BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumbersumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang terdiri atas: 1) Hasil pajak daerah yaitu pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada semua objek pajak, seperti orang / badan, benda bergerak / tidak bergerak. 2) Hasil retribusi daerah, yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan suatu jasa/fasilitas yang berlaku oleