BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA 4.1. Pengujian Aspal Pada pengujian material aspal digunakan aspal minyak (AC Pen 60/70) atau aspal keras produksi Pertamina. Hasil Pengujian aspal dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini. Tabel 4.1. Hasil Pengujian Aspal No. Jenis Pengujian Hasil Uji Min Syarat Max Metode Pengujian Satuan 1 Penetrasi pada 25 ⁰ C 64,3 60 79 SNI 06-2456- 1991 0,1 mm 2 Titik Lembek 48 48 58 SNI 06-2434- 1991 ⁰ C 3 Daktilitas pada 25 ⁰ C, 5 cm/ menit 150 100 - SNI 06-2432- 1991 cm 4 Kadar Aspal 99,22 99 - RSNI M-04-2004 5 Titik Nyala 275 200 - SNI 06-2433- 1991 ⁰ C 6 Berat Jenis 1,09 1 - SNI 06-2441- 1991 gr/ml 7 Kehilangan Berat (TFOT) 0,45-0,8 SNI 06-2440- 1991 8 Penetrasi, setelah TFOT 43 54 - SNI 06-2456- 1991 9 Daktilitas, setelah TFOT 150 50 - SNI 06-2432- 1991 cm 10 Viskositas pada suhu 135 C** 518,83 300 - SNI 06-6441- 2000 cst Catatan : Pengujian viskositas merupakan pengujian tambahan yang dilakukan pada aspal untuk menentukan \ suhu pencampuran dan suhu pemadatan. Dari hasil pengujian aspal seperti pada Tabel 4.1. diatas merupakan hasil pengujian yang dilakukan berulang-ulang. Selain itu penyimpanan material dan suhu juga merupakan salah satu keberhasilan dalam seluruh hasil pengujian aspal agar memenuhi standar spesifikasi. IV - 1
4.2. Pengujian Agregat Pengujian kualitas material terdiri dari material agregat dan aspal. Sedangkan material agregat itu sendiri terdiri dari agregat kasar, agregat halus dan filler. Batasan gradasi agregat mengikuti spesifikasi umum Bina Marga 2005. Hasil dari pengujian kualitas bahan tersebut sangat menentukan kinerja campuran yang dihasilkan. 4.2.1. Agregat Kasar Pengujian agregat kasar meliputi berat jenis bulk, berat jenis SSD, berat jenis apparent dan penyerapan air pada agregat kasar dilakukan secara berurutan, dikarenakan pada pengujian tersebut memiliki kebutuhan parameter yang sama dan saling terkait, yaitu berat benda uji kering oven, berat benda uji kering permukaan jenuh dan berat benda uji dalam air. Sehingga pengujian tersebut dapat dilakukan pada hari yang bersamaan dan menjadi satu paket pengujian. Sedangkan pengujian yang lain dilakukan berlainan waktu. Hasil pengujian agregat kasar dapat dilihat pada Tabel 4.2 dibawah ini. IV - 2
Tabel 4.2. Hasil Pengujian Agregat kasar NO 1 JENIS PENGUJIAN Abrasi dengan mesin Los Angeles HASIL PENGUJIAN SPLIT 1-2 2 Berat Jenis Bulk 2,52 3 Berat Jenis SSD 2,59 SCREEN 22,2 25,9 NILAI Max 30/40 METODE PENGUJIAN SNI 03-2417-1991 SNI 03-1969-1990 SNI 03-1970-1990 SAT gr/cc gr/cc 4 Berat Jenis Apparent 2,70 MIN 2,5 gr/cc 5 Penyerapan Air 2,66 Max 3 6 Partikel Pipih dan Lonnjong 0,84 0 Max 10 7 Kelekatan bentuk agregat terhadap larutan natrium dan magnesium sulfat 0,952 1,7 Max 12 8 Analisa Saringan TERLAMPIR 9 Kelekatan agregat terhadap Aspal 10 Angularitas ***) - 11 Lolos saringan No.200 99 99 Min 95 100/100 - - - 100/100 - - 0.22 1,01 80/75 95/90 AGG HALUS MAX 8 AGG KASAR MAX 1 ASTM D- 4791 SNI 03-3407-1994 SNI 03-1968-1990 SNI 03-2439-1991 SNI 03-6877-2002 DoT s Pennsylvania Test Method, PTM No.621 SNI 03-4142-1996 Seluruh hasil pengujian agregat kasar yang terdapat pada Tabel 4.2. di atas telah memenuhi standar pengujian yang disyaratkan (Bina Marga 2005). IV - 3
