BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air susu Ibu (ASI) merupakan pemberian air susu kepada bayi yang langsung berasal dari kelenjar payudara ibu. ASI merupakan makanan yang paling mudah dicerna dan yang terbaik bagi bayi karena dapat memenuhi seluruh kebutuhan zat gizi untuk tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sehat dan cerdas. ASI adalah emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar payudara ibu, yang berguna sebagai makanan yang utama bagi bayi (Roesli, 2000). Angka kematian bayi di Indonesia masih tinggi. Kemenkes RI mengungkapkan kematian bayi di Indonesia, antara lain karena berat bayi lahir rendah (29%), asfiksia (27%), tetanus dan infeksi (15%), masalah pemberian minum (10%), masalah hematologi (6%), diare serta pneumonia (13%) (Depkes RI, 2008). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda, 2008) yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2007 menunjukkan bahwa kematian terbanyak pada kelompok bayi 0-6 hari didominasi oleh gangguan/kelainan pernafasan (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis (12%). Untuk kematian bayi 10
pada kelompok 7-28 hari yaitu sepsis (20,5%), malformasi kongenital (18,1%) dan pnemonia (15,4%). Kematian bayi pada kelompok 29 hari 11 bulan yaitu diare (31,4%), pnemonia (23,8) dan meningitis/ensefalitis (9,3%). Angka kematian bayi di Sumatera Utara tahun 2007 yaitu 46 %, angka kematian balita 67 % dan dengan harapan hidup tahun 2010 yaitu 69,5 %. Penemuan kasus diare di Sumatera Utara diperkirakan di fasilitas kesehatan ialah 549.038 kasus sedangkan yang ditangani ialah 26,9 % (Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007). Besarnya angka kematian bayi karena diare salah satunya disebabkan proses pemberian ASI dalam 60 menit pertama tidak terlaksana. Perilaku ibu dalam pemberian ASI yang tidak terlaksana dengan baik dipengaruhi dengan perilaku ibu dalam pemberian ASI terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pemberian ASI tersebut. Pengetahuan ialah hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan ibu tentang ASI dipengaruhi oleh umur, pendidikan, sosial ekonomi, psikososial dengan melihat lingkungan sekitarnya, proses pemberian ASI mempunyai pengaruh emosional yang luar biasa terhadap hubungan batin ibu dan bayi dalam perkembangan jiwa bayi dan tidak kalah menarik, pemberian ASI dinyatakan lebih menguntungkan secara ekonomis dibanding pemberian susu formula tidak heran bila Pemerintah Indonesia kerap mencanangkan program-program yang bertujuan untuk mendukung keberhasilan proses pemberian ASI (Wahab, 2002). 11
Pendapat para ahli yang lain juga mengatakan bahwa produksi ASI akan meningkat bila pada wanita muda yang pada umumnya menyusui atau memerah ASI delapan kali dalam 24 jam, hal tersebut akan menjaga produksi ASI tetap tinggi dan semakin sering memberikan ASI kepada bayi atau semakin sering menyusui bayi, dimana rata-rata 10-12 kali dalam 12 jam bahkan lebih akan meningkatkan produksi ASI dan disebut juga dengan menyusui on-demand yang artinya kapanpun bayi meminta (akan lebih banyak dari rata-rata) merupakan cara terbaik untuk menjaga produksi ASI tetap tinggi dan bayi tetap kenyang. Berdasarkan penelitian La ode tahun 2011 di Desa Tridana Mulya, faktor penghambat pemberian ASI dari usia 0-6 bulan ialah ibu yang tidak mengerti tentang kolostrum yaitu ASI yang pertama kali keluar, kurangnya informasi tentang ASI kolostrum sehingga mereka tidak memberikannya pada bayi mereka. Rendahnya pengetahuan ibu tentang ASI menyebabkan sikap ibu negatif terhadap ASI yaitu mereka berpendapat susu formula sama baiknya dengan ASI dan susu formula membuat bayi lebih sehat. Padahal faktanya tidak ada cairan apapun yang dapat menggantikan ASI dan hanya ASI yang dibutuhkan oleh bayi sejak usia 0-6 bulan, promosi susu formula yang begitu gencar di masyarakat membuat para ibu-ibu lebih memilih susu botol dari pada memberikan ASI (Kompas, 2008). Selain itu adanya kecenderungan dari masyarakat untuk meniru sesuatu yang dianggap modern yang datang dari negara yang telah maju atau dari kota besar, yaitu memberikan susu formula pada bayi (Soetjiningsih, 1997). Penelitian di Jakarta memperlihatkan persentasi kegemukan atau obesitas terjadi pada bayi yang 12
