berkumpul, kebebasan beragama, dan kebebasan bergerak dalam suatu wilayah sering kali diabaikan dalam kebijakan pemerintah melawan terorisme.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

PENGARUH AIPAC TERHADAP KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001

digunakan untuk mengenyampingkan dan atau mengabaikan hak-hak asasi lainnya yang harus dipenuhi negara, sebagaimana ketentuan hukum

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEAMANAN NASIONAL

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York,

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan kajian pustaka yang berkaitan mengenai

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN

Prinsip Dasar Peran Pengacara

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

INTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

PENJELASAN ATAS UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

BAB 6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME

BAB IV PENUTUP. Hal itu dikarenakan kemunculannya dalam isu internasional belum begitu lama,

UNOFFICIAL TRANSLATION

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak. hubungan Indonesia dengan dunia Internasional.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

BAB IV KESIMPULAN. Dalam bab ini, penulis akan menuliskan kesimpulan dari bab-bab. sebelumnya yang membahas mengenai kelompok pemberontak ISIS dan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini terdapat pada Pasal 28 UUD 1945 yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG RAHASIA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA

RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

internasional. Kanada juga mulai melihat kepentingannya dalam kacamata norma keamanan manusia. Setelah terlibat dalam invasi Amerika di Afghanistan

Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

Harkristuti Harkrisnowo KepalaBPSDM Kementerian Hukum & HAM PUSANEV_BPHN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Mendiskripsikan fungsi NKRI. Menjelaskan tujuan NKRI

Sambutan Presiden RI pada ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY, Bandung-Jabar, Selasa, 08 Desember 2009

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

(1) PENCERMATAN DAN PERNYATAAN

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia, selanjutnya disebut Para Pihak :

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME NOMOR : PER - 03/K.BNPT/1/ 2017 TENTANG

BAB V PENUTUP. 1. Konsep keamanan nasional dalam RUU Keamanan Nasional pada. dasarnya telah menerapkan konsep keamanan non tradisional.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN

I. PENDAHULUAN. dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

Presiden Jokowi: Masyarakat Inggris Harus Lebih Mengenal Indonesia Rabu, 20 April 2016

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG MEKANISME KONSULTASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI

PERAN BADAN INTELIJEN NEGARA DALAM ERA TRANSISI DAN PENGGUNAAN MEKANISME TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS. Jakarta, 29 Mei 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

Pengantar. Jakarta, Januari Tim Penyusun

KAJIAN PENAFSIRAN UU ORMAS. Disusun Oleh: KOALISI KEBEBASAN BERSERIKAT [KKB]

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

proses perjalanan sejarah arah pembangunan demokrasi apakah penyelenggaranya berjalan sesuai dengan kehendak rakyat, atau tidak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak :

MENEGAKKAN KEDAULATAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN MENUJU NEGARA MARITIM YANG BERMARTABAT (KOMISI KEAMANAN) (Forum Rektor Indonesia 2015)

PERPU PLT PIMPINAN KPK; ADAKAH KEGENTINGAN MEMAKSA? Oleh: Muchamad Ali Safa at *

PEMDA DAN RUU KAMNAS Oleh: Muradi

OLEH : DR. SURANTO DOSEN JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN UMY

KODE ETIK PT DUTA INTIDAYA, TBK.

