BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

anak yang berusia di bawahnya. Pada usia ini pemberian makanan untuk anak lakilaki dan perempuan mulai dibedakan.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B A B II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa kanak-kanak dibagi menjadi dua periode yang berbeda, yaitu masa awal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

TINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

PERBEDAAN PENGGUNAAN INDEKS MEMBERIKAN PREVALENSI STATUS GIZI YG. BERBEDA.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa usia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam kehidupan sehari-hari, pangan mempunyai peranan penting bagi

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan penanggulangnya harus melibatkan berbagai sektor terkait.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kedekatan dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD dibawah median panjang atau

energi yang dibutuhkan dan yang dilepaskan dari makanan harus seimbang Satuan energi :kilokalori yaitu sejumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengasuhan berasal dari kata asuh(to rear) yang mempunyai makna

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

BAB I PENDAHULUAN. depan bangsa, balita sehat akan menjadikan balita yang cerdas. Balita salah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cukup diperoleh melalui produksi pangan dalam negeri melalui upaya pertanian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Supariasa,

II. TINJAUAN PUSTAKA. memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan. Disamping. dan produktivitas kerja (Almatsier, 2002).

BAB II TINJAUAN TEORITIS

ISSN InfoDATIN PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI SITUASI GIZI. di Indonesia. 25 Januari - Hari Gizi dan Makanan Sedunia

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang sering terjadi pada anak balita, karena anak. balita mengalami pertumbuhan badan yang cukup pesat sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. anak yang rentang usianya 3 6 tahun (Suprapti, 2004). Anak usia

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG KADARZI DENGAN ASUPAN ENERGI DAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI DESA JAGAN KECAMATAN BENDOSARI KABUPATEN SUKOHARJO

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bayi yang baru lahir dan pada umur selanjutnya, apabila diberikan dalam jumlah

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori Tanggapan dan Penanganan. yang diterima oleh pancaindra, bayangan di angan-angan.

BAB II LANDASAN TEORI

kekurangan energi kronik (pada remaja puteri)

PENDIDIKAN IBU, KETERATURAN PENIMBANGAN, ASUPAN GIZI DAN STATUS GIZI ANAK USIA 0-24 BULAN

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia harus

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dasar terbentuknya manusia seutuhnya. Periode penting dalam tumbuh kembang anak

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

PENDAHULUAN. Setiap manusia mengalami siklus kehidupan mulai dari dalam. kandungan (janin), berkembang menjadi bayi, tumbuh menjadi anak,

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrient (Beck 2002 dalam Jafar

BAB I PENDAHULUAN. Survei Antar Sensus BPS 2005 jumlah remaja di Indonesia adalah 41 juta jiwa,

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Gizi. Disusun oleh : AGUSTINA ITRIANI J

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah. menurunkan angka kematian anak (Bappenas, 2007). Kurang gizi merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Makan Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan juga dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau sekelompok orang atau keluarga memilih makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, kebudayaan dan sosial (Suhardjo, 1989). Pola makan yang baik mengandung makanan sumber energi, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur, karena semua zat gizi diperlukan untuk pertumbuhan dan pemiliharaan tubuh serta perkembangan otak dan produktifitas kerja, serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan. Dengan pola makan sehari-hari yang seimbang dan aman, berguna untuk mencapai dan mempertahankan status gizi dan kesehatan yang optimal (Almatsier, S. dkk. 2011). Pola makan di suatu daerah dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan beberapa faktor ataupun kondisi setempat, yang dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu pertama adalah faktor yang berhubungan dengan persediaan atau pengadaan bahan pangan. Termasuk di sini faktor geografi, iklim, kesuburan tanah berkaitan dengan produksi bahan makanan, sumber daya perairan, kemajuan teknologi, transportasi, distribusi, dan persediaan suatu daerah. Kedua, adalah faktor-faktor dan adat kebiasaan yang berhubungan dengan konsumen. Taraf sosio-ekonomi dan adat

