BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Beragam permasalahan pada perempuan seringkali muncul dalam berbagai pemberitaan publik, baik dalam media cetak, media elektronik dan media online, dimana dari berbagai permasalahan pada perempuan tersebut, isu kekerasan terhadap perempuan telah menjadi suatu sorotan penting karena kasus kekerasan ini kerap kali terjadi secara terus-menerus dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perempuan lebih banyak menjadi korban dibandingkan laki-laki karena pada dasarnya kekerasan ini terjadi karena adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang dipercaya oleh masyarakat kebanyakan. Ketidakadilan gender ini telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari, bahwa seorang perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, penurut, pasif, harus lebih dulu mengutamakan kepentingan laki-laki dan lain sebagainya. Kekerasan terhadap perempuan, seperti yang tertulis dalam Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 1994 oleh Komnas Perempuan, adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologi termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Ada berbagai persepsi tentang kekerasan terhadap perempuan mulai dari pelecehan secara verbal, kekerasan fisik sampai dengan mengingkari hak asasi 1
perempuan. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan sebagai instrumen internasional mengenai perlindungan hak perempuan telah mencantumkan kekerasan, intimidasi dan rasa takut sebagai kendala bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan bermasyarakat. (Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia: 3). Secara konseptual, kekerasan dalam berbagai bentuknya merupakan indikasi adanya penyalahgunaan kekuasaan, ketidaksetaraan dan dominasi. Kekerasan adalah penyalahgunaan kekuasaan-ketika kekuasaan yang dimiliki seseorang dipakai untuk memaksa atau membohongi orang lain dan berdampak pada pelanggaran integritas dan kepercayaan orang yang menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan tersebut dimungkinkan oleh adanya ketidaksetaraan status antar individu, antar kelompok atau antar negara. (Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia: 3). Asumsi lain yang mendukung posisi subordinasi perempuan adalah tentang tempat perempuan dalam kehidupan bersama. Tempat perempuan yang diterima secara umum adalah di dalam rumah (di ruang privat) dan menjadi penanggung jawab utama terhadap pengasuhan anak. Permasalahan utamanya bukan mengenai pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, tetapi berkaitan dengan konsekuensi negatifnya. Sesuai dengan posisi subordinatifnya, perempuan dan pekerjaannya dianggap inferior terhadap kedudukan dan pekerjaan laki-laki. Kondisi inferioritas perempuan yang telah cukup terpatri di masyarakat pada umumnya, juga diperkuat oleh pernyataan pakar-pakar bidang psikologi dan filsafat seperti Sigmund Freud dan Aristoteles. Keduanya dengan pasti menyatakan bahwa perempuan adalah manusia yang tidak sempurna, yang 2
mempunyai detect atau kelainan. (Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia: 4). Secara umum, melihat perubahan zaman, kemajuan teknologi dan pergeseran budaya saat ini, sudah bukan merupakan hal yang asing lagi jika melihat sepasang muda-mudi sedang berduaan di tempat-tempat rekreasional maupun tempat publik lainnya. Pada fase dewasa awal tersebut ketertarikan kepada lawan jenis merupakan hal yang normal terjadi, sehingga muncul rasa keingintahuan yang mendalam tentang kepribadian lawan jenis dengan menjalin suatu hubungan khusus yang biasa disebut pacaran. Namun masa berpacaran ini sangat rentan dengan masalah-masalah yang tidak diinginkan yaitu kekerasan dalam pacaran, baik itu berupa kekerasan verbal/psikis, kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Meskipun pada kenyataannya, tidak semua pasangan yang menjalin hubungan pacaran ini mengalami kekerasan dalam pacaran. Masyarakat pada umumnya sangat peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi pada masa berpacaran (Kekerasan Dalam Pacaran) atau dating violence. Masih banyak orang belum mengenal kekerasan dalam pacaran, sehingga terkadang masih terabaikan oleh korban dan pelakunya. Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan romantisme dan hal-hal indah, dimana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan oleh sang pacar. 3
