dari penelitiannya ini adalah ada indikasi desentralisasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi namun berpengaruh positif terhadap kesejahtaraan masyarakat 6. Selanjutnya tahun 2014 Muharwan melakukan penelitian terhadap pergeseran tipologi wilayah Kabupaten/Kota berdasarkan tingkat PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi serta besaran ketimpangan regional Provinsi Sumatera Barat periode sebelum pemekaran (1983-1999) dan setelah pemekaran (2000-2012). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa terjadi perubahan tipologi wilayah Kabupaten/Kota periode sebelum dan setelah pemekaran. Sedangkan 4 Bird, R.M. dan Vaillancourt, F. 2000. Fiscal Decentralization in Developing Countries. Diterjemahkan oleh: almizan ulfa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 5 Lindaman, Kara dan Kurt Thurmaier. 2002. Beyond Efficiency and Economy: An Eximination of Basic Needs and Fiscal Decentrlization. Journal of Public Economics. The University of Chicago, USA. 6 Saputra, Bambang. 2013. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Kesejahteraan Masyarakat. Jurnal Borneo Administrator / Volume 9 / No. 1 / 2013. Hal: 96-111. 3

tingkat ketimpangan regional Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat sesudah pemekaran daerah cenderung meningkat. Peningkatan angka ketimpangan daerah ini terutama disebabkan oleh disparitas investasi swasta dan dampak pemekaran daerah 7. Sesuai dengan amanat UU Nomor 22 tahun 1999 yang sudah mengalami beberapa kali perubahan terakhir dengan UU Nomor 23 tahun 2014, leading sector otonomi daerah ini adalah Kabupaten/Kota. Penekanan ini berdampak langsung terhadap kinerja dan kondisi makro ekonomi, sosial dan tata administrasi pemerintahan 8. Banyak indikator yang bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan daerah Kabupaten/Kota. Menurut Arsyad indikator tersebut antara lain pendapatan per kapita, sosial kemasyarakatan, Indeks Kualitas Hidup, Indeks Pembangunan Manusia, Net Economic Welfare 9. Sedangkan Sjafrizal mengemukakan jika dilakukan analisis terhadap fakta IPM dan APBD maka akan diperoleh gambaran, pola dan struktur pertumbuhan kesejahteraan pada daerah tersebut. Hal ini juga berlaku terhadap komponen yang lain hingga bisa digunakan oleh pemerintah daerah untuk memperkirakan prospek pertumbuhan perekonomian serta menjadi dasar dalam penentuan kebijakan daerah. 10 7 Muharwan. 2014. Analisis Ketimpangan Regional Provinsi Sumatera Barat Tahun 1983-2012. Tesis Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan. Tidak Dipublikasikan. Yogyakarta: FEB UGM. 8 Opp cit. Mardiyasmo. 2002. Hal: 6 9 Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan Edisi 5. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Hal: 31-49. 10 Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Madia. Hal: 28-29 4

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, mengembangkan sebuah indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dikompilasi secara terstruktur berdasarkan aspek geografis, aspek kesejahteraan masyarakat, aspek pelayanan umum dan aspek daya saing daerah. Empat aspek pengukuran kinerja pemerintah daerah ini dijewantahkan dalam 9 fokus kegiatan dan 246 indikator. 11 Diantara indikator-indikator pengukur kinerja daerah berdasarkan aspek kesejahteraan masyarakat menurut Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 antara lain mencakup PDRB per kapita, pendidikan, kesehatan, pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita serta pengelolaan keuangan daerah dan kerangka pendanaan. Bertitik tolak dari beberapa penelitian yang cenderung mengemukakan hasil yang beragam terhadap kinerja pemerintahan daerah dan indikator pengukur kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 maka menarik untuk melakukan penelitian terhadap Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat. Provinsi Sumatera Barat secara astronomis terletak antara 0 o 54' Lintang Utara dan 3 o 30' Lintang Selatan dan antara 98 o 36'-101 o 53' Bujur Timur. 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. 5