mengkonsumsi susu formula sebesar 3,4% dan kerugian lain menurunnya tingkat kekebalan terhadap asma dan alergi (Dwinda, 2006). Kurangnya informasi tentang ASI khususnya kolostrum menyebabkan ibu-ibu mempercayai mitos - mitos yang mempengaruhi masyarakat yaitu ASI yang keluar pertama kali itu kotor harus dibuang karena berbahaya bagi bayi. ASI tersebut basi dan dapat menyebabkan diare pada bayi. Bahkan banyak ibu yang mengatakan bila ASI tidak keluar maka untuk memenuhi nutrisi, bayinya diberi susu formula (Kompas, 2008). Pada prakteknya pemberian ASI tidak pada usia 0-6 bulan. Hal tersebut didukung oleh penelitian Erwin dan Dodik di Bogor tahun 2007, Ibu yang menerima keberlanjutan ASI eksklusif sampai umur 6 bulan hanya 12,2% dan yang tidak menerima keberlanjutan ASI ekslusif yaitu 87,8%. Pengetahuan yang rendah dan sikap yang negatif tentang ASI kolostrum mengakibatkan ASI kolostrum tersebut dibuang padahal ASI kolostrum tersebut sangat baik untuk bayi. Ibu wajib memberi ASI pada jam pertama setelah persalinan pada bayi agar bayi dapat merasakan manfaat ASI kolostrum. Hal tersebut sejalan dengan kegiatan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui pada Pekan ASI sedunia tahun 2010 yang mengangkat tema Menyusui : Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui dan slogan Sayang Bayi, Beri ASI, yaitu mewajibkan ibu mulai menyusui bayinya dalam 60 menit setelah dilahirkan dan sampai bayi berusia 6 bulan maka setelah persalinan bayi wajib diberi ASI dalam waktu kurang dari 1 jam. Penyelenggaraan pekan ASI sedunia dimaksudkan agar setiap negara, secara terus 13
menerus bersama-sama melaksanakan upaya-upaya yang nyata untuk membantu ibu agar berhasil menyusui (Warta Yanmed, 2010). Salah satu strategi utama untuk memenuhi kecukupan gizi, mencegah penyakit dan kematian akibat penyakit infeksi (diare) pada tahun-tahun awal kehidupan ialah dengan cara pemberian ASI kolostrum pada bayi. ASI kolostrum ialah ASI yang dihasilkan pada hari pertama sampai hari ketiga setelah bayi lahir. ASI kolostrum berfungsi sebagai pembersih selaput usus bayi baru lahir sehingga saluran pencernaan siap untuk menerima makanan dan melindungi saluran pencernaan dari penyakit infeksi seperti diare (Ambarwati dan Wulandari, 2009). Hal tersebut didukung oleh penelitian Winda Wijayanti tahun 2010 di Puskesmas Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta menyatakan pemberian ASI secara dini dan eksklusif sekurang - kurangnya 4-6 bulan akan membantu mencegah kejadian diare pada bayi. Dari survey awal yang peneliti lakukan di Rumah Sakit Martha Friska Brayan, peneliti melihat bahwa ibu-ibu post partum normal dan section caesarea banyak yang tidak menyusui bayinya pada jam-jam pertama. Ibu wajib menyusui bayi pada jamjam pertama kelahiran, karena ASI kolostrum sangat penting karena mengandung antibody lebih banyak dari ASI biasa dan melindungi saluran pencernaan dari penyakit infeksi seperti di. Komposisi zat-zat gizi di dalam ASI secara optimal mampu menjamin pertumbuhan bayi. Komposisi gizi ASI yang paling baik adalah pada tiga hari pertama setelah lahir yang dinamakan kolostrum adalah susu yang 14
dihasilkan oleh kelenjar susu dalam tahap akhir kehamilan dan beberapa hari setelah kelahiran bayi (Widjaja, 2004). Pemberian ASI pada bayi pada satu jam pertama (kolostrum) sangatlah penting. Sentuhan kulit antara ibu dan bayi saat pertama kali bayi lahir, merupakan faktor penting dalam proses menyusui setelah bayi dilahirkan. Selama proses ini, bayi akan tetap hangat dan memastikan bayi memperoleh kolostrum, yang secara medis terbukti memberikan daya tahan yang luar biasa pada tubuh bayi (Pambagio, 2007). Di Rumah Sakit Martha Friska Brayan jumlah ibu melahirkan tahun 2011 berjumlah 230 orang, pada bulan Maret 2012 berjumlah 39 orang, dari survey yang dilakukan bahwa masih banyak ibu yang tidak memberikan ASI kolostrum kepada bayinya karena rendahnya tingkat pengetahuan ibu mengenai ASI kolostrum. Berdasarkan data di atas, masih banyak ibu post partum yang belum mengetahui perilaku dalam pemberian ASI kolostrum dan penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Perilaku Ibu Post Partum dalam Pemberian ASI Kolostrum di Rumah Sakit Martha Friska Brayan. 1.2 Tujuan Penelitian A. Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran perilaku ibu post partum dalam pemberian ASI kolostrum di Rumah Sakit Martha Friska Brayan tahun 2012. B. Tujuan Khusus 15
a. Untuk mengetahui pengetahuan ibu post partum tentang pemberian ASI kolostrum b. Untuk mengetahui sikap ibu post partum tentang pemberian ASI kolostrum c. Untuk mengetahui Tindakan ibu post partum tentang pemberian ASI kolostrum 1.3 Manfaat Penelitian A. Bagi Peneliti Penelitian ini sebagai dasar untuk menerapkan ilmu yang telah didapatkan dan untuk lebih mengetahui perilaku ibu post partum dalam pemberian ASI kolostrum B. Bagi Tenaga Kesehatan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada tenaga kesehatan sebagai informasi mengenai perilaku ibu post partum dalam pemberian ASI kolostrum sehingga lebih mendorong pemberian ASI kolostrum pada bayi C. Bagi Klien atau Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perilaku ibu post partum dalam pemberian ASI kolostrum D. Bagi Pendidikan Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi atau sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan hasil penelitian diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya. 16