BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA. aspal keras produksi Pertamina. Hasil Pengujian aspal dapat dilihat pada Tabel 4.1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang terletak pada lapis paling atas dari bahan jalan dan terbuat dari bahan khusus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013)

3.1 Lataston atau Hot Rolled Sheet

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melebihi daya dukung tanah yang diijinkan (Sukirman, 1992).

BAB III LANDASAN TEORI

Berdasarkan bahan pengikatnya konstmksi perkerasanjalan dapat dibedakan atas:

BAB III LANDASAN TEORI. bergradasi baik yang dicampur dengan penetration grade aspal. Kekuatan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Agus Fanani Setya Budi 1, Ferdinan Nikson Liem 2, Koilal Alokabel 3, Fanny Toelle 4

PENGARUH VARIASI KANDUNGAN BAHAN PENGISI TERHADAP KRITERIA MARSHALL PADA CAMPURAN LAPIS ASPAL BETON-LAPIS ANTARA BERGRADASI HALUS

Jurnal Sipil Statik Vol.3 No.4 April 2015 ( ) ISSN:

PENGARUH KEPADATAN MUTLAK TERHADAP KEKUATAN CAMPURAN ASPAL PADA LAPISAN PERMUKAAN HRS-WC

BAB III LANDASAN TEORI. dari campuran aspal keras dan agregat yang bergradasi menerus (well graded)

Bab IV Penyajian Data dan Analisis

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK AGREGAT KASAR PULAU JAWA DENGAN AGREGAT LUAR PULAU JAWA DITINJAU DARI KEKUATAN CAMPURAN PERKERASAN LENTUR

KAJIAN LABORATORIUM PENGGUNAAN MATERIAL AGREGAT BERSUMBER DARI KAKI GUNUNG SOPUTAN UNTUK CAMPURAN BERASPAL PANAS

Spesifikasi lapis tipis aspal pasir (Latasir)

BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA. penetrasi, uji titik nyala, berat jenis, daktilitas dan titik lembek. Tabel 4.1 Hasil uji berat jenis Aspal pen 60/70

BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN

1. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi pada zaman sekarang,

METODOLOGI PENELITIAN

Gambar 2.1 Lapis Perkerasan Jalan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. mengizinkan terjadinya deformasi vertikal akibat beban lalu lintas yang terjadi.

Studi Penggunaan Aspal Modifikasi Dengan Getah Pinus Pada Campuran Beton Aspal

PENGARUH GRADASI AGREGAT TERHADAP NILAI KARAKTERISTIK ASPAL BETON (AC-BC) Sumiati 1 ), Sukarman 2 )

ANALISIS KARAKTERISTIK CAMPURAN ASPHALT CONCRETE- BINDER COURSE (AC-BC) DENGAN MENGGUNAKAN ASPAL RETONA BLEND 55 TUGAS AKHIR

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i UCAPAN TERIMA KASIH... ii ABSTRAK... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR TABEL... ix

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan yang berarti. Agar perkerasan jalan yang sesuai dengan mutu yang

BAB III LANDASAN TEORI

Jurnal Sipil Statik Vol.5 No.1 Februari 2017 (1-10) ISSN:

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik

PENGARUH LIMBAH BAJA ( STEEL SLAG ) SEBAGAI PENGGANTI AGREGAT KASAR NO. ½ DAN NO.8 PADA CAMPURAN HRS-WC TERHADAP KARAKTERISTIK MARSHALL 1

PENGARUH VARIASI RATIO FILLER-BITUMEN CONTENT PADA CAMPURAN BERASPAL PANAS JENIS LAPIS TIPIS ASPAL BETON-LAPIS PONDASI GRADASI SENJANG

KAJIAN PROPERTIES DARI AGREGAT BATU GUNUNG YANG DIGUNAKAN SEBAGAI MATERIAL CAMPURAN BERASPAL

PENGARUH PENGGUNAAN AGREGAT HALUS (PASIR BESI) PASUR BLITAR TERHADAP KINERJA HOT ROLLED SHEET (HRS) Rifan Yuniartanto, S.T.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini :

BAB III LANDASAN TEORI

(Data Hasil Pengujian Agregat Dan Aspal)

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Bagan Alir Penelitian. Mulai. Studi Pustaka. Persiapan Alat dan Bahan. Pengujian Bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL PERENCANAAN GRADASI AGREGAT CAMPURAN. dari satu fraksi agregat yang penggabungannya menggunakan cara analitis.

DAFTAR ISI UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1.a. Bagan Alir Penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini :

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Jurnal Sipil Statik Vol.4 No.12 Desember 2016 ( ) ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, sampai ditemukannya kendaraan bermotor oleh Gofflieb Daimler dan

BAB III METODE PENELITIAN. aspal dan bahan tambah sebagai filler berupa abu vulkanik.

BAB IV HASIL ANALISA DAN DATA Uji Berat Jenis dan Penyerapan Agregat Kasar

HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK MARSHALL ASPHALT CONCRETE-BINDER COURSE (AC-BC) DENGAN MENGGUNAKAN LIMBAH BETON SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN AGREGAT KASAR

Jurnal Sipil Statik Vol.4 No.7 Juli 2016 ( ) ISSN:

ANALISA KARAKTERISTIK CAMPURAN ASPAL EMULSI DINGIN DAN PERBANDINGAN STABILITAS ASPAL EMULSI DINGIN DENGAN LASTON

BAB II KERANGKA TEORITIS. terletak diantara lapisan dasar tanah dan roda kendaraan, yang berfungsi

PENGARUH PERUBAHAN RASIO ANTARA FILLER DENGAN BITUMEN EFEKTIF TERHADAP KRITERIA MARSHALL PADA CAMPURAN LASTON JENIS LAPIS AUS

PEMANFAATAN TRAS SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN PADA AGREGAT HALUS DALAM CAMPURAN ASPAL PANAS HRS-WC SEMI SENJANG

PENGARUH KEPIPIHAN DAN KELONJONGAN AGREGAT TERHADAP PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMANFAATAN TANAH DOMATO SEBAGAI FILLER DALAM CAMPURAN ASPAL PANAS HRS-WC

TINJAUAN PUSTAKA. perkerasan lentur, perkerasan kaku, dan perkerasan komposit. Secara umum

METODOLOGI PENELITIAN. untuk campuran lapis aspal beton Asphalt Concrete Binder Course (AC-

BAB IV. HASIL dan ANALISA Pemeriksaan Berat Jenis dan Penyerapan Agregat Kasar

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inti Jalan Raya Fakultas Teknik. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung.

