BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Sebelum melakukan penelitian, ada beberapa sumber kajian yang dijadikan acuan dari penelitian ini yaitu hasil penelitian sebelumnya. Penelitian yang dimaksud yaitu sebagai berikut : Charlina (2013) dalam jurnalnya yang berjudul Tuturan Imperatif dalam Bahasa Sidang meneliti tentang bentuk tuturan imperatif yang digunakan dalam bahasa sidang dan makna dari tuturan imperatif tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian Charlina adalah metode analisis deskriptif dengan teknik padan dan pendekatan pragmatik. Teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Rahadi tentang kalimat imperatif bahasa Indonesia. Hasil penelitiannya yaitu bentuk tuturan imperatif yang terdapat dalam bahasa sidang adalah imperatif biasa, imperatif halus, imperatif permintaan, imperatif larangan, imperatif harapan, imperatif suruhan, imperatif transitif dan imperatif tidak transitif. Makna yang terdapat dalam tuturan imperatif pada bahasa sidang adalah makna perintah, makna desakan, makna persilaan, makna imbauan, makna permintaan, makna larangan dan makna harapan. Perbedaan penelitian Charlina dengan penelitian ini adalah penelitian Charlina hanya menganalisis mengenai bentuk dan makna kalimat imperatif, sedangkan penelitian ini lebih mengacu pada strategi kesantunan yang digunakan dalam tuturan imperaktif tersebut. Penelitian Charlina dapat dijadikan sebagai referensi untuk mengetahui definisi dari kalimat imperatif. 11
12 Pradhana (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Kesahihan Kalimat Imperatif Bahasa Jepang dalam Drama Detektif Conan Spesial 1 menganalisis tentang bentuk dan tanda dari kalimat imperatif bahasa Jepang. Teknik dan metode penelitian yang digunakan adalah metode informal dengan teknik sadap. Teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Koizumi (1995) tentang kalimat imperatif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kalimat imperatif bentuk perintah dalam bahasa Jepang ditandai dengan kata te kudasai, kalimat ajakan ditandai dengan verba ikoukei, kalimat permintaan atau permohonan ditandai dengan bentuk yarimorai. Selain itu kata kerja yang digunakan sebagai tanda kalimat imperatif adalah kata kerja aktif yang menunjuk pada suatu aktifitas tertentu. Suatu kalimat imperatif dapat dikatakan sahih apabila objek yang dikenai kata kerja imperatif sangat jelas. Perbedaan penelitian Pradhana dengan penelitian ini terletak pada objek penelitiannya. Pradhana lebih mengacu pada kesahihan sebuah kalimat imperatif sedangkan penelitian ini lebih menekankan pada strategi kesantunan yang digunakan dalam tuturan imperatif dengan berpedoman pada teori kesantunan Brown dan Levinson. Penekanan terhadap strategi kesantunan yang digunakan menjadi kelebihan dalam penelitian ini. Penelitian Pradhana dapat dijadikan sebagai referensi untuk mengetahui bentuk dan tanda tuturan imperatif dalam bahasa Jepang. Puspitasari (2009) dalam skripsinya yang berjudul Penggunaan Strategi Kesantunan dalam Tuturan Direktif pada Novel Memoir of Geisya menganalisis tentang jenis-jenis strategi kesantunan yang digunakan dalam tuturan direktif. Penelitian Puspitasari menggunakan metode analisis deskripsi dengan beracuan
