BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Presiden RI, 2009).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) di satu

BAB I PENDAHULUAN. Adiktif lainnya. Kata lain yang sering dipakai adalah Narkoba (Narkotika,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. medis merupakan suatu bentuk penyalahgunaan yang dapat berakibat fatal di

BAB 1 PENDAHULUAN. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat


I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

BAB I PENDAHULUAN. yang luar biasa (Extra Ordinary Crime). Permasalahan ini tidak hanya menjadi

BAB I PENDAHULUAN. tergolong makanan jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan,

BAB 1 PENDAHULUAN. lainnya) bukan merupakan hal yang baru, baik di negara-negara maju maupun di

BAB I PENDAHULUAN. (NAPZA) atau yang lebih sering dikenal masyarakat dengan NARKOBA

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja. Perubahan yang dialami remaja terkait pertumbuhan dan perkembangannya harus

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 : PENDAHULUAN. Narkoba(Narkotika dan obat/bahan berbahaya) sebagai kelompok obat, bahan, atau zat

BAB I PENDAHULUAN. pasar narkoba terbesar di level Asean. Menurut United Nation Office on Drugs and

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang. Perancangan Interior Panti Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkoba

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Optimisme..., Binta Fitria Armina, F.PSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainya. Banyak jenis NAPZA yang besar manfaatnya untuk kesembuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. atau kesulitan lainnya dan sampai kepada kematian tahun). Data ini menyatakan bahwa penduduk dunia menggunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengguna Narkoba. Pengguna napza atau penyalahguna napza adalah individu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENINGKATAN KEMAMPUAN LEMBAGA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (Narkotika, alkohol dan zat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Disisi lain, apabila disalahgunakan narkoba dapat menimbulkan ketergantungan dan

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB 1 : PENDAHULUAN. United Nation, New York, telah menerbitkan World Drugs Report 2015 yang

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. jika masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

BAB I PENDAHULUAN. lainnya, ketiga hal tersebut dapat mempengaruhi kehidupan manusia baik secara

2015 PUSAT REHABILITASI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PRIA

BAB 1 PENDAHULUAN. ditemukan dan dibeli baik secara langsung di tempat-tempat perbelanjaan maupun

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi

BAB I PENDAHULUAN. dari waktu ke waktu. Humas Badan Narkotika Nasional RI (2016) telah

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam

BAB 1 PENDAHULUAN. Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

Kementerian Sosial RI

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih mudah dengan berbagai macam kepentingan. Kecepatan

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan pergaulan masyarakat di Indonesia mengalami peningkatan

NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN CRAVING PADA PECANDU NARKOBA

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

PROFIL RESILIENSI MANTAN PECANDU NARKOBA (Studi Kasus di Balai Besar Rehabilitasi Narkoba, BNN, Lido)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan

BAB I PENDAHULUAN. Dan Zat Adiktif (Abdul & Mahdi, 2006). Permasalahan penyalahgunaan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dengan pesat, secara garis besar masalah kesehatan jiwa. Masalah psikososial membutuhkan kemampuan penyesuaian dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. sekedar untuk, misalnya bersenang-senang, rileks atau relaksasi dan hidup mereka tidak

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya (Waluyo, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akronim dari NARkotika, psikotropika, dan Bahan Adiktif lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN AKTUALISASI DIRI PADA REMAJA PECANDU NARKOBA DI PANTI REHABILITASI

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah penyalahgunaan narkoba, khususnya di Indonesia, saat ini

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kepribadiannya. Sebagai bentuk pengembangan diri

BAB I PENDAHULUAN. sosial dimana mereka tinggal.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2

BAB I PENDAHULUAN. penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya. juga dianggap sebagai pelanggaran hukum.

Ratna Indah Sari Dewi 1. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Syedza Saintika Padang 1 ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN SISWA TENTANG NAPZA DI SMK BATIK 1 SURAKARTA SKRIPSI

BAB VI PENUTUP. penulis membuat kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah.

BAB I PENDAHULUAN. narkoba pada tahun 2012 berkisar 3,5%-7% dari populasi dunia yang berusia 15-64

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

efek stupor atau bingung yang lama dalam keadaan yang masih sadar serta menimbulkan adiksi atau kecanduan (Fransiska, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun elektronik sering menunjukkan adanya kasus penyalahgunaan NAPZA.

BAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB I PENDAHULUAN. anastesi yang dapat mengakibatkan tidak sadar karena pengaruh system saraf

PRESS RELEASE AKHIR TAHUN 2016 KERJA NYATA PERANGI NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. saja fenomena - fenomena yang kita hadapi dalam kehidupan sehari - hari dalam

BAB 1 : PENDAHULUAN. bahan aktif lainya, dimana dalam arti luas adalah obat, bahan atau zat. Bila zat ini masuk

I. PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (narkotika,

BAB I PENAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. serius. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kasus narkoba yang meningkat setiap tahun.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan NAPZA merupakan suatu pemakaian obat yang bukan

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

BAB I PENDAHULUAN. sosialisasi, transisi agama, transisi hubungan keluarga dan transisi moralitas.

BAB I PENDAHULUAN. Panti Rehabilitasi Ketergantungan NAPZA Arsitektur Perilaku. Catherine ( ) 1

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak orang dan terus menerus dibicarakan dan dipublikasikan. Bahkan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan merupakan suatu upaya. pemeriksaan, pengobatan atau perawatan di rumah sakit.

BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan suatu proses perkembangan antara masa anakanak

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

2017, No Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi masalah baru di negara kita. Melalui The World Program of Action for

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) jika digunakan dengan pengawasan dan pengendalian yang baik dapat bermanfaat di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Presiden RI, 2009). Penyalahgunaan NAPZA dapat berakibat buruk pada tubuh, kejiwaan, dan kehidupan sosial pemakai, keluarga, maupun masyarakat di sekitarnya (Pusat Promkes Kemenkes RI, 2012). Dampak terburuk akibat penyalahgunaan NAPZA adalah kematian (BNN, 2009). Gangguan penggunaan NAPZA merupakan masalah yang menjadi keprihatinan dunia internasional di samping masalah HIV/AIDS, kekerasan (violence), kemiskinan, pencemaran lingkungan, pemanasan global, dan kelangkaan pangan (Pantjalina dkk, 2012). Menurut perkiraan UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), sekitar 200 juta orang di seluruh dunia menggunakan NAPZA jenis narkotika dan psikotropika secara ilegal. Kanabis merupakan jenis NAPZA yang paling sering dikonsumsi, diikuti dengan jenis amfetamin, kokain, dan opioida (Depkes, 2008). Menurut data Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014 oleh BNN, jumlah penyalah guna narkoba di Indonesia sebanyak 3,8-4,1 juta atau sekitar 2,10%-2,25% dari total penduduk Indonesia. Sementara itu, penyalah guna di Daerah Istimewa Yogyakarta berjumlah 62.028 (2,37%). Jika tidak segera ditangani, jumlah penyalah guna di Indonesia akan meningkat menjadi 5,0 juta orang pada tahun 2020. 1

2 NAPZA bila masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosial karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA (Azmiyati, dkk., 2014). NAPZA telah menimbulkan banyak korban, terutama kalangan muda yang termasuk usia produktif. Masalah ini bukan hanya berdampak negatif terhadap diri pengguna, tetapi lebih luas lagi berdampak negatif terhadap kehidupan keluarga dan masyarakat, bahkan mengancam dan membahayakan keamanan dan ketertiban (Harjono, 2008). Penyalahgunaan NAPZA termasuk kedalam perbuatan ilegal, oleh sebab itu siapapun yang memiliki, memproduksi, menggunakan, mendistribusikan, atau mengedarkan NAPZA golongan apapun dapat dikenakan pidana sesuai dengan hukum yang berlaku (Iriani, 2015). Menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yang termasuk tindak pidana penyalahgunaan NAPZA adalah setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menyalahgunakan narkotika golongan I, II atau III untuk diri sendiri baik dalam bentuk tanaman maupun bukan tanaman (BNN, 2009). Sanksi pidana kasus NAPZA diwujudkan dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati yang didasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah narkotika, dengan harapan pemberantasan NAPZA menjadi efektif serta mencapai hasil maksimal (Sanger, 2013).