INDEKS KINERJA PENEGAKAN HAM 2011

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB V KESIMPULAN Terorisme kembali menjadi wacana dan perhatian publik dan negaranegara di dunia setelah tragedi WTC, 11 September 2001. Peristiwa ini, dengan bantuan media massa, telah mengingatkan masyarakat dunia akan bahaya terorisme bagi kemanusiaan. Lebih dari itu, kejadian ini menjadi amunisi baru bagi berbagai negara untuk secara offensif melakukan aksi-aksi pemberantasan terorisme bahkan dengan mengesampingkan prinsip-prinsip kedaulatan, hak asasi manusia, dan hukum internasional. Terorisme kemudian menjadi salah satu tema diplomasi internasional yang utama, mengalahkan tema hak asasi manusia, korupsi, dan globalisasi. Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi perhatian dan target diplomasi terorisme internasional karena kondisi keamanan, sosiologis, dan geopolitik yang sangat memungkinkan menjadi salah satu basis organisasi terorisme Jemaah Islamiyah yang memiliki jaringan dengan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Sikap yang tegas dalam menghadapi terorisme memang diperlukan dan sudah semestinya diambil. Namun perlu diperhatikan pula bahwa dalam menangani sebuah aksi terorisme yang dapat dikategorikan sebagai kondisi darurat, sikap yang over-responsif dapat berpengaruh negatif terhadap perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak asasi manusia. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidakjelasan definisi terorisme yang menjadi landasan bagi respon negara selanjutnya. Beberapa kali memang diserukan oleh Komisi HAM PBB, tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam menagani terorisme seringkali menimbulkan masalah baru berkaitan dengan hak asasi manusia. Suatu negara biasanya menerapkan prosedur khusus dimana dimungkinkan untuk melakukan pengecekan identitas, pemeriksaan dari rumah ke rumah, dan tindakan lain yang berpengaruh terhadap hak privacy seseorang serta aturan-aturan pengadilan yang adil. Dalam konteks ini, kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan berserikat dan

berkumpul, kebebasan beragama, dan kebebasan bergerak dalam suatu wilayah sering kali diabaikan dalam kebijakan pemerintah melawan terorisme. Dalam kondisi darurat, beberapa langkah atau tindakan yang bersifat khusus memang perlu untuk diambil, namun langkah dan tindakan khusus tersebut tidak seharusnya menafikan apalagi melanggar norma-norma hukum dan hak asasi manusia yang berlaku universal. Dalam meninjau beberapa tindakan khusus yang bisa diambil oleh pemerintah dalam kondisi darurat, alasan yang bersifat protektif dan bukannya represif harus menjadi titik point. Dimungkinkannya untuk menunda pelaksanaan beberapa hak tertentu secara hukum harus diikuti oleh penjaminan akan dipenuhinya secara efektif beberapa hak dasar, yang secara khusus ditujukan untuk mengembalikan kondisi bernegara dan bermasyarakat yang normal. Dilema utama dari badan intelijen di seluruh dunia berkenaan dengan cara mereka untuk berperan sebagai pelindung demokrasi, sementara pada saat yang sama beroperasi secara rahasia dan tidak terbuka kepada publik. Dalam masyarakat demokratis semua badan intelijen dihadapkan dengan tantangan untuk meraih keseimbangan antara kerahasiaan dan keterbukaan. Mempertahankan transparansi kegiatan intelijen sampai tingkat tertentu adalah salah satu jalan yang terbaik untuk memastikan pengendalian dan pertanggung jawaban demokratis, yang tentunya sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan publik terhadap badan intelijen. Namun semua pihak harus tetap waspada; hakekat intelijen berkaitan dengan kenyataan bahwa menentukan keseimbangan antara kerahasiaan dan demokrasi adalah sesuatu yang pelik. Badan intelijen dapat dan harus ditentukan dan diatur oleh suatu kombinasi antara hukum publik dan aturan rahasia. Sistem pengendalian, supervisi dan pengawasan badan intelijen diperlukan untuk memastikan bahwa pendekatan yang digunakan dalam pengumpulan intelijen memenuhi standard yang dapat diterima oleh masyarakat yang dilayaninya. Batasan secara hukum dapat diterapkan dalam pengumpulan intelijen tanpa melemahkan fungsi mereka dalam melindungi demokrasi. Sumber dan metode