13 pada teori kesantunan Brown dan Levison. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa strategi kesantunan yang sering digunakan dalam tuturan direktif adalah strategi langsung tanpa basa-basi, serta strategi yang jarang digunakan adalah strategi tidak langsung. Perbedaan penelitian Puspitasari dengan penelitian ini yang sekaligus menjadikan kelebihan dari penelitian ini adalah selain menganalisis tentang strategi kesantunan pada tuturan imperatif, penelitian ini juga menganalisis tentang faktor penyebab digunakannya strategi kesantunan dalam tuturan imperatif tersebut, sedangkan penelitian Puspitasari hanya membahas strategi kesantunannya saja. Penelitian Puspita dapat dijadikan sebagai referensi untuk mengetahui mengenai teori kesantunan. 2.2 Konsep Berikut ini beberapa konsep atau beberapa definisi dasar yang dijadikan acuan dalam penelitian. Pemaparan konsep-konsep bertujuan untuk menyamakan persepsi dari istilah-istilah yang digunakan. 2.2.1 Strategi Kesantunan Dalam melakukan suatu tuturan kesantunan sangatlah diperlukan untuk mempertimbangkan perasaan orang lain yang terlibat didalam pertuturan. Untuk menjaga perasaan atau menjaga suatu tuturan agar tetap dalam batas kesantunan diperlukanlah strategi kesantunan. Strategi kesantunan merupakan bentuk tindakan atau cara yang dipilih dan dijadikan acuan dalam melakukan tuturan agar sebuah tuturan menjadi santun dan sesuai dengan situasi tuturnya (Gunarwan,
14 2007:264). Menurut Brown dan Levinson (1987) strategi kesantunan merupakan cara atau tindakan yang meminimalkan pengancaman terhadap muka seseorang. Muka yang dimaksud adalah citra diri dari si petutur maupun penutur. 2.2.2 Tuturan Imperatif Tuturan imperatif merupakan tuturan yang mengandung maksud memerintah atau meminta mitra tutur agar melakukan sesuatu sebagaimana yang diinginkan si penutur. Tuturan imperatif ini berkisar diantara suruhan yang sangat keras, permohonan yang halus dan juga larangan (Chaer, 2010:18). Dalam bahasa Jepang tuturan imperatif disebut dengan meirei hatsuwa ( 命令発話 ) didefinisikan sebagai tuturan yang di dalamnya terdapat makna memerintah, meminta, mengajak dan lain-lain (Iori, 2000:146). Kalimat memerintah menggunakan verba mereikei, partikel yo dan zo. Kalimat meminta atau memohon menggunakan verba bentuk te dan verba bentuk te yang ditambahi dengan kudasai, choudai, kureru, kureruka serta moraeruka. Selain itu juga bisa menggunakan verba bentuk kamus (jishoukei) dengan menghilangkan ru kemudian ditambah nasai, serta menggunakan verba potensial dan mengganti ru dengan ro. Kalimat larangan menggunakan verba kinshikei yaitu berupa kata kerja bentuk kamus dengan penambahan na. Kalimat ajakan menggunakan bentuk maksud (ikoukei). Kalimat ajakan menggunakan kata mashou dan masenka. Dalam penelitian ini yang diteliti adalah semua tuturan imperatif, baik berupa perintah, permohonan, larangan maupun ajakan. Tetapi tuturan imperatif ini dibatasi hanya tuturan yang diujarkan oleh Conan dan Kaitou Kid saja.
15 2.2.3 Muka Positif (Positive Face) Muka positif adalah keinginan semua penutur agar wajah atau citra diri mereka disenangi dan diterima lawan bicara. Muka positif mengacu pada hal kesolidaritasan, pengakuan dari lawan tutur, ketidakformalan dan kesetaraan golongan (Brown dan Levinson, 1987:65). 2.2.4 Muka Negatif (Negative Face) Muka negatif adalah keinginan semua penutur agar wajah atau citra diri mereka dihargai dengan diberikan kebebasan dari tekanan atau keharusan melakukan sesuatu. Muka negatif ini mengacu pada kemandirian, kebebasan bertindak, tiada tekanan dari lawan tutur dan adanya penghormatan lawan tutur terhadap kemandiriannya (Brown dan Levinson, 1987:65). 