BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN. yang bersifat netral dan pengertian yang bersifat pejorative. Pengertian netral

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Persaingan yang dihadapi di era globalisasi ini, menuntut perusahaan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2011 TENTANG

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

BAB I PENDAHULUAN. membuka anak perusahaan ditempat yang memiliki permintaan yang tinggi untuk. menunjang kegiatan produksi perusahaan induk.

BAB 5 SIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa transfer pricing dilakukan antara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya General Agreement on Trade and Tariff (GATT) dan World Trade

BAB I PENDAHULUAN. mendorong transaksi internasional atau sering disebut dengan cross border

BAB II TRANSFER PRICING, PAJAK, KEPEMILIKAN ASING, UKURAN PERUSAHAAN, PENELITIAN TERDAHULU, DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PENENTUAN HARGA TRANSFER ATAS TRANSAKSI INTERNASIONAL DARI PERSPEKTIF PERPAJAKAN INDONESIA. Disusun oleh: Deddy Arief Setiawan ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. negara membuat arus transaksi perdagangan antarnegara juga semakin mudah dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara. Oleh: Hadi Setiawan 1

BAB 5 SIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB I PENDAHULUAN. batas negara yang telah membawa dampak pada kemajuan yang pesat di segala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perkembangan ekonomi mengakibatkan transaksi perdagangan dan kegiatan

BAB III METODE PENELITIAN. Populasi dari penelitian ini adalah perusahaan non keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan kontribusi positif bagi pelaksanaan pembangunan. Pajak

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya perusahaan multinasional. Dalam perusahaan multinasional

BAB 1 PENDAHULUAN. penerimaan negara. Berdasarkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Transfer pricing digunakan untuk mengukur efektifitas departemen

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Laba perusahaan dalam perpajakan digunakan sebagai dasar. perhitungan pajak. Dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007, pajak merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Landasan Teori Tax Avoidance OECD sendiri tidak memberikan definisi tax avoidance secara tegas.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang digunakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berdasarkan undang-undang atau yang dapat dipaksakan dengan tiada mendapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pesatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional turut merangsang

BAB I PENDAHULUAN. (tax avoidance) sepanjang hal itu dimungkinkan sesuai aturan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. oleh perusahaan nasional atau internasional di perlukan dalam rangka

Repositori STIE Ekuitas

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara. Pajak

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. laba di perusahaan. Menurut Jansen & Meckling (1976) teori agensi

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang terus menerus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pengungkapan Corporate Social Responsibility merupakan suatu kewajiban

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak. dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. tahunan perusahaan manufaktur yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Perpajakan pasal 1 ayat 1, definisi pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pembayaran pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penerimaan negara atau pemasukan bagi negara di masa

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

BAB 5 SIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

TRANSFER PRICING. Daftar Isi: Redaksi. Edisi Oktober I / eharusan untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

tem Pen Ma Sist dali men ian n Modu digun Abstract Kompetensi Tatap Muka Kode MK Program Administrasi Transfer Ekonomi dan Bisnis

PENGARUH PAJAK, TUNNELING INCENTIVE DAN EXCHANGE RATE PADA KEPUTUSAN TRANSFER PRICING PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum pada

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini sebagai sumber penerimaan terbesar negara. yang terlihat dalam Tabel 1.1 berikut.

BAB I PENDAHULUAN. sumber migas dan non migas. Pelaksanaan perpajakan diatur oleh pemerintah Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pajak memiliki peranan penting dalam perekonomian negara kita. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 5 SIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang paling

Prinsip Kewajaran Dan Dokumentasi Sebagai Penangkal Kecurangan Transfer Pricing di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang terbesar, terbukti. (

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Struktur modal merupakan perimbangan jumlah utang, saham

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya General Agreement on Trade and Tariff (GATT) dan World Trade

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri yaitu berupa pajak (Waluyo, 2013:2). pembayar/pemotong/pemungut pajak (Siti Resmi, 2016:1).