KINERJA CAMPURAN SPLIT MASTIC ASPHALT SEBAGAI LAPISAN WEARING COURSE (WC)

Gambar 4.1. Bagan Alir Penelitian

PEMANFAATAN LIMBAH ABU SERBUK KAYU SEBAGAI MATERIAL PENGISI CAMPURAN LATASTON TIPE B

BAB III METODE PENELITIAN. perihal pengaruh panjang serabut kelapa sebagai bahan modifier pada campuran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JURNAL PORTAL, ISSN , Volume 4 No. 1, April 2012, halaman: 1

STUDI PARAMETER MARSHALL CAMPURAN LASTON BERGRADASI AC-WC MENGGUNAKAN PASIR SUNGAI CIKAPUNDUNG Disusun oleh: Th. Jimmy Christian NRP:

BAB 1. PENDAHULUAN. Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan yang terletak diantara

BAB III METODELOGI PENELITIAN. (AASHTO,1998) dan Spesifikasi Umum Bidang Jalan dan Jembatan tahun 2010.

KAJIAN KINERJA CAMPURAN BERASPAL PANAS JENIS LAPIS ASPAL BETON SEBAGAI LAPIS AUS BERGRADASI KASAR DAN HALUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL

LAPISAN STRUKTUR PERKERASAN JALAN

PENGARUH GRADASI AGREGAT TERHADAP KEDALAMAN ALUR RODA PADA CAMPURAN BETON ASPAL PANAS

NASKAH SEMINAR INTISARI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat

METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN STABILITAS PADA LAPISAN AUS DENGA MENGGUNAKAN LIMBAH BETON SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN AGREGAT KASAR

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL ANALISA DAN DATA

berlemak, larut dalam CCU serta tidak larut dalam air. Jika dipanaskan sampai suatu

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Konstruksi perkerasan lentur ( Flexible pavement), yaitu perkerasan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BATU KAPUR BATURAJA SEBAGAI FILLER PADA LAPIS ASPHALT CONCRETE-BINDER COURSE (AC-BC) CAMPURAN PANAS. Hamdi Arfan Hasan Sudarmadji

VARIASI AGREGAT LONJONG PADA AGREGAT KASAR TERHADAP KARAKTERISTIK LAPISAN ASPAL BETON (LASTON) I Made Agus Ariawan 1 1

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I Made Agus Ariawan 1 ABSTRAK 1. PENDAHULUAN. 2. METODE Asphalt Concrete - Binder Course (AC BC)

Vol.16 No.2. Agustus 2014 Jurnal Momentum ISSN : X

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan sangat penting dalam sektor perhubungan. Kebutuhan jalan sangat diperlukan guna menumpang laju pertumbuhan penduduk yang diiringi dengan laju pertumbuhan ekonomi pula. 2.1 Perkerasan Jalan Perkerasan jalan adalah sistem perkerasan dimana konstruksinya terdiri dari beberapa lapisan. Tiap tiap lapisan perkerasan pada umumnya menggunakan bahan maupun persyaratan yang berbeda sesuai dengan fungsinya yaitu untuk menyebarkan beban roda kendaraan sehingga dapat ditahan oleh tanah dasar dalam batas daya dukungnya. Umumnya bagian bagian lapisan perkerasan tersebut terdiri dari tanah dasar (Subgrade), lapisan pondasi bawah (Subbase Course), lapisan pondasi atas (Base Course) dan lapisan permukaan (Surface Course). Lapisan permukaan harus mampu menerima seluruh jenis gaya yang bekerja, lapis pondasi atas menerima gaya vertikal dan getaran, sedangkan tanah dasar dianggap hanya menerima gaya vertikal saja. Oleh karena itu terdapat perbedaan syarat syarat yang harus dipenuhi oleh masing masing lapisan. Menurut Silvia Sukirman, berdasarkan bahan pengikat yang digunakan untuk membentuk lapisan atas, perkerasan jalan dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : 2.1.1 Perkerasan Lentur Perkerasan lentur adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat lapisannya. Pada umumnya digunakan pada jalan yang melayani beban lalu lintas ringan atau sedang, seperti : jalan pada perkotaan. II-1

Beban Roda Surface Coarse Distribusi Beban Base Coarse Sub Base Coarse Distribusi Beban Sub Grade Gambar 2.1 Contoh Lapis Perkerasan Lentur Dan Pendistribusian Beban 2.1.2 Perkerasan Kaku Perkersan kaku adalah perkerasan yang mempunyai lapisan dasar beton dan Portland Cement (PC) sebagai bahan pengikat. Pada umumnya perkerasan kaku ini digunakan untuk jalan dengan volume tingkat lalu lintas tinggi yang didominasi oleh kendaraan berat. Beban Roda Distribusi Beban Concrete Slab Sub Base Coarse Sub Grade Gambar 2.2 Contoh Lapis Perkerasan Kaku Dan Pendistribusian Beban 2.1.3 Perkerasan Komposit Perkerasan komposit merupakan gabungan dari struktur lapisan perkerasan lentur dan struktur lapisan perkerasan kaku. Dimana perkerasan kaku dengan pelat beton sebagai lapis pondasi dan aspal sebagai lapis permukaan. II-2

Surface Coarse Concrete Slab Base Coarse Sub Base Coarse Sub Grade Gambar 2.3 Contoh Lapis Perkerasan Komposit 2.2 Jenis Dan Fungsi Lapisan Perkerasan 2.2.1 Lapisan Permukaan (Surface Course) Lapisan permukaan adalah lapisan yang terletak paling atas dari struktur perkerasan jalan, yang berfungsi antara lain sebagai berikut : a. Lapis perkerasan penahan beban kendaraan, lapisan ini mempunyai stabilitas tinggi untuk menahan beban kendaraan selama masa pelayanan. b. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap kelapisan di bawahnya dan melemahkan lapisan tersebut. c. Lapis aus (wearing course), lapisan yang langsung menerima gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus. d. Lapis yang menyebarkan beban ke lapis bawah, sehingga dapat dipikul oleh lapisan lain yang mempunyai daya dukung yang lebih rendah. Guna dapat memenuhi fungsi tersebut diatas, pada umumnya lapisan permukaan dibuat dengan menggunakan bahan pengikat aspal sehingga menghasilkan lapisan yang kedap air dengan stabilitas yang tinggi dan daya tahan yang lama. II-3

Jenis jenis lapisan permukaan yang pada umumnya sering digunakan di Indonesia, antara lain : a. Lapisan yang bersifat non structural, yang berfungsi sebagai lapisan aus dan kedap air. Jenis perkerasan ini terutama digunakan untuk pemeliharaan jalan. BURTU (Lapisan Aspal Satu Lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi seragam dengan tebal maksimum 2 cm. BURDA (Laburan Aspal Dua Lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal ditaburi agregat yang dikerjakan dua kali secara berurutan dengan tebal padat maksimum 3,5 cm. LATASIR (Lapis Tipis Aspal Pasir), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal dan pasir alam bergradasi menerus dicampur, dihamparkan dan dipadatkan pada suhu tertentu dengan tebal padat 1 2 cm. BURAS (Laburan Aspal), merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan aspal taburan pasir dengan ukuran butir maksimal 3 / 8 inchi. LATASBUM (Lapis Tipis Asbuton Murni), merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran asbuton dan bahan pelunak dengan perbandingan tertentu yang dicampur secara dingin dengan tebal maksimum 1 cm. LATASTON (Lapisan Tipis Aspal Beton), dikenal dengan nama Roll Hot Sheet (RHS), merupakan lapisan penutup yang terdiri dari campuran antara agregat bergradasi timpang, mineral pengisi (filler) dan aspal keras dengan perbandingan tertentu, yang dicampur dan dipadatkan II-4