dapat diatur secara legal dan dijadikan subyek pengawasan tanpa mengkompromikan kerahasiaan yang dibutuhkan untuk perlindungan mereka. Untuk pengendalian dan pengawasan yang efektif dari badan intelijen, undang-undang tidaklah cukup. Harus ada cara yang efektif untuk menafsirkan dan menegakkan hukum dengan menggunakan lembaga independen dan memastikan bahwa mereka bertanggungjawab kepada publik. Pengaturan yang tentang pemisahan kekuasaan dapat menciptakan struktur yang efektif untuk memastikan pengendalian dan pengawasan yang mandiri. Tanpa struktur pengendalian dan pengawasan dalam bentuk perundangan dan badan independen fungsi pengumpulan intelijen dapat menjadi kurang efektif. Badan intelijen dapat tergoda untuk menggunakan standard dan cara pengumpulan yang tidak terpercaya dan secara hukum diragukan. Reformasi intelijen tidak harus bertentangan dengan tindakan kontra-terorisme. Peristiwa 9/11 telah membuat semakin penting untuk menjamin tetap efektifnya baik struktur demokrasi yang dapat melindungi sistem demokrasi dari berbagai ancaman maupun operasi kontra-terorisme dan intelijen. Terorisme telah menjadi ancaman permanen dalam lingkungan keamanan Australia. Tanggung jawab pemerintah adalah tugas intelijen, keamanan dan lembaga penegak hukum mengarahkan upaya-upaya kontra-terorisme mereka untuk menganalisis dan mencari ancaman, serta untuk melindungi Australia dan masyarakatnya, harus siap untuk menanggapi ancaman-ancaman dan serangan ketika diperlukan, dan melakukan upaya untuk memperkuat ketahanan di dalam komunitas mereka dan masyarakat. Upaya-upaya pemerintah dalam kontraterorisme meningkat setelah serangan di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001. Terdapat dukungan bipartisan untuk kebijakan kontra-terorisme yang kuat dan hal ini tetap terjadi. Di Australia, legislasi anti-terorisme yang diajukan ke parlemen federal memasukkan kewenangan Jaksa Agung untuk melarang aktivitas kelompokkelompok (minoritas) tertentu dan mengurangi hak-hak tersangka di dalam tahanan.

Bahwa baik negara demokrat ataupun otoriter, dewasa ini sama-sama mengkondisikan warganya untuk memilih di antara liberty dan security. War against terror telah dijalankan di berbagai negara dengan dua kecenderungan utama yang seragam: dengan mengesampingkan dan melanggar hak-hak serta kebebasan dasar yang dikualifikasikan ke dalam non-derogable rights di satu sisi; dan mensyahkan kewenangan militer di sisi lain ke dalam masalah penegakkan hukum. Produk legislasi anti-terorisme, secara khusus undang-undang counterterrorism, yang akhir-akhir ini terbit dan diberlakukan sebagai hukum di berbagai negara, pertama-tama bisa dipandang dari sudut keperluan itu. Hukum, dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk memberi, mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Dengan cara menetapkan batasanbatasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of state power. Dengan mengingat ulang teori itu, bisa dikatakan bahwa produk legislasi anti-terorisme sebenarnya perlu dan bersesuaian dengan kepentingan warga negara terhadap perlindungan hakhaknya. Kendati demikian, harus selalu diingat: liberty and security of person, adalah hak-hak asasi manusia dari setiap warga negara yang selain tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable) bersifat tidak dapat diceraikan (indivisible). Adalah sangat berbahaya bila negara bertindak dalam pikiran keliru bahwa hak-hak fundamental itu bisa saling menggantikan. Terorisme memang merupakan fenomena yang sangat kompleks. Sebagai fenomena politik kekerasan, kaitan antara terorisme dan aksi teror tidak dapat dirumuskan dengan mudah. Tindak kekerasan itu dapat dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun negara. Motivasi pelaku dapat bersumber pada alasan-alasan idiosinkratik, kriminal, maupun politik. Sasaran atau korban bukan merupakan sasaran sesungguhnya, tetapi hanya sebagai bagian dari taktik intimidasi, koersi, ataupun propaganda untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Kesamaan tindakan terorisme terletak pada penggunaan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan yang meluas.