Berdasarkan posisi geografisnya Provinsi Sumatera Barat terletak di pesisir barat bagian tengah pulau Sumatera dan mempunyai luas wilayah sekitar 42.297,30 Km 2 atau setara 2,21 persen dari luas Republik Indonesia. Topografi provinsi ini berupa dataran rendah di pantai barat dan dataran tinggi vulkanik yang dibentuk oleh bukit barisan yang terbentang dari barat laut ke tenggara. Garis pantai bersentuhan langsung dengan samudra Indonesia sepanjang 375 km. Sumatera Barat memiliki 391 gugusan pulau dengan jumlah pulau terbanyak dimiliki oleh Kabupaten Kepulauan Mentawai, sedangkan Kabupaten Agam mempunyai pulau paling sedikit. Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki wilayah terluas, yaitu 6,01 ribu Km2 atau sekitar 14,21 persen dari luas Provinsi Sumatera Barat. Sedangkan Kota Padang Panjang, memiliki luas daerah terkecil, yakni 23,0 Km 2 (0,05 persen). 12 Batas batas administrasi Provinsi Sumatera Barat adalah : o Sebelah Utara o Sebelah Timur o Sebelah Barat : Provinsi Sumatera Utara : Provinsi Riau dan Provinsi Jambi : Samudera Indonesia o Sebelah Selatan : Provinsi Jambi dan Provinsi Bengkulu Dibawah ini ditampilkan peta administrasi Provinsi Sumatera Barat berdasarkan peta dasar yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial RI. 12 Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. 2014. Sumatera Barat Dalam Angka 2014. Padang: BPS Prov. Sumbar. Hal: 3 6

Gambar 1.1 Peta Administrasi Provinsi Sumatera Barat Sumber: Badan Informasi Geospasial RI Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2015 Tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan laporan Kementerian Dalam Negeri, tahun 2015 di provinsi Sumatera Barat terdapat 19 Kabupaten/Kota yang terdiri dari 12 Kabupaten dan 7 Kota, 179 Kecamatan, 760 Nagari, 259 kelurahan dan 126 desa. 13 Seluruh wilayah administrasi Nagari berada pada wilayah kabupaten kecuali untuk Kabupaten Kepulauan Mentawai yang memiliki wilayah administrasi terendah berupa desa, sedangkan wilayah administrasi terendah di daerah kota adalah desa/kelurahan. Pembagian wilayah Provinsi Sumatera Barat berdasarkan Kabupaten/Kota ditunjukan pada tabel 1.1 berikut: 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2015 Tentang Kode Dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan. 7

Tabel 1.1 Kabupaten/Kota Se Provinsi Sumatera Barat dan Dasar Pembentukannya NO KABUPATEN / KOTA PERATURAN TANGGAL 1 Kab. Kepulauan Mentawai UU No. 49 Tahun 1999 4 Oktober 1999 2 Kab. Pesisir Selatan UU No. 12 tahun 1956 29 Maret 1956 3 Kab. Solok UU No. 12 tahun 1956 29 Maret 1956 4 Kab. Sijunjung UU No. 12 tahun 1956 29 Maret 1956 5 Kab. Tanah Datar UU No. 12 tahun 1956 29 Maret 1956 6 Kab. Padang Pariaman UU No. 12 tahun 1956 29 Maret 1956 7 Kab. Agam UU No. 12 tahun 1956 29 Maret 1956 8 Kab. Lima Puluh Kota UU No. 12 tahun 1956 29 Maret 1956 9 Kab. Pasaman UU No. 12 tahun 1956 29 Maret 1956 10 Kab. Dharmasraya UU No. 38 Tahun 2003 18 Desember 2003 11 Kab. Solok Selatan UU No. 38 Tahun 2003 18 Desember 2003 12 Kab. Pasaman Barat UU No. 38 Tahun 2003 18 Desember 2003 13 Kota Padang UU No. 12 tahun 1956 29 Maret 1956 14 Kota Solok UU No. 8 tahun 1956 23 Maret 1956 15 Kota Sawahlunto UU No. 8 tahun 1956 23 Maret 1956 16 Kota Padang Panjang UU No. 8 tahun 1956 23 Maret 1956 17 Kota Bukittinggi UU No. 10 tahun 1948 15 April 1948 18 Kota Payakumbuh UU No. 8 tahun 1956 23 Maret 1956 19 Kota Pariaman UU No. 12 Tahun 2002 10 April 2002 Dirangkum dari berbagai sumber DASAR PEMBENTUKAN Berdasarkan tinjauan demografi, Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2013 adalah sebesar 5.066.476 jiwa yang terdiri dari 2.515.942 laki-laki dan 2.550.534 perempuan dengan rasio jenis kelamin 98,64. Tingkat kepadatan penduduk Sumatera Barat tahun 2013, rata-rata 119 orang per km 2. Kepadatan penduduk tertinggi di Kota Bukittinggi hampir mencapai 4.685 orang per km 2, sedangkan yang paling rendah terdapat di Kabupaten Kepulauan Mentawai yaitu sekitar 13 orang per km 2. Jumlah penduduk usia kerja mencapai 3,52 juta orang 14. Tabel 1.2 dibawah ini menggambarkan jumlah dan pertumbuhan Penduduk Kabupaten/Kota se-provinsi Sumatera Barat Tahun 2005 2013. 14 Ibid. Hal: 99. 8