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak adalah iuran atau pungutan yang dilakukan oleh pemerintah dari masyarakat

METODE PENETAPAN HARGA WAJAR TERHADAP PRAKTIK TRANSFER PRICING DI KPP PRATAMA BATAM

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemerintahan, dimana sumbangan terbesar adalah dari penerimaan pajak

BAB I PENDAHULUAN. dengan investasi asing, salah satunya adalah transfer pricing. Transfer pricing

Transkripsi:

13 BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Transfer Pricing 2.1.1 Pengertian Transfer Pricing Pengertian transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengertian yang bersifat netral dan pengertian yang bersifat pejorative. Pengertian netral mengasumsikan bahwa transfer pricing adalah strategi dan taktik bisnis tanpa motif pengurangan beban pajak. Sedangkan pengertian pejorative mengasumsikan transfer pricing sebagai upaya untuk menghemat beban pajak dengan cara menggeser laba ke negara yang mempunyai tarif pajak yang rendah (Suandy, 2011). Menurut Gunadi dalam Suandy (2011) menyatakan bahwa transfer pricing adalah penentuan harga atas penyerahan barang, imbalan atas penyerahan jasa atau pengalihan teknologi antarperusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Transfer pricing adalah kebijakan suatu perusahaan dalam menentukan harga transfer suatu transaksi. Transfer pricing dapat terjadi dalam satu perusahaan (intracompany) dan antarperusahaan (intercompany) yang terikat dalam hubungan istimewa (Ikatan Akuntan Indonesia, 2013). Pengertian transfer pricing sebagai harga yang ditimbulkan akibat penyerahan barang, jasa dan teknologi, seperti yang telah disebutkan di atas merupakan pengertian yang netral. Akan tetapi, istilah transfer pricing sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang tidak baik (abuse of transfer pricing), yaitu 13

14 pengalihan atas penghasilan kena pajak (taxation income) dari suatu perusahaan multinasional ke negara-negara yang tarif pajaknya rendah dalam rangka untuk mengurangi total beban pajak. Manipulasi transfer pricing dapat dilakukan dengan cara memperbesar biaya atau memperkecil penjualan melalui mekanisme harga transfer dengan tujuan untuk mengurangi pembayaran pajak. Hal ini dikarenakan dengan memperkecil jumlah pajak yang terutang, keuntungan yang diterima oleh perusahaan multinasional akan semakin besar (Darussalam dan Septriadi, 2008). Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara (intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok oleh divisi penjual kepada divisi pembeli. Pasal 1 ayat (8) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 yang diubah terakhir dengan PER- 32/PJ/2011, mendefinisikan penentuan harga transfer (transfer pricing) sebagai penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu intracompany transfer pricing dan intercompany transfer pricing. Intracompany transfer pricing merupakan transfer pricing antardivisi dalam satu perusahaan. Sedangkan Intercompany transfer pricing merupakan transfer pricing antara dua perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, baik berada dalam satu negara (domestic transfer pricing) maupun berada di negara yang berbeda (international transfer pricing) (Ikatan Akuntan Indonesia, 2013).

15 Transfer pricing, terutama international transfer pricing, dapat menimbulkan permasalahan apabila digunakan untuk kepentingan penghindaran pajak. Dengan international transfer pricing, perusahaan-perusahaan yang berada pada negara yang berbeda dapat mengatur harga transfer sedemikian rupa sehingga perusahaan yang berada di negara yang tarif pajaknya rendah mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya, sedangkan perusahaan di negara yang tarif pajaknya lebih tinggi mendapatkan keuntungan yang serendahrendahnya (Ikatan Akuntan Indonesia, 2013). Domestic transfer pricing bisa juga digunakan untuk menghindari pajak, meskipun dalam jumlah yang tidak signifikan, dengan cara menetapkan harga transfer sedemikian rupa sehingga penghasilan kena pajak tersebar merata pada perusahaan-perusahaan terkait untuk mengurangi kemungkinan terkena tarif pajak progresif tertinggi dan laba dapat dialihkan kepada perusahaan yang masih berhak menikmati kompensasi kerugian (Ikatan Akuntan Indonesia, 2013). 2.1.2 Tujuan Transfer Pricing Secara umum, tujuan penetapan transfer pricing adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisidivisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain (Simamora dalam Mangoting, 2000). Selain tujuan tersebut, transfer pricing terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan.