4.2.2. Agregat Halus Perbedaan pengujian masing-masing berat jenis dan penyerapan air antara agregat kasar dan agregat halus pada metode dan peralatan pengujian, sedangkan proses perhitungannya hampir sama. Selain itu tingkat ketelitian pada agregat halus lebih diperlukan dibandingkan agregat kasar. Hal tersebut dikarenakan gradasi agregat halus lebih kecil dari pada agregat kasar, sehingga material yang terbuang lebih besar kemungkinannya. Pada Tabel 4.3. di bawah ini adalah hasil pengujian agregat halus. Tabel 4.3 Hasil Pengujian Agregat Halus NO JENIS PENGUJIAN HASILPENGUJIAN ABU BATU NILAI METODE PENGUJIAN SAT 1 Berat Jenis Bulk 2,61 2 Berat Jenis SSD 2,66 3 Berat Jenis Apparent 2,75 4 Penyerapan Air 1,91 Max 3 5 Analisa Saringan Terlampir 6 Nilai Setara Pasir 72 Min 60 7 Lolos Saringan No.200 7,85 Max 8 8 Angularitas 49 Min 45 SNI 03-1969- 1990 gr/cc SNI 03-1970- 1990 gr/cc SNI 03-1968- 1990 gr/cc SNI 03-4428- 1997 SNI 03-4142- 1996 DoT s Pennsylvania Test Method, PTM No.621 Seluruh hasil pengujian agregat kasar yang terdapat pada Tabel 4.2. di atas telah memenuhi standar pengujian yang disyaratkan pada campuran AC-WC (Bina Marga 2005). IV - 4
4.2.3. Filler Hasil pengujian jenis Semen Portland (PC-Tiga Roda), ditampilkan pada Tabel 4.4. di bawah ini. Tabel 4.4. Hasil Pengujian Filler (Semen Portland) Standar Jenis Filler Karakteristik Pengujian Semen Portland Lolos saringan no.200 SNI M-02-1994-03 Berat Jenis AASHTO T-85-81 Hasil Spesifikasi 99,6 Min 70 3.15 gr/cc - Hanya ada satu macam pengujian berat jenis filler, sedangkan untuk kebutuhan proses perhitungan Marshall, berat jenis bulk dan apparent adalah nilai yang sama. 4.3. Hasil Perencanaan Gradasi Agregat Gabungan Dalam memperoleh gradasi agregat yang sesuai dengan spesifikasi gradasi, maka kombinasi untuk masing-masing agregat campuran ditentukan dengan menggunakan cara analitis, yaitu dengan mencari nilai tengah pada masingmasing persentase agregat, kemudian didekatkan untuk mendapatkan persentase yang sesuai dengan spesifikasi pencampuran yang digunakan. Sedangkan pada proses gradasinya terdiri dari empat fraksi agregat, yaitu, split 1-2, screen, abu batu, PC. Berikut ini adalah hasil perhitungan proporsi agregat campuran pada Tabel 4.5. IV - 5