Tabel 1.2 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005 2013 No Tahun Penduduk (Jiwa) pertumbuhan (persen) 1 2005 4,603,957-2 2006 4,632,152 0.61 3 2007 4,697,764 1.42 4 2008 4,766,130 1.46 5 2009 4,831,179 1.36 6 2010 4,849,490 0.38 7 2011 4,904,785 1.14 8 2012 4,957,719 1.08 9 2013 5,066,476 2.19 Sumber : BPS Prov. Sumbar. Sumatera Barat Dalam Angka. berbagai tahun terbit (diolah) Dari sisi perkembangan ekonomi, Sumatera Barat sepuluh tahun terakhir mengalami percepatan yang cukup meyakinkan, laju pertumbuhan ekonomi tahun 2013 mencapai 6,18 persen, lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 5,58 persen. Perbandingan pertumbuhan ekonomi Sumbar dan Nasional Tahun 2005 2013 ditampilkan pada gambar 1.2 berikut. Gambar 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Prov. Sumatera Barat terhadap Nasional Tahun 2005-2013 Ditinjau dari sisi lapangan usaha, umumnya PDRB Provinsi Sumatera Barat tahun 2005 2013 dominan dibentuk oleh sektor primer dan sektor tersier. Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB, diikuti sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor jasa-jasa dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Peranan keempat sektor tersebut mencapai 72,98 persen dari total 9

perekonomian Provinsi Sumatera Barat. Sektor pembentuk PDRB disajikan dalam tabel 1.3 berikut. No Tabel 1.3 Peranan Sektor Ekonomi Dalam PDRB Provinsi Sumatera Barat Menurut Lapangan Usaha ADHK 2000 Tahun 2005 2013 Lapangan Usaha Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Rata - rata 1 Pertanian 25.01 24.74 24.42 24.10 23.92 23.50 22.97 22.58 22.03 23.70 Pertambangan dan 2 Penggalian 3.26 3.17 3.13 3.09 3.10 3.10 3.02 2.96 2.85 3.08 3 Industri Pengolahan 13.06 12.86 12.79 12.82 12.73 12.32 12.13 11.87 11.72 12.48 Listrik, Gas dan Air 4 Minum 1.16 1.19 1.20 1.16 1.18 1.14 1.11 1.09 1.07 1.14 Bangunan dan 5 Konstruksi 4.94 4.99 4.94 4.98 4.97 5.33 5.47 5.55 5.67 5.20 Perdagangan, Hotel 6 dan Restoran 18.20 18.30 18.40 18.38 18.29 17.86 17.97 18.21 18.45 18.23 Pengangkutan dan 7 Komunikasi 12.88 13.38 13.75 14.10 14.33 14.84 15.19 15.47 15.77 14.41 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa 5.02 5.10 5.14 5.20 5.18 5.17 5.09 5.07 5.08 5.12 9 Jasa - jasa 16.47 16.27 16.22 16.18 16.31 16.74 17.04 17.19 17.36 16.64 PDRB 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 Sumber : BPS Prov Sumbar. Sumatera Barat Dalam Angka. Beberapa Tahun Terbitan (Diolah) Secara lengkap struktur ekonomi Sumatera Barat Tahun 2005-2013 dapat dilihat pada gambar 1.3 di bawah ini. Gambar 1.3 Rata-rata Struktur Ekonomi Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2013 Sumber: BPS. 2014. Tinjauan Regional berdasarkan PDRB Kabupate/Kota 2010-2013. 10

