BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan menghasilkan informasi keuangan untuk keperluan berbagai stakeholder, seperti kreditor untuk keputusan pemberian hutang, investor untuk penanaman modal, sebagai sarana untuk mematuhi peraturan pemerintah dan berbagai keperluan stakeholder lainnya. Stakeholder menilai jumlah, waktu dan ketidakpastian dari aliran kas dengan menggunakan informasi seperti laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Stakeholder membuat keputusan investasi dan kredit berdasarkan penilaian tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pelaporan laba memegang peranan penting dalam penilaian kinerja perusahaan (Hong dan Andersen, 2011). Pentingnya pelaporan laba dalam penilaian kinerja perusahaan, menyebabkan banyak perusahaan yang berusaha untuk menyesatkan investor atau pemilik perusahaan dengan memanfaatkan kurangnya informasi yang diterima investor. Salah satu cara yang sering digunakan adalah manajemen laba. Watts dan Zimmerman (1986) menetapkan manajemen laba sebagai tindakan manajer yang menggunakan kebijakan akuntansi terhadap pelaporan angka-angka akuntansi yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi perusahaan yang sebenarnya dan menyesatkan pihak investor dalam pengambilan keputusan ekonomi dengan adanya angka laba tersebut. 1
Manajemen laba merupakan pilihan yang dilakukan oleh manajer atas kebijakan akuntansi atau tindakan nyata manajer yang mempengaruhi laba untuk mencapai tujuan spesifik atas laba yang dilaporkan (Scott, 2012). Manajer dapat melakukan manajemen laba dengan menggunakan judgment dalam pelaporan keuangan dan dalam menyusun transaksi untuk merubah laporan keuangan, baik untuk menyesatkan sebagian investor mengenai kinerja ekonomi perusahaan atau untuk memengaruhi hasil-hasil kontrak yang ditentukan berdasarkan praktik pelaporan akuntansi (Healy dan Wahlen, 1999). Manajemen laba merupakan tindakan yang melanggar etika dan moral karena bertujuan untuk menyesatkan pengambilan keputusan stakeholder berdasarkan angka laba yang dilaporkan. Tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan stakeholder terhadap perusahaan. Hilangnya kepercayaan stakeholder akan memberikan konsekuensi buruk bagi perusahaan, seperti adanya ancaman tindakan yang tidak menyenangkan dari karyawan, kesalahpahaman dari pelanggan, tekanan dari investor, pemutusan hubungan dari rekan kerja perusahaan, tuntutan hukum dari aparat, boikot dari aktivis, pandangan sinis dari masyarakat, dan pengungkapan dari media yang pada akhirnya akan menghancurkan reputasi perusahaan (Fombrun et al., 2000). Konsekuensi jangka panjang atas hilangnya kepercayaan stakeholder adalah perusahaan akan kehilangan dukungan yang berujung pada meningkatnya kewaspadaan dan kecurigaan dari shareholder (Zahra et al., 2005). 2
Pelaporan laba merupakan suatu bentuk pelaporan yang penting, karena pada dasarnya suatu perusahaan bertujuan untuk memberikan profit kepada para pemegang saham, namun dalam proses aktifitas perusahaan menghasilkan laba tersebut, dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungannya. Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa investor tidak hanya membutuhkan pertanggungjawaban kinerja perusahaan melalui pelaporan laba saja, namun juga melalui tanggungjawab kepada karyawan, sosial dan lingkungan. Hal tersebut menuntut adanya transparansi dalam pelaporan kinerja sebagai suatu komponen yang penting sehingga berkembanglah corporate social responsibility (CSR) yang memberikan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik. Menurut Daniri (2008), CSR merupakan sebuah pemikiran dimana perusahaan tidak hanya dihadapkan pada prinsip single bottom line saja, tapi juga harus menerapkan prinsip triple bottom lines yaitu perusahaan juga memperdulikan permasalahan lingkungan maupun sosial akibat dampak yang ditimbulkan. Pengungkapan CSR merupakan suatu proses untuk mengkomunikasikan dampak dari kegiatan operasi perusahaan kepada kelompok tertentu yang berkepentingan maupun kepada masyarakat baik itu dampak sosial ataupun lingkungan (Hackston dan Milne, 1996). Tanggung jawab sosial dapat diartikan sebagai komitmen suatu perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak dari operasi atau aktivitas yang dilakukan perusahaan dalam aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta menjaga agar dampak 3