Fenomena kekerasan dalam pacaran tak ubahnya seperti gunung es, yang nampak di permukaan hanya sedikit dari sekian banyak kasus kekerasan dalam pacaran yang terjadi di masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena tindak kekerasan tersebut sering disembunyikan dari siapapun, atau hanya diketahui oleh lingkungan terbatas saja, seperti anggota keluarga, teman dekat atau orang-orang lain, baik yang memiliki latar belakang profesional maupun tidak, yang dihubungi oleh korban untuk mencurahkan masalahnya. Jarang terjadi tindak kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan kepada pihak yang berwajib, apalagi dilanjutkan perkaranya secara legal. Bila tak tahan menyimpan masalah, yang kadang terjadi adalah korban meminta bantuan tenaga profesional, memanfaatkan rubrik konsultasi di majalah, ataupun mengadukan masalahnya ke lembaga yang memberikan bantuan konsultasi. Hanya dalam situasi yang sangat parah, dan fakta kekerasan yang tidak dapat ditutup-tutupi lagi, korban terpaksa meminta bantuan tenaga kesehatan. Setelah mengalami penganiayaan parah, sebagian korban juga melaporkan kejadiannya pada polisi, dan lebih sedikit lagi yang kemudian ditindaklanjuti secara hukum. Tidak jarang juga polisi menanggapi dengan komentar: Ini penganiayaan ringan, tidak perlu dilihat sebagai masalah serius, atau dengan usulan: Lebih baik diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Sebagian pengaduan lain dicabut sendiri oleh korban dengan berbagai alasan, antara lain: malu kasusnya diketahui umum, proses hukum yang berbelit-belit, rasa iba pada pelaku, atau ingin menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Tak jarang pula pelaku dan keluarganya melakukan berbagai langkah untuk menghambat proses penyelesaian masalah secara legal. 4
Pada umumnya jenis kekerasan yang sering terjadi dalam hubungan pacaran dapat dibagi menjadi kekerasan psikis/verbal, kekerasan fisik serta kekerasan seksual. Namun begitu, semua jenis kekerasan ini memiliki satu hal yang sama, yaitu memperlihatkan adanya kekuatan dan kontrol pada pihak/pasangan yang menjadi pelaku kekerasan. Kekerasan psikis/verbal sering terjadi namun jarang disadari sebagai bentuk kekerasan, dan umumnya berupa perlakuan yang menunjukkan kecemburuan yang berlebihan, posesif dan berusaha mengendalikan pasangan dengan memanggil nama pasangan dengan sebutan negatif (bodoh, jelek dan sebagainya), menghina, mengancam, melarang pasangan berhubungan dengan teman serta menggunakan handphone untuk mengecek pasangan sesering mungkin. Kekerasan fisik adalah bentuk perlakuan fisik yang kasar kepada pasangan dan menimbulkan luka yang dapat dilihat, seperti mendorong, memukul, menjambak, menganiaya tubuh, mencekik atau memaksa pasangan pergi ke tempat yang membahayakan dirinya. Kekerasan seksual merupakan bentuk perlakuan melecehkan secara seksual, mulai dari rabaan atau sentuhan pada tubuh yang tidak dikehendaki, ciuman yang tidak dikehendaki, pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual atau memanipulasi pasangan untuk melakukan hubungan seksual. (http://psikologikita.com/?q=kekerasandalam-hubungan-pacarandiakses tanggal 25 Juni 2015 pukul 15:21 WIB). Satu hal yang khas dan sering muncul dalam kasus kekerasan dalam pacaran, yaitu pihak yang menjadi korban biasanya cenderung lemah, kurang percaya diri, terlalu mudah percaya sehingga mudah dimanipulasi dan sangat mencintai pasangannya. Apalagi karena sang pacar, setelah melakukan kekerasan biasanya akan menunjukkan sikap menyesal, meminta maaf, berjanji tidak akan 5