Kemampuan keuangan daerah yang dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal ini menyebabkan disparitas pembangunan yang antara lain dapat dilihat dari keragaman sumbangan masing masing Kabupaten/Kota terhadap pembentukan PDRB Provinsi Sumatera Barat. Data PDRB menurut harga berlaku dan konstan untuk tahun 2012 dan 2013 dapat dilihat pada tabel 1.4 berikut. Tabel 1.4 Pendapatan Domestik Regional Bruto Kabupaten/ Kota se Sumatera Barat (Dalam Juta Rupiah) No. Kabupaten / Kota PDRB ADHB PDRB per Kapita ADHB PDRB ADHK 2000 PDRB per Kapita ADHK 2000 2012 2013 * 2012 2013 * 2012 2013 * 2012 2013 * 1 Kab. Kep. Mentawai 1,834,891 2,077,050 22.84 26.46 589,972 622,479 7.37 7.61 2 Kab. Pesisir Selatan 7,358,981 8,207,783 16.77 18.54 2,349,536 2,487,508 5.35 5.62 3 Kab. Solok 7,639,253 8,451,266 21.51 23.58 2,448,011 2,602,066 6.88 7.26 4 Kab. Sijunjung 5,176,467 5,755,004 24.57 26.82 1,506,770 1,599,143 7.15 7.45 5 Kab. Tanah Datar 7,406,291 8,163,913 21.66 23.81 2,924,847 3,098,430 8.55 9.04 6 Kab. Padang Pariaman 10,639,391 12,277,885 26.72 30.72 3,238,016 3,454,100 8.13 8.62 7 Kab. Agam 11,223,137 12,535,204 24.13 26.73 3,502,846 3,725,541 7.53 7.94 8 Kab. Lima Puluh Kota 8,529,369 9,521,371 23.84 26.33 3,219,860 3,421,606 9.00 9.46 9 Kab. Pasaman 4,778,033 5,282,185 18.33 20.02 1,541,993 1,636,516 5.91 6.20 10 Kab. Dharmasraya 5,161,330 5,741,294 28.07 30.51 1,316,136 1,402,405 6.44 6.66 11 Kab. Solok Selatan 3,090,220 3,434,161 20.48 22.31 740,174 787,261 4.91 5.12 12 Kab. Pasaman Barat 8,641,546 9,614,120 22.49 24.47 3,067,381 3,268,006 7.98 8.32 13 Kota Padang 32,779,054 36,634,160 37.97 41.79 13,637,633 14,516,708 15.80 16.56 14 Kota Solok 2,157,621 2,419,484 34.69 38.08 594,698 632,753 9.56 9.96 15 Kota Sawahlunto 2,102,672 2,317,700 35.99 39.30 582,969 617,979 9.98 10.47 16 Kota Padang Panjang 1,899,568 2,095,550 38.99 42.30 474,561 503,718 9.74 10.18 17 Kota Bukittinggi 4,487,879 5,023,309 38.66 42.48 1,163,141 1,235,499 10.02 10.44 18 Kota Payakumbuh 3,313,642 3,703,261 28.55 31.31 994,371 1,061,215 8.18 8.58 19 Kota Pariaman 2,702,077 3,022,081 33.15 36.57 810,844 859,890 9.95 10.41 Sumber: BPS 2015, PDRB Masing-masing Kabupaten/Kota (diolah) Ket: * Data sementara Dari tabel 1.4 dapat diketahui bahwa Kota Padang merupakan penyumbang terbesar PDRB Provinsi Sumatera Barat yaitu lebih dari 30 persen. 11