Perkembangan teknologi dan globalisasi telah menjadikan ancaman terorisme semakin serius dan kompleks karena ketersediaan sumber daya dan/atau metode baru. Oleh karena itu upaya pemberantasan terorisme tidak mungkin dilakukan hanya secara nasional semata. Tatanan demokrasi mengutamakan keunggulan cara-cara persuasif, negosiasi, dan toleransi daripada cara-cara koersif, pemaksaan, dan penggunaan kekerasan. Konsolidasi demokrasi hanya dapat tercapai ketika semua pelaku politik menempuh cara-cara demokratik sebagai satu-satunya kepentingan mereka. Dengan demikian, merebaknya aksi teror merupakan ancaman serius terhadap demokrasi itu sendiri. Adalah kewajiban negara (state duty) untuk mencegah dan memerangi terorisme. Secara prosedural, kewajiban ini menimbulkan dilema antara keniscayaan pemberian diskresi kewenangan kepada institusi negara di satu pihak dan keharusan negara untuk tetap melindungi kebebasan sipil (civil liberties), terutama yang termasuk dalam rumpun non-derogable rights, di pihak lain. Kebijakan untuk memerangi terorisme harus senantiasa bertolak dari beberapa prinsip, antara lain : 1. Perlindungan kebebasan sipil serta penghargaan dan perlindungan hak-hak individu. Pembatasan terhadap hak-hak demokratik seperti itu hanya dapat dilakukan terhadap hak yang tidak termasuk ke dalam non-derogable rights, dalam jangka waktu sementara, dan untuk kepentingan publik. 2. Pembatasan dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Ini dapat dilakukan dengan menerapkan sepenuhnya prinsip checks and balances dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan, spesialisasi fungsi institusi pelaksana kebijakan, dan tersedianya mekanisme akuntabilitas publik bagi pelaksanaan kebijakan. Negara mempunyai kewajiban untuk tetap mengutamakan kepentingan publik. Tidak ada kebijakan kontra-terorisme yang berlaku universal untuk demokrasi. Setiap konflik yang melibatkan terorisme memiliki karakteristik sendiri yang unik. Dalam rangka untuk merancang sebuah respon yang sesuai dan

efektif, setiap pemerintah nasional dan penasihat-penasihat keamanan perlu mempertimbangkan sifat dan tingkat keparahan ancaman, politik, sosial, ekonomi dan strategis, serta kemampuan dan kesiapan intelijen mereka, polisi, sistem peradilan, undang-undang anti-terorisme mereka (jika ada) dan, bila perlu, ketersediaan dan nilai potensi kekuatan militer mereka dalam bantuan kekuatan sipil untuk memerangi terorisme. Tentu saja, tidak hanya skala dan intensitas tanggapan negara-negara demokrasi yang akan bervariasi, juga komponen kunci dari strategi kontra-terorisme harus disesuaikan dengan jenis ancaman terorisme yang dihadapi. Dalam memerangi tantangan dari gerakan-gerakan teroris dengan beberapa tingkat dukungan massa dan sumber daya yang penting, pemerintah demokratis harus memenangkan pertempuran untuk legitimasi dan dukungan dengan menunjukkan bahwa mereka dapat menanggapi kebutuhan dasar dan tuntutan masyarakat. Dukungan dan persetujuan umum merupakan dasar pemerintahan demokratis yang efektif. Tanggapan demokratis yang tepat untuk mematikan teroris semacam ini adalah dengan mengerahkan sumber daya kontra-terorisme dari intelijen dan polisi serta sistem peradilan dan penjara untuk mencegah dan menekan ancaman ini bagi orang yang tidak bersalah. Agar strategi ini sukses maka dituntut kontrol terpadu dari seluruh operasi kontra-terorisme, layanan intelijen dengan kualitas terbaik, pasukan keamanan yang memadai yang memiliki berbagai keterampilan kontra-terorisme dan loyalitas lengkap kepada pemerintah, dan yang terakhir adalah adanya kesabaran dan tekad. Intelijen berkualitas tinggi adalah jantung dari strategi kontra-terorisme proaktif. Hal ini telah digunakan dengan keberhasilan penting melawan banyak kelompok-kelompok teroris. Dengan mendapatkan peringatan sebelum operasioperasi teroris direncanakan, persenjataan teroris, personil, asset-aset keuangan dan taktik pengumpulan dana, sistem komunikasi dan sebagainya, menjadi layak untuk mendahului serangan-serangan teroris dan akhirnya membuka struktur sel teroris kemudian membawa anggota-anggotanya ke pengadilan. Contoh mengagumkan dari proaktif terorisme adalah intelijen memimpin kontra-terorisme