mengulangi tindakan itu lagi dan bersikap manis kepada pacarnya. Sang korban mempercayai sepenuh hati permintaan maaf dan perkataan pacarnya serta memaknai tindak kekerasan dari sang pacar merupakan suatu bentuk tanda sayang dan kepedulian kepada dirinya. Ironisnya, tindakan kekerasan dari sang pacar ini akan kembali muncul seiring berjalannya hubungan mereka, dan sang pelaku akan kembali menyesal, meminta maaf yang akhirnya direspon positif oleh korban, hubungan mereka terus berjalan sampai akhirnya terulang lagi keadaan tersebut. Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) dan Kekerasan Terhadap Istri (KTI) memiliki beberapa kesamaan, yakni keduanya menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat rentan menjadi korban. Selain itu kekerasan dalam pacaran dan kekerasan terhadap istri merupakan bentuk kekerasan yang sama terhadap perempuan dalam relasi personal, dimana pelaku dan korban berada dalam hubungan cinta. Namun terdapat juga perbedaan diantara keduanya, yaitu mengenai status hukum. Payung hukum tentang kekerasan ranah personal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran. Meskipun demikian, para pelaku kekerasan dalam pacaran dapat dijerat dengan Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan catatan bahwa individu yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran belum berusia 18 tahun. Jika korban telah berusia 18 tahun, maka kekerasan dalam pacaran yang dialaminya dapat diadukan dengan melakukan tuntutan atas dasar penganiayaan yang diatur dalam Bab XX Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Bab XX KUHP tersebut, dapat 6
dilihat ada 3 (tiga) macam bentuk penganiayaan, yaitu: Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP), penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP) dan penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP). (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5170437ea9850/pasal-untukmenjerat-pacar-yang-suka-menganiaya-pasangannya diakses tanggal 25 Juni 2015 pukul 17:16 WIB). Berdasarkan catatan tahunan yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2011 terdapat 119.107 kasus kekerasan yang ditangani oleh lembaga pengada layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah keseluruhan kasus sepanjang tahun 2011 tersebut, terdapat 113.878 kasus yang terjadi di ranah domestik (dilakukan oleh relasi dekat korban), di dalamnya meliputi 110.468 kasus kekerasan terhadap istri (97%), dan 1.405 kasus kekerasan dalam pacaran (KDP). Teridentifikasi bahwa di dalam ranah domestik, kekerasan psikis paling banyak dialami (103.691 kasus), dan berturut-turut jenis kekerasan ekonomi (3.222 kasus), kekerasan fisik (2.790 kasus), serta kekerasan seksual (1398 kasus). (Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2011). Gambar 1.1 Grafik Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Domestik: KDRT/RP Tahun 2011 Sumber: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2011 oleh Komnas Perempuan 7
Lebih lanjut pada tahun 2013, total jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga/relasi personal (KDRT/RP) yang ditangani oleh lembaga mitra pengada layanan berjumlah 8.315 kasus. Bentuk KDRT/RP yang paling tinggi adalah Kekerasan Terhadap Istri (KTI) sebesar 52% (4.305 kasus), kemudian disusul dengan kekerasan dalam relasi personal lain sebesar 29% (2.428 kasus) dan Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sebesar 13% (1.085 kasus) seperti yang dapat dilihat pada grafik di bawah. (Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2013). Gambar 1.2 Grafik Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Domestik: KDRT/RP Tahun 2013 Sumber: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2013 oleh Komnas Perempuan Selanjutnya pada tahun 2014, terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga/ranah personal (KDRT/RP) dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 terdapat 8.626 kasus KDRT/RP, dimana data menunjukkan bentuk KDRT/RP yang menempati urutan tertinggi yaitu: Kekerasan Terhadap Istri sebesar 59% (5.102 kasus), disusul oleh Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sebesar 21% (1.748 kasus), Kekerasan Terhadap Anak Perempuan (KTAP) sebesar 10 % (843 kasus), Kekerasan dalam relasi personal lain sebesar 9% (750 kasus), Kekerasan dari mantan pacar sebesar 1% (63 kasus), 8
