BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari penelitian yang dilakukan dengan judul Perayaan Tahun Baru Imlek 2015 di Bandung disimpulkan bahwa perayaan Imlek merupakan warisan leluhur yang patut dilestarikan oleh masyarakat Tionghoa di Bandung. Dari latar belakang perayaan Imlek di Bandung diketahui bahwa masyarakat Tionghoa mulai memasuki wilayah Priangan berdasarkan Besluit van den Zomermaand tahun 1810, yang mengatur penempatan orang Tionghoa di perkampungan Cianjur, Bandung, Parakan Muncang dan Sumedang. Keputusan tersebut dilandasi keinginan Gubernur Jendral saat itu untuk menggenjot aktifitas pertanian dan perekonomian di kawasan Priangan. Berdasarkan keputusan tersebut, pemukim Tionghoa di Priangan diperbolehkan menanam tembakau, nila, katun, dan kacang di lahan yang tidak cocok ditanami padi. Masyarakat Tionghoa mengalami perkembangan jumlah penduduk yang cukup pesat, untuk itu Bandung mendatangkan Thomas Karsten pada 1920 untuk menata Bandung. Salah satu ide Thomas Karsten adalah menata pemukiman para pendatang khususnya masyarakat Tionghoa yang ditempatkan di Bandung bagian barat kota, dekat pasar baru. Sejarah perayaan Imlek di Bandung mempunyai kesan tersendiri. Sebelum meruaknya sentimen anti-tionghoa, perayaan Imlek selalu digelar dengan sangat meriah. Dibalik kemeriahan itu, terdapat beberapa kalangan yang memanfaatkan keadaan seperti masyarakat pribumi yang menjadi pengamen ke toko-toko milik 36
37 masyarakat Tionghoa. Ketika Imlek masyarakat Tionghoa akan senang membagikan angpao, maka banyak masyarakat pribumi yang mendadak jadi barongsai palsu. Ketika Cap Go Meh tiba, selalu diadakan kirab atau iring-iringan barongsai, kim shin, dan lain-lain. Di sela-sela iring-iringan, terdapat pemuda Tionghoa terpelajar yang ikut meramaikan gelaran kirab tersebut untuk mencari jodoh. Selain itu, saat digelar perayaan Imlek kala itu, persatuan antar etnis terwujud, semua bersuka ria, tidak ada jarak, semua tumpah ruah di jalur iringiringan. Jika dibandingkan perayaan Imlek dahulu dengan perayaan Imlek masa sekarang, maka sebagian orang ada yang berpendapat bahwa Imlek hanya dimaknakan sebagai pergantian tahun, ajang berkumpul, dan ajang mencari angpao. Akan tetapi, ada pula yang masih melestarikan budaya leluhur dengan merayakan Imlek secara utuh. Semua terjadi karena perkembangan jaman, bisa disebabkan oleh beralihnya agama masyarakat Tionghoa dari agama leluhur di Tiongkok menjadi agama yang dianggap modern seperti Islam, Kristen, dan Katolik. Meskipun terjadi pergeseran makna yang sangat besar terhadap Imlek, semua itu tidak berdampak pada kedekatan batin satu sama lain. Sifat saling menghargai yang dimiliki masyarakat Tionghoa tentang anggota keluarga yang memiliki perbedaan agama dan pandangan justru bisa dijadikan panutan. Jika penelitian hanya melibatkan masyarakat Tionghoa sebagai responden, maka penelitian ini tidak berlaku adil dan mengakui adanya peran yang dilakukan masyarakat pribumi di Bandung. Maka dari itu, penelitian melibatkan beberapa masyarakat pribumi untuk memberikan perspektifnya tentang perayaan Imlek.
38 Dari wawancara yang dilakukan, disimpulkan bahwa masyarakat pribumi tidak keberatan sama sekali terhadap masyarakat Tionghoa yang merayakan Imlek. Respon-respon positif yang dikandung dalam perspektif masyarakat pribumi tentang perayaan Imlek di Bandung kebanyakan berbentuk dukungan terhadap kebebasan berpendapat, beragama, dan kebebasan untuk menjalankan ibadah tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Selain makna dan pendapat tersebut, Imlek mempunyai makna lain yaitu Perayaan Imlek adalah perayaan Tahun baru. Waktunya bersyukur kapada rezeki tahun lalu serta semangat untuk hal hal yang lebih baik di tahun baru, bermaafmaafan dengan anggota keluarga. Yang tua menyayangi yang muda (angpau) yang muda menghormati yang tua (bakti). Makna spiritual perayaan Imlek tidak pertama-tama digali dalam ajaran agama tertentu. Semula, Imlek merupakan perayaan petani. Makna spiritual Imlek perlu digali dari pengalaman kehidupan dan dunia yang berkembang di antara kaum petani. Dalam perjalanan waktu, Imlek juga dirayakan oleh masyarakat yang bukan dari golongan petani. Karena itu, tidaklah mencukupi pemaknaan spiritual Imlek hanya dibatasi dari dunia pertanian. Imlek memiliki makna filosofi yang terkandung di balik tradisinya, mulai dari semangat dan kesanggupan berbagi. Pemberian angpau merupakan ungkapan simbolik yang berarti membagi kesejahteraan dari para orangtua kepada anakanaknya atau dari yang mampu kepada kurang mampu. Dengan semangat berbagi ini, setiap orang dapat merayakan Imlek. Semangat berbagi ini, tidak hanya di kalangan sesama etnis saja, namun masyarakat umumnya.