Sedangkan Kota Padang Panjang memberikan sumbangan terkecil yaitu sekitar 1 persen. Pendapatan per kapita terbesar diperoleh oleh Kota Padang dan terkecil oleh Kabupaten Solok Selatan. Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat merasakan dampak yang tidak sama terhadap pelaksanaan pembangunan daerah ini. Masing-masing Kabupaten/Kota memiliki karakteristik yang unik untuk diteliti karena pertama, disparitas kemampuan fiskal daerah Kabupaten/Kota se Sumatera Barat cukup tinggi. Kesenjangan ini bukan disebabkan oleh ketimpangan penguasaan sumber daya alam antar daerah, karena umumnya Provinsi Sumatera Barat tidak memiliki cadangan SDA yang besar. Kondisi ini justru mendorong masing masing Kabupaten/Kota untuk menggali sektor sektor andalan yang berpotensi menjadi penghasil PDRB bagi daerah tersebut. Kedua, tumbuhnya 4 Kabupaten dan 1 Kota sebagai daerah otonomi baru (DOB) sesudah era otonomi daerah cenderung belum memiliki basis ekonomi dan kinerja yang solid. Kegagalan DOB ini dalam memberikan performa terbaik karena umumnya semangat pemekaran lebih didasari pengembangan birokrasi dan kelembagaan pemerintah lokal daripada tujuan pelayanan terhadap masyarakat. 15 Indikator yang sering dipakai untuk melihat kinerja makro ekonomi pemerintah daerah adalah analisis terhadap seluruh produksi yang dihasilkan dibagi dengan jumlah penduduknya dalam periode 1 tahun yang disebut dengan Pendapatan Domestik Regional Bruto per kapita (PDRB-PK). Pertumbuhan 15 Dwiyanto, Agus. 2009. Revisi UU 32/2004: Latar Belakang dan Arah Perubahan dalam Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. 59-79. Hal: 64. Yogyakarta: Gava Media. 12

ekonomi terjadi jika jumlah pendapatan total dan jumlah pengeluaran total dari tiap orang yang terlibat dalam perekonomian lebih baik daripada tahun sebelumnya. PDRB-PK Kabupaten/Kota se- Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005 2013 sebagaimana ditunjukan dalam gambar 1.4 dibawah ini: Gambar 1.4 Rata rata Pendapatan Domestik Regional Bruto per Kapita Atas dasar Harga Konstan 2000 Kabupaten/ Kota se- Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2013 PDRB-PK identik dengan rata-rata produksi yang dibandingkan dengan jumlah penduduk. Untuk wilayah Sumatera Barat, rata-rata PDRB-PK tertinggi didapatkan Kota Padang yaitu sebesar Rp. 13.923.615,52 dan terendah adalah Kabupaten Solok Selatan sebesar Rp. 4.330.778,57 Kinerja pembangunan daerah juga bisa diukur dari hasil penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD merupakan rancangan keuangan tahunan pemerintah daerah yang diajukan oleh eksekutif kepada legislatif daerah untuk dibahas dan ditetapkan dalam suatu Peraturan Daerah. APBD memuat arah kebijakan Pemerintah Daerah khususnya sektor ekonomi untuk periode satu tahun kedepan. 13

Realisasi APBD merupakan salah satu instrumen yang dipakai sebagai tolok ukur dan pedoman dalam peningkatan kualitas pelayanan umum kepada masyarakat, menstabilkan kondisi perekonomian daerah, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah 16. APBD juga merupakan alat kontrol dari pemerintah pusat /Provinsi terhadap pola pembanguna dan keuangan Kabupaten/Kota. Hal ini dilakukan dengan mekanisme transfer dana pusat dan provinsi yang mengaitkan pendistribusian anggaran ke pemerintah daerah dengan syarat syarat tertentu. Gambar 1.5 berikut menyajikan rangkuman Realisasi APBD Kabupaten/ Kota se- Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2013. Gambar 1.5 Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota se Sumatera Barat Tahun 2005-2013 (Dalam Juta Rupiah) Pada gambar 1.5 dapat diketahui bahwa kinerja pemerintah Kabupaten/ Kota dalam merealisasikan APBD periode 2005-2013 cukup beragam. Daerah dengan rata rata penyerapan APBD tertinggi adalah Kota Padang sebesar Rp. 16 Nirzawan. 2004. Tinjauan Umum Terhadap Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Bengkulu Utara. Dalam Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Hal: 67-80. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Hal: 67. 14