dalam keadaan panas. Yang memiliki tebal padat antara 2,5 3 cm. b. Lapisan yang bersifat struktural, berfungsi sebagai lapisan yang menahan dan meyebarkan beban roda. Penetrasi Macadam (LAPEN), merupakan lapis perkerasan yang terdiri dari agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi terbuka dan seragam yang diikat oleh aspal dengan cara disemprotkan diatasnya dan dipadatkan lapis demi lapis. Diatas LAPEN biasanya diberi laburan aspal dengan agregat penutup. Tebal masing masing lapisan antara 4 10 cm. LASBUTAG, merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri dari campuran antara agregat, asbuton dan bahan pelunak yang diaduk, dihampar dan dipadatkan secara dingin. Tebal padat tiap lapisan antara 3 5 cm. LASTON (Lapisan Aspal Beton), merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri dari campuran aspal keras dan agregat yang mempunyai gradasi menerus, dicampur, dihamparkan dipadatkan pada suhu tertentu. 2.2.2 Lapisan Pondasi Atas (Base Course) Lapisan pondasi atas adalah lapisan perkerasan yang terletak di antara pondasi bawah dan lapis permukaan, yang berfungsi antara lain sebagai berikut : a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya. b. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah. c. Bantalan terhadap lapisan permukaan. Material yang akan digunakan untuk lapisan pondasi atas adalah material yang cukup kuat. Untuk lapis pondasi atas tanpa bahan pengikat umumnya menggunakan material dengan CBR > 50% dan Plastisitas II-5

Indeks (PI) < 4%, seperti : batu pecah, kerikil pecah dan tanah dengan stabilitas semen dan kapur. 2.2.3 Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course) Lapisan pondasi bawah adalah lapisan perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi atas dan tanah dasar, yang berfungsi antara lain sebagai berikut : a. Menyebarkan beban roda ketanah dasar. Lapisan ini harus cukup kuat, mempunyai CBR 20% dan Plastisitas Indeks (PI) 10 %. b. Mengurangi tebal lapisan diatasnya lebih mahal. c. Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi. d. Mencegah partikel partikel halus dari tanah dasar naik ke pondasi atas. 2.2.4 Lapisan Tanah Dasar (Subgrade) Lapisan tanah dasar adalah lapisan atas tanah setebal 50 100 cm yang dimana akan diletakkan lapisan pondasi bawah. Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah aslinya baik, tanah yang didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan atau tanah yang distabilisasi dengan kapur atau bahan lainnya. Pemadatan yang baik diperoleh jika dilakukan pada kadar air optimum dan diusahakan kadar air tersebut konstan selama umur rencana. Hal ini dapat dicapai dengan kelengkapan drainase yang memenuhi syarat. Ditinjau dari muka tanah asli, maka lapisan tanah dasar dibedakan menjadi : a. Lapisan tanah dasar, tanah galian b. Lapisan tanah dasar, tanah timbunan c. Lapisan tanah dasar, tanah asli II-6

Tanah dasar tanah galian Tanah dasar tanah timbunan Tanah dasar tanah asli Gambar 2.4 Macam Lapisan Tanah Dasar Sebelum diletakan lapisan lapisan lainnya, tanah dasar dipadatkan terlebih dahulu sehingga tercapai kestabilan yang tinggi terhadap perubahan volume. 2.3 Campuran Aspal Beton Campuran aspal beton adalah campuran perkerasan jalan yang terdiri dari campuran agregat dan aspal, dengan atau tanpa bahan tambah. Campuran aspal beton yang digunakan sebagai lapisan perkerasan jalan memiliki berbagai macam jenis. Jenis campuran aspal beton tersebut terdiri dari latasir, lataston dan laston. Untuk lebih jelasnya diuraikan pada tabel 2.1 berikut ini : Tabel 2.1 Jenis Campuran Aspal Beton Jenis Campuran Definisi Latasir Kelas A Latasir kelas A dan B adalah lapis penutup SS A, tebal minimum 1,5 cm permukaan jalan yang terdiri dari aspal keras, Latasir Kelas B agregat halus dan pasir bergradasi menerus. SS B, tebal minimum 2 cm Lataston Lataston adalah lapis penutup yang terdiri dari HRS WC, tebal minimum 3,0 cm agregat bergradasi timpang, filler dan aspal HRS Base, tebal minimum 3,5 cm keras. Laston Laston adalah lapisan pada konstruksi jalan AC WC, tebal minimum 4,0 cm yang terdiri dari aspal keras dan agregat yang AC BC, tebal minimum 5,0 cm mempunyai gradasi menerus. AC Base, tebal minimum 6,0 cm II-7

2.4 Persyaratan Campuran Aspal Beton Pada campuran beraspal terdiri dari mineral agregat dan aspal, dalam beberapa hal diperlukan bahan pengisi tambahan (filler) untuk memenuhi tercapainya sifat sifat campuran sebagaimana tercantum dalam tabel 2.2 berikut ini. Tabel 2.2 Ketentuan Sifat Sifat Campuran Beraspal Sifat Campuran Latasir Lataston Laston Kelas A & B WC Base WC BC Base Penyerapan kadar aspal Max 2,0 1,2 untuk lalu lintas > 1.000.000 ESA 1,7 untuk lalu lintas < 1.000.000 ESA Jumlah tumbukan per bidang 50 75 112 Rongga dalam campuran Min 3,0 3,0 3,5 (VIM) % Max 6,0 6,0 5,5 Rongga dalam agregat (VMA) % Min 20 18 17 15 14 13 Rongga terisi aspal (%) Min 75 68 65 63 60 Stabilitas marshall (kg) Min 200 800 1500 Max Kelelehan (Flow) mm Min 2 3 5 Max 3 Marshall quotient ( kg / mm ) Min 80 250 300 Stabilitas marshall sisa setelah perendaman Min 75 selama 24 jam 60 0 C Rongga dalam campuran (%) pada kepadatan membal (refusal) Min 2 2,5 II-8