Tabel 4.5 Proporsi Agregat Gabungan Ukuran saringan Split Screen Abu Batu PC Gradasi Gabungan 25,4 mm (1") 100 100 100 100 100,0 Spek Daerah Larangan 19,1 mm (3/4') 87,19 100 100 100 99,4 90-100 12,7 mm (1/2") 30,73 98,44 100 100 95,8 9,52 mm (3/8") 16,62 74,15 99,84 100 83,4 4,75 mm No. 4 7,41 18,73 72,43 100 44,0 2,38 mm No. 8 4,92 10,08 47,95 100 28,7 28-58 39,1 1,19 mm No. 16 3,69 7,06 32,31 100 20,1 25,6-31,6 0,59 mm No. 30 2,93 5,31 22,31 100 14,7 19,1-23,1 0,28 mm No. 50 2,43 4,01 14,91 100 10,8 15,5 0,15 mm No. 100 1,97 2,88 9,28 100 7,7 0,075 mm No. 200 1,37 1,85 5,01 99 5,2 4-10 Persentase Gradasi Gabungan Split 5 0,05 Screen 48 0,48 abu batu 45 0,45 Pc 2 0,02 100 1 Dari tabel di atas material yang mempunyai fraksi butiran yang lebih besar cenderung mempunyai proporsi persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan fraksi butiran yang halus, penggunaan Semen Portland (PC) di batasi maksimum 2, dalam gradasi agregat gabungan diatas memakai spesifikasi AC-WC persyaratan spesifikasi umum Bina Marga tahun 2005. Selanjutnya hasil perhitungan dan penyesuaian proporsi masing-masing agregat campuran tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.1. IV - 6
PERSEN LOLOS () 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 SKEMA KURVA GRADASI 0,01 0,1 1 10 UKURAN SARINGAN Gambar 4.1. Kurva Gradasi Agregat Gabungan DAERAH LARANGAN DAERAH LARANGAN GRADASI CAMPURAN Pada gambar 4.1. terdapat garis titik tengah, yaitu gradasi agregat campuran yang direncanakan. Garis titik tengah diatas di dapat dari hasil perhitungan secara analitis. Sedangkan untuk gradasi campurannya didapat melalui pendekatan dari hasil perhitungan secara analitis. 4.3.1. Penentuan Berat Jenis, Penyerapan Aspal dan Perkiraan Variasi Kadar Aspal Setelah didapatkan hasil pengujian baik agregat kasar, agregat halus dan filler, maka dapat dilakukan perhitungan untuk mencari berat jenis bulk dan apparent gabungan ketiga fraksi agregat campuran tersebut. Kedua macam berat jenis tersebut ditentukan maka didapat berat jenis efektif yang mana sebagai salah satu unsur perhitungan dalam mencari prosentase penyerapan aspal. IV - 7
Tabel 4.6. Tabel Berat Jenis Dan Penyerapan Aspal Jenis Material Berat Jenis Bulk Berat Jenis Semu (Apparent) Berat Jenis Efektif Penyerapan Agregat Split 1-2 2,523 gr/cc 2,704 gr/cc 2,613 gr/cc 2,656 Screen 2,523gr/cc 2,722 gr/cc 2,623 gr/cc 2,90 Abu Batu 2,612 gr/cc 2,749 gr/cc 2,680 gr/cc 1,91 Untuk mendapatkan nilai pada Marshall diperlukan nilai berat jenis bulk gabungan, berat jenis efektif gabungan, dan penyerapan pada aspal. Hasil tersebut didapat melalui perhitungan di bawah ini. Berat Jenis Bulk Gabungan : 100 Split BJ. bulk Split + Screen BJ. bulk Screen + Abu Batu BJ. bulk Abu Batu + PC BJ. PC 100 5 2,523 + 45 2,523 + 42 2,612 + 2 = 2,73 3,15 Berat Jenis Efektif Gabungan : 100 Split BJ. efektif Split + Screen BJ. efektif Screen + Abu Batu BJ. efektif Abu Batu + PC BJ. PC 100 5 2,613 + 45 2,623 + 42 2,680 + 2 = 2,82 3,15 IV - 8