yang sering diabaikan atau dilupakan oleh publik, tetapi hal ini tidak seharusnya menipu masyarakat dengan meremehkan nilai mereka. Pada tingkat internasional, contoh yang paling mengagumkan adalah kerjasama intelijen yang gemilang antara Sekutu yang menggagalkan kampanye Saddam Hussein banyak dibanggakan dari kampanye holy terror selama operasi Desert Shield dan Desert Storm. Menghadapi skenario terorisme berlanjut sampai abad ke-21, apa yang menjadi prospek masyarakat internasional mencapai perbaikan dalam kebijakan mereka dan langkah-langkah untuk memerangi terorisme? Begitu banyak langkah-langkah yang dilakukan tergantung pada kualitas para pemimpin politik dan penasihat-penasihatnya dan kekuatan moral serta kebulatan tekad masyarakat demokratis. Mereka harus mengadopsi prinsip yang jelas bahwa one democracy s terrorist is another democracy s terrorist. Prinsip-prinsip umum dari strategi garis keras untuk demokrasi liberal dalam memerangi terorisme memiliki track record terbaik dalam mengurangi terorisme. Organisasi-organisasi terorisme memotivasi Negara untuk melanggar prinsip-prinsip demokrasi guna bertujuan untuk menjadikan negara Authoritarian. Australia mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam pilihan-pilihan demokratik terutama pada lembaga intelijen ASIO dengan melakukan pilihan terhadap kebijakan kontra-terorisme yang selalu diputuskan oleh lembaga eksekutif dan legislatif. Bahwa dilema tersebut juga diselesaikan dengan melakukan pendekatan defensive deterrence dari pihak ASIO yang membatasi aktivitas ASIO pada Preemptive Intelligence serta Warning of Attack. Sehingga ASIO dapat dikatakan untuk memprediksi skenario adanya serangan teroris sebelum terjadi, serta memberikan langkah penyiagaan dini (early warning) terhadap adanya ancamanancaman bagi kepentingan dalam dan luar negeri Australia. Dalam demokrasi liberal organisasi terorisme sepenuhnya memanfaatkan kebebasan demokratis dalam rangka untuk menyebarkan fitnah propaganda dan merusak nilai-nilai, yang tujuannya adalah untuk mengacaukan lembaga-lembaga dan pemimpin demokrasi parlementer. Dapat menunjuk kepada banyak karakteristik dari demokrasi liberal yang cenderung memiliki dampak langsung

terhadap ruang lingkup kegiatan terorisme. Nilai-nilai demokrasi liberal didasarkan terutama pada kebebasan berbicara, berkumpul dan gerakan yang memungkinkan untuk pertumbuhan kelompok-kelompok teroris dan organisasiorganisasi dari aktivis. Pada dasarnya terorisme merupakan masalah politik. Terlepas dari apakah penyelesaiannya dicari melalui cara-cara hukum, militer atau klandestine, sasaran utamanya adalah menghilangkan persoalan politik yang telah menimbulkan terorisme itu, dan membangun tekanan-tekanan internasional yang cukup kuat terhadap organisasi-organisasi teroris dan negara-negara yang mendukungnya untuk memaksa mereka menghentikan aktivitas terorisnya. Yang paling penting adalah menemukan akar penyebab timbulnya terorisme itu, dan berupaya menghilangkan atau mencabut akar-akarnya itu. Dalam hubungan terorisme internasional, pertimbangan kepentingan nasional masing-masing negara akan tetap merupakan faktor penentu apakah sesuatu tindakan itu dianggap terorisme atau bukan. Dalam rangka menilai ketepatan dan kepatutan tanggapan nasional dan internasional terhadap terorisme, kita harus selalu meninjau setiap aspek dari terorisme, sebagai aktivitas politik, aktivitas kriminal atau konflik intensitas rendah.