16 Dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk meminimalkan beban-beban pajak, pengendalian devisa, dan berkenaaan dengan risiko pengambilalihan oleh pemerintah asing. Fenomena perusahaan multinasional dalam ekspansinya cenderung mengoperasikan usahanya secara desentralisasi dan melaksanakan konsep cost revenue profit atau corporate profit center concept, yang dapat mengukur dan menilai kinerja dan motivasi setiap divisi atau unit yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. (Suandy, 2011). Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan multinasional yang menggunakan transfer pricing adalah memaksimalkan penghasilan dengan merelokasi penghasilan globalnya ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries) dan menggeser-geser biaya dalam jumlah yang lebih besar ke negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries). 2.1.3 Perusahaan Multinasional Perusahaan multinasional (multinational company MNC atau multinational enterprise MNE) adalah perusahaan yang beroperasi melewati lintas batas antarnegara, yang terikat hubungan istimewa, baik karena penyertaan modal saham, pengendalian manajemen, atau penggunaan teknologi, dengan membuka cabang perusahaan, mengorganisasikan anak perusahaan, atau melakukan kontrak keagenan, dan sebagainya, dengan berbagai tujuan, antara lain meminimalkan pajak perusahaan (Suandy, 2011)

17 2.1.4 Hubungan Istimewa Hubungan istimewa terjadi antara induk perusahaan dengan anak perusahaannya atau dengan cabang-cabangnya atau perwakilannya, baik yang berada di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri (Suandy, 2011). Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, hubungan istimewa dianggap ada, apabila: 1) Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada wajib pajak lain, atau hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua wajib pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir. Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung. 2) Wajib pajak yang menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut. Hubungan istimewa di antara wajib pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.

18 3) Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. Hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak. Sementara itu, hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara. Sedangkan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri. Sementara itu, hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar. 2.1.5 Pihak-pihak Berelasi Penggunaan kata hubungan istimewa dalam akuntansi sudah tidak digunakan lagi tetapi menggunakan istilah berelasi merujuk pada istilah bahasa Inggris yang menggunakan kata related party. Pihak-pihak berelasi didefinisikan secara luas dalam PSAK 7. Terdapat perbedaan definisi pihak-pihak berelasi atau pihak mempunyai hubungan istimewa yang diatur dalam regulasi perpajakan dengan definisi yang diatur dalam PSAK 7 (revisi 2013) tentang Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi. Pada paragraf 9 dari PSAK 7 (revisi 2013), pihak-pihak berelasi didefinisikan sebagai orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam menyiapkan laporan keuangannya (dalam pernyataan ini dirujuk sebagai entitas pelapor ), yaitu: a. Orang atau anggota keluarga terdekat berelasi dengan entitas pelapor jika orang tersebut:

19 i. Memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor; ii. Memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau iii. Personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas pelapor. b. Suatu entitas berelasi dengan entitas pelapor jika memenuhi hal-hal berikut: i. Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama (artinya entitas induk, entitas anak, dan entitas anak berikutnya terkait dengan entitas lain). ii. Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain (atau entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota suatu kelompok usaha, di mana entitas lain tersebut adalah anggotanya). iii. Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama. iv. Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga. v. Entitas tersebut adalah suatu program imbalan kerja untuk imbalan kerja dari salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor. Jika entitas pelapor adalah entitas yang menyelenggarakan program tersebut, entitas sponsor juga terkait dengan entitas pelapor. vi. Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang diidentifikasi dalam butir (a).

20 vii. Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (i) memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas atau anggota manajemen kunci entitas (atau entitas induk dari entitas). Hubungan istimewa dengan suatu pihak dapat mempunyai dampak atas posisi keuangan dan hasil usaha perusahan pelapor. Pihak-pihak berelasi dapat melakukan transaksi yang tidak akan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Transaksi antara pihak-pihak berelasi juga dapat dilakukan dengan harga yang berbeda dengan transaksi serupa yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Sebagai contoh, anak perusahaan yang biasanya menjual produknya ke pihak independen dengan harga jual normal, mungkin akan diminta untuk menjual produknya ke induk perusahaan dengan harga pokok saja. Namun bisa saja dua perusahaan yang berelasi memiliki transaksi yang tidak istimewa. Contohnya adalah anak perusahaan yang menjual dengan harga jual normal kepada induknya. Mengingat dampak dari hubungan istimewa dengan suatu pihak, PSAK 7 mensyaratkan pengungkapan informasi tertentu dari pihak-pihak berelasi. (Juan dan Wahyuni dalam Lingga, 2012). 2.1.6 Transaksi Transfer Pricing Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dalam

21 hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak dengan pihakpihak yang mempunyai hubungan istimewa untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain: 1. Perlakuan pengenaan pajak penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha tertentu; 2. Perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM); atau 3. Transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerjasama Migas. 2.1.7 Metode Penentuan Transfer Pricing Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011, terdapat beberapa jenis metode penentuan harga transfer (transfer pricing) yang dapat dilakukan, yaitu: 1. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price/cup) Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price) atau disingkat metode CUP adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa

22 dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding. 2. Metode harga penjualan kembali (resale price method/rpm) Metode harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat metode RPM adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar. 3. Metode biaya plus (cost plus method/cpm) Metode biaya plus (cost plus method) atau metode CPM adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. 4. Metode pembagian laba (profit split method/psm) Metode pembagian laba (profit split method) atau metode PSM adalah metode penentuan harga transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi

23 afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. 5. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/tnmm) Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) atau disingkat TNMM adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa lainnya. 2.2 Pajak 2.2.1 Pengertian Pajak Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-

24 besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2011) pajak adalah iuran masyarakat kepada negara yang dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) secara langsung dapat rasakan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum pemerintah. Dengan demikian, pajak adalah peralihan uang atau harta dari sektor swata atau individu ke sektor pemerintah atau masyarakat tanpa ada imbalan yang secara langsung dapat ditunjukan. Dari berbagai definisi menurut para pakar, terdapat ciri-ciri yang melekat pada pajak, yaitu: 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang 2. Pajak bersifat memaksa 3. Pembayar pajak tidak mendapat kontraprestasi individual 4. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah 5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah 2.2.2 Pajak Penghasilan Menurut peraturan perundang-undangan pajak, negara dapat memungut pajak kepada wajib pajak baik orang pribadi maupun badan. Pajak yang dapat dipungut diantaranya adalah pajak penghasilan. Pajak Penghasilan merupakan salah satu pajak langsung yang dapat dipungut oleh pemerintah pusat (Resmi, 2014). Pajak Penghasilan merupakan pajak langsung. Oleh karena itu, beban pajak tersebut menjadi tanggungan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam arti beban pajak tersebut tidak boleh dilimpahkan pada pihak lain (Resmi, 2014). Pajak

25 Penghasilan dipungut secara periodik terhadap kumpulan penghasilan yang diperoleh atau diterima Wajib Pajak selama satu tahun pajak. Dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari Luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Sedangkan definisi pajak penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukkan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam masa atau tahun pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban (Resmi, 2014). Pasal 1 Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) menyebutkan bahwa Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PPh disebutkan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah (1) Orang pribadi dan warisan yang terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; (2) Badan; dan (3) Bentuk Usaha Tetap. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh, pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun. Adapun subjek

26 pajak Badan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Wajib Pajak Badan Luar Negeri. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Sedangkan Wajib Pajak Badan Luar Negeri adalah badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dan/atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia. 2.2.3 Tarif Pajak Efektif Tarif pajak efektif atau Effective tax rate (ETR) pada dasarnya adalah sebuah persentase besaran tarif pajak yang ditanggung oleh perusahaan. Effective tax rate (ETR) dihitung atau dinilai berdasarkan pada informasi keuangan yang dihasilkan oleh perusahaan sehingga effective tax rate (ETR) merupakan bentuk perhitungan tarif pajak pada perusahaan (Aunalal, 2011). Dengan adanya ETR, maka perusahaan akan dapat mengetahui berapa bagian dari penghasilan yang sebenarnya perusahaan bayarkan untuk pajak. Apabila perusahaan memiliki persentase ETR yang lebih tinggi dari tarif yang ditetapkan dalam aturan perpajakan maka perusahaan kurang memaksimalkan insentif-insentif perpajakan yang ada, karena dengan perusahaan memanfaatkan insentif perpajakan yang ada maka dapat memperkecil persentase pembayaran pajak dari laba komersial (Handayani, 2013).

27 Perkembangan perpajakan dalam tax avoidance cukup monumental, terdapat dua jenis tax avoidance, yakni tax avoidance acceptable dan tax avoidance unacceptable (Gravelle, 2009). Dalam melakukan pengukuran Tax Avoidance, sejumlah besar peneliti menggunakan GAAP-ETR, seperti halnya penelitian yang telah dilakukan oleh Siegfried (1972), Kim dan Limpaphayom, (1998), Rego (2003), Hanlon (2005), Desai dan harmapala (2006), Dyreng et al. (2008), Richardson dan Lanis (2007; 2012; 2013), Chen et.al. (2010) dan Minnick dan Noga (2010). Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian Siegfried (1972), Dyreng et al. (2008), Kim dan Limpaphayom (1998), dan Rego (2003) menyatakan bahwa GAAP ETR merupakan salah satu pengukur tax avoidance. Sehingga dapat disimpulkan bahwa effective tax rate digunakan untuk mengukur dampak perubahan kebijakan perpajakan atas beban pajak perusahaan bahkan effective tax rate merupakan salah satu pengukur adanya tax avoidance (Rusydi, 2013). Berikut ini adalah rumus GAAP-ETR: Penjelasan mengenai rumus tersebut adalah: a. GAAP ETR adalah effective tax rate berdasarkan pelaporan akuntansi keuangan yang berlaku; b. Tax expense adalah beban pajak penghasilan badan untuk perusahaan i pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang telah diterbitkan; c. Pretax Income adalah pendapatan sebelum pajak untuk perusahaan i pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang telah diterbitkan.