Penyerapan Aspal : 100 x BJ. efektif BJ. agregat bulk BJ. agregat efektif x BJ. agregat bulk x BJ. Aspal 100 x 2,82 2,73 2,82 x 2,73 x 1,09 = 1,26 Untuk perencanaan kadar aspal optimum (Pb) sebagai berikut : Pb=0,035 ( CA) + 0,045 ( FA) + 0,18 (FF) + Konstanta. Nilai konstanta yang digunakan untuk Laston adalah 0,5 sampai 1. Maka didapat pada Tabel 4.7. berikut ini. Tabel 4.7. Pekiraan Nilai Kadar Aspal - 1,0-0,5 Pb + 0,5 + 1,0 5,0 5,5 6,0 6,5 7,0 4.3.2. Pengujian Marshall Pada Kadar Aspal Rencana Proses pengujian Marshall dapat dilakukan setelah seluruh persyaratan material, berat jenis, penyerapan aspal dan perkiraan kadar aspal rencana telah terpenuhi. Diperlukan juga tabel angka koreksi dan kalibrasi pada alat uji tekan Marshall dalam perhitungan stabilitas marshall setelah disesuaikan dari lbf menjadi kilogram. Untuk perhitungannya terlampir dalam lampiran III, Sedangkan hasil pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 4.8. di bawah ini: IV - 9
Tabel 4.8. Hasil Pengujian Kadar Aspal Karakteristik Campuran Kadar Aspal Persyaratan 5,0 5,5 6,0 6,5 7,0 Min Max DENSITY 2,177 2,214 2,249 2,261 2,262 - - VMA 24,46 23,56 22,76 22,75 23,14 15 - VIM 10,57 7,52 4,45 3,23 2,87 3,5 5,5 VFB 56,76 68,09 80,46 85,89 87,61 65 - STABILITAS 952,2 1225,2 1229,4 1228 1180,5 800 - FLOW 3,4 3,47 3,63 3,67 3,73 3 - MQ 279,86 354,48 338,52 334,83 316,27 250 - VIM PRD 5,89 4,35 1,55 2,5-1. Density (Kepadatan) 2,28 2,26 2,24 2,22 2,2 2,18 2,16 Density 5 5,5 6 6,5 7 7,5 Kadar Aspal Gambar 4.2. Hubungan antara kadar aspal dengan density Pada gambar 4.2. hubungan antara kadar aspal dengan density didapatkan bahwa puncak peningkatan kepadatan terjadi pada kadar aspal 7. IV - 10
2. VMA ( Rongga dalam Agregat) 25,00 24,50 24,00 23,50 23,00 22,50 22,00 VMA 5 5,5 6 6,5 7 7,5 Kadar Aspal Gambar 4.3. Hubungan antara kadar aspal dengan VMA Pada gambar 4.3. hubungan antara kadar aspal dengan VMA (rongga dalam agregat) dapat dilihat bahwa semakin bertambah kadar aspalnya maka semakin berkurang nilai VMA nya. 3. VIM ( Rongga dalam Campuran) 12,00 11,00 10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 VIM 5 5,5 6 6,5 7 7,5 8 8,5 9 Kadar Aspal Gambar 4.4. Hubungan antara kadar aspal dengan VIM Pada gambar 4.4. hubungan antara kadar aspal dengan VIM (rongga dalam campuran) dapat dilihat bahwa semakin bertambah kadar aspalnya maka semakin berkurang nilai VIM nya. Nilai VIM yang sesuai dengan ketentuan IV - 11
sifat campuran Laston (spesifikasi Bina Marga 2005), yaitu 3,5 5,5 terjadi pada kadar aspal 6. 4. VFB (Rongga Terisi Aspal) 90,00 85,00 80,00 75,00 70,00 65,00 60,00 55,00 50,00 45,00 40,00 VFB 4,5 5 5,5 6 6,5 7 7,5 Kadar Aspal Gambar 4.5. Hubungan antara kadar aspal dengan VFB Pada gambar 4.5. hubungan antara kadar aspal dengan VFB (rongga terisi aspal) dapat dilihat bahwa semakin bertambah kadar aspalnya maka semakin meningkat nilai VFB nya. Nilai VFB yang sesuai dengan ketentuan sifat campuran Laston (spesifikasi Bina Marga 2005), yaitu 65 terjadi pada kadar aspal 5,5-7. IV - 12