3 Usaha untuk menyembuhkan dari ketergantungan NAPZA saat ini dapat dilakukan dengan rehabilitasi. Menurut Retnowati (2005 dalam Setyowati, dkk., 2012) tujuan dari program rehabilitasi adalah memotivasi pecandu untuk melakukan perubahan ke arah positif serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mereka untuk melakukan perubahan. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009, pemakai NAPZA diwajibkan menjalani proses rehabilitasi di panti terapi dan rehabilitasi (Dewi, 2015). Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (Sueb, 2013). Narapidana merupakan orang yang tengah menjalani pidana, tidak peduli apakah itu pidana penjara, pidana denda, atau pidana percobaan. Namun pada umumnya orang hanya menyebut narapidana bagi mereka yang sedang menjalani pidana penjara (Harsono, 2013). Lembaga pemasyarakatan yang bertugas membina warga binaan juga berfungsi sebagai lembaga terapi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna NAPZA, sehingga melalui program ini diharapkan mereka dapat kembali berperan aktif di masyarakat dalam keadaan sudah lepas dari ketergantungan (adiksi) (Harjono, 2008). Narapidana yang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan telah kehilangan kebebasan untuk bergerak, mereka hanya dapat bergerak di dalam lembaga pemasyarakatan saja. Kebebasan bergerak, kemerdekaan bergerak, telah dirampas untuk jangka waktu tertentu, atau bahkan seumur hidup. Namun dalam kenyataanya, bukan hanya kemerdekaan bergerak saja yang hilang, tetapi juga berbagai kemerdekaan yang lain ikut terampas (Harsono, 2013). Pelaksanaan

4 pidana penjara dengan menempatkan narapidana di lingkungan yang terbatas dan pola kehidupan yang dipaksakan akan menimbulkan tekanan-tekanan yang bersifat non fisik. Dengan ditempatkannya narapidana di lembaga pemasyarakatan akan menyebabkan perubahan corak kehidupan dari yang bersangkutan (Paramarta, 2014). Dalam penerapannya, program rehabilitasi bagi pecandu NAPZA masih ditemukan banyak kekurangan. Kekurangan tersebut seperti terbatasnya jumlah dan keterampilan tenaga medis, minimnya dana, keterbatasan sarana prasarana, sulitnya advokasi ke pihak terkait, serta kerjasama lintas sektor yang belum berjalan secara optimal (Kemenkes, 2010). Proses pemulihan pecandu NAPZA bukanlah suatu proses yang singkat dan dapat dilakukan dengan mudah. Sebelum benar-benar dikatakan lepas dari narkoba, pecandu dalam perjalanannya terkadang mengalami relapse. Relapse adalah kembali pada perilaku sebelumnya, dalam hal ini menggunakan narkoba. Kemungkinan relapse tertinggi terjadi pada minggu atau bulan pertama berhenti dari penggunaan narkoba (Sarafino, 2006). Penyalah guna NAPZA membutuhkan adanya kekuatan untuk mempertahankan kepulihannya setelah rehabiltasi. Kekuatan agar mereka bisa lepas dari NAPZA, bertahan agar tidak relapse, dapat menjalani program rehabilitasi, dan meningkatkan kualitas diri mereka untuk bisa pulih agar dapat melanjutkan hidupnya secara positif (Pertiwi, 2011). Kekuatan untuk tetap mampu bertahan dalam menghadapi, mengatasi, mempelajari kesulitan dalam hidup tersebut dinamakan resilience (Grotberg, 2003 dalam Pertiwi, 2011).

5 Menurut Desmita (2010), resilience adalah kemampuan seseorang, kelompok, atau masyarakat untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan, serta menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari keadaan yang tidak menyenangkan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Kunci keberhasilan untuk lepas dari NAPZA terletak dalam diri pecandu itu sendiri. Menurut Reivich & Shatte (2002 dalam Poetry, 2012) ciri-ciri orang yang resilience adalah yang mampu mengendalikan emosi dan bersikap tenang walaupun dalam tekanan, mampu mengontrol dorongan dan pemikirannya, bersifat optimis, mampu mengidentifikasi penyebab dari masalah, memiliki empati, memiliki keyakinan diri, memiliki kompetensi untuk mencapai sesuatu. Reivich & Shatte (2002), memaparkan tujuh faktor yang mempengaruhi resilience, yaitu optimisme, efikasi diri, pengaturan emosi, kontrol terhadap impuls, kemampuan menganalisis masalah, empati, dan pencapaian. Menurut Masten dan Coatsworth (dalam Pantjalina, dkk 2012), ada tiga faktor pelindung yang dapat meningkatkan resilience pada diri individu, yaitu faktor individual, keluarga, dan masyarakat sekitar. Faktor individual antara lain nampak dalam kemampuan untuk berkomunikasi, kemampuan menyelesaikan masalah, dan rasa optimis. Menurut Grotberg (2003 dalam Borualogo dan Diantina 2011), individu yang memiliki kemampuan resilience akan tampak pada tiga faktor resilience, yaitu external support (I Have), inner strength (I Am), dan problem solving skills (I Can). Individu mengembangkan faktor inner strength (I Am) sehingga ia memiliki kepercayaan diti atas kemampuan pribadi, optimis, memiliki keinginan untuk meraih prestasi, dan empati.

6 Menurut Sturgeon & Zautra (2010 dalam Pertiwi, 2011), resilience dapat membantu individu dalam beradaptasi secara positif terhadap perasaan sakit yang kronis (chronic pain). Adaptasi positif ini yang selanjutnya akan membantu individu untuk dapat bertahan dalam proses pengobatan dan menjalani upaya penyembuhan dengan lebih baik. Bagi individu yang tengah menjalani proses penyembuhan dari kondisi sakit, resilience akan membantu untuk lebih kooperatif dalam pengobatan karena adanya optimisme dan harapan positif yang dimiliki (Pertiwi, 2011). Seligman (2002 dalam Ghufron dan Risnawati, 2011) menyatakan optimisme adalah pandangan secara menyeluruh dan positif. Individu yang optimis mampu menghasilkan sesuatu yang lebih baik, tidak takut gagal, dan berusaha untuk tetap bangkit. Individu yang optimis meyakini bahwa dirinya mampu mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Menurut Scheiver dan Carter (2002 dalam Nurtjahjanti dan Ratnaningsih, 2011) individu yang optimis akan berusaha menggapai cita-citanya dengan kelebihan yang dimiliki. Individu yang optimis berani menghadapi tantangan, senantiasa berdoa, dan mengakui adanya faktor keberuntungan. Individu yang optimis ingin mencoba segala sesuatu dan tidak ingin memikirkan keberhasilan sebelum mencobanya. Menurut Seligman (2002 dalam Pertiwi, 2011) individu yang pesimis cenderung menganggap suatu kejadian buruk akan terus berlangsung. Sementara individu yang optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai keberhasilan yang tertunda. Menurut penelitian Rimanan, dkk. (2015), narapidana

7 masih sulit untuk lepas dari ketergantungan NAPZA. Ketika ada keinginan dan ajakan dari lingkungan sekitar untuk mencoba kembali, narapidana merasa sulit untuk menolak, meskipun ada keinginan kuat untuk lepas dari keinginan untuk mencoba NAPZA kembali. Ada beberapa faktor yang memicu penggunaan NAPZA, yaitu rendahnya kontrol terhadap tekanan dan keinginan untuk mencari sensasi, pengaruh keluarga, difficult temperament, perilaku bermasalah sejak dini, kegagalan akademis, penolakan teman sebaya, berteman dengan pengguna NAPZA, serta pengasingan dan pemberontakan (Papalia & Feldman, 2004 dalam Armina, 2008). Faktor-faktor tersebut dapat menumbuhkan perasaan tidak nyaman dalam individu. Ketika individu mengalami situasi yang sulit dan tidak diinginkan, maka individu akan mengalami variasi emosi. Keseimbangan antara perasaan yang muncul dan bagaimana individu menghadapi tekanan yang dialami dapat dilihat hubungannya dengan derajat optimisme dan pesimisme individu (Armina, 2008). Individu optimis akan menerima kenyataan atau situasi-situasi yang menekan dan berusaha melihat sisi positif serta belajar dari kejadian yang mereka alami. Di lain pihak, individu pesimis memiliki kecenderungan untuk lari dari tekanan dengan melakukan penyangkalan yang berlebihan dan penyalahgunaan NAPZA (Snyder & Lopez, 2005 dalam Armina, 2008). Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Yogyakarta, didapatkan informasi bahwa beberapa narapidana memiliki keinginan atau optimisme untuk sembuh dari NAPZA. Namun, ada beberapa narapidana yang kesulitan dan merasa pesimis