2.3 Kerangka Teori Penelitian ini menggunakan teori strategi dan skala kesantunan dari Brown dan Levinson (1987). Strategi kesantuan digunakan untuk membedah fenomena kebahasaan dalam rumusan masalah yang pertama. Skala kesantunan digunakan untuk membedah fenomena kebahasaan dalam rumusan masalah yang kedua. Fenomena kebahasaan yang dimaksud yaitu tuturan imperatif dan faktor penyebab digunakannya strategi kesantunan tersebut dalam manga Meitantei Konan vs Kaitou Kiddo karya Aoyama Goushou. 2.3.1 Teori Kesantunan Menurut Brown dan Levinson (1987) dalam bukunya yang berjudul Politeness:Some Universals in Language Usage mengemukakan bahwa terdapat
16 lima strategi kesantunan dalam bertutur yakni bertutur terus terang tanpa basa-basi (bald on record), bertutur terus terang dengan basa-basi menggunakan kesantunan positif, bertutur terus terang dengan basa-basi menggunakan kesantunan negatif, bertutur secara tidak terang-terangan atau samar-samar (off record) dan strategi bertutur didalam hati atau diam saja. 2.3.1.1 Strategi Langsung Tanpa Basa-Basi Menurut Brown dan Levinson (1987) strategi langsung tanpa basa-basi ini merupakan strategi dalam bertutur dengan melakukan tindakan mengancam muka untuk menyatakan sesuatu dengan jelas. Alasan dipilihnya strategi ini karena penutur ingin melakukan FTA secara maksimum. Alasan lainnya adalah keaadaan saat terjadi pertuturan juga dapat menjadi penyebab dipilihnya strategi ini. Misalkan ketika pertuturan terjadi dalam keadaan yang sangat genting, dalam hal ini keefisienan tuturan sangat diutamakan. Dengan demikian penutur dapat melakukan tuturan dengan mengabaikan muka mitra tuturnya pada saat itu. Strategi ini biasanya digunakan oleh penutur dan mitra tutur yang telah mengenal dengan baik, misalkan antara teman dan antar anggota keluarga. Berikut adalah contoh tuturan langsung tanpa basa-basi. 1). I want some beer Tuturan di atas diutarakan oleh penuturnya secara langsung dalam bentuk keinginan dengan menggunakan kata want yang berarti ingin. Tuturan di atas berpotensi mengancam muka mitra tuturnya, karena penutur tidak mempedulikan muka mitra tuturnya.
17 2.3.1.2 Strategi Kesantunan Positif Menurut Brown dan Levinson (1987:101) strategi kesantunan positif merupakan strategi melakukan FTA dengan cara penyelamatan muka atau menjaga muka positif mitra tutur. Muka positif yang dimaksud adalah citra diri atau martabat dari mitra tutur yang terkait dengan nilai solidaritas, ketidakformalan, dan keinginan untuk diakui baik oleh orang lain. Dalam melakukan FTA tersebut, penutur memberikan kesan memiliki keinginan yang sama dengan mitra tutur untuk menunjukkan persahabatan dan keakraban diantara mereka. Ada beberapa substrategi untuk melakukan strategi ini salah satunya adalah dengan menggunakan pemarkah identitas bahwa antara penutur dan mitra tutur berasal dari kelompok yang sama dan memiliki keinginan serta pandangan yang sama. Strategi ini digunakan untuk menunjukkan keakraban kepada lawan tutur yang bukan orang dekat penutur, sehingga dapat mempermudah dalam berinteraksi. Strategi ini juga berfungsi untuk pelancaran hubungan sosial dengan orang lain. Berikut adalah contoh tuturan menggunakan strategi kesantunan positif. 2). Let s have a beer Tuturan di atas menyiratkan bahwa petutur dan mitra tutur merupakan satu kelompok yang sama, yaitu sama-sama suka minum. Pada tuturan tersebut terdapat kata let s yang berarti ayo. Kata ini menunjukkan adanya keakraban diantara penutur dan mitra tutur. Sehingga efek kesantunannya dianggap sejajar. Tuturannya terkesan mengajak untuk meminum bir bersama-sama.
