FUNGSI LEGISLASI DPR PASCA AMANDEMEN UUD Sunarto 1

dokumen-dokumen yang mirip
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR RI OLEH: DRA. HJ. IDA FAUZIYAH WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DPR RI MATERI ORIENTASI TENAGA AHLI DPR RI APRIL

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENINGKATKAN KINERJA ANGGOTA DPR-RI. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

-2-3. Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 4. Badan Legis

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

Bagaimana Undang-Undang Dibuat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

GUBERNUR JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

12 Media Bina Ilmiah ISSN No

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. pelaku sepenuhnya dari kedaulatan rakyat Indonesia, Presiden sebagai kepala

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF DALAM PELAKSANAAN LEGISLASI, BUDGETING, DAN PENGAWASAN

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL. No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah

PERAN ALAT KELENGKAPAN DEWAN DAN PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD. Oleh : Imam Asmarudin, SH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kata re yang artinya kembali dan call yang artinya panggil atau memanggil,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perkembangan Pasca UU MD3/2014. Herlambang P. Wiratraman Unair

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 c. bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakila

BAB IV ANALISIS TERHADAP FUNGSI REPRESENTASI ANGGOTA DPD DALAM PENINGKATAN PEMBANGUNAN DI DAERAHNYA (YOGYAKARTA)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Metro

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

Bab II. Tinjauan Pustaka

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 10 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Optimalisasi Fungsi Legislasi DPRD Melalui Pembentukan Peraturan Daerah Yang Berkualitas

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TATA TERTIB DPR. Bab I Ketentuan Umum. Pasal 1. Dalam Peraturan Tata Tertib ini yang dimaksud dengan :

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang Pasal 71. Bagian Ketiga Tugas dan Wewenang. Pasal 6

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

BUPATI DHARMASRAYA PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN DHARMASRAYA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/DPR RI/TAHUN 2009 TENTANG TATA TERTIB

- 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

Transkripsi:

FUNGSI LEGISLASI DPR PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Sunarto 1 sunarto@mail.unnes.ac.id Abstrak: Salah satu fungsi yang harus dijalankan oleh DPR adalah fungsi legislasi, di samping fungsi lainnya yaitu fungsi fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi legialasi DPR adalah fungsi untuk membuat undang-undang. Pembuatan undang-undang dilaksanakan atas kerjasama antara DPR dan Presiden. Rancangan undang-undang bisa datang dari DPR, bisa juga datang dari Presiden. Sebelum ditetapkan menjadi undang-undang, rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk memperoleh persetujuan bersama. Setelah memperoleh persetujuan bersama rancangan undang-undang tersebut disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang. Amandemen UUD 1945 membawa pergeseran dan penguatan peran DPR dalam pembentukan undang-undang. Sebelum amandemen UUD 1945, kekuasaan untuk membentuk undang-undang berada pada Presiden, sedangkan DPR hanya memberi persetujuan. Setelah amandemen pembuatan undang-undang menjadi kekuasaan DPR, sedangkan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama itu dalam waktu tiga puluh hari semenjak persetujuan tidak disahkan oleh Presiden, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Ketentuan amandemen tersebut telah membawa peningkatan peran DPR dalam pembentukan undang-undang, baik dalam hal pengajuan rancangan undang-undang maupun dalam pembahasan rancangan undang-undang untuk menjadi undang-undang. Kata kunci: DPR, fungsi legislasi, amandemen UUD PENDAHULUAN Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, merupakan lembaga yang mewakili rakyat dalam sistem demokrasi di Indonesia. Pada lembaga ini masyarakat menaruh harapan besar agar apa yang dilakukan oleh mereka benar-benar memenuhi harapan masyarakat. Sebaliknya masyarakat merasa sangat kecewa ketika anggota-anggota DPR menunjukkan sikap dan perilaku yang hanya berorientasi pada kepentingan pribadi, kelompok, atau kepentingan partai, yang jauh dari problem atau persoalan yang sedang dialami oleh 1 Dosen Jurusan Politik dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. 57 masyarakat. Terlebih ketika ada di antara anggota DPR yang menampakkan akonflik terbuka di antara mereka, bersitegang, bahkan sampai adu fisik satu sama lain, tanpa mengindahkan etika sebagai wakil-wakil rakyat. Secara normatif sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar bahwa DPR memiliki 3 (tiga) macam fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi adalah fungsi untuk membuat undangundang; fungsi anggaran dalah fungsi untuk ikut menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); dan fungsi pengawasan adalah fungsi