8 untuk melepaskan diri dari jeratan NAPZA. Sementara di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wirogunan tidak disediakan fasilitas rehabilitasi untuk narapidana kasus penyalahgunaan NAPZA sehingga kemungkinan dapat memperparah keadaan narapidana di sana. Selain itu, belum pernah dilakukan penelitian tentang hubungan tingkat optimisme dengan resilience pada penyalah guna NAPZA di lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu, peneliti ingin mengkaji lebih lanjut mengenai hubungan optimisme dengan resilience pada narapidana penyalah guna NAPZA di lembaga pemasyarakatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan masalah : Bagaimana hubungan antara optimisme dengan resilience pada narapidana penyalah guna NAPZA di lembaga pemasyarakatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara optimisme dengan resilience narapidana penyalah guna NAPZA. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui optimisme pada narapidana penyalah guna NAPZA. b. Untuk mengetahui tingkat resilience narapidana penyalah guna NAPZA.

9 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Menambah ilmu keperawatan jiwa dan ilmu kesehatan jiwa mengenai hubungan antara optimisme dengan resilience narapidana penyalah guna NAPZA. 2. Manfaat praktis a. Bagi narapidana penyalah guna NAPZA Mengatahui optimisme dan tingkat resilience pada narapidana penyalah guna NAPZA sehingga dapat meningkatkan optimisme dan tingkat resilience agar bisa terlepas dari NAPZA. b. Bagi keluarga penyalah guna NAPZA dan masyarakat Mengetahui optimisme dan tingkat resilience narapidana penyalah guna NAPZA sehingga dapat memaksimalkan fungsi keluarga dan masyarakat sebagai sumber optimisme dan berperan aktif dalam upaya meningkatkan resilience penyalah guna NAPZA. c. Bagi keperawatan Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam upaya meningkatkan profesionalitas, mutu pelayanan keperawatan, serta sebagai pertimbangan dalam merencanakan asuhan keperawatan untuk pasien penyalah guna NAPZA. d. Bagi lembaga pemasyarakatan Memberikan sumbangan pemikiran bagi lembaga rehabilitasi NAPZA dalam meningkatkan pelayanan rehabilitasi yang komprehensif khususnya bagi sisi psikologi narapidana sehingga dapat membantu proses pemulihan.

10 e. Bagi peneliti Mendorong peneliti untuk memperkaya wawasan dalam melaksanakan penelitian, mengadakan, serta mengembangkan penelitian yang lebih luas di masa yang akan datang. E. Keaslian Penelitian Sejauh ini peneltian tentang hubungan optimisme dengan resilience pada narapidana penyalah guna NAPZA di lembaga pemasyarakatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian serupa yang pernah dilakukan antara lain: 1. Penelitian Lubis, S. N. (2013) mengenai hubungan faktor internal dan faktor eksternal dengan kekambuhan kembali pasien penyalah guna NAPZA di Kabupaten Deli Serdang tahun 2012. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara umur, pekerjaan, motivasi, lama pemakaian NAPZA, jenis NAPZA yang digunakan, dan teman sebaya dengan kekambuhan kembali. Sementara itu tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan, pengetahuan, dan sikap dengan kekambuhan kembali. Variabel yang paling berhubungan dengan kekambuhan kembali adalah motivasi. Perbedaan penelitian Lubis dengan penelitian yang dilakukan adalah pada variabel penelitian. Pada penelitian Lubis variabel bebas penelitiannya adalah faktor internal yang meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, sikap, motivasi, lama pemakaian NAPZA, jenis NAPZA yang digunakan, dan faktor eksternal yang meliputi faktor teman sebaya serta kekambuhan kembali sebagai variabel terikatnya. Sementara pada penelitian kali ini variabelnya