39 Lampion yang tak hanya menerangi suasana, tapi menjadi lambang harapan bahwa pada masa mendatang kehidupan menjadi terang. Selanjutnya, kue lapis menandakan harapan rezeki yang perlapis-lapis. Intinya adalah kehidupan yang lebih baik seperti harapan semua orang. Di tempat asalnya di Negeri Tirai Bambu, sebenarnya Imlek atau Sin Cia adalah festival menyambut datangnya musim semi yang hangat dan kental dengan kehidupan menggantikan musim dingin yang suhunya begitu mengigit. Tradisi inilah yang kemudian dibawa oleh nenek moyang mereka yang merantau ke negara-negara lain termasuk Indonesia. Gong Xi Fa Cai memiliki makna semoga bertambah sejahtera. Di dataran China sendiri, ucapan kegembiraan ini bisa berupa doa agar bertambah bahagia, kaya, panjang umur, dan kegembiraan lainnya atau yang lebih tepatnya adalah Sin Cun Kiong Hi atau selamat memasuki musim semi. Dalam tradisi tersebut, anggota keluarga yang sudah menikah dan bekerja akan memberikan angpau kepada yang lebih muda atau belum menikah. Lalu yang lebih muda dan belum menikah memberi hormat kepada orangtua dengan mengepalkan tangan sambil digoyang-goyangkan atau melakukan pai-pai/soja. Bagi mereka yang masih memegang teguh tradisi, satu hari sebelum Imlek biasanya diisi dengan kegiatan bersih-bersih rumah, termasuk membersihkan diri secara total dengan mandi dan keramas. Tidak lupa pula dihidangkan kue keranjang dan manisan. Dengan demikian, maknanya agar kehidupan di masa mendatang lebih baik dan manis. Intinya, sebelum Imlek tiba atau sebelum matahari terbit
40 semuanya selesai dilakukan, sebab jika menyapu di hari Imlek, diyakini membuang rezeki yang ada. Semua tradisi dan kebiasaan tersebut, bukan sekadar untuk hura-hura, namun menjadi simbol nilai-nilai kehidupan universial. Dengan keberagaman tak menjadikan kita terpecah-belah, namun bagaimana menghargai keberagaman itu. 5.2 Saran Pergeseran makna perayaan Imlek terjadi dengan sendirinya, beberapa orang berpendapat bahwa masyarakat Tionghoa berubah karena tekanan pemerintah di bawah rezim Soeharto. Akan tetapi, penulis sendiri mempunyai pendapat lain tentang hal tersebut. Biaya perayaan Imlek yang lengkap relatif mahal, tidak semua masyarakat Tionghoa mampu menyediakan dana sebanyak itu. Akhirnya, pemaknaan lain pun muncul dengan hanya merayakan Imlek secara sederhana dengan datang ke Klenteng saat waktu ibadah tiba. Pergeseran makna Imlek ini harus disadari bahwa jaman dahulu pun tidak semua masyarakat Tionghoa mampu merayakan Imlek secara utuh. Bagi masyarakat Tionghoa yang beruntung bisa merayakan Imlek secara lengkap sesuai tradisi, yang belum beruntung merayakan Imlek semampunya. Untuk meminimalisir masyarakat Tionghoa tidak melestarikan warisan leluhurnya bisa dengan penghimpunan dana untuk perayaan Imlek bersama. Dari berbagai fenomena yang tejadi mulai dari penjelasan sejarah Imlek, perayaan Imlek, hingga makna perayaan Imlek tersirat benang merah yang intinya
41 adalah saling menghargai, saling menghormati, dan saling memiliki. Ketiga hal tersebut adalah pilar utama berdirinya sebuah negara yang kokoh, kuat, dan makmur. Apa jadinya jika negara terpecah belah seperti di negeri Arab, hanya kehancuran, kelaparan, dan kematian yang kerap terjadi di depan mata. Untuk menghindari hal tersebut, masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Bandung bisa memulai semua dengan langkah sederhana yaitu menghargai perspektif orang lain, agama, dan kepercayaan satu sama lain. Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan oleh semua orang adalah berpegang teguh pada satu prinsip yaitu prinsip persatuan. Prinsip persatuan bisa diperoleh melalui pencarian kesamaan, kesamaan yang ada pada masyarakat Tionghoa di Bandung dan masyarakat pribuminya adalah kesamaan tempat tinggal yaitu Bandung dan Indonesia secara luas. Jika ingin membangun Bandung juara, kuat, dan makmur, maka harus bisa mempunyai prinsip tersebut.