DPR untuk mengawasi kebijakan pemerintah. Berkenaan dengan fungsi legislasi DPR, sebagaimana diketahui bahwa pembuatan undang-undang memerlukan kerja sama antara DPR dan Presiden. Di samping itu pembuatan undang-undang dimulai dari penyiapan rancangan undangundang, pembahasan rancangan undangundang oleh DPR bersama pemerintah, persetujuan bersama atas rancangan undang-undang untuk menjadi undangundang, dan pengesahan undang-undang oleh Presiden. Rancangan undangundang bisa datang dari DPR, dan bisa juga datang dari Pemerintah. Pertanyaan yang sering muncul terkait dengan lembaga DPR adalah seberapa banyak rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR, bagaimana peran anggotaanggota DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dan seberapa besar pencapaian target pembuatan undang-undang sebagaimana tertuang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Berangkat dari pertanyaanpertanyaan itulah tulisan ini disusun, dengan terlebih dahulu menguraikan tentang fungsi legislasi DPR sebagaimana diatur dalam sistem perundanganundangan yang berlaku, bagaimana fungsi legislasi itu dalam kaitan dengan amandemen UUD 1945, baru kemudian melihat bagaimana pelaksanaan fungsi legialasi tersebut dalam praktek ketatanegaraan Indonesia setelah amandemen UUD 1945. FUNGSI LEGISLASI DPR Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa fungsi legislasi adalah fungsi DPR untuk membuat undang-undang. Di Indonesia undang-undang dibuat atas kerjasama DPR dan Presiden. Sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945 (ayat 1), bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sedangkan pada ayat 2 dinyatakan bahwa, setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Hak-hak DPR yang menyertai fungsi ini adalah hak inisiatif yang merupakan hak dari anggota-anggota DPR. Hak inisiatif adalah hak untuk memprakarsai pembuatan undang-undang dengan mengusulkan rancangan undangundang. Dalam UUD NRI Tahun 1945 hak ini terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan bahwa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. Dalam UU. No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 42 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UU. No. 17 Tahun 2014 tentang MD3), dinyatakan bahwa DPR berwenang membentuk Undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 71 huruf a). DPR juga berwenang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undangundang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang. (Pasal 71 huruf b). 58

Sampai pada Era Orde Baru, proses pembuatan undang-undang dan cara mengundangkannya masih mengacu pada Undang-undang Darurat No. 2 Tahun 1950 tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang mengeluarkan, mengumumkan, dan mulai berlakunya Undang-undang Federal dan Peraturan Pemerintah. Dalam dinamika dan pergeseran ketatanegaraan yang terjadi semenjak itu, undang-undang tersebut diterapkan dengan penyesuaianpenyesuaian tertentu. (Soehino, 1990:44) Selanjutnya keluarlah Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang- Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Secara garis besar ketentuan tersebut mengatur bahwa masing-masing departemen dan lembaga dapat mengambil prakarsa untuk mempersiapkan Rancangan Undangundang dan Rancangan peraturan Pemerintah sepanjang menyangkut bidang tugasnya. Prakarsa tersebut terlebih dahulu perlu dilaporkan kepada Presiden. Setelah Presiden menyetujui, menteri yang bersangkutan melakukan langkahlangkah seperlunya dan membentuk suatu panitia. Panitia tersebut bisa intern departemen atau interdepartemen. Rancangan Undang-Undang hasil kerja panitia tersebut sebelum diajukan kepada Presiden harus disampaikan terlebih dahulu kepada para menteri atau pemimpin departemen yang berkaitan erat dengan materi yang diatur untuk mendapatkan tanggapan dan pertimbangan, kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh tanggapan dari segi hukum, dan kepada Sekretaris Kabinet untuk mempersiapkan kelanjutan dari rancangan tersebut. Dalam rangka mengolah tanggapan dan pertimbangan dari menteri-menteri terkait dapat dilakukan pertemuan-pertemuan konsultasi dan koordinasi. Hasil akhir dari penyusunan rancangan tersebut oleh menteri yang bersangkutan diserahkan kepada Presiden disertai penjelasan tentang pokok-pokok materi dan proses penggarapannya. Dalam pembuatan undang-undang, usul rancangan undang-undang juga bisa datang dari DPR. Usul rancangan undangundang bisa datang dari anggota, komisi, atau gabungan komisi. Dalam penyusunan rancangan undang-undang, komisi atau gabungan komisi dapat membentuk panitia kerja. Anggota, komisi, atau gabungan komisi dalam penyusunan rancangan undang-undang dibantu oleh Badan Keahlian DPR. Dalam penyusunan rancangan undang-undang, anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi dapat minta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panitia kerja untuk menyempurnakan konsepsi rancangan undang-undang. Pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undangundang dilakukan oleh Badan Legislasi, dan untuk keperluan itu dapat dibentuk panitia kerja. Rancangan undang-undang yang telah dilakukan pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi, diajukan oleh pengusul kepada Pimpinan DPR dengan dilengkapi keterangan pengusul dan/atau naskah akademik untuk selanjutnya disampaikan dalam rapat 59