28 2.3 Tunneling Incentive Tunneling merupakan istilah awal yang digunakan untuk menggambarkan kondisi pengambilan aset suatu pemegang saham non pengendali di Republik Ceko melalui pengalihan aset dan keuntungan demi kepentingan pemegang saham pengendali (Guing dan Farahmita, dalam Noviastika et al., 2016). Tunneling merupakan perilaku manajemen atau pemegang saham mayoritas yang mentransfer aset dan profit perusahaan untuk kepentingan mereka sendiri, namun biaya dibebankan kepada pemegang saham minoritas (Mutamimah, 2009). Kemudian menurut Johnson dalam Hartati et al,. (2015), tunneling didefinisikan sebagai transfer aset dan laba perusahaan untuk keuntungan dari pemilik mayoritas (controlling). Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tunneling incentive adalah suatu perilaku dari pemegang saham mayoritas yang mentransfer aset dan laba perusahaan demi keuntungan mereka sendiri, namun pemegang saham minoritas ikut menanggung biaya yang mereka bebankan. Tunneling incentive muncul dalam dua bentuk, yaitu pertama, pemegang saham pengendali dapat memindahkan sumber daya dari perusahaan ke dirinya sendiri melalui transaksi antara perusahaan dengan pemilik. Transaksi tersebut dapat dilakukan dengan penjualan aset, kontrak harga transfer kompensasi eksekutif yang berlebihan, pemberian pinjaman, dan lainnya. Kedua, pemegang saham pengendali dapat meningkatkan bagiannya atas perusahaan tanpa memindahkan aset melalui penerbitan saham dilutif atau transaksi keuangan

29 lainnya yang mengakibatkan kerugian bagi pemegang saham non pengendali (Johnson dalam Noviastika et al., 2016). 2.4 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai transfer pricing dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pajak dan tunneling incentive telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain, yaitu sebagai berikut. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Peneliti Judul Hasil Penelitian Ni Wayan Yuniasih Ni Ketut Rasmini Made Gede Wirakusuma (2012) Marfuah dan Andri Puren Noor Azizah (2014) Winda Hartati, Desmiyawati, Nur Azlina (2014) Pengaruh Pajak dan Tunneling Incentive pada Keputusan Transfer Pricing Perusahaan Manufaktur yang Listing di Bursa Efek Indonesia Pengaruh Pajak, Tunneling Incentive dan Exchange Rate Pada Keputusan Transfer Pricing Perusahaan Analisis Pengaruh Pajak dan Mekanisme Bonus Terhadap Keputusan Transfer Pricing (Studi Empiris pada Seluruh Perusahaan yang Listing di Bursa Efek Indonesia) 1. Pajak berpengaruh positif pada keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing 2. Tunneling incentive berpengaruh positif pada keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing 1. Pajak berpengaruh negatif signifikan terhadap keputusan transfer pricing. 2. Tunneling incentive berpengaruh positif signifikan terhadap keputusan transfer pricing. 3. Exchange Rate berpengaruh positif tidak signifikan terhadap keputusan transfer pricing. 1. Pajak berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing 2. Mekanisme Bonus berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing Winda Hartati, Tax Minimization, Tunneling 1. Pajak berpengaruh terhadap