kebiasaan setempat memegang peranan penting dalam pola konsumsi penduduk. Ketiga, hal yang dapat berpengaruh di sini adalah bantuan atau subsidi terhadap bahan-bahan tertentu (Santoso dan Ranti, 2004). Pola makan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah : kebiasaan kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam, dan sebagainya. Sejak zaman dahulu kala, makanan selain untuk kekuatan/pertumbuhan, memenuhi rasa lapar, dan selera, juga mendapat tempat sebagai lambang yaitu lambang kemakmuran, kekuasaan, ketentraman dan persahabatan. Semua faktor di atas bercampur membentuk suatu ramuan yang kompak yang dapat disebut pola konsumsi (Santoso dan Ranti, 2004). Pemilihan bahan makanan ternyata dipengaruhi oleh unsur-unsur tertentu. Pertama, sumber-sumber pengetahuan masyarakat dalam memilih dan mengolah pangan mereka sehari-hari. Termasuk dalam sumber pengetahuan dalam memilih dan mengolah pangan adalah : sistem sosial keluarga secara turun temurun, proses sosialisasi dan interaksi anggota keluarga dengan media massa. Kedua, aspek aset dan akses masyarakat terhadap pangan mereka sehari-hari. Unsur aset dan akses terhadap pangan adalah berkenaan dengan pemilikan dan peluang upaya yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga guna melakukan budidaya tanaman pangan dan atau sumber nafkah yang menghasilkan bahan pangan atau natura (uang). Ketiga, pengaruh tokoh panutan atau yang berpengaruh. Pengaruh tokoh panutan terutama berkenaan dengan hubungan bapak anak, jika keluarga yang memperoleh pangan atau nafkah berupa uang kontan melalui usaha tani majikan (Santoso dan Ranti, 2004).

Pola makan masyarakat atau kelompok di mana anak berada, akan sangat mempengaruhi kebiasaan makan, selera, dan daya terima anak akan suatu makanan. Oleh karena itu, di lingkungan anak hidup terutama keluarga perlu pembiasaan makan anak yang memperhatikan kesehatan dan gizi (Santoso dan Ranti, 2004). 2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Makan 1. Pengetahuan ibu mengenai makanan yang bergizi Bila pengetahuan tentang bahan makanan yang bergizi masih kurang maka pemberian makanan untuk keluarga biasa dipilih bahan-bahan makanan yang hanya dapat mengenyangkan perut saja tanpa memikirkan apakah makanan itu bergizi atau tidak, sehingga kebutuhan gizi energi dan zat gizi masyarakat dan anggota keluarga tidak tercukupi. Menurut Suhardjo (1989), bila ibu rumah tangga memiliki pengetahuan gizi yang baik ia akan mampu untuk memilih makanan-makanan yang bergizi untuk dikonsumsi. 2. Pendidikan ibu Peranan ibu sangat penting dalam penyediaan makanan bagi anaknya. Pendidikan ibu sangat menentukan dalam pilihan makanan dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak dan anggota keluarganya lainnya. Pendidikan gizi ibu bertujuan meningkatkan penggunaan sumber daya makanan yang tersedia. Hal ini dapat diasumsikan bahwa tingkat kecukupan zat gizi pada anak tinggi bila pendidikan ibu tinggi (Depkes RI, 2000).

3. Pendapatan Keluarga Pendapatan salah satu faktor dalam menentukan kualitas dan kuantitas makanan.tingkat pendapatan ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli dengan tambahan uang tersebut. Orang miskin membelanjakan sebagian pendapatan tambahan untuk makanan sedangkan orang kaya jauh lebih rendah (Agoes, 2003). 4. Jumlah Anggota Keluarga Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar. Harper (1988), mencoba menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang. Menurut Hurlock 1998 dalam Gabriel 2008, jumlah anggota keluarga dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) kelompok kecil 3-4 orang, (2) kelompok sedang 5-6 orang dan kelompok besar 7-9 orang.