tersebut memberikan manfaat kepada masyarakat dan lingkungannya, tanggungjawab sosial tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan kegiatan dan pengungkapan CSR yang tinggi mengindikasikan perusahaan yang memiliki komitmen yang kuat untuk menjadi perusahaan yang berkontribusi pada karyawan, sosial dan lingkungannya (Hong dan Andersen, 2011). Etika memegang peranan penting dalam proses komunikasi dan transparansi dalam menyampaikan kinerja perusahaan. Shlefer (2004) menyatakan bahwa manipulasi laba merupakan tindakan yang melanggar etika, sedangkan pelaporan CSR menunjukkan bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan yang beretika dan memiliki rasa tanggungjawab terhadap lingkungannya, oleh karena itu perusahaan yang melakukan kegiatan CSR yang tinggi atau memiliki komitmen yang tinggi untuk tanggungjawab sosial cenderung tidak akan melakukan tindakan manajemen laba. Pengungkapan CSR mencerminkan transparansi yang dapat menurunkan oportunistik manajer untuk melakukan tindakan manajemen laba. Penelitian ini mencoba menjawab apakah perusahaan yang memiliki pengungkapan CSR yang tinggi merupakan perusahaan yang beretika dan tidak melakukan praktik manajemen laba. Penelitian oleh Hong dan Andersen (2011) menemukan adanya hubungan negatif antara CSR dan manajemen laba, bahwa perusahaan yang beretika dan perduli terhadap tanggungjawab sosialnya akan memiliki pengungkapan CSR yang tinggi dan cenderung untuk melaporkan kinerja keuangan dengan lebih transparan dan memiliki manajemen laba yang rendah. 4
Terdapat pertentangan hasil dalam arah hubungan antara manajemen laba dan CSR, dimana manajer dapat saja memiliki insentif untuk melakukan kegiatan CSR sebagai bentuk pertahanan terhadap reaksi dan pengawasan stakeholder yang dapat mengancam posisi manajer dan merusak reputasi perusahaan, yang disbabkan oleh hilangnya kepercayaan stakeholder kepada manajer atas tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer (Prior et al., 2008) dan menggunakan CSR yang berkaitan dengan isu etika dan moral sebagai bentuk pencitraan yang menjaga reputasi perusahaan atas tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer. Di sisi lain pengungkapan kegiatan CSR dalam laporan tahunan justru membuat informasi keuangan menjadi lebih jelas dan transparan. Menurut Kim et.al (2012), pelaporan CSR merupakan pelaporan dari aktivitas tanggung jawab sosial yang umum bagi investor, pelanggan, dan pihak stakeholder lainnya untuk menuntut transparansi yang lebih besar mengenai semua aspek bisnis, sehingga dengan adanya pelaporan CSR laporan tahunan menjadi lebih terpercaya bagi investor maupun pihak yang menggunakan laporan tersebut dalam pengambilan keputusan. Perusahaan yang bertanggungjawab secara sosial dan bersedia mengeluarkan usaha dan sumber daya untuk menerapkan praktek CSR dan berupaya memenuhi harapan etis para pemegang saham dalam masyarakat, cenderung membatasi penggunaan manajemen labanya. sehingga memberikan investor informasi keuangan yang lebih transparan dan dapat diandalkan. Kim et al. (2012) menyatakan hubungan antara pelaporan dan kinerja CSR serta manajemen laba menjadi pertanyaan penelitian yang penting karena ketidakkonsistenan hasil penelitian sebelumnya. Kim 5