paripurna yang diselenggarakan oleh DPR. Setiap rancangan undang-undang baik yang datang dari pemerintah maupun inisiatif DPR akan dibahas melalui dua tingkat pembicaraan yaitu: Pembicaraan Tingkat Pertama adalah pembicaraan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus bersama dengan menteri yang mewakili Presiden. Pembicaraan Tingkat Kedua adalah pembicaraan yang dilakukan dalam Rapat Paripurna yang diselenggarakan oleh DPR. (Peraturan DPR No.1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR) Berkenaan dengan jumlah anggota DPR untuk pemenuhan syarat mengajukan usul rancangan undangundang, dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat dilihat sebagai bagian dari dinamika ketatanegaraan. Jumlah anggota DPR untuk dapat mengajukan RUU adalah sebagaimana tersaji dalam tabel berikut. Tabel 1. Jumlah Minimal Anggota Untuk Mengajukan RUU Usul Inisiatif DPR No Tahun Jumlah Anggota 1 1971 30 anggota 2 1978 30 anggota 3 1979 25 anggota 4 1982 20 anggota 5 1987 20 anggota 6 1992 20 anggota 7 1997 20 anggota 8 1999 1 anggota 9 2004 13 anggota 10 2009 1 anggota 11 2014 1 anggota Sumber: Peraturan Tata Tertib DPR Periode 1971-1977 sampai Periode 2014-2019 Ketika memperhatikan persyaratan jumlah minimal anggota DPR untuk dapat mengajukan usul rancangan undangundang, tampak bahwa ketentuan tata tertib DPR pada Era Orde Baru mempersyaratkan jumlah minimal yang lebih besar untuk dapat mengajukan usul rancangan undang-undang dibandingkan dengan ketentuan tata tertib DPR pada Era Reformasi. Secara logika mudah ditangkap bahwa semakin besar persyaratan jumlah minimal anggota untuk mengajukan usul rancangan undang-undang, pengusulan itu menjadi semakin sulit karena untuk mengusulkan rancangan tersebut harus melakukan kompromi-kompromi politik di antara banyak orang yang akan terlibat di dalamnya. Memang ketentuan tersebut terdapat dalam Ketentuan Tata Tertib DPR yang nota bene ditetapkan sendiri oleh DPR.Namun keadaan semacam itu dapat juga dibaca sebagai implikasi ketidakseimbangan kekuasaan antara DPR dan Presiden, yang dengan itu DPR lebih suka menyerahkan pembuatan rancangan undang-undang itu pada pemerintah. Dengan kata lain DPR justru menciptakan kendala bagi dirinya sendiri sehingga 60