Menurut penelitian yang dilakukan Nadaek (2011) di Kelurahan Pekan Dolok Masihul, yang meneliti gambaran pola makan dan status gizi anak balita berdasarkan karakteristik keluarga menunjukkan bahwa pola makan anak balita yang baik berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein ditemukan pada keluarga kecil ( 4 orang), pendapatan keluarga tinggi dan pengetahuan gizi ibu baik, sementara pola makan anak balita yang kurang ditemukan pada keluarga besar ( 7 orang) dan pengetahuan gizi ibu kurang. Demikian juga pada anak balita yang mempunyai status gizi normal ditemukan pada keluarga kecil ( 4 orang), pendapatan keluarga tinggi dan pengetahuan gizi ibu baik. Sementara anak balita yang gizi kurang, pendek dan kurus ditemukan pada keluarga besar ( 7 orang) dan pengetahuan gizi ibu kurang. Anak balita yang memiliki status gizi normal ditemukan pada keluarga yang konsumsi energi dan protein baik. Sementara gizi kurang, pendek dan kurus pada konsumsi energi dan protein keluarga kurang. 2.3 Pola Makan Balita Air susu ibu (ASI) merupakan makanan yang paling baik bagi bayi dan balita hingga berumur dua tahun, dan dianjurkan memberikan secara ekslusif selama enam bulan pertama. Secara berangsur sesudah berusia enam bulan bayi diberikan makanan lumat, makanan lembek dan makanan biasa guna untuk mengembangkan kemampuan mengunyah, menelan serta menerima bermacam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat-zat gizi dibutuhkan. Pemberian makanan hendaknya disesuaikan dengan perkembangan

balita, makanan hendaknya dipilih dengan baik yaitu mudah dicerna, diabsorpsi dan dimetabolisme. Makanan akan mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan fisik dan mental balita, oleh karena itu makanan yang diberikan harus memenuhi kebutuhan gizi balita. Balita dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya ditentukan oleh makanan yang dimakan sehari-hari, untuk tumbuh optimal membutuhkan asupan makanan yang baik yaitu beragam, jumlah yang cukup, bergizi dan seimbang (Depkes RI,2002). Tabel 2.1 Pola Pemberian Makanan Balita Menurut Kecukupan Energi Umur Balita Total Energi (kkal) Waktu Pembagian Makanan Sehari Balita Menurut Kecukupan Energi Selingan Selingan Siang Sore Pagi (Siang) Pagi 0-6 bulan 550 6-8 bulan 650 84-97 - 28 9-11 bulan 900 122 36 123 25 143 12 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun 1100 1300 1550 Sumber : Soekirman, dkk 2010 144 221 318,75 50 149 125 218 261 06,25 126 87 325 253 235 375 Faktor-faktor yang perlu di perhatikan untuk pengaturan makan yang tepat adalah umur, berat badan, keadaan mulut sebagai alat penerima makanan, kebiasaan makan, kesukaan dan ketidaksukaan, akseptabilitas dari makanan dan toleransi anak terhadap makanan yang diberikan. Dengan memperhatikan dan memperhitungkan faktor-faktor tersebut diatas umumnya tidak akan terjadi kekeliruan dalam mengatur makanan untuk balita. Pada

umumnya kepada anak balita telah dapat diberikan jadwal waktu makan yang berupa tiga kali makan dan diantaranya dua kali makanan selingan. 2.4 Kebutuhan Zat Gizi Pada Balita Kebutuhan gizi balita diberikan harus disesuaikan dengan umur, jenis kelamin, berat badan, aktivitas, jumlah yang cukup, bergizi dan seimbang. Guna untuk pemeliharaan, pemulihan, pertumbuhan dan perkembangan. Karena balita sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang pesat (Uripi, 2004). Kebutuhan energi protein balita berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata perhari yang dianjurkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2.2 Kebutuhan Konsumsi Energi dan Protein Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi Anjuran (AKG) Rata-Rata Per Hari No Kelompok Umur Berat Tinggi Energi Protein Badan (kg) Badan (kg) (kkal) (kkal) 1 0-6 bulan 6,0 60 550 10 2 7-11 bulan 8,5 71 650 16 3 1-3 tahun 12,0 90 1000 25 4 4-6 tahun 18,0 110 1550 39 Sumber : Widyakarya Pangan dan Gizi, 2004 2.4.1 Energi Energi dibutuhkan oleh tubuh yang berasal dari zat gizi yang merupakan sumber utama yaitu karbohidrat, lemak dan protein. Energi yang diperlukan tubuh ini dinyatakan dalam satuan kalori. Setiap 1 (satu) gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori, 1 (satu) gram lemak menghasilkan 9 kalori dan 1 (satu) gram protein