1.125.499.977.561,-. Sedangkan rata rata terendah terjadi pada Kota Sawahlunto yang hanya mampu menyerap APBD sebesar Rp. 335.301.823.213,- Ditinjau dari sisi kemandirian keuangan pemerintah daerah, Penyerahan tanggung jawab pembangunan menimbulkan sebuah konsekuensi bahwa pemerintah daerah dituntut untuk mampu menjalankan roda pemerintahan dan membiayai pembangunan dengan sumber dana semaksimal mungkin berasal dari Pendapatan Asli Daerah itu sendiri. Rondinelli dalam Harris mengemukakan bahwa inti dari desentralisasi adalah kemampuan daerah untuk membiayai rumah tangganya. Hingga dalam hal ini PAD memegang peranan yang sangat penting 17. Untuk meningkatkan kemampuan fiskal Kabupaten/Kota maka rasio PAD Kabupaten/Kota harus lebih dominan daripada transfer dana dari pusat/provinsi dalam pembentukan pendapatan daerah. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD) ini berbanding terbalik dengan tingkat ketergantungan pemerintah Kabupaten/Kota terhadap dana dari eksternal. RKKD juga menggambarkan derajat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan di daerah khususnya dalam tingkat realisasi pembayaran pajak dan retribusi daerah. Secara umum RKKD Kabupaten/Kota se- Provinsi Sumatera Barat mengalami penurunan dengan jumlah yang tidak terlalu besar. Pada tahun 2005 rata rata RKKD Kabupaten/Kota se- Sumatera Barat adalah sebesar 7,44 persen dan tahun 2013 menjadi 6,82 persen. Rata rata RKKD tertinggi diperoleh Kota Padang sebesar 15,55 persen dan terendah terjadi pada Kabupaten Pesisir Selatan sebesar 3,38 persen. Secara 17 Syamsuddin Haris. 2001. Paradigma Baru Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI. 15

rinci RKKD Kabupaten/Kota se- Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005 2013 sebagaimana ditunjukan dalam gambar 1.6: Gambar 1.6 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten/Kota se- Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2013 Selain indikator PDRB-PK, pertumbuhan realisasi APBD dan RKKD, alat ukur lain yang bisa digunakan untuk menghitung pembangunan sosial kemasyarakatan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut konsep yang dikembangkan oleh Amartya Sen dan Mahbub ul Haq, manusia ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end), sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Sen berpendapat bahwa esensi dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi penduduknya untuk menikmati umur panjang, sehat dan menjalankan kehidupan yang produktif. 18 Sejak tahun 1990 Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) dari Amartya Sen dan Mahbub ul Haq ini digunakan dan 18 http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4077. Diakses tanggal 18Agustus 2015 16

dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) sebagai indikator untuk mengukur pembangunan manusia. IPM juga digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk mengukur kinerja pemerintah daerah. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota se- Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005 2013 sebagaimana ditunjukan dalam tabel 1.7 dibawah ini: Tabel 1.7 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/ Kota se- Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2013 Data statistik diatas seyogyanya bisa menggambarkan bahwa terjadi permasalahan terhadap kinerja pemerintah daerah di Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat. Permasalahan ini mengakibatkan hasil pembangunan tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh daerah. Beberapa Kabupaten/Kota dapat merasakan pertumbuhan dan pembangunan secara hal maksimal yang antara lain terlihat dari meningkatnya kesejahteraan dan tersedianya lapangan kerja yang memadai, hal ini tidak dirasakan oleh sebagian Kabupaten/Kota. Ketimpangan antar daerah ini umumnya disebabkan oleh perbedaan penguasaan Sumber Daya Alam, kondisi sosial kemasyarakatan (demografi), kelancaran mobilitas barang dan jasa, perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi 17