11 adalah optimisme sebagai variabel bebas dan resilience sebagai variabel terikat. 2. Penelitian oleh Dewi (2015) mengenai hubungan dukungan sosial dengan resilience di Panti Sosial Pamardi Putra Yogyakarta. Hasil penelitian ini adalah sebagian besar responden memiliki dukungan sosial yang tinggi (66,7%), dan tingkat resilience yang tinggi (61,9%). Hasil analisa antara dukungan sosial dengan resilience dengan korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang signifikan dengan nilai p=0,001; r=0,655. Persamaan penelitian ini adalah sama-sama meneliti resilience sebagai variabel dan subyek yang sama yaitu pada penyalah guna NAPZA. Instrumen resilience yang digunakan juga sama. Namun, penelitian Dewi meneliti dukungan sosial sebagai variabel bebas sementara pada penelitian ini variabel bebasnya adalah optimisme. Selain itu, setting penelitian yang digunakan juga berbeda. Meskipun sama sama meneliti pada penyalah guna NAPZA namun pada penelitian Dewi dilakukan pada setting panti rehabilitasi sementara pada penelitian kali ini dilakukan pada setting lembaga pemasyarakatan. 3. Penelitian oleh Pasudewi (2013) mengenai resilience pada remaja binaan bapas ditinjau dari coping stres. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja dengan karakteristik usia 12 hingga 21 tahun yang terdaftar sebagai klien binaan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kota Pekalongan UPT Kanwil Jawa Tengah periode tahun 2012 sampai dengan tahun 2013. Data penelitian diambil menggunakan angket coping stress, pertanyaan yang disusun dalam angket berdasarkan

12 indikator-indikator perilaku pada strategi koping oleh Lazarus dan Folkman. Sementara itu, skala resilience diadaptasi dari buku The Resilience Factor oleh Reivich dan Shatte (2002) yang terdiri dari 56 item. Dari hasil penelitian diketahui bahwa resilience pada remaja binaan Bapas tidak dapat dibedakan berdasarkan jenis koping. Resilience pada sebagian besar remaja binaan Bapas berada pada kategori sedang, yaitu sebesar 82,76%. Sisanya 17,24% pada kategori tinggi dan tidak ada yang berada pada kategori rendah. Persamaan penelitian milik Pasudewi dengan penelitian kali ini adalah sama-sama meneliti tingkat resilience penyalah guna NAPZA, tetapi penelitian milik Pasudewi tidak dihubungkan dengan variabel optimisme namun dengan variabel coping stress. Selain itu, instrumen yang digunakan juga berbeda, Pasudewi menggunakan instrumen resilience milik Reivich dan Shatte, sedangkan pada penelitian kali ini menggunakan instrumen yang digunakan oleh Dewi (2015) yang merupakan hasil modifikasi instrumen resilience yang disusun oleh Pertiwi (2011) berdasarkan pada komponen resilience dari Grotberg. 4. Penelitian oleh Safitri (2015) mengenai resilience pada mantan penyalah guna NAPZA. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus. Pemilihan subjek penelitian menggunakan teknik purposive dan didapatkan tiga subjek penelitian di Yogyakarta. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan observasi. Hasil penelitian yang didapatkan ditinjau dari faktor I Have meliputi adanya dukungan dan perhatian orang lain, ketiganya mengikuti norma yang ada, mempunyai dorongan untuk mendiri, dan tidak pernah mengalami diskriminasi. Faktor I Am yaitu ketiga

13 subjek ceria dan ramah, mereka mengungkapkan rasa sayang melalui perbuatan, mandiri, bertanggung jawab, mempunyai harapan hidup, serta memiliki keyakinan untuk bisa mewujudkannya. Faktor I Can yaitu ketiga subjek mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan dengan caranya masing-masing. Ketiganya menjalin hubungan baik dengan orang lain. Persamaan penelitian ini dengan penelitian kali ini adalah sama-sama meneliti resilience mantan penyalah guna NAPZA, akan tetapi penelitian milik Safitri merupakan penelitian kualitatif dan tidak menghubungkan resilience dengan variabel optimisme.