et al. (2012) menyatakan bahwa ketidakkonsistenan hasil penelitian CSR terdahulu karena adanya dua teori yang bertentangan (competing theories) yang memberikan prediksi yang berbeda tentang arah hubungan antara tingkat pelaporan CSR, tingkat kinerja CSR, dan manajemen laba. Dua teori yang bertentangan tersebut adalah teori berbasis ekonomis (economic-based theory) dan teori berbasis sosial-politis (sociopolitical theory). Hasil penelitian Clarkson dan Richardson (2008) menunjukkan bahwa teori berbasis ekonomis yang dapat menjelaskan hubungan antara tingkat pelaporan CSR dan tingkat kinerja CSR, sedangkan hasil penelitian Kim et al., (2012) menunjukkan dukungan empiris terhadap teori sosio-politis yang menyatakan bahwa perusahaan melakukan pengungkapan CSR dengan dengan pemikiran bahwa keputusan bisnis dan hasilnya, termasuk dampak positif dan negatifnya yang ditimbulkan oleh perusahaan tidak hanya dirasakan oleh perusahaan tersebut dan stakeholder saja tetapi juga masyarakat secara lebih luas, sehingga setiap keputusan yang diambil tidak hanya mempertimbangkan motivasi ekonomi saja namun juga mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Keterkaitan antara pengungkapan CSR dan manajemen laba dalam konteks Indonesia masih menjadi pertanyaan penelitian, mengenai generalisasi temuan penelitian terdahulu. Hal ini terjadi karena kondisi sosial, politis, budaya, dan ekonomi serta faktor regulasi CSR yang berbeda. Perbedaan konteks institusional yaitu Indonesia termasuk kluster negara-negara code law dengan tingkat perlindungan investor yang lemah, mungkin membatasi generalisasi temuan penelitian CSR dan 6
manajemen laba terdahulu ke dalam konteks Indonesia (Leuz et al., 2003). Perushaan-perusahaan di Indonesia menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan kegiatan CSR (Sari, 2013). Perusahaan-perusahaan di Indonesia semakin giat melakukan kegiatan CSR berawal dari terbitnya UU No. 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas yang isinya mewajibkan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pemerintah semakin menegaskan tentang tanggung jawab sosial ini pada PP No. 47 tahun 2012 tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas, namun standar akuntansi keuangan Indonesia belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosial, akibatnya yang terjadi didalam praktik perusahaan hanya dengan sukarela mengungkapkannya. Walaupun aturan tentang kewajiban CSR sudah jelas, namun pengawasan atas pelaksanaan CSR belum ada. Hal ini menimbulkan keberagaman bentuk dan tingkat intensitas pelaksanaan CSR yang bervariasi pada perusahaanperusahaan di Indonesia. Penelitian ini juga mencoba menguji faktor-faktor yang dapat memperkuat hubungan negatif antara manajemen laba dengan CSR. Dewan komisaris adalah wakil shareholder dalam perusahaan yang berbadan hukum perseroan terbatas. Dewan komisaris berfungsi mengawasi pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan oleh manajemen. Dewan komisaris dapat memberikan pengaruh yang cukup kuat untuk menekan manajer untuk mengungkapkan CSR. Jaggi et al., (2009) menemukan bahwa tingginya proporsi komisaris independen dapat menurunkan 7
manajemen laba akrual yang dilakukan oleh manajer. Komisaris independen akan menjalankan proses monitoring yang lebih efektif terkait manajemen laba. Monitoring yang dilakukan menunjukkan bahwa dewan komisaris yang independen memiliki kecenderungan menghalangi manajer untuk melakukan manajemen laba, sehingga kualitas laba yang dilaporkan menjadi lebih tinggi. Jo dan Harjoto (2011) menemukan bahwa CSR berkaitan baik dengan internal maupun eksternal tata kelola perusahaan dan sistem monitoring, seperti board leadership, board independence, institusional ownership dan analyst following. Hasil pengujian penelitian Jo dan Harjoto (2011) menunjukkan bahwa dibandingkan semua atribut tata kelola perusahaan, persentase board independent memiliki tingkat signifikansi dan hubungan positif yang paling tinggi, terkait dengan keputusan perusahaan mengenai kegiatan CSR. Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa komisaris independen dapat menjadi monitoring yang penting atas prilaku top manajer. Dewan komisaris yang independent dapat secara efektif mengontrol mekanisme yang dilakukan oleh top manajer dalam perbedaan kepentingan dengan melakukan penunjukkan, pemecatan, dan denda yang tepat atas prilaku pencitraan melalui kegiatan CSR oleh top manajer. Selain komisaris independen kepemilikan institusional juga berpotensi dapat menjadi faktor yang dapat memperkuat hubungan negatif antara kegiatan CSR dengan manjemen laba yang dilakukan oleh manajer. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki pengaruh yang signifikan dalam keputusan organisasi. Shleifer dan Vishny (1997) menyatakan bahwa 8