tidak dapat lebih banyak mengajukan usul rancangan undang-undang. Ketentuan tatib DPR yang mempersyaratkan dukungan minimal 20 orang anggota yang tidak hanya dari satu fraksi merupakan kendala bagi DPR untuk mewujudkan hak-haknya. Alasannya, Pertama, untuk terlibat dalam sebuah kegiatan yang mewujudkan hak-hak tersebut biasanya mengandung resiko sangat besar bagi anggota DPR, karena hal itu akan berbenturan dengan kepentingan pemerintah. Pengalaman memperlihatkan bahwa sikap yang keras, konfrontatif, dan antagonistik terhadap pemerintah mengandung resiko direcall oleh partainya. Kedua, perlunya dukungan dari partai lain mengharuskan terjadinya koalisi, dan koalisi bisa berjalan dengan baik mempersyaratkan adanya kedekatan ideologis.(ghafar, 2006:293-294). Namun pandangan di atas sejauh menyangkut persyaratan jumlah anggota DPR untuk dapat mengajukan hak interpelasi yang dianggap sebagai kendala digunakannya hak tersebut perlu dikritisi. Sebab kalau dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku di Era Reformasi di mana untuk menggunakan hak interpelasi harus diusulkan oleh 25 (dua puluh lima) orang yang tidak hanya dari satu fraksi, justru hak interpelasi sering digunakan oleh DPR. AMANDEMEN UUD 1945 DAN FUNGSI LEGISLASI DPR Amandemen UUD 1945 merupakan tindakan yang membawa pergeseran ketatanegaraan yang sangat signifikan di Era Reformasi. UUD 1945 yang sebelumnya dianggap sudah sangat cocok untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, di Era Reformasi berhadapan dengan tuntutan untuk dilakukannya amandemen. Ada beberapa kelemahan yang membawa perlunya amandemen terhadap UUD 1945, antara lain adalah UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy dalam arti memberi porsi terbesar kekuasaan kepada Presiden tanpa mekanisme checks and balances yang memadai. (Mahfud MD, 2001:155-156). Kekuasaan Presiden sebagaimana dimaksud mencakup kekuasaan di bidang eksekutif, bidang legislatif, dan bidang yudikatif. Di bidang legislatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (1) dinyatakan bahwa Tiap-tiap undangundang menghendaki persetujuan Dewan perwakilan Rakyat. Begitu juga dalam Pasal 21 ayat (1) bahwa Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan undang-undang. Dari ketentuan tersebut tampak bahwa kekuasaan membentuk undang-undang itu ada pada Presiden, sedangkan DPR hanya berwenang memberikan persetujuan. Sedangkan dalam pemahaman umum bahwa kekuasaan Presiden itu adalah kekuasaan di bidang eksekutif, sedangkan kekuasaan legislatif adalah kekuasaan parlemen atau DPR. Dalam hubungan antara DPR dan Presiden, sesuai Risalah Sidang Badan Pekerja MPR, ketika semua fraksi sepakat untuk mengubah UUD 1945, dominasi 61

eksekutif (presiden) dan lemahnya lembaga legislatif menjadi isu pokok yang dibahas fraksi-fraksi. Dalam pemandangan di Badan Pekerja MPR tanggal 6 Oktober 1999, mayoritas fraksi mengusung materi perubahan, yaitu membatasi kewenangan Presiden dan memperkuat peran DPR. Oleh karena itu perubahan pertama (UUD 1945) difokuskan pada dua masalah utama, pertama, pembatasan kekuasaan Presiden, kedua, pemberdayaan DPR.(Isra, 2010:179). Dengan amandemen UUD 1945, terjadi pergeseran kaidah konstitusional berkenaan dengan pembuatan undangundang. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) mengalami perubahan sehingga ketentuannya menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan Pasal 20 ayat (1) setelah mengalami amandemen menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (ayat2). Dengan memperhatikan ketentuan UUD 1945 setelah amandemen, tampak bahwa kewenangan pembuatan undangundang terutama berada pada DPR, sedangkan Presiden lebih sekedar memberi persetujuan. Memang untuk mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang merupakan kewenangan dari Presiden. Namun dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 (tiga puluh) hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undangundang tersebut sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat 5). Dengan memperhatikan ketentuan sebelum dan sesudah amandemen, dapat dikatakan bahwa dilihat dari segi pembuatan undangundang, amandemen UUD 1945 memberikan penguatan atas kewenangan yang dimiliki oleh DPR dalam pembuatan undang-undang. Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang, yang sebelumnya di tangan Presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugas masing-masing, yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undangundang (kekuasaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif). Namun UUD NRI Tahun 1945 juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legialatif, antara lain bahwa pembahasan rancangan undang-undang dilakukan oleh DPR bersama dengan Presiden.(Setjen MPR RI, 2005:86). Fungsi legislasi setelah amandemen UUD 1945 juga terkait dengan kehadiran lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi. Dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya untuk melakukan uji peraturan perundangan (judicial review), menciptakan sebuah kondisi baru. Kondisi dimaksud adalah bahwa undang-undang bukanlah produk hukum yang tidak dapat diganggu gugat namun dapat dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi melalui 62