2.5 Bahan Campuran Aspal Beton Bahan yang digunakan dalam pembuatan aspal beton adalah : 2.5.1 Agregat Agregat didefinisikan secara umum sebagai formasi kulit bumi yang keras dan padat. ASTM mendefinisikan agregat sebagai suatu bahan yang terdiri dari mineral padat, berupa masa berukuran besar ataupun berupa fragmen fragmen. Agregat merupakan komponen utama dari struktur perkerasan jalan, yaitu 90% 95% agregat berdasarkan persentase berat atau 75% 85% agregat berdasarkan persentase volume. Dengan demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain. Agregat itu sendiri terbagi menjadi beberapa klasifikasi, antara lain : a. Ditinjau dari asal kejadiannya Batuan beku (Igneous Rock) Batuan yang berasal dari magma yang mendingin dan membeku. Dibedakan atas batuan beku luar (extrusive igneous rock) dan batuan beku dalam (intrusive igneous rock). Batuan sedimen Berdasarkan cara pembentukannya batuan sedimen dapat dibedakan atas : batuan sedimen yang dibentuk secara mekanik, batuan sedimen yang dibentuk secara organis dan batuan sedimen yang dibentuk secara kimiawi. Batuan metamorf Berasal dari batuan baku ataupun batuan sedimen yang mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan tekanan dan temperature dari kulit bumi. II-9

b. Ditinjau dari proses pengolahannya Agregat alam Agregat yang terbentuk dari proses erosi dan gradasi. Dapat dipergunakan sebagaimana bentuk aslinya atau dengan sedikit proses pengolahan. Agregat yang melalui proses pengolahan Agregat yang berasal dari batu gunung berukuran besar yang diolah melalui proses pemecahan sehingga dapat digunakan sebagai agregat konstruksi perkerasan jalan. Proses pemecahan agregat sebaiknya menggunakan mesin pemecah batu (crusher stone) sehingga ukuran partikel partikel yang dihasilkan dapat terkontrol, gradasi yang diharapkan dapat dicapai sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan. Agregat buatan Agregat yang merupakan mineral filler / pengisi (partikel partikel dengan ukuran lebih kecil dari 0,075 mm), diperoleh dari hasil sampingan pabrik semen dan mesin pemecah batu. c. Ditinjau berdasrkan besar partikelnya Agregat kasar Agregat kasar adaah butiran agregat yang tertahan diatas saringan No. 8 atau 2,36 mm (Ashpalt Institute) yang berfungsi sebagai bahan pengisi campuran aspal beton. Salah satu persyaratan agregat untuk aspal beton antara lain adalah daya kelekatan agregat terhadap aspal, yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. II-10

Faktor internal adalah faktor yang dipengaruhi oleh sifat permukaan dari agregat itu sendiri. Sifat permukaan agregat kasar dibedakan menjadi dua yaitu : Agregat yang suka air (hydrophylic), disebut juga agregat bermuatan negatif, contohnya : batu silika dan granit. Agregat yang tidak suka akan air (hydrophobic), disebut juga agregat bermuatan positif. Agregat ini paling sesuai untuk bahan perkerasan jalan dan menunjukkan sifat ketahanan yang tinggi terhadap pemisahan lapisan tipis aspal. Faktor eksternal yaitu faktor yang dipengaruhi dari suatu keadaan agregat selama pengujian, seperti pada saat perendaman. Untuk melihat ketentuan agregat kasar yang sesuai dengan spesifikasi dapat di lihat pada tabel 2.3 berikut ini. Tabel 2.3 Ketentuan Agregat Kasar Pengujian Standar Nilai Kekekalan bentuk agregat terhadap SNI 03-3407-1994 Max 12 % larutan natrium dan magnesium sulfat Abrasi dengan mesin Los Angles SNI 03-2417-1991 Max 40 % Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 Min 95 % Angularitas SNI 03-6877-2002 95 / 90 (*) Partikel pipih dan lonjong (**) RSNI T-01-2005 Max 10 % Material lolos saringan No. 200 SNI 03-4142-1996 Max 1 % Catatan : (*) 95 / 90 menunjukkan bahwa 95 % agregat kasar mempunyai muka bidang pecah satu atau lebih dan 90 % agregat kasar mempunyai muka bidang pecah dua atau lebih (**) Pengujian dengan perbandingan lengan alat uji terhadap poros 1 : 5 II-11

Agregat halus Agregat halus adalah agregat yang lolos saringan Nomor 8 (2,36 mm) minimum 80%. Agregat halus terdiri dari pasir alam atau pasir buatan atau pasir terak atau gabungan dari bahan bahan tersebut. Agregat halus harus bersih, kering, kuat dan bebas dari gumpalan gumpalan lempung dan bahan bahan lain yang mengganggu serta terdiri dari butir butir yang bersudut tajam dan mempunyai permukaan yang kasar. Agregat halus yang digunakan untuk campuran aspal beton harus memenuhi ketentuan ketentuan yang tercantum pada tabel 2.4 berikut ini. Tabel 2.4 Ketentuan Agregat Halus Pengujian Standar Nilai Nilai setara pasir SNI 03-4428-1997 Min 50 % Material lolos saringan no. 200 SNI 03-4142-1996 Max 8 % Angularitas SNI 03-6877-2002 Min 45 % Berat jenis semu SNI 03-1970-1990 Min 2,50 Penyerapan SNI 03-1970-1990 Max 3 % Filler Filler sebagai bahan pengisi, biasanya bahan yang digunakan sebagai filler meliputi debu batu kapur, debu dolomite atau semen portland. Perlu diperhatikan agar bahan tersebut tidak tercampur dengan kotoran atau bahan lain yang tidak dikehendaki dan bahan dalam keadaan kering (kadar air maksimum 1%). Gradasi dari mineral filler sebagaimana tertera pada tabel 2.5 berikut ini. II-12

Tabel 2.5 Gradasi Mineral Filler No. Ukuran Saringan No. (MM) Filler (% Lolos) 1 No. 30 (0,59 mm) 100 2 No. 50 (0,279 mm) 95 100 3 No. 100 (0,149 mm) 90 100 4 No. 200 (0,074 mm) 70 100 2.5.2 Aspal Menurut Silvia Sukirman, aspal didefinisikan sebagai material berwarna hitam atau coklat tua yang pada temperatur ruang berbentuk padat sampai agak padat dan jika dipanaskan sampai temperatur tertentu dapat menjadi lunak / cair. Aspal merupakan salah satu material konstruksi perkerasan lentur. Aspal merupakan komponen kecil, umumnya 4 10 % dari berat campuran, akan tetapi merupakan komponen yang relatif mahal. Berdasarkan cara diperolehnya, aspal dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu : a. Aspal alam Aspal gunung (rock asphalt), contoh : aspal pulau buton (aspal buton). Aspal danau (lake asphalt), contoh : aspal bermudez, trinidad. Aspal buton adalah aspal alam yang terdapat di Indonesia yang berasal dari pulau buton dan sekitarnya. Aspal ini merupakan campuran antara bitumen dengan bahan mineral lainnya dalam bentuk batuan. Aspal ini berada di dalam tanah dengan variasi kedalaman mulai dari 1,5 meter dibawah permukaan tanah. Karena berasal dari alam, aspal buton mempunyai kadar bitumen yang dikandungnya sangat bervariasi dari rendah sampai tinggi. Berdasarkan kadar bitumen yang dikandungnya aspal buton dibedakan atas B10, B13, B20, B25 dan B30. II-13

b. Aspal buatan Aspal minyak, merupakan hasil destilasi minyak bumi. Tar, merupakan hasil penyulingan batu bara. Aspal minyak sering disebut aspal semen bersifat mengikat agregat pada campuran aspal beton dan memberikan lapisan kedap air serta tahan terhadap pengaruh asam, basa dan garam. Aspal minyak dengan bahan dasar aspal dapat dibedakan menjadi : Aspal keras / panas (asphalt cement) Aspal yang digunakan dalam keadaan cair dan panas, berbentuk padat suhu ruang. Pengelompokan aspal semen dapat dilakukan berdasarkan nilai penetrasi pada suhu 25 0 C ataupun berdasarkan nilai viskositasnya. Di Indonesia, aspal semen biasanya dibedakan berdasarkan nilai penetrasinya yaitu : AC pen 40 / 50, yaitu AC dengan penetrasi antara 40 50. AC pen 60 / 70, yaitu AC dengan penetrasi antara 60 70. AC pen 85 / 100, yaitu AC dengan penetrasi antara 80 100. AC pen 120 / 150, yaitu AC dengan penetrasi antara 120 150. AC pen 200 / 300, yaitu AC dengan penetrasi antara 200 300. Aspal semen dengan penetrasi rendah digunakan di daerah bercuaca panas atau lalu lintas dengan volume tinggi, sedangkan aspal semen dengan penetrasi tinggi digunakan untuk daerah bercuaca dingin atau lalu lintas dengan II-14

volume rendah. Di Indonesia pada umumnya dipergunakan aspal semen dengan penetrasi 60/70. Aspal dingin / cair (cut back asphalt) Aspal cair adalah campuran antara aspal semen dengan bahan pencair dari hasil penyulingan minyak bumi, yang digunakan dalam keadaan cair dan dingin serta berbentuk cair dalam temperatur ruang. Aspal emulsi (emulsion asphalt) Aspal emulsi adalah suatu campuran aspal dengan air dan bahan pengemulsi. Dapat digunakan dalam keadaan dingin ataupun panas. Dalam pekerjaan perkerasan jalan, aspal berfungsi sebagai bahan pengikat terhadap agregat, sebagai bahan pengisi rongga antar agregat dan pengisi pori pori agregat. Di dalam pelaksanaan di lapangan ada beberapa sifat fisik aspal yang sangat mempengaruhi perencanaan, produksi dan kinerja campuran beraspal. Sifat sifat fisik aspal itu antara lain durabilitas, adhesi, kohesi, kepekaan terhadap campuran, pengerasan dan penuaan. Sifat sifat fisik tersebut tergantung dari mutu aspal itu sendiri. Adapun persyaratan untuk aspal keras yang berkaitan dengan mutu dari aspal tersebut. Dalam tabel 2.6 akan diuraikan mengenai jenis pengujian, metode pengujian, dan persyaratan untuk aspal pen 40 dan pen 60. II-15

Tabel 2.6 Persyaratan Aspal Keras Pen 40 Dan Pen 60 No. Jenis Pengujian Metode Persyaratan Pen 40 Pen 60 1 Penetrasi, 25 0 C; 100 gr; 5 detik; 0,1 mm SNI 06-2456-1991 40 59 60 79 2 Titik lembek, 0 C SNI 06-2434-1991 51 63 48 58 3 Titik nyala, 0 C SNI 06-2433-1991 Min 200 Min 200 4 Daktiitas 25 0 C; cm SNI 06-2432-1991 Min 100 Min 100 5 Berat jenis SNI 06-2441-1991 Min 1,0 Min 1,0 6 Kelarutan dalam trichlor ethylen, % berat RSNI M-04-2004 Min 99 Min 99 7 Penurunan berat dengan TFOT, % berat SNI 06-2440-1991 Max 0,8 Max 0,8 8 Penetrasi setelah penurunan berat, % asli SNI 06-2456-1991 Min. 58 Min 54 9 Daktiitas setelah penurunan berat, % asli SNI 06-2432-1991 Min 50 Uji noda : - Standar naptha 10 SNI 03-6885-2002 Negatif Negatif - Naptha xylene - Hepthane xylene 11 Kadar paraffin, % SNI 03-3639-2002 Max 2 Max 2 Catatan : Apabila uji noda aspal disyaratkan, direksi teknik dapat menentukan salah satu pelarut yang akan digunakan. Berdasarkan beberapa persyaratan untuk aspal keras yang menentukan mutu dari aspal tersebut, maka perlu dilakukan beberapa pengujian yang berkaitan dengan sifat fisik tersebut, antara lain : a. Penetrasi, bertujuan untuk menentukkan kekerasan aspal. b. Titik lembek, bertujuan untuk menentukan suhu pada saat aspal melembek. c. Titik nyala, bertujuan untuk mengetahui suhu pada saat terlihat nyala api. d. Daktilitas, bertujuan untuk mengetahui keelastisan dari aspal. e. Berat jenis, bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara berat aspal dengan volume aspal. II-16

2.5.3 Jerami Jerami adalah bagian batang tumbuhan padi yang telah dipanen bulir bulir buahnya dikurangi dengan akar dan bagian batang yang tertinggal. Tanaman padi menghasilkan jerami dengan jumlah yang setara dengan jumlah gabah yaitu 100%. Pemanfaatan jerami sebagian besar dibakar (37%) untuk pupuk, dijadikan alas kandang (36%) yang kemudian dijadikan kompos dan hanya sekitar 15% sampai 22% yang digunakan sebagai pakan ternak. Secara umum jerami mempunyai sifat fisik yang hampir sama, yaitu panjang batang 40 60 cm dan batangnya berupa buluh beruas ruas yang bagian dalamnya berongga. Sedangkan secara umum sifat mekanik jerami adalah semakin tinggi kadar air maka semakin rendah kuat tarik dan modulus elastisitasnya dan sebaliknya semakin sedikit kadar air maka semakin tinggi kuat tarik dan modulus elastisitasnya, seperti pada tabel 2.7 berikut ini : Tabel 2.7 Modulus Elastisitas Dan Kuat Tarik Jerami Kadar Air Dalam Modulus Elastisitas Kuat Tarik Jerami (%) (kgf/mm 2 ) (kgf/mm 2 ) Keterangan 34,91 44,878 4,6876 Nilai tertinggi 79,10 20,386 2,1291 Nilai terendah Sedangkan kemampuan pembebanan maksimum jerami tertinggi 11,69 kgf diperoleh dari kadar air 76,72% dan terendah 7,79 kgf diperoleh pada kadar air 34,91%. (Dikutip Dari Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Dan Pengembangan Bidang Fisika Terapan, 1994/1995 Oleh Akmadi Abbas, Arie Sudaryanto) II-17