menghasilkan 4 kalori. Energi yang diperlukan tubuh dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu : (1) Energi untuk kebutuhan fisiologis minimal tubuh dalam keadaan basal, (2) Energi untuk melakukan kerja luar yaitu energi yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan atau aktivitas fisik, (3) Energi untuk menutup pengaruh makanan yaitu banyaknya energi yang digunakan untuk mencerna atau mengangkut makanan dalam tubuh. Kebutuhan energi balita sehat dapat dihitung berdasarkan usia dan berat badan. Kebutuhan energi dalam sehari pada balita usia 1-3 tahun adalah 100 kalori per kilogram berat badan, sedangkan pada anak prasekolah kebutuhan energi dalam sehari 4-6 tahun adalah 90 kalori per kilogram berat badan (Sulistijiani,dkk 2001). 2.4.2 Protein Protein merupakan bahan pembentuk dasar struktur sel tubuh. Protein merupakan bagian kedua terbesar tubuh setelah air. Protein juga merupakan bagian penting dari bahan-bahan pengatur seperti enzim, hormon, dan plasma darah. Jaringan ini harus senantiasa diganti dan diperbaiki. Protein fungsi utamanya adalah membentuk jaringan baru dan memperbaiki jaringan yang rusak. Pada anak balita yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan membutuhkan lebih banyak protein, sedangkan pada orang dewasa hanya untuk memelihara jaringan. Jadi bila protein makanan melebihi jumlah yang diperlukan untuk pembangunan dan pemeliharaan, protein digunakan sebagai zat energi, bila zat energi utama berupa karbohidrat dan lemak kurang dalam makanan sehari-hari (Almatsier, S. dkk, 2011). Balita yang sedang dalam masa pertumbuhan secara fisiologis kebutuhan protein relatif lebih besar dari pada orang dewasa. Menurut Persagi (1992),

kebutuhan protein balita sehat (1-3 tahun) dalam sehari 2,5 gram per kilogram berat badan sedangkan pada balita sehat pra sekolah (>3-4 tahun) dalam sehari 2 gram per kilogram berat badan. 2.5 Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi dan penyerapan zat besi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak (Riyadi, 2001). Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsier, S. 2001). 2.5.1 Penilaian Status Gizi Menurut Gibson (1998) diikuti oleh Almatsier, S. dkk (2011), penilaian status gizi adalah upaya menginterpretasikan semua informasi yang diperoleh melalui penilaian antropometri, konsumsi makanan, biokimia, dan klinik yang berguna untuk menetapkan status kesehatan perorangan atau kelompok orang yang dipengaruhi oleh konsumsi dan utilisasi zat-zat gizi. Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan penilaian secara tidak langsung. Adapun penilaian secara langsung dengan metode

antropometri sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dengan metode survei konsumsi makanan. 1. Penilaian Secara Langsung dengan Metode Antropometri Menurut Jellife dalam Gibson (1990) Penilaian antropometri adalah pengukuran variasi dari dimensi fisik dan komposisi kasar tubuh manusia pada tingkat usia dan status gizi yang berbeda. Sedangkan menurut Lee dan Nieman (2007) Penilaian antropometri adalah pengukuran besar tubuh, berat badan, dan proporsi. Hasil yang diperoleh dari antropometri dapat merupakan indikator sensitif dari kesehatan, perkembangan, dan pertumbuhan bayi dan anak, dapat digunakan untuk mengevaluasi status gizi apakah berupa obesitas yang disebabkan oleh gizi lebih atau kurus yang disebabkan kurang energi protein (KEP). Penilaian antropometri dilakukan melalui pengukuran dimensi fisik dan komposisi kasar tubuh. Penilaian dilakukan terhadap berat badan (BB), panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB), lingkar kepala, lingkar lengan atas (LLA atau LILA) dan tebal lemak kulit (Almatsier, S. dkk, 2011) Untuk menilai status gizi balita dengan menggunakan beberapa indeks penilaian yaitu berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut panjang badan atau tinggi badan (BB/PB atau BB/TB), panjang badan atau tinggi badan menurut Umur (PB/U atau TB/U), dan indeks yang baru diperkenalkan oleh WHO (2005) yaitu indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U). Dalam menggunakan semua indeks tersebut, dianjurkan menggunakan perhitungan dengan Z-sore (menggunakan nilai median sebagai nilai normalnya). Interpretasi berbagai indikator pertumbuhan tersebut dapat di lihat pada Tabel.2.3

