PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan bisa dijumpai di belahan manapun di dunia, tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di pedesaan. Chambers (1988) melihat bahwa ada lima "ketidakberuntungan" yang melingkari kehidupan orang miskin, yaitu: (1) kemiskinan (poverty); (2) kelemahan fisik (physical weakness); (3) kerentanan (vulnerability); (4) isolasi ( isolation) dan; (5) ketidakberdayaan (powerlessness). Menurut Sajogyo (1991), di daerah pedesaan, rumah tangga miskin umumnya adalah rumah tangga nelayan, petani berlahan sempit, buruh tani dan pengrajin. Di daerah perkotaan, golongan miskin bukan hanya mereka yang tidak mendapatkan kesempatan kerja di sektor perkotaan yang populer, juga terdapat petani-petani yang mengusahakan lahan-lahan sempit milik orang lain yang belum dimanfaatkan. Menurut Nasoetion (1996), kemisk~nan dapat dibedakan atas kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah berkaitan dengan rendahnya kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Hal ini didukung oleh pendapat Mintoro dan Gatoet (1995), yang menyatakan bahwa terjadinya kemiskinan di daerah pedesaan sangat terka~t dengan ketersed~aan sumberdaya alam yang mendukung kehidupan, serta rendahnya mutu sumberdaya manusia. Demikian juga dengan daerah perkotaan, kemisk~nan juga terkait dengan rendahnya mutu sumberdaya manusia untuk b~sa menuju pada kehidupan yang lebih baik. Berbeda dengan kemisk~nan alam~ah, kemiskinan struktural berkaitan secara langsung ataupun tidak langsung dengan tatanan kelembagaan, dan salah satu terjadinya konversi penggunaan lahan dar~ penggunaan pertanian ke penggunaan non-pertanian yang menyertal proses
transformasi struktural. Di pulau Jawa misalnya, pada kurun waktu 1993-1 998, rata-rata setiap tahunnya 22.800 ha lahan sawah telah dikonversikan ke penggunaan pernukiman dan industri. Di daerah-daerah pinggiran perkotaan, masyarakat yang tadinya hidup di bidang pertanian dan merupakan petani pemilik, karena menjual tanahnya berubah menjadi petani penggarap, sehingga secara tidak langsung berpengaruh pada kehidupannya secara ekonomi dan sosial. Berbeda dengan Nasoetion, Lewis (1995) memahami kerniskinan dan ciri-cirinya sebagai suatu kebudayaan, atau sebagai suatu sub-kebudayaan dengan struktur dan hakikatnya sebagai suatu cara hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis keluarga. Menurut Lewis, berkernbangnya kebudayaan kemiskinan di tengah masyarakat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu karena: (1) sistem ekonomi, buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan; (2) tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil; (3) rendahnya upah buruh; (4) tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah rneningkatkan organisasi sosial, ekonorni dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah; (5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral; dan (6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan pemupukan harta kekayaan dan rnemungkinkan adanya rnobilitas vertikal dan s~kap hernat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai has11 ketidaksanggupan pribadi atau mernang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya Oar1 sudut pandang pembangunan wilayah, Sutomo (1995) menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab kemiskinan tidak hanya berasal dari faktor faktor internal, tetapt juga faktor eksternal. Faktor internal berhubungan dengan