2.6 Gradasi Agregat Gabungan Gradasi atau distribusi partikel partikel berdasarkan ukuran agregat merupakan hal penting dalam menentukan stabilitas perkerasan. Gradasi agregat mempengaruhi besarnya rongga antar butir yang akan menentukan stabilitas dan kemudahan dalam proses pelaksanaan. Gradasi untuk campuran beraspal harus memenuhi batas batas dan berada di luar daerah larangan (restriction zone). Gradasi agregat gabungan harus mempunyai jarak terhadap batas batas toleransi yang diberikan dan terletak di luar daerah larangan. Titik kontrol gradasi batas titik minimum dan maksimum untuk laston berada pada ukuran nominal, ukuran menengah (2,36 mm) dan ukuran kecil (0,075 mm), sehingga gradasi agregat campurannya harus berada di antara titik kontrol tersebut. Zona terlarang atau zona terbatas suatu gradasi adalah suatu zona yang terletak pada garis kepadatan maksimum (kurva fuller) antara ukuran menengah 2,36 mm atau 4,75 mm dan ukuran 300 mikron. Gradasi agregat diharapkan menghindari daerah ini. Kurva fuller adalah kurva gragdasi dimana kondisi campuran memiliki kepdatan maksimum dengan rongga diantara mineral agregat (VMA) yang minimum. Kurva fuller untuk campuran laston yang digunakan dalam spesifikasi terdapat pada rumus di bawah ini : d P = 100 D Dimana : P = Persentase lolos saringan dengan bukaan saringan d (mm). D = Ukuran maksimal agregat yang terdapat dalam campuran (mm). D = Ukuran saringan agregat yang diperiksa Adapun gradasi agregat gabungan untuk campuran beraspal panas dapat dilihat pada tabel 2.8 berikut ini : 0,45 II-18

Tabel 2.8 Gradasi Agregat Gabungan % Berat Yang Lolos Ukuran Ayakan Latasir (SS) Lataston (HRS) Laston (AC) 2 ASTM (mm) Kelas A Kelas B WC Base WC BC Base 1 1 / 2 37,5 100 1 25 100 90 100 3 / 4 19 100 100 100 100 100 90 100 Max 90 1 / 2 12,5 90 100 90 100 90 100 Max 90 3 / 8 9,5 90 100 75 85 65 100 Max 90 No. 8 2,36 75 100 3) 50 72 1) 35 55 1) 25 58 23 49 19 45 No. 16 1,18 No. 30 0,600 35 60 15 35 No. 200 0,075 10 15 8 13 6 12 2 9 4 10 4 8 3 7 Daerah Larangan No. 4 4,75 39,5 No. 8 2,36 39,1 34,6 26,8 30,8 No. 16 1,18 25,6 31,6 22,3 28,3 18,1 24,1 No. 30 0,600 19,1 23,1 16,7 20,7 13,6 17,6 No. 200 0,075 15,5 13,7 11,4 Catatan : 1. Untuk HRS WC dan HRS Base, paling sedikit 80% agregat lolos ayakan No. 8 (2,36 mm) harus juga lolos ayakan no. 30 (0,600 mm). Kriteria gradasi senjang yang lolos ayakan No. 8 (2,36 mm) dan tertahan ayakan No. 30 (0,600 mm). 2. Untuk AC digunakan titik kontrol gradasi agregat, berfungsi sebagai batas batas rentang utama yang harus ditempati oleh gradasi gradasi tersebut. Batas batas gradasi ditentukan pada ayakan ukuran nominal maksimum, ayakan menengah (2,36 mm) dari ayakan terkecil (0,75 mm). 3. Ukuran maksimum masing masing campuran. 2.7 Sifat Sifat Campuran Aspal Beton Beton aspal dibentuk dari agregat, aspal dan atau tanpa bahan tambahan, yang dicampur secara merata atau homogen pada suhu tertentu. Campuran kemudian dihamparkan dan dipadatkan, sehingga terbentuk beton aspal yang padat. Secara analitis, dapat ditentukan sifat volumterik dari beton aspal padat, baik yang dipadatkan di laboratorium maupun di lapangan. Parameter yang biasa digunakan adalah VIM, VMA dan VFA. II-19

VIM adalah volume pori yang masih tersisa setelah campuran beton aspal dipadatkan. VIM ini dibutuhkan untuk tempat bergesernya butir butir agregat akibat pemadatan tambahan yang terjadi oleh repetisi beban lalu lintas atau tempat jika aspal menjadi lunak akibat meningkatnya temperatur. VIM terlalu besar akan mengakibatkan beton aspal padat berkurang kekedapan airnya sehingga berakibat meningkatnya proses oksidasi aspal yang dapat mempercepat penuaan aspal dan menurunkan sifat durabilitas beton aspal. VIM yang terlalu kecil akan mengakibatkan perkerasan mengalami bleeding jika temperatur meningkat. VMA adalah volume pori di dalam beton aspal padat jika seluruh selimut aspal ditiadakan. Tidak termasuk di dalam VMA volume pori di dalam masing masing butir agregat. VMA akan meningkat jika selimut aspal lebih tebal atau agregat yang digunakan bergradasi terbuka. VFA adalah volume pori beton aspal padat yang terisi oleh aspal disebut juga volume film atau selimut aspal. Secara skematis berbagai jenis volume yang terdapat di dalam campuran beton aspal padat ditunjukan pada gambar 2.5 berikut ini : Gambar 2.5 Skematis Berbagai Jenis Volume Beton Aspal II-20

Keterangan : Vmb = Volume bulk dari campuran beton aspal padat. Vsb = Volume agregat adalah volume bulk dari agregat (volume bagian masif + pori yang ada di dalam masing masing butir agregat). Vse = Volume agregat, adalah volume efektif dari agregat (volume bagian massif + pori yang tidak terisi aspal di dalam masing masing butir agregat). VMA = Volume pori di antara butir agregat di dalam beton aspal padat. Vmm = Volume tanpa pori dari beton aspal padat. VIM = Volume pori dalam beton aspal padat. Va = Volume aspal dalam beton aspal padat. VFA = Volume pori beton aspal yang terisi oleh aspal. Vab = Volume aspal yang terarsobsi ke dalam agregat dari beton aspal padat. 2.7.1 Berat Jenis Bulk Campuran (G sb ) Berat jenis bulk agregat total dalam campuran dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : G sb P1 + P2 = P1 P2 + G G 1 2 + P3 +... + Pn P3 P + +... + G G Keterangan : G sb = Berat jenis bulk agregat campuran. P 1, P 2, P n = Persentase berat dari masing masing fraksi terhadap berat total agregat campuran. G 1, G 2, G n = Berat jenis bulk dari masing masing fraksi agregat (fraksi 1 sampai dengan fraksi n). 3 n n II-21

2.7.2 Berat Jenis Effektif Agregat Campuran (G se ) Berat jenis efektif agregat campuran dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut : Keterangan : G se 100 Pa = 100 P G G mm G se = Berat jenis effektif agregat pembentuk beton aspal padat. G mm = Berat jenis maksimum dari beton aspal yang belum dipadatkan. P a = Kadar aspal terhadap berat beton aspal padat, %. G a = Berat jenis aspal. 2.7.3 Berat Jenis Maksimum Campuran Berat jenis maksimum (G mm ) campuran untuk masing masing kadar aspal dapat dihitung menggunakan berat jenis efektif (G se ) rata rata sebagai berikut : Keterangan : G mm se a a Pmm = Ps Pb G G G mm = Berat jenis maksimum dari beton aspal yang belum dipadatkan. P mm = Persen berat total campuran (100). P s = Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran. P b = Kadar aspal, persen terhadap total berat campuran. G se = Berat jenis effektif agregat. G b = Berat jenis aspal. b II-22