5. Stabilitas 1300,0 1200,0 1100,0 1000,0 900,0 800,0 STABILITAS 5 5,5 6 6,5 7 7,5 Kadar Aspal Gambar 4.6. Hubungan antara kadar aspal dengan Stabilitas Pada gambar 4.6. hubungan antara kadar aspal dengan density didapatkan bahwa puncak peningkatan stabilitas terjadi pada kadar aspal 6, setelah itu terjadi penurunan dengan bertambahnya kadar aspal. 6. Flow (Kelelehan) FLOW 3,80 3,70 3,60 3,50 3,40 3,30 5 5,5 6 6,5 7 7,5 Kadar Aspal Gambar 4.7. Hubungan antara kadar aspal dengan Flow Pada gambar 4.7. hubungan antara kadar aspal dengan flow (kelelehan) dapat dilihat bahwa semakin bertambah kadar aspalnya maka semakin meningkat nilai pelelehannya. Nilai kelelehan pada setiap kadar aspal telah sesuai dengan nilai minimal pada (spesifikasi Bina Marga 2005), yaitu 3. IV - 13
7. Marshall Quotient 400,00 350,00 300,00 250,00 200,00 Marshall Quotient 4,5 5 5,5 6 6,5 7 7,5 Kadar Aspal Gambar 4.8. Hubungan antara kadar aspal dengan Marshall Quotient Pada gambar 4.8. hubungan antara kadar aspal dengan marshall quotient didapatkan bahwa puncak peningkatan kepadatan terjadi pada kadar aspal 5,5, setelah itu terjadi penurunan dengan bertambahnya kadar aspal. 8. VIM Kepadatan membal (refusal) 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 VIM PRD 5 5,5 6 6,5 7 Kadar Aspal Gambar 4.9. Hubungan antara kadar aspal dengan VIM Kepadatan Mutlak Pada gambar 4.9. hubungan antara kadar aspal dengan VIM Kepadatan Membal dapat dilihat bahwa semakin bertambah kadar aspalnya maka semakin menurun nilai VIM nya. Nilai VIM yang sesuai dengan ketentuan sifat campuran Laston (spesifikasi Bina Marga 2005), yaitu 2,5 terjadi pada kadar aspal 5-5,5. IV - 14
Dari hasil-hasil karakteristik tersebut, dapat ditentukan suatu kadar aspal optimum (KAO) seperti yang ditunjukan pada gambar 4.10. di bawah ini. 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 Kepadatan VMA VIM VFB Stabilitas Flow MQ VIM PRD 1 0 4,5 5 5,5 6 6,5 7 Kadar Aspal Optmum Gambar 4.10. Kadar Aspal Optimum Pada gambar 4.10. didapat bahwa kadar aspal optimum pada campuran ini adalah 6,06 dibulatkan menjadi 6,1, kemudian kadar aspal tersebut akan digunakan dalam campuran dengan pengujian perendaman selama 1 x 30 menit dan 1 x 24 jam. IV - 15
4.4. Hasil Pengujian 4.4.1. Hasil Analisa Marshall Pada Kondisi Kadar Aspal Optimum dan Durabilitas dengan 2 x 75 Tumbukan Hubungan sifat Marshall kali ini adalah terhadap lamanya waktu perendaman. Terdapat perbedaan nilai stabilitas pada hasil pengujian Marshall, yaitu pada perendaman 30 menit dan 24 jam. Sedangkan hasil pengujiannya dilihat pada Tabel 4.9. di bawah ini: Tabel 4.9. Hasil Pengujian Kadar Aspal Optimum Karakteristik Campuran Waktu Perendaman Persyaratan 30 24 jam Min Max DENSITY 2,254 2,255 - - VMA 22,68 22,65 15 - VIM 3,72 3,68 3,5 5,5 VFB 83,63 83,79 65 - STABILITAS 1027,9 839,2 800 - FLOW 3,67 4,73 3 - MQ 279,75 177,35 250 - Selain pada tabel 4.9. hubungan antara nilai stabilitas Marshall dengan waktu perendaman dapat dilihat pada gambar 4.11. di bawah ini. Nilai Stabilitas Marshall (kg) 1200 1027,9 1000 839,2 800 600 400 200 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Waktu Perendaman (jam) Gambar 4.11. Hubungan antara nilai stabilitas Marshall dengan waktu perendaman IV - 16