30 Desmiyawati, Julita (2015) Mispiyanti (2015) Dwi Noviastika F.,Yuniadi Mayowan, dan Suhartini Karjo (2016) Incentive dan Mekanisme Bonus terhadap Keputusan Transfer Pricing Seluruh Perusahaan yang Listing di Bursa Efek Indonesia Pengaruh Pajak, Tunneling Incentive dan Mekanisme Bonus Terhadap Keputusan Transfer Pricing Pengaruh Pajak, Tunneling Incentive dan Good Corporate Governance (GCG) Terhadap Indikasi Melakukan Transfer Pricing pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia keputusan transfer pricing 2. Tunneling incentive berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing 3. Mekanisme Bonus berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing 1. Pajak tidak berpengaruh signifikan terhadap keputusan transfer pricing 2. Tunneling incentive berpengaruh signifikan terhadap keputusan transfer pricing 3. Mekanisme Bonus tidak berpengaruh signifikan terhadap keputusan transfer pricing 1. Pajak berpengaruh signifikan terhadap indikasi melakukan transfer pricing. 2. Tunneling incentive berpengaruh signifikan terhadap indikasi melakukan transfer pricing. 3. Good corporate governance berpengaruh tidak signifikan terhadap indikasi melakukan transfer pricing. 2.5 Kerangka Pemikiran 2.5.1 Pajak dan Keputusan Transfer Pricing Salah satu alasan perusahaan melakukan transfer pricing adalah pajak. Motivasi pajak dalam transfer pricing pada perusahaan multinasional dilaksanakan dengan cara memindahkan kewajiban perpajakannya ke negara dengan tarif pajak rendah, dimana perusahaan memiliki grup atau divisi yang beroperasi di negara tersebut. Perusahaan multinasional melakukan transfer pricing untuk meminimalkan beban pajak perusahaan secara global (Gusnardi,

31 2009). Transfer antarperusahaan besar dapat mengakibatkan pembayaran pajak lebih rendah secara global. Perusahaan multinasional memperoleh keuntungan karena pergeseran pendapatan dari negara-negara dengan pajak tinggi ke negara dengan pajak rendah. Beban pajak yang semakin besar memicu perusahaan untuk melakukan praktik transfer pricing dengan harapan dapat menekan beban tersebut. Dalam praktik bisnis, umumnya pengusaha mengidentikkan pembayaran pajak sebagai beban sehingga akan senantiasa berusaha untuk meminimalkan beban tersebut guna mengoptimalkan laba (Yuniasih et al., 2012). Transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multinasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries) (Santoso, 2004). 2.5.2 Tunneling Incentive dan Keputusan Transfer Pricing Tunneling merupakan perilaku manajemen atau pemegang saham mayoritas yang mentransfer aset dan profit perusahaan untuk kepentingan mereka sendiri, namun biaya dibebankan kepada pemegang saham minoritas (Mutamimah, 2008). Yuniasih et al., (2012) menemukan bahwa tunneling incentive berpengaruh positif pada keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing. Hal ini dikarenakan transaksi pihak terkait lebih umum digunakan untuk tujuan transfer kekayaan daripada pembayaran dividen karena perusahaan yang terdaftar harus mendistribusikan dividen kepada perusahaan

32 induk dan pemegang saham minoritas lainnya. Secara sederhana dapat dijelaskan apabila pemilik saham mempunyai kepemilikan yang besar, maka otomatis mereka menginginkan pengembalian atau dividen yang besar pula. Untuk itu, ketika dividen yang dibagikan perusahaan tersebut harus dibagi dengan pemilik saham minoritas, maka pemilik saham mayoritas lebih memilih untuk melakukan transfer pricing dengan cara mentransfer kekayaan perusahaan untuk kepentingannya sendiri daripada membagi dividennya kepada pemilik saham minoritas. Dengan demikian semakin besar kepemilikan pemegang saham maka akan semakin memicu terjadinya praktik transfer pricing. 2.6 Model Konseptual Konsep menggambarkan suatu fenomena secara abstrak yang dibentuk dengan jalan membuat generalisasi terhadap sesuatu yang khas sehingga mempermudah mengkomunikasikan dasar pemikiran kepada orang lain agar mudah dimengerti oleh orang lain (Nazir dalam Noviastika, 2016). Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan, dapat ditarik kerangka berpikir yang bertujuan mempermudah analisis dengan model konseptual. Model konseptual dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1.

33 Variabel Independen Variabel Dependen Pajak Tunneling Incentive Keputusan Transfer Pricing Gambar 2.1 Model Penelitian 2.7 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan, maka hipotesis penelitian dinyatakan sebagai berikut: H 1 : Pajak berpengaruh terhadap keputusan perusahaan melakukan praktik transfer pricing. H 2 : Tunneling incentive berpengaruh terhadap keputusan perusahaan melakukan praktik transfer pricing.