sumberdaya manusia, yaitu rendahnya keahlian sehingga rendahnya tingkat upah, sedangkan famor eksternal berkaitan dengan buruknya prasarana dan sarana transportasi yang menyebabkan sulitnya pemasaran hasil, rendahnya aksesibilitas terhadap modal, rendahnya sumberdaya alam, penggunaan sumberdaya yang terbatas, serta sistem kelembagaan yang kurang sesuai dengan kondisi masyarakat, yang kesemua itu menyebabkan rendahnya pendapatan yang diterima. Di pedesaan Jawa, terbatasnya sumberdaya alam (lahan) telah berlangsung semenjak masa kolonial Belanda, yaitu karena semakin meningkatnya jumlah penduduk di daerah pedesaan. Dari data Sensus Pertanian 1983, jumlah rumah tangga yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar adalah sekitar 7.024.207 rumah tangga dan dari data Sensus Pertanian tahun 1993 meningkat menjadi 9.104.747 rumah tangga. Dengan terbatasnya lahan-lahan yang dapat diusahakan tersebut, menyebabkan semakin sulitnya petani dari golongan bawah mendapatkan mata pencaharian di bidang pertanian yang bisa menghidupi diri dan keluarganya. Untuk mengatasi ha1 itu, berbagai upaya dilakukan, misalnya: melakukan pola nafkah ganda dengan memasuki berbagai jenis pekerjaan; menambah jumlah anggota rumah tangga yang bekerja; ataupun memanfaatkan lembaga kesejahteraan asli (lembaga informal hasil bentukan masyarakat sendiri) yang ada di lingkungannya. Berkaitan dengan pola nafkah ganda, di daerah pedesaan, selain dilakukan di lingkungan desanya sendiri, juga dilakukan di luar lingkungan desa dengan tujuan yang sama yaitu untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Pola nafkah ganda yang umum dilakukan oleh masyarakat pedesaan adalah dengan menggabungkan pekerjaan di bidang pertanian dan non pertanian, seperti berdagang, menjadi kuli bangunan, dsb, sedangkan di luar desa, mereka
melakukan pekerjaan-pekerjaan di sektor informal, seperti yang dikemukakan Sajogyo (1978), bahwa kadang-kadang mereka yang berasal dari lapisan bawah berusaha sampai ke kota dengan menggeluti usaha-usaha berskala kecil atau usaha di sektor informal. Hasil penelitian Kolopak~ng (1988) yang dilakukan di desa-kotal, juga menunjukkan bahwa pola nafkah yang dilakukan oleh masyarakat lapisan bawah selain bekerja di bidang pertanian, juga bekerja di sektor informal non-pertanian. Peluang kerja di sektor informal non-pertanian yang dimasuki ada juga sektor informal yang menyimpang dari hukum, misalnya menjadi pencuri. Akan tetapi usaha sektor informal yang menyimpang dari hukum ini sering memberikan pendapatan yang bisa menghidupi diri dan keluarga masyarakat lapisan bawah. Sedikit berbeda dengan wilayah pedesaan dimana sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama penduduk, di wilayah pinggiran perkotaan, seperti Bekasi, pertanian bukan lagi merupakan sektor utama yang dimasuki penduduknya. Namun demikian, bukan berarti pertanian tidak lagi menjadi mata pencaharian penduduk, keterbatasan lahan tidak menghalangi sebagian masyarakat untuk tetap berusaha di bidang pertanian, dengan mengolah lahan-lahan yang belum dimanfaatkan oleh pemiliknya (lahan terlantarllahan tidur). Dari hasil beberapa tulisan dan juga dari pantauan sendiri, lahan-lahan tersebut adalah lahan-lahan yang ada dl bantaran kali, di pinggiran re1 kereta api, lahan-lahan milik pengembang, dsb Lahan- lahan tersebut umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat lap~san bawah yang tidak mempunyai lahan untuk usaha, dengan ditanami tanaman-tanaman berumur pendek, seperti: kangkung, bayam, sawi, dsb. ' Menurut klasifikasi BPS, desa kota merupakan desa yang mempunyai ciri-ciri ko~a, dcrlgarl persyaratan: (I) kepadatan penduduk >= 5000 jiwa/km2; (2) paling banyak 25 Oh rurnnh tanggo bekerja di bidang pertanian; (3) mempunyai 8 atau lebih fasilitas yang menunjukkan ciri Lora.