Hasil pengujian durabilitas pada campuran dengan variasi waktu perendaman akan didapatkan Indeks Kekuatan Sisa (IKS) melalui perhitungan di bawah ini. IKS = 1 (S1 S2) x 100 S1 IKS= 1 (1027,9 839,2) 839,2 x 100 = 81,64 Dari hasil kekuatan sisa yang telah didapatkan, yaitu sebesar 81,64 dapat dikatakan hasil tersebut masih memenuhi persyaratan karena nilai tersebut masih di atas 75 sesuai dengan spesifikasi umum Bina Marga (2005). 4.4.2. Hasil Analisa Marshall Pada Kondisi Kadar Aspal Optimum dan Durabilitas dengan 2 x 400 Tumbukan Kadar aspal optimum, berat jenis dan penyerapan aspal yang akan digunakan dalam uji Marshall dengan pendekatan kepadatan mutlak disini adalah sama dengan yang digunakan pada 2 x 75 tumbukan. Jumlah tumbukan yang lebih banyak dapat mempengaruhi rongga dalam campuran (VIM) dari hasil uji Marshall standar yang telah dilakukan. Hasil pengujian tumbukan sebanyak 2 x 400 ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.10. Hasil Pengujian Kadar Aspal Optimum dengan 2 x 400 tumbukan. Karakteristik Campuran Jumlah Tumbukan Persyaratan Kepadatan Mutlak 2 x 75 2 x 400 Min Max DENSITY 2,254 2,255 - - VMA 22,68 22,66 - - VIM 3,72 3,69 2,5 - VFB 83,63 83,71 - - IV - 17
Hubungan karakteristik campuran yang dihasilkan dari kepadatan mutlak, yaitu sebanyak 2x400 tumbukan dengan kepadatan standar sebanyak 2x75 tumbukan dapat dilihat pada gambar 4.12. di bawah ini: Gambar 4.12. Karakteristik Pengujian dengan Kepadatan Mutlak Nilai Density 2,2552 2,255 2,2548 2,2546 2,2544 2,2542 2,254 2,2538 2,255 2,254 0 100 200 300 400 500 Nilai VMA 22,685 22,68 22,675 22,67 22,665 22,66 22,655 22,68 22,66 0 100 200 300 400 500 Jumlah Tumbukan Jumlah Tumbukan Gambar 4.12.A. Hubungan antara nilai Density dengan jumlah tumbukan yang dilakukan Gambar 4.12.B. Hubungan antara nilai VMA dengan jumlah tumbukan yang dilakukan Nilai VIM 3,725 3,72 3,715 3,71 3,705 3,7 3,695 3,69 3,685 3,72 3,69 0 100 200 300 400 500 Nilai VFB 83,72 83,71 83,7 83,69 83,68 83,67 83,66 83,65 83,64 83,63 83,62 83,71 83,63 0 100 200 300 400 500 Jumlah Tumbukan Jumlah Tumbukan Gambar 4.12.C. Hubungan antara nilai VIM dengan jumlah tumbukan yang dilakukan Gambar 4.12.D. Hubungan antara nilai VFB dengan jumlah tumbukan yang dilakukan IV - 18
Dapat dilihat pada gambar 4.12.A. nilai density atau kepadatan yang dihasilkan oleh kepadatan mutlak lebih tinggi, yaitu sebesar 2,255 dibandingkan dengan kepadatan standar sebesar 2,254. Pada gambar 4.12.B. untuk nilai VMA (rongga dalam agregat) nilai yang dihasilkan pada kepadatan standar sebesar 22,68 sedangkan pada kepadatan mutlak sebesar 22,66. Jumlah tumbukan yang lebih banyak menyebabkan penurunan pada kepadatan mutlak. Pada gambar 4.12.C. terjadi penurunan pada nilai VIM (rongga dalam campuran) yang diakibatkan oleh jumlah