Kekerasan dari mantan suami sebesar 0,7 % (53 kasus) dan Kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sebesar 0,4 % (31 kasus). (Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2014). Dari data yang dihimpun Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (Catahu) pada tahun 2011, 2013 dan 2014 di atas dapat diketahui bahwa dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) selalu menempati urutan terbanyak setelah kekerasan terhadap istri (KTI). Hal ini membuktikan bahwa fenomena kekerasan yang dilakukan dalam masa pacaran merupakan sebuah permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut guna menemukan akar permasalahan serta solusinya. Penelitian tentang kekerasan dalam pacaran di kota Medan sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Olivia Siagian (2009), penelitian itu bertujuan untuk mengetahui gambaran kekerasan dalam pacaranpada remaja kota Medanditinjau dari perbedaan jenis kelamin, kelompok usia, tingkat pendidikan, penggunaan alkohol, dan lamanya menjalin hubungan pacaran. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan gambaran tingkat kekerasan dalam pacaran pada remaja di kota Medan yang dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Secara umum angka kekerasan dalam pacaran (dating violence) pada remaja di Kota Medan adalah 53,11 % yaitu 308 orang dari 600 orang remaja berpacaran yang dijadikan sampel. 2. Remaja pria dan wanita memiliki persentase yang sama dalam bentuk verbal and emotional abuse yaitu masing-masing 100%. Remaja pria lebih banyak 9
menjadi pelaku sexual abuse (65,27%) sementara remaja putri lebih banyak menjadi pelaku physical abuse (90,78%). 3. Remaja awal (37,66%) lebih banyak menjadi pelaku dating violence dibandingkan remaja tengah (26,3%) dan akhir (36,04%) 4. Remaja awal, tengah, dan akhir tidak memiliki persentase yang berbeda dalam bentuk verbal and emotional abuse yaitu masing-masing 100 %. Remaja tengah lebih banyak menjadi pelaku sexual abuse (58,03%) dan physical abuse (90,12%). 5. Jika dibedakan berdasarkan tingkat pendidikan, verbal and emotional abuse tidak menunjukkan angka yang bervariasi dikarenakan masing-masing tingkat pendidikan memperoleh persentase yang sama yaitu (100%), akan tetapi terjadi penurunan sexual dan physical abuse dari tingkat pendidikan SMA ke Perguruan tinggi. 6. Berdasarkan lama berpacaran yaitu remaja yang berpacaran kurang dari 6 bulan sampai 6 bulan (57,30%) lebih banyak menjadi pelaku sexual abuse dibandingkan remaja yang berpacaran lebih dari 6 bulan (50%). Untuk bentuk physical abuse remaja yang berpacaran lebih dari 6 bulan (86,13%) lebih banyak menjadi pelaku dibandingkan remaja yang berpacaran kurang dari 6 bulan sampai 6 bulan (88,64%). Sedangkan untuk verbal and emotional abuse remaja yang berpacaran kurang dari 6 bulan sampai 6 bulan dan lebih dari 6 bulan tidak menunjukkan perbedaan persentase, yaitu masing-masing 100 %. 7. Jika dibedakan berdasarkan penggunaan alkohol terdapat (95,83%) dari pengguna alkohol menjadi pelaku sexual abuse sedangkan yang bukan 10
pengguna alkohol yang menjadi pelaku sexual abuse sebanyak (92,42%), dan (79,17%) dari pengguna alkohol melakukan physical abuse sedangkan yang bukan pengguna alkohol yang menjadi pelaku physical abuse sebanyak (56,06%). Untuk bentuk verbal and emotional abuse tidak terdapat persentase yang berbeda diantara pengguna alkohol dan bukan pengguna alkohol yaitu masing-masing 100 %. 