Hasil penelitian Siregar &k (1999) menunjukkan bahwa petani yang berusahatani di daerah pinggiran perkotaan, selain merupakan penduduk setempat, juga dijumpai petani yang berasal dari luar wilayah (luar kabupaten bahkan luar provinsi). Di daerah Bekasi, petani luar yang dijumpai mengusahakan lahan-lahan pertanian tersebut berasal dari Indramayu, Cirebon dan Brebes (Jawa Tengah). Bagi petani pendatang, alasan mereka melakukan usahatani di daerah perkotaan adalah karena tidak memiliki lahan di daerah asal, serta karena kalah bersaing dengan pekerja-pekerja dari daerah lain di perkotaan menyebabkan mereka terdampar jadi petani di pinggiran perkotaan. Bagi sebagian penduduk setempat, bertani memang merupakan pekerjaan utama dan bagi sebagian lainnya bertani lebih disebabkan untuk memanfaatkan lahan yang belum dimanfaatkan oleh pemiliknya guna menambah penghasilan dari bidang lain yang telah ditekuni semenjak lama. Di beberapa wilayah pinggiran perkotaan, sangat ironis sekali, penduduk setempat yang memanfaatkan lahan-lahan terlantar tersebut tadinya adalah pemilik lahan, tetapi karena dijual maka berubahlah status mereka dari petani pemilik menjadi petani penggarap. Pemanfaatan lahan-lahan terlantar yang ada di pinggiran perkotaan, bagi sebag~an petani sudah lama dilakukan, namun semenjak terjadinya krisis ekonom~ dl Indonesia sekitar tahun 1998, tindakan masyarakat memanfaatkan lahan terlantar atau lahan tidur tersebut mendapat dukungan dari pemerintah, yaltu dengan adanya Peraturan Menteri Negara AgrariaIKepala Badan Pertanahan Nasconal No. 311998. Peraturan tersebut berisi tentang kewajiban pemegang hak atas tanah atau pihak yang memperoleh penguasaan atas tanah untuk memanfaatkan lahan kosong yang dimiliki atau dikuasainya. Lahan-lahan tersebut terdiri dar~ lahan atau tanah yang dikuasai dengan hak milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, serta tanah hak pengelolaan dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau yang belum dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya ataupun menurut Tata Ruang Wilayah yang berlaku (Pasal 1, Ayat 1 pp Menneg. Agraria No. 311998). Selain strategi ekonomi seperti yang dijelaskan di atas, strategi nonekonomi dilakukan dengan memanfaatkan lembaga kesejahteraan asli yang ada di lingkungannya. Pemanfaatan lembaga kesejahteraan asli dilakukan melalui keterlibatan anggota masyarakat dalam berbagai lembaga yang ada, misalnya dalam lembaga arisan, gotong royong dalam perbaikan saluran, bagi hasil, dsb. Dari hasil penelitian Sitorus (1999) di beberapa desa di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur, serta penelitian lstiani dkk (1992) di dua desa di Jawa Tengah, menunjukkan bahwa dengan terlibatnya anggota masyarakat dalam lembaga kesejahteraan asli dapat membantu masyarakat dalam upaya mempertahankan atau memperbaiki taraf kesejahteraan masyarakat. Pertnasalahan Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa di daerah pinggiran perkotaan, lahan-lahan pertanian semakin berkurang dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh terjadinya konversi penggunaan lahan, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan status sebagian petani dari petani pemilik menjadi petani penggarap. Berkurangnya lahan yang dimiliki atau bahkan habisnya iahan garapan yang dimiliki, ditambah lagi terbatasnya akses
rumah tangga (dalam ha1 ini petani lapisan bawah) terhadap sumberdaya ekonomi (dalam ha1 ini modal), maka banyak diantara mereka memanfaatkan lahan-lahan terlantar untuk tetap bertahan hidup. Namun demikian, memanfaatkan lahan tidur tidak bisa memberi jaminan rasa aman bagi petani untuk kelangsungan sumber nafkahnya, karena sewaktu-waktu lahan tersebut bisa saja diambil oleh pemiliknya. Oleh karena itu, tidaklah mungkin untuk tetap bertahan hidup dengan hanya mengandalkan hidup dari pengolahan lahan tidur saja, karena untuk luasan yang terbatas sangatlah tidak mungkin untuk bisa bertahan hidup kalau tidak ada sumber nafkah lain yang membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara sosial dan ekonomi. Berkaitan dengan ha1 tersebut di atas, maka timbul suatu pertanyaan untuk dicari kejelasannya, yaitu: bagaimana strategi yang dilakukan rumah tangga (RT) petani tak berlahan (memiliki lahan sempit) untuk tetap bertahan hidup di wilayah pinggiran perkotaan? Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah: 1. Untuk mengkaji bagaimana karakteristik desa pinggiran perkotaan dan kemiskinannya. 2. Untuk mengkaji bagaimana karakteristik rumah tangga miskin pinggiran perkotaan dan faktor-faktor penyebab kemiskinan yang dialaminya. 3. Untuk mengkaji strategi yang dilakukan oleh rumah tangga miskin untuk tetap bertahan hidup dan mengkaji sampai sejauh mana peranan
"stakeholder" (pemerintah, swasta dan organisasi IokalILSM) dalam upaya mengatasi kemiskinan di daerah pinggiran perkotaan. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini diharapkan: 1. Dapat menambah pengetahuan pembaca dalam kaitannya dengan upaya pemanfaatan lahan terlantar (lahan kosong) di daerah pinggiran kota; 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam ha1 pengembangan petani miskin pinggiran kota; 3. Sebagai informasi yang bisa digunakan untuk penelitian lanjutan dalam kaitannya dengan pemanfaatan lahan-lahan terlantar (lahan-lahan tidur) sebagai lahan pertanian.