tumbukan yang lebih banyak. Nilai VIM yang dihasilkan pada kepadatan standar sebesar 3,72 sedangkan pada kepadatan mutlak sebesar 3,69. Nilai VIM pada kepadatan mutlak masih memenuhi persyaratan, yaitu 2,5 sesuai dengan spesifikasi umum Bina Marga (2005). Pada gambar 4.12.D. jumlah tumbukan yang lebih banyak menyebabkan peningkatan nilai VFB (rongga terisi aspal), dapat dilihat dari nilai yang dihasilkan pada kepadatan standar sebesar 83,63 sedangkan pada kepadatan mutlak sebesar 83,71 IV - 19
4.4.3. Hasil Analisa Dengan Alat Wheel Tracking Machine Hasil Uji wheel tracking yang dilakukan guna memberikan gambaran ketahanan campuran terhadap pemadatan sekunder dan perubahan bentuk (deformasi) serta simulasi pembebanan yang diterima perkerasan dilapangan. Pada pengujian ini data yang di dapat langsung dikeluarkan melalui operator panel yang merupakan alat pendukung dari wheel tracking machine tersebut. Hasil pengujian dari wheel tracking tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.11. Hasil Pengujian Wheel Tracking WAKTU KECEPATAN HASIL PENGUJIAN DEFORMASI JUMLAH RATA- LINTASAN I II DO DS RD RATA (menit) (mm) (mm) (mm) (mm) (lintasan/mm) (mm/mnt) 0 0 0,00 0,00 0,00 2,97 751,7 0,056 1 21 1,16 1,49 1,33 5 105 2,11 2,66 2,39 10 210 2,76 3,49 3,13 15 315 3,24 4,00 3,62 30 630 4,52 4,76 4,64 45 945 5,47 5,51 5,49 60 1260 6,27 6,39 6,33 PERSYARATAN STABILITAS DINAMIS (DS) MIN 2500 lintasan/mm untuk Aspal Modifikasi Dari pengujian tersebut dapat juga di periksa stabilitas dinamis dan kecepatan deformasinya melalui perhitungan di bawah ini. (DS) Stabilitas dinamis = (DS) Stabilitas dinamis I = (DS) Stabilitas dinamis II = 42 (T60 T45) D60 D45 42 (60 45) 6,27 5,47 42 (60 45) 6,39 5,51 = 787,5 lintasan/mm = 715,9 lintasan/mm (DS) Stabilitas dinamis rata-rata = 751,7 lintasan/mm (RD) Kecepatan Deformasi = (D60 D45) 60 45 IV - 20
(RD) Kecepatan Deformasi I = (6,27 5,47) 60 45 (RD) Kecepatan Deformasi II = (6,39 5,51) 60 45 = 0,0533 mm/mnt = 0,0587 mm/mnt (RD) Kecepatan Deformasi rata-rata = 0,056 mm/mnt Dapat dilihat pada gambar 4.13. di bawah ini hubungan antara kecepatan deformasi dengan jumlah litasan. Semakin banyak jumlah lintasannya maka semakin tinggi kecepatan deformasinya. Kecepatan Deformasi (mm) 7,00 6,33 6,00 5,00 4,002,97 3,00 2,00 1,00 0,00 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 Jumlah Lintasan (mm) Gambar 4.13. Hubungan antara jumlah lintasan dengan kecepatan deformasi Dapat dilihat pada gambar 4.13. nilai deformasi awal yaitu titik awal dimana perkerasan mengalami deformasi permanen sebesar 2,97 mm kemudian selama 60 menit waktu pengujian nilai deformasi tersebut terus mengalami peningkatan hingga 6,33 mm. Dari hasil yang telah didapatkan nilai stabilitas dinamis sebesar 715,9 lintasan/mm, dimana nilai tersebut tidak memenuhi apabila dimasukan di dalam persyaratan yang ada (Japan Road Association, 1980), yaitu minimal sebesar 2500 lintasan/mm. IV - 21