mekanisme judicial review. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menyatakan bahwa isi undang-undang bertentangan dengan undang-undang dasar dan tidak memiliki kekuatan hukum. Sedangkan rumusan pengaturan sebagai gantinya tetap menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Dengan kata lain kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya merupakan kewenangan legislasi negatif (negative legislator). Berkenaan dengan hal tersebut Mahfud MD (2011:37) menyatakan bahwa pelembagaan judicial review diperlukan karena undang-undang adalah produk politik yang pasti tidak steril dari kepentingan politik lembaga pembentuknya. Oleh karena itu sangat mungkin karena kepentingan politik lembaga pembentuknya menjadikan isi undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Pada sisi lain, dengan kehadiran lembaga Mahkamah Konstitusi maka dalam proses pembentukan dan perumusan materi dan substansi undangundang, DPR dan Presiden perlu mewaspadai kemungkinan adanya judicial review dari Mahkamah Konstitusi. (Isra, 2010:10). PROGRAM LEGISLASI NASIONAL (PROLEGNAS) Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secaraterencana, terpadu, dan sistematis. Proses penyusunan Prolegnas diatur dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program legislasi Nasional. Sesuai peraturan tersebut penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah secara berencana, terpadu, dan sistematis, yang dikoordinasikan oleh DPR melalui Badan Legislasi (Pasal 2). Secara garis besar penyusunan prolegnas dilaksanakan melalui tahapan penyusunan rencana legislasi dan tahapan penyusunan program legislasi; tahapan koordinasi penyusunan program legislasi nasional; dan tahapan penetapan. Tahapan penyusunan rencana legislasi dan tahapan penyusunan program legislasi dilaksanakan di lingkungan pemerintah maupun di DPR. Prolegnas dituangkan dalam bentuk Keputusan DPR, yang terdiri dari Prolegnas 5 tahun dan Prolegnas 1 tahun.(https://tiarramon.wordpress.com/20 09/12/16/mekanisme-proses-penyusunanprolegnas/, dowmload 6 Juni 2017 jam 22.35) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh Badan Legislasi sedangkan Penyusunan Prolegnas di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan HAM. Badan Legislasi dalam mengkoordinasikan penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta atau memperoleh bahan dan/atau masukan dari Dewan Perwakilan Daerah dan/atau masyarakat. Menteri Hukum dan HAM meminta kepada menteri lain dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen perencanaan pembentukan rancangan undang-undang di lingkungan instansi masing-masing sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggungjawabnya. Hasil penyusunan 63

Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi dikoordinasikan dengan Pemerintah melalui Menteri dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas. Hasil Penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dibahas bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui Badan Legislasi. Prolegnas yang disusun di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang telah memperoleh kesepakatan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, dilaporkanpada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan penetapan. PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DPR Berkenaan dengan pelaksanaan fungsi legislasi DPR, telah menjadi pemahaman umum bahwa sebagian besar bahkan hampir semua rancangannya datang dari Presiden, terlebih pada Era Orde Baru. Keadaan yang demikian menunjukkan betapa pemerintah memiliki peran yang jauh lebih besar dalam pembuatan undang-undang dibandingkan dengan DPR. Ada alasan mengapa DPR kurang berinisiatif mengajukan rancangan undang-undang dan rancangan undangundang lebih banyak datang dari pemerintah, yaitu pertama karena pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan adalah pihak yang paling tahu tentang aturan-aturan yang diperlukan agar pemerintahan berjalan dengan baik, dan arah pengaturan yang sebaiknya diwujudkan. Tabel. 2. Produk Undang-Undang Usul Pemerintah dan Usul DPR Tahun 2000-2014 No Tahun Usul Pemerintah Usul DPR Jumlah 1 2000 35 3 38 2 2001 20 2 22 3 2002 29 3 32 4 2003 37 4 41 5 2004 27 14 41 6 2005 13 1 14 7 2006 19 4 23 8 2007 47 26 73 9 2008?? 62 10 2009??? 11 2010 9 6 15 12 2011 13 12 25 13 2012 14 18 32 14 2013 11 11 22 15 2014 5 5 10 Sumber: Diolah dari berbagai sumber. 64

Menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa praktik ketatanegaraan dimana pihak Pemerintah cenderung lebih mendominasi dalam mengajukan RUU dibandingkan dengan lembaga legislatif, pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal, Pertama, pemerintah yang paling banyak memilikiinformasi atau paling mengetahui mengenai apa, kapan, dan mengapa sesuatu kebijakan harus diatur dengan undang-undang. Disamping itu, para anggota lembaga perwakilan yang juga politisi memang tidak disyaratkan harus memiliki kualifikasi sebagai perancang undang-undang. Kedua,tenaga ahli atau orang-orang yang memiliki keahlian teknis mengenai sesuatu hal yang perlu dituangkan dalam undang-undang paling banyak berada dalam lingkungan pemerintahan atau di lingkungan yang dapat lebih mudah diakses oleh fungsifungsi pemerintaahan. Ketiga, pemerintah juga memiliki persediaan dana atau anggaran yang paling banyak untuk membiayai segala sesuatu yang berkenaan dengan kegiatan penelitian dan perancangan undang-undang. (Asshiddiqie, 2006:283). Selain itu, lambatnya pergerakan DPR dibandingkan dengan pemerintah dalam hal mempersiapkan naskah RUU, juga disebabkan oleh dua hal: Pertama, DPR cenderung lebih memusatkan perhatian pada fungsi pengawasan. Rapat dengar pendapat atau meminta keterangan yang dilakukan oleh komisikomisi DPR dengan pejabat pemerintah dari berbagai departemen, kunjungan kerja ke daerah atau studi banding ke luar negeri, lebih menarik perhatian para anggota DPR jika dibandingkan dengan pekerjaan mempersiapkan RUU untuk meningkatkan fungsi legislatif DPR. Kedua, DPR belum membuka ruang yang lebar bagi masyarakat dan organisasi non pemerintah, serta akademisi dari berbagai Perguruan Tinggi untuk melakukan kerja-sama dalam rangka mempersiapkan naskah RUU.(Zeigenhain, 2008:47-48 dan 78). Perihal pembuatan undang-undang juga dapat dilihat dari proses pembahasan RUU menjadi UU. Pembahasan rancangan undang-undang menjadi undang-undang dilakukan melalui rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus bersama dengan menteri yang mewakili Presiden. Dalam rapat-rapat itulah terjadi perdebatan, adu argumentasi, tawar-menawar politik, dan sebagainya, baik di antara sesama anggota DPR maupun antara anggota DPR dengan pemerintah. Dari rapat-rapat itu pula tampak bagaimana anggota DPR yang terlibat di dalamnya memperjuangkan aspirasi masyarakat atau menegakkan pendirian politik tertentu untuk dapat mewarnai undang-undang yang akan ditetapkan. Proses pembahasan rancangan undang-undang menjadi undang-undang pada Era Orde Baru lebih menampakkan begitu mudahnya DPR melakukan kompromi politik terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah beserta pendirian-pendirian politik pemerintah yang terdapat di dalamnya. Bahkan tampak kesan bahwa DPR hanya menjadi rubber stamp atas rancangan undang-undang yang diajukan 65