Tabel 2.3 Baku Antropometri Menurut Standar WHO 2005 Indikator Status Gizi Keterangan Berat Badan menurut Umur (BB/U) Status Gizi Baik Status Gizi Kurang Status Gizi Sangat Kurang Status Gizi Lebih - 2 SD sampai 2 SD - 3 SD sampai < -2 SD < - 3 SD >2 SD Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB) Normal Pendek Sangat Pendek Tinggi - 2 SD sampai 2 SD - 3 SD sampai <-2 SD < - 3 SD >2 SD Berat Badan menurut Panjang Badan atau Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Sangat gemuk Gemuk Risiko gemuk Normal Kurus Sangat Kurus Sumber : Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, 2012 > 3 SD > 2 SD sampai 3 SD > 1 SD sampai 2 SD - 2 SD sampai 2 SD - 3 SD sampai < -2 SD < - 3 SD a) Indeks berat badan menurut umur (BB/U) Merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan sebagai indikator dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan gizi terjamin. Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya terserang infeksi, kurang nafsu makan dan menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan status gizi sekarang. Berat badan yang bersifat labil, menyebabkan indeks ini lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Current Nutritional Status) (Supariasa, dkk, 2001).

b). Indeks panjang badan atau tinggi badan menurut umur (PB-TB/U) Indeks TB/U disamping memberikan status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status ekonomi (Beaton dan Bengoa (1973) dalam Supariasa, dkk. (2001). c). Indeks berat badan menurut panjang badan atau tinggi badan (BB/PB-TB) Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa, dkk., 2001). Serbagai indeks antropometri, untuk menginterpretasinya dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas yang paling umum digunakan saat ini adalah dengan memakai standar deviasi unit (SD) atau disebut juga Z-Skor. Rumus perhitungan Z-Skor adalah : Z-Skor = Nilai individu subyek-nilai median Baku Rujukan Nilai Simpang Baku Rujukan 2. Penilaian Secara Tidak Langsung dengan Metode Survei Konsumsi Makanan Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Metode survei konsumsi makanan untuk individu antara lain : a). Metode recall 24 jam b). Metode frekuensi makanan (food frequency).

2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Menurut Unicef (1998) gizi kurang pada anak balita disebabkan oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan sebagai penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah dan akar masalah. Gizi kurang secara langsung disebabkan oleh kurangya konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Makin bertambah usia anak maka makin bertambah pula kebutuhannya. Konsumsi makanan dalam keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Almatsier, 2001). Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga mudah diserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi kurang (Soekirman, 2000). Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Menurut Schaible & Kauffman (2007) hubungan antara kurang gizi dengan penyakit infeksi tergantung dari besarnya dampak yang ditimbulkan oleh sejumlah infeksi terhadap status gizi itu sendiri. Penyakit infeksi bisa berkontribusi terhadap kurang gizi seperti infeksi pencernaan dapat menyebabkan diare, tuberculosis, dan beberapa penyakit infeksi kronis lainnya bisa menyebabkan anemia dan parasit pada

usus dapat menyebabkan anemia. Penyakit Infeksi disebabkan oleh kurangnya sanitasi dan bersih, pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, dan pola asuh anak yang tidak memadai (Soekirman, 2000). Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor yang saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi (Unicef, 1998) Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi di atas adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita (Soekirman, 2000).

Dampak Gizi Kurang Penyebab Langsung Makanan Tidak Seimbang Penyakit Infeksi Penyebab Tidak langsung Tidak cukup persediaan pangan Pola asuh anak tidak memadai Sanitasi dan air bersih/pelayanan kesehatan dasar tidak memadai Kurang pendidikan, pengetahuan dan keterampilan Pokok Masalah di Masyarakat Kurang pemberdayaan wanita, keluarga, kurang pemanfaatan sumber daya masyarakat Penganggur,inflasi, kurang pangan dan kemiskinan Akar Masalah Krisis ekonomi,politik dan sosial Gambar 2.1 Skema Terjadinya Gizi Kurang

2.7 Kerangka Konsep Berdasarkan pada masalah dan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Pengetahuan Gizi Ibu Pola Makan Balita Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Pola Penyakit Status Gizi Balita Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Pengetahuan gizi ibu, pola makan, tingkat konsumsi energi, protein dan pola penyakit dapat mempengaruhi status gizi balita.