8. Rata-rata kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran 6 bulan keatas (13 kali) lebih tinggi dibandingkan 6 bulan kebawah (12 kali). (Siagian, 2009). Dari berbagai penelitian sebelumnya diketahui bahwa hampir sebagian besar mahasiswa pernah menjalin suatu hubungan khusus dengan lawan jenis yaitu pacaran (dating). Masa berpacaran ini rentan dengan masalah-masalah seperti kekerasan dalam pacaran, namun tidak semua pasangan yang menjalin hubungan pacaran ini mengalami kekerasan dalam pacaran. Peneliti memilih perempuan sebagai subjek penelitian dikarenakan adanya stereotipe gender yang menimbulkan ketimpangan gender yang menyebabkan munculnya asumsi bahwa posisi perempuan ada di bawah laki-laki. Asumsi tersebut turut mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali juga dalam hubungan pacaran, yang nyatanya membuat posisi perempuan menjadi tidak diuntungkan dan seringkali mengalami berbagai kerugian. Berdasarkan pra-penelitian yang telah peneliti lakukan, perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran cenderung menutupi bahwa dirinya telah mengalami kekerasan oleh pacarnya. Korban beranggapan bahwa sang pacar telah melakukan kekhilafan dan memaknai kekerasan yang dialaminya merupakan bentuk rasa sayang dan kepedulian dari pasangannya. Dengan pemaknaan seperti 11
itu akhirnya korban mempertahankan relasi pacaran yang sebenarnya sudah tidak sehat lagi. Korban juga memiliki kecenderungan berpikir bahwa pasangannya merupakan orang yang terbaik dan paling mengerti dirinya. Sehingga korban memilih untuk bersabar atas semua perlakuan kurang patut yang diberikan oleh sang pacar. Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kelurahan Padang Bulan, Kota Medan. Selain karena daerah ini sedikit banyak sudah diketahui oleh peneliti, daerah ini juga biasanya menjadi pilihan mahasiswa rantau untuk indekostkarena lokasinya yang dekat dengan kampus. Berstatus sebagai mahasiswa kost menyebabkan minimnya pengawasan orangtua yang seringkali berimplikasi pada pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, dan lain sebagainya. Selain itu sebagian besar mahasiswa kost-kostan sudah pernah menjalani hubungan pacaran, sehingga diharapkan mampu memberikan informasi yang peneliti perlukan. Kurangnya pengawasan orangtua tersebut menyebabkan mahasiswa kost-kostan lebih rentan mengalami berbagai permasalahan yang telah diuraikan di atas dibandingkan dengan mahasiswa yang tinggal dengan orang tua atau keluarganya, walaupun tak dapat dipungkiri juga bahwa banyak mahasiswa yang tinggal dengan orang tua atau keluarga yang mengalami perilaku menyimpang dan juga mengalami kekerasan dalam pacaran. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut masalah ini dengan melakukan suatu penelitian yang berjudul Kemampuan Adaptasi Perempuan Yang Mengalami Kekerasan Dalam Pacaran (Studi Kasus Pada Mahasiswi Kost-Kostan di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan). 12
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah kemampuan adaptasi mahasiswi kost-kostan yang mengalami kekerasan dalam pacaran di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan? 1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan adaptasi mahasiswi kost-kostan dalam menghadapi kekerasan dalam pacaran di Kelurahan Padang Bulan, Medan. 1.3.2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara Subyektif, sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah dan sistematis serta kemampuan untuk menuangkannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori dan aplikasi yang diperoleh selama duduk di bangku perkuliahan. 2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah atau para penegak hukum agar dapat menindaklanjuti kekerasan khusunya dalam hubungan berpacaran. Sedangkan bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, sehingga masyarakat dapat turut berperan 13
serta dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan dalam hubungan pacaran. 3. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial. 1.4. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam memahami dan mengetahui isi yang terkandung dalam skripsi ini, maka diperlukan sebuah sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan skripsi ini meliputi : BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 14
Bab ini berisikan sejarah singkat gambaran umum lokasi penelitian dan data-data lain yang turut memperkaya karya ilmiah ini. BAB V : ANALISIS DATA Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisisnya. BAB VI : PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan hasil penelitian. 15