oleh pemerintah. Dengan demikian pembahasan rancangan undang-undang menjadi undang-undang berlangsung lebih lancar dan tidak banyak diwarnai oleh perdebatan yang bertele-tele antara DPR dan pemerintah. Hal itu berarti bahwa arah pengaturan atau regulasi tentang berbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara lebih banyak mencerminkan apa yang dikehendaki oleh pemerintah daripada oleh DPR sebagai wakil-wakil rakyat. Dalam pengaturan kehidupan kepartaian misalnya, dengan UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, pemerintah dapat membatasi jumlah partai yang hanya 2 (dua) parpol (PPP dan PDI) dan Golongan Karya (Golkar), sekaligus menjadikan Golkar sebagai mesin politik yang menjadi penopang kekuasaan pemerintah Orde Baru dengan suara mayoritasnya di DPR. Begitu juga dengan pengaturan lembaga MPR, DPR, dan DPRD melalui UU. No. 16 Tahun 1969 jo. UU. No 5 Tahun 1975 jo. UU. No. 2 Tahun 1985 jo. UU. No. 5 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; ditentukan adanya 15 sampai 20 persen anggota DPR yang diangkat oleh Presiden, yang sudah barang tentu akan memperkuat posisi Presiden dalam relasi kekuasaan dengan DPR. Dalam konteks itu masih ada contoh-contoh lain yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu. Berbeda dengan itu adalah proses pembahasan rancangan undang-undang pada Era Reformasi. Proses pembahasan rancangan undang-undang di DPR pada Era Reformasi lebih menampakkan peran DPR untuk mengkritisi rancangan undang-undang yang datang dari Presiden, memperjuangkan aspirasi politiknya. Apakah aspirasi politik yang diperjuangkan itu merupakan aspirasi politik konstituen atau aspirasi politik partainya, hal itu bisa saja diperdebatkan. Sebab apa yang diperjuangkan oleh anggota DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang dengan mengatasnamakan aspirasi masyarakat, bisa saja yang diperjuangkan sesungguhnya adalah aspirasi politik partainya atau bahkan aspirasi politik pribadinya. Yang jelas bahwa memasuki Era Reformasi, peran yang ditunjukkan oleh anggota DPR dalam pembahasan rancangan undang-undang telah bergeser dari peran yang hanya sekedar rubber stamp dari apa yang dikehendaki oleh pemerintah. Bahkan pembahasan rancangan undang-undang di DPR kadang-kadang terkesan sangat alot terutama untuk hal-hal yang terkait langsung dengan kepentingan partai-partai politik di DPR. SIMPULAN Dari uraian dia atas dapat disimpulkan bahwa dengan amandemen UUD 1945 telah terjadi pergeseran dalam pelaksanaan fungsi legislasi DPR. Kekuasaan untuk membentuk undangundang yang sebelumnya merupakan kekuasaan Presiden, dengan amandemen hal itu menjadi kewenangan DPR. Walaupun untuk terbentuknya undangundang harus ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Rancangan undang-undang yang telah dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, 66

setelah melampaui waktu 30 (tiga puluh) hari akan menjadi undang-undang, walaupun tidak disahkan oleh Presiden. Ketentuan dalam amandemen tersebut berimplikasi pada peningkatan peran DPR dalam pembentukan undangundang, baik dalam hal pengajuan rancangan undang-undang maupun dalam pembahasan rancangan undang-undang menjadi undang-undang. Dalam hal pengajuan rancangan undang-undang, ada peningkatan jumlah rancangan undangundang yang diajukan oleh DPR dibandingkan dengan masa Orde Baru sebelum amandemen. Dalam hal pembahasan rancangan undang-undang, DPR lebih berperan dalam mengkritisi setiap rancangan undang-undang yang sedang dibahas oleh DPR bersama pemerintah sebelum rancangan undangundang tersebut ditetapkan menjadi undang-undang. Hal ini berbeda dengan masa Orde Baru sebelum amandemen, di mana DPR lebih mudah untuk menyetujui rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah tanpa adanya perubahan yang berarti melalui pembahasan di DPR. Pelaksanaan fungsi legislasi setelah amandemen UUD 1945 juga diwarnai oleh kehadiran Mahkamah Konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya untuk melakukan judicial review, menciptakan sebuah kondisi baru, bahwa undangundang bukanlah produk hukum yang tidak dapat diganggu gugat namun dapat dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme judicial review. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menyatakan bahwa isi undang-undang bertentangan dengan undang-undang dasar dan tidak memiliki kekuatan hukum. Sedangkan rumusan perbaikannya tetap menjadi kewenangan pembentuk undangundang. Dengan kata lain kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya merupakan kewenangan legislasi negatif (negative legislator). DAFTAR RUJUKAN Asshiddiqie, Jimly. 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta. Gaffar, Afan. 2006, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Mahfud MD, Moh. 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta ------------------------. 2011. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Rajawali Press. Sekretariat Jendral MPR RI, 2005, Panduan Pemasyarakatan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Setjen MPR RI. Soehino, 1990, Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-undangan, Yogyakarta: Liberty. Zeigenhain, Patrick. 2008, The Indonesian Parliament And Democratization Book: The Indonesian Parliament And Democratization, Institute Of Southeast Asian Studies. 67