2.7.4 Penyerapan Penyerapan aspal dinyatakan dalam persen terhadap berat agregat total, tidak terhadap berat campuran. Perhitungan penyerapan aspal (P ba ) adalah sebagai berikut : Keterangan : P ba G = 100 G se sb G. G P ba = Penyerapan aspal, persen total agregat. G sb = Berat jenis bulk agregat. G se = Berat jenis effektif agregat. G b = Berat jenis aspal. 2.7.5 Kadar Aspal Effektif Yang Menyelimuti Agregat Kadar efektif (P ae ), yang dinyatakan sebagai persentase terhadap berat beton aspal padat. Dapat dihitung dengan rumus : Keterangan : sb se Pab P 100 P ae = Pa s P ae = Kadar aspal effektif yang menyelimuti butir butir agregat, % terhadap berat beton aspal padat. P a = Kadar aspal terhadap berat beton aspal padat, %. P s = Kadar agregat, % terhadap berat beton aspal padat. P ab = Kadar aspal yang terabsorbsi ke dalam butir agregat, % terhadap berat agregat. II-23

2.7.6 Volume Pori Dalam Agregat Campuran (VMA) Perhitungan VMA terhadap campuran total adalah dengan rumus di bawah ini : a. Terhadap berat campuran total Gmb VMA = 100 G Keterangan : VMA = Volume pori antara agregat di dalam beton aspal padat, % dari volume bulk beton aspal padat. G mb = Berat jenis bulk dari beton aspal padat. P s = Kadar agregat, % terhadap berat beton aspal padat. G sb = Berat jenis bulk dari agregat pembentuk beton aspal padat. b. Terhadap berat agregat total G mb 100 VMA = 100.. 100 Gsb 100 + P b Keterangan : VMA = Volume pori antara agregat di dalam beton aspal padat, % dari volume bulk beton aspal padat. G mb = Berat jenis bulk dari beton aspal padat. P b = Kadar aspal, % terhadap berat agregat. G sb = Berat jenis bulk dari agregat pembentuk beton aspal padat.. P sb s II-24

2.7.7 Volume Pori Dalam Beton Aspal Padat VIM dinyatakan dalam persentase terhadap volume beton aspal padat. Volume rongga udara dalam persen dapat ditentukan dengan rumus berikut : Gmm G VIM = 100. G Keterangan : VIM = Volume pori dalam beton aspal padat, % dari volume bulk beton aspal padat. G mm = Berat jenis maksimum dari beton aspal yang belum dipadatkan. G mb = Berat jenis bulk dari beton aspal padat. 2.7.8 Volume Pori Antara Butir Agregat Terisi Aspal (VFA) Untuk menghitung VFA dapat menggunakan rumus berikut : 100. V FA = mm mb ( VMA VIM ) VMA Keterangan : VFA = Volume pori antar butir agregat yang terisi oleh aspal, % dari VMA. VMA = Volume pori antara agregat di dalam beton aspal padat, % dari volume bulk beton aspal padat. VIM = Volume pori dalam beton aspal padat, % dari volume bulk beton aspal padat. 2.8 Pengujian Campuran Aspal Beton 2.8.1 Uji Marshall Pemeriksaan marshall test dimaksudkan untuk menentukan ketahanan atau stabilitas terhadap kelelehan plastis (flow). Dalam pengujian marshall digunakan benda uji standar dengan tinggi 2,5 inci dan diameter 4 inci yang dibuat melalui proses pemanasan, baik pada II-25

pencampuran agregat hingga pemadatannya. Cara kerja beton aspal padat ditentukan melalui pengujian benda uji yang meliputi : a. Penentuan berat volume benda uji. b. Pengujian nilai stabilitas, adalah kemampuan maksimum beton aspal padat menerima beban sampai terjadi kelelehan plastis. c. Pengujian kelelehan (flow) adalah besarnya perubahan bentuk plastis dari beton aspal padat akibat adanya beban sampai batas keruntuhan. d. Perhitungan Kuosien Marshall adalah perbandingan antara nilai stabilitas dan flow. e. Perhitungan berbagai jenis volume pori dalam beton aspal padat (VIM, VMA dan VFA) f. Perhitungan tebal selimut atau film aspal. g. Dari beberapa pengujian yang umum dilakukan untuk menentukan kinerja beton aspal, terlihat bahwa hanya nilai stabilitas dan flow yang ditentukan dengan mempergunakan alat marshall sedangkan parameter lainnya ditentukan melalui penimbangan benda uji dan perhitungan. 2.8.2 Uji Indeks Perendaman Tes ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana daya tahan ikatan campuran agregat dan aspal serta nilai sisa dari suatu campuran terhadap pengaruh air. Perendaman dilakukan dengan cara merendam benda uji kedalam waterbath pada suhu 60 0 C selama jangka waktu 30 menit, 24 jam, 3 hari dan 7 hari. Hasil yang didapat dari tes perendaman marshall adalah rasio stabilitas rendaman 24 jam dan 3 hari dibagi dengan stabilitas akibat rendaman selama 30 menit dengan target yang harus dicapai (Indeks Kekuatan Sisa / IKS) yaitu lebih besar dari 75%. II-26

rumus : Untuk menentukan indeks kekuatan sisa (IKS) dapat menggunakan Keterangan : S1 S IKS = 1 S1 2 x100% IKS = Indeks kekuatan sisa (%), harus lebih besar dari 75%. S1 S2 2.8.3 Uji Wheel Tracking = Stabilitas hasil rendaman 30 menit pada suhu 60 0 C (kg). = Stabilitas hasil rendaman 24 jam pada suhu 60 0 C (kg). Uji wheel tracking dilakukan guna memberikan gambaran ketahanan campuran terhadap pemadatan sekunder dan perubahan bentuk (deformasi) serta simulasi pembebanan yang akan diterima perkerasan dilapangan. Pengujian dilakukan pada suhu ruang 60 0 C dengan beban 6,4 ± 0,15 kg/cm 2 yang setara dengan beban kendaraan berat (Japan Road Association, 1998). Dari hasil pengujian wheel tracking tersebut dapat diperoleh stabilitas dinamis (lintasan/mm) dan kecepatan deformasi (mm/menit). Berdasarkan spesifikasi yang dikeluarkan Praswil 2003, Stabilitas Dinamis untuk campuran aspal panas dengan modifier minimal 2500 lintasan/mm. Nilai deformasi diperoleh dari kedalaman permukaan benda uji akibat beban repetisi. II-27