kepemilikan institusional berpengaruh pada keputusan organisasi dengan adanya voting power yang dimilikinya sebagai pertentangan terhadap asimetri informasi oleh shareholders. Dengan menggunakan kekuatan dari informasi instiusional investor memiliki kecendrungan untuk lebih aktif terlibat dalam keputusan perusahaan dibandingkan pemegang saham non-institusional. Graves dan Waddock (1994) menemukan bahwa dampak dari kepemilikan institusional secara positif mendukung kegiatan CSR. Seluruh jenis industri baik secara langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak terhadap lingkunggannya, namun dengan tingkat yang berbeda, seperti jenis perusahaan perbankan yang tidak terlalu berdampak terhadap kerusakan lingkungan, lain halnya dengan perusahaan pertambangan, yang merupakan jenis industri yang sangat sensitif pada dampak pencemaran lingkungan. Selain itu industri pertambangan termasuk dalam industri high profile yang memiliki visibilitas dari stakeholder, risiko politis yang tinggi, dan menghadapi persaingan yang tinggi. Industri high profile umumnya merupakan industri yang memperoleh sorotan dari masyarakat karena aktivitas operasinya memiliki potensi bersinggungan dengan kepentingan luas (stakeholder). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan perusahaan pertambangan sebagai objek penelitian, untuk menguji apakah variabel kepemilikan institusional dan dewan komisaris independen dapat melemahkan keterkaitan antara corporate social responsibility dengan manajemen laba pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 9
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, dapat diidentifikasi masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah manajemen laba berpengaruh negatif terhadap pengungkapan kegiatan corporate social responsibility? 2. Apakah komisaris independen dapat memperkuat hubungan negatif antara manajemen laba akrual dengan corporate social responsibility? 3. Apakah kepemilikan institusional dapat memperkuat hubungan negatif antara manajemen laba akrual dengan corporate social responsibility? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menguji apakah manajemen laba akrual berpengaruh negatif dengan pengungkapan kegiatan corporate social responsibility. 2. Menguji apakah komisaris independen dapat memperkuat pengaruh negatif antara manajemen laba akrual dengan corporate social responsibility. 3. Menguji apakah kepemilikan institusional dapat memperkuat pengaruh negatif antara manajemen laba akrual dengan corporate social responsibility. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi akademisi 10
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan literatur mengenai hubungan antara pengungkapan CSR dengan manajemen laba, dengan dewan komisaris independen dan kepemilikan institusional sebagai variabel pemoderasi pada perusahaan pertambangan di Indonesia. 2. Bagi perusahaan tercatat Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong perusahaan tercatat untuk lebih meningkatkan pengungkapan CSR dan meningkatkan jumlah dewan komisaris independen. 3. Bagi Investor Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada investor mengenai tanggungjawab perusahaan terhadap pembangunan dan pemeliharaan berkelanjutan dan memanfaatkan informasi tersebut untuk menilai perusahaan, selain itu juga perlu mempertimbangkan proporsi kepemilikan institusional ketika akan melakukan investasi. 11