daerah, alokasi dana pembangunan antar daerah dan kemampuan daerah melakukan proses pembangunan yang mengakibatkan perbedaan tingkat kesejahteraan antar wilayah. 19 Eksplorasi yang komprehensif terhadap beberapa indikator outcome kinerja pemerintah daerah seperti yang dinyatakan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 dalam hal PDRB-PK, pertumbuhan realisasi APBD, RKKD dan IPM yang diproyeksikan pada PDRB Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat diharapkan dapat membuat sebuah klasifikasi Kabupaten/Kota berdasarkan aspek ekonomi dan sosial. Selanjutnya dengan menganalisis pendapatan per kapita dan jumlah penduduk bisa terlihat besaran ketimpangan regional Provinsi Sumatera Barat. 1.2. PERUMUSAN MASALAH Dari latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana kinerja daerah Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat. Rumusan masalah tersebut akan dijawab melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana klasifikasi Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat pada periode 2005 2013 berdasarkan PDRB-PK, pertumbuhan realisasi APBD, RKKD dan IPM sehingga dapat dirancang pola pembangunan yang terarah dan sesuai dengan kebutuhan daerah? 19 Opp. Cit. Sjafrizal. 2008. Hal: 104 18

2. Bagaimana tingkat ketimpangan wilayah pada Kabupaten /Kota se Sumatera Barat pada periode 2005 2013 serta faktor-faktor penyebab? 1.3. TUJUAN PENELITIAN Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui klasifikasi Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat berdasarkan PDRB-PK, pertumbuhan realisasi APBD, RKKD dan IPM pada periode 2005-2013 sehingga dapat digunakan sebagai dasar menentukan prioritas pengembangan wilayah. 2. Mengetahui tingkat ketimpangan regional serta faktor-faktor penyebabnya pada Kabupaten /Kota se Sumatera Barat pada periode 2005 2013 sehingga dapat dirancang kebijakan untuk mempercepat kegiatan pertumbuhan dan perkembangan didaerah tertinggal tanpa harus menghambat pembangunan didaerah yang sudah maju. 3. Mengetahui potensi perkembangan wilayah Kabupaten/Kota berdasarkan kinerja perekonomian dan sosial masing-masing daerah sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pembuatan kebijakan dan program pembangunan atau pengembangan wilayah. 4. Pada akhirnya peneliti berharap dapat memperoleh gambaran mengenai kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta perbaikan terhadap tata kelola pemerintahan (good governance). 19

1.4. MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Manfaat Akademis Sebagai bahan masukan yang bermanfaat untuk mengembangkan ilmu administrasi publik, terutama yang terkait dengan pengukuran kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat melalui indikator PDRB-PK, pertumbuhan realisasi APBD, RKKD dan IPM. 2. Manfaat Praktis Dengan melakukan pengklasifikasian terhadap Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat serta mengetahui tingkat ketimpangan regional maka diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam membuat kebijakan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masingmasing daerah. 1.5. SISTEMATIKA PENULISAN Tesis ini terdiri dari lima bab, yaitu pengantar, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, analisis dan pembahasan serta penutup. Rincian lebih lanjut dari masing-masing bab adalah sebagai berikut ini. BAB I PENGANTAR. Berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berisi tinjauan pustaka yang menguraikan berbagai teori dan studi empiris yang berhubungan dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, landasan teori yang 20

digunakan serta kaitan pertumbuhan ekonomi dengan dengan PDRB- PK, pertumbuhan realisasi APBD, RKKD dan IPM. BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Menguraikan tentang ruang lingkup penelitian, jenis penelitian, deskripsi data, definisi operasional variabel yang diamati dan metode analisis data. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Menguraikan tentang analisis serta pembahasan terhadap masing masing indikator yang diteliti. BAB V PENUTUP. Menguraikan tentang kesimpulan, implikasi kebijakan, keterbatasan penelitian dan saran-saran yang ditujukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam penetapan kebijakan untuk meningkatkan kinerja Pemerintah Daerah. 21