2.9 Studi Terdahulu Pengujian karakteristik campuran laston dengan aspal minyak modifier asbuton dan serat alam (jerami) pernah dilakukan pada tahun 2012. Yang dimana pada pengujian itu didapatkan hasil : Tabel 2.9 Hasil Pengujian Aspal Pada Penelitian Sebelumnya NO JENIS PENGUJIAN METODE HASIL PENGUJIAN 1 Penetrasi 25 0 C; 100 gram; 5 detik; 0,1 mm SNI 06 2456 1991 77,83 2 Titik lembek, 0 C SNI 06 2434 1991 48,5 3 Titik nyala, 0 C SNI 06 2433 1991 247 4 Daktilitas 25 0 C, cm SNI 06 2432 1991 134,17 5 Berat jenis SNI 06 2441 1991 1,07 Tabel 2.10 Hasil Pengujian Agregat Kasar Pada Penelitian Sebelumnya NO JENIS PENGUJIAN METODE HASIL PENGUJIAN 1 Berat jenis dan penyerapan SNI 03 1969 1990 Berat jenis bulk = 2,65 Berat jenis SSD = 2,68 Berat jenis semu = 2,74 Penyerapan air = 1,22 2 Keausan (abrasi) dengan alat LA SNI 03 2471 1991 33,08 Tabel 2.11 Hasil Pengujian Agregat Halus Pada Penelitian Sebelumnya JENIS PENGUJIAN METODE HASIL PENGUJIAN Berat jenis dan penyerapan SNI 03 1969 1990 Berat jenis bulk = 2,26 Berat jenis SSD = 2,27 Berat jenis semu = 2,29 Penyerapan air = 0,46 Tabel 2.12 Hasil Pengujian Filler Pada Penelitian Sebelumnya JENIS PENGUJIAN METODE HASIL PENGUJIAN Berat jenis SNI 03 1969 1990 2,94 II-28

Tabel 2.13 Persentase Agregat Dalam Campuran Pada Penelitian Sebelumnya AC WC % BERAT TERTAHAN UKURAN SARINGAN % BERAT YANG LOLOS SARINGAN YANG LOLOS SARINGAN (KUMULATIF) KUMULATIF TERTAHAN MASING MASING SARINGAN 1 1 / 2 38,1 mm 1 25,4 mm 3 / 4 19 mm 100 100,00 1 / 2 12,7 mm 90 100 95,00 5,00 5,00 3 / 8 9,51 mm Max. 90 80,00 20,00 15,00 No. 4 4,76 mm No. 8 2,38 mm 25 58 39,1 39,10 60,90 40,90 No. 16 1,16 mm 25,6 31,6 28,60 71,40 10,50 No. 30 0,595 mm 19,1 23,1 21,10 78,90 7,50 No. 50 0, 30 mm 15,5 15,50 84,50 5,60 No. 200 0, 074 mm 4 10 7,00 93,00 8,50 Filler 100,00 7,00 Tabel 2.14 Hasil Pengujian Jerami Pada Penelitian Sebelumnya JENIS PENGUJIAN HASIL PENGUJIAN Berat jenis 0,92 Tabel 2.15 Hasil Pengujian Aspal Berserat Pada Penelitian Sebelumnya NO JENIS PENGUJIAN METODE HASIL PENGUJIAN 0,10% 0,20% 0,30% 0,40% 0,50% 1 Penetrasi 25 0 C; 100 gram; 5 detik; 0,1 mm SNI 06 2456 1991 75,3 69,8 62,47 57,13 60,27 2 Titik lembek, 0 C SNI 06 2434 1991 53 47,25 55,75 47 48,25 3 Titik nyala, 0 C SNI 06 2433 1991 245 220 225 120 236 4 Daktilitas 25 0 C, cm SNI 06 2432 1991 119,67 106,67 118 59,83 67,17 5 Berat jenis SNI 06 2441 1991 1,05 1,05 1,04 1,04 1,03 II-29

Tabel 2.16 Hasil Pengujian Aspal Modifier Pada Penelitian Sebelumnya NO JENIS PENGUJIAN METODE HASIL PENGUJIAN 70% : 30% 75% : 25% 80% : 20% 1 Penetrasi 25 0 C; 100 gram; 5 detik; 0,1 mm SNI 06 2456 1991 48,83 57,87 50,53 2 Titik lembek, 0 C SNI 06 2434 1991 51,5 51,5 47,75 3 Titik nyala, 0 C SNI 06 2433 1991 238 225 220 4 Daktilitas 25 0 C, cm SNI 06 2432 1991 22 23,67 19,67 5 Berat jenis SNI 06 2441 1991 1,17 1,27 1,1 Tabel 2.17 Hasil Pengujian Marshall Pada Penelitian Sebelumnya Berat Benda Uji Kadar Berat Aspal Dalam Kering SSD Isi Air VIM VMA VFB Stabilitas Flow MQ (%) (gram) (gram) (gram) (t/m 3 ) (%) (%) (%) (kg) (mm) (kg/mm) 7 1073,13 574,33 1078,33 2,13 5,41 16,37 66,98 1507,52 4,13 367,89 7.5 1067,80 572,00 1071,57 2,14 4,65 16,51 71,82 1527,02 3,87 393,97 8 1067,83 568,67 1071,60 2,12 4,89 17,51 72,05 1815,21 4,00 459,21 8.5 1045,00 554,33 1051,33 2,10 5,42 18,75 71,07 1655,20 3,87 431,02 9 1059,50 570,00 1061,07 2,16 2,56 17,08 85,04 1343,11 4,28 323,59 Tabel 2.18 Hasil Pengujian Indeks Perendaman Pada Penelitian Sebelumnya Berat Benda Uji Kadar Berat Aspal Dalam VIM VMA VFB Stabilitas Flow MQ Kering SSD Isi Air (%) (gram) (gram) (gram) (t/m 3 ) (%) (%) (%) (kg) (mm) (kg/mm) 8 1075,93 581,00 1080,77 2,15 3,56 16,36 78,21 1480,08 5,86 252,50 Maka berdasarkan data data pengujian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Aspal modifier 75 : 25 (aspal pen 60/70 dengan kadar 75% + asbuton kadar 25% + serat alam (jerami) 0,3%) mengalami perubahan karakteristik dari sifat asal aspal pen 60/70 yaitu peningkatan angka titik lembek, peningkatan angka titik nyala, peningkatan angka berat jenis, penurunan angka penetrasi dan penurunan angka daktilitas hal ini disebabkan karena asbuton dan jerami mempunyai teksture yang II-30

lebih kasar dan tidak mudah cair dengan proses pemanasan sehingga berakibat pada perubahan karakteristik aspal. b. Aspal modifier 75 : 25 memenuhi syarat untuk campuran laston AC WC. Meskipun ada beberapa karakteristik pengujian yang tidak memenuhi persyaratan standar namun secara umum campuran aspal tersebut memenuhi persyaratan pada waktu dilakukan pengujian indeks perendaman dan marshall. Indeks kekuatan sisa setelah perendaman 24 jam juga masih diatas batas minimum yang disyaratkan yaitu 77,36%. II-31