RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 25 Februari 2015. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (UU 30/2002). KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Para Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi ; 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum ; 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4. Bahwa penegasan serupa juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, antara lain: menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sementara ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ; 5. Bahwa sebagai pelindung konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berhak memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal undangundang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi. IV. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merupakan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Periode 2011-2015. Pemohon merasa dirugikan dan/atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. V. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI A. NORMA MATERIIL Pasal 32 ayat (1) huruf C dan ayat (2) UU 30/2002 (1) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena:. c. menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan; (2) Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu : Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
VI. ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945 1. Ada rangkaian fakta yang dapat menjadi indikasi kuat bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka tidak berkaitan dengan tindak penyalahgunaan kewenangan Pemohon dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Pimpinan KPK tetapi justru Pemohon dijadikan Tersangka melalui rekayasa dugaan sangkaan atas kasus yang terjadi 5 (lima) tahun yang lalu ketika menangani sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi; 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Berkenaan dengan pasal tersebut ada 2 (dua) hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu berkaitan dengan: kesatu, asas praduga tidak bersalah; dan kedua, menjadi tersangka karena menyalahgunakan kekuasaan dalam jabatannya atau menjadi tersangka karena melakukan dugaan tindakan pidana pada periode jabatannya dan dengan kualifikasi delik tindak pidana tertentu. 3. Asas pra-duga tidak bersalah yang merupakan asas hukum yang fundamental ini telah dilanggar oleh Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang menyatakan, Pimpinan Komisi Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan sementara karena menjadi tersangka tapi tidak pernah ada kualifikasi yang jelas mengenai delik yang menjadi dasar sangkaan atau kapan waktu terjadinya tindak pidana (maksudnya, dugaan tindak pidana dilakukan pada periode jabatannya) atau ada-tidaknya penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan dalam jabatannya dan di masa jabatannya. Pendeknya, dalam hal menghadapi tindakan polisional dan perlindungan hukum, Pimpinan KPK juga tidak mempunyai perlindungan yang sama, bahkan termasuk paling lemah dibandingkan pejabat negara yang lain 4. Jika tanpa pembatasan yang jelas dan tegas, maka melalui tindak pidana kejahatan apapun, Pimpinan KPK mudah didelegitimasi dan dilumpuhkan dengan modus pemberhentian sementara melalui status tersangka. Padahal kasusnya tersebut bisa saja suatu sangkaan yang sifatnya kriminalisasi, atau tindak pidana yang diada-adakan atau dicaricari semata-mata ditujukan untuk mentersangkakan Pimpinan KPK. 5. Jika jenis dan kualifikasi suatu tindak pidana kejahatan tidak dibatasi dengan jelas dan tegas, maka bukan hanya Pimpinan KPK yang rentan dan tidak mendapatkan perlindungan hukum yang patut dan layak saja, tetapi lebih jauh dari itu, independensi lembaga KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dapat sangat mudah terjadi, diterobos dan digunakan sebagai pintu masuk dan modus untuk menghentikan dan sekaligus melumpuhkan pemberantasan korupsi. 6. Dengan demikian bila tidak dirumuskan secara secara jelas maka tanpa pembatasan yang tegas atas frasa, tersangka tindak pidana kejahatan, meskipun hanya pemberhentian sementara, sebenarnya menjadi
pemberhentian yang bersifat tetap sampai akhir masa jabatan, karena proses persidangan kejahatan pidana memakan waktu yang lama untuk berkekuatan hukum tetap, apalagi jika dibandingkan dengan masa jabatan Pimpinan KPK yang hanya 4 (empat) tahun. 7. Dalam kasus yang sekarang dihadapi Pemohon, dengan sisa masa tugas yang akan berakhir di bulan Desember 2015, maka pentersangkaan dan pemberhentian sementara di bulan Februari 2015, sangat boleh jadi menjadi pemberhentian tetap sampai akhir masa jabatan di bulan Desember 2015, karena proses persidangan pidana hingga hasil yang berkekuatan hukum tetap sudah pasti tidak akan selesai sebelum Desember 2015. 8. Pembatasan atas frasa tersangka tindak pidana kejahatan adalah sesuatu yang wajib untuk dilakukan agar tidak menabrak prinsip independensi KPK, maka frasa tersangka tindak pidana kejahatan harus dibatasi berdasarkan dua hal, yaitu: kesatu, jenis dan kualifikasi tindak pidananya; dan kedua, prosedur atau tata cara penetapan tersangkanya. Pada konteks itu maka frasa tersangka tindak pidana kejahatan dimaknai terbatas yaitu melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, perdagangan manusia dan tindak pidana yang terkait dengan kewenangannya yang dilakukan pada masa jabatan; serta frasa diberhentikan sementara dari jabatannya seyogianya dimaknai terbatas, yaitu dapat diberhentikan sementara dari jabatannya ; serta penetapan tersangka itu dilakukan setelah mendapatkan izin Presiden. VII. PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Pasal 32 ayat (2) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, kecuali frasa tindak pidana kejahatan dimaknai terbatas untuk melakukan tindak pidana Korupsi, Terorisme, Perdagangan Manusia dan tindak pidana yang terkait dengan kewenangannya yang dilakukan pada masa jabatan; 3. Menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (1) huruf (c) UU KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, kecuali frasa tersangka tindak pidana kejahatan dimaknai terbatas untuk melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, perdagangan manusia dan tindak pidana yang terkait dengan kewenangannya yang dilakukan pada masa jabatan; serta penetapan tersangka itu setelah mendapatkan izin Presiden. 4. Menyatakan Pasal 32 ayat (2) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, kecuali frasa diberhentikan sementara dari jabatannya dimaknai terbatas dapat diberhentikan sementara dari jabatannya. 5. Menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (1) huruf (c) UU KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya, kecuali frasa diberhentikan sementara dari jabatannya dimaknai terbatas dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
6. Memerintahkan pemuatan Putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan a quo dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Berhormat memandang perlu dan layak, maka kami memohonkan agar perkara a-quo dapat diputuskan seadil-adilnya (ex aquo et bono).