18 2.3.1.3 Strategi Kesantunan Negatif Menurut Brown dan Levinson (1987:129) strategi kesantunan negatif merupakan strategi menyelamatkan muka negatif mitra tutur untuk mempertahankan kebebasan bertindak mitra tutur. Muka negatif yang dimaksud adalah citra diri mitra tutur untuk melakukan tindakan secara bebas tanpa adanya tekanan dari pihak lain. Dalam melakukan strategi ini penutur mengakui dan menghormati muka negatif mitra tuturnya. Dalam penggunaannya juga ada beberapa substrategi yang hendaknya dijadikan acuan oleh penutur diantaranya dengan menggunakan ungkapan yang tidak langsung atau memerintah dengan menggunakan kalimat tanya. Hal ini bertujuan untuk menghindari ancaman terhadap muka mitra tutur, selain itu penutur juga dapat menggunakan kata hormat seperti permintaan maaf dan ucapan terima kasih. Berikut adalah contoh tuturan menggunakan strategi kesantunan negatif : 3). Whould it be possible for me to have a beer? Tuturan di atas menggunakan strategi kesantunan negatif, hal ini terlihat dalam tuturan kesatunan diungkapkan dengan penggunaan pagar yaitu berupa kata would it yang berarti apakah. Dalam tuturan tersebut kesantunan diungkapkan dengan menggunakan kalimat tanya serta penggunaan kata possible yang menunjukkan penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur. 2.3.1.4 Strategi Kesantunan Tidak Langsung Menurut Brown dan Levinson (1987:211) strategi kesantunan tidak langsung merupakan strategi penggunaan FTA secara tidak langsung dengan
19 membiarkan mitra tutur memutuskan atau menafsirkan maksud dari tuturan penutur. Strategi kesantunan ini biasanya disampaikan dengan menggunakan isyarat, metafora dan mengatakan secara tidak jelas apa yang dimaksud. Strategi ini digunakan jika penutur ingin melakukan tindakan mengancam muka namun tidak ingin bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Berikut contoh tuturan yang menggunakan strategi kesantunan tidak langsung. 4). It s so hot. It makes you really thirsty Tuturan di atas menggunakan kesantunan tidak langsung terlihat pada isyarat yang dikirimkan penutur sangat kuat yaitu dengan penggunaan kata thirsty yang bisa diasosiasikan keinginan meminum sesuatu oleh mitra tutur. 2.3.1.5 Strategi Kesantunan Bertutur Dalam Hati Menurut Brown dan Levinson (1987:227) strategi kesantunan ini adalah strategi kesantunan yang tidak mengancam muka mitra tutur atau strategi tanpa melakukan FTA. Strategi ini direalisasikan dengan diam atau tidak melakukan tuturan. 2.3.2 Skala Kesantunan Menurut Brown dan Levinson (1987:76) ada tiga faktor sosial yang menyebabkan digunakannya strategi kesantunan yaitu kekuasaan, jarak sosial dan tingkat pembebanan. Ketiga faktor tesebut disebut sebagai skala kesantunan yang dipaparkan sebagai berikut.
20 2.3.2.1 Kekuasaan (Power) Merupakan pernyataan hubungan yang menyatakan seberapa besar seseorang dapat memaksa orang lain tanpa kehilangan muka (rasa malu). Kehilangan muka yang dimaksud disini adalah kehilangan muka positif maupun muka negatif (Brown dan Levinson, 1987:76). Kekuasaan disini merupakan kedudukan asimetrik antara penutur dan lawan tutur. Misalnya, di dalam kelas saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, dosen memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa. Jadi pertuturan yang terjadi disini tidak akan menyebabkan muka seseorang terancam. 2.3.2.2 Jarak Sosial (Social Distance) Merupakan ukuran kontak sosial antara penutur dan mitra tutur. Kontak sosial yang dimaksud disini adalah hubungan antara penutur dengan mitra tutur sesuai konteks. Antara penutur dan mitra tutur mengenal satu sama lain (Brown dan Levinson, 1987:77). Selain itu parameter perbedaan umur, jenis kelamin dan latar belakang sosial budaya juga menentukan kesantunan seseorang. Semakin tinggi umur seseorang maka akan semakin santun tingkat pertuturannya. Sebaliknya orang yang masih muda cenderung tingkat kesantunan tuturannya semakin rendah. Orang yang berjenis kelamin perempuan juga cenderung lebih santun dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini dikarenakan perempuan menyukai sesuatu yang bernilai seni dan kelembutan dikehidupannya sehari-hari. Latar belakang sosial budaya juga memiliki peranan penting dalam menentukan tingkat kesantunan seseorang. Orang yang
21 berpendidikan tinggi akan memiliki tingkat kesantunan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang memiliki pendidikan rendah. 2.3.2.3 Tingkat Pembebanan (Degree of Imposition) Tingkat pembebanan merupakan status relatif jenis tuturan yang tidak terlalu mengancam muka. Yang dimaksud disini adalah tuturan yang dilakukan kemungkinan adanya pengancaman terhadap muka mitra tutur sedikit (Brown dan Levinson, 1987:77). Status relatif ini juga berlaku untuk penutur dan petutur. Sebagai contoh misalnya ketika seorang ibu ingin meminta tolong kepada tetangganya untuk menjaga anaknya akan menggunakan kesantunan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan seorang ibu yang meminta tolong kepada tetangganya untuk memberi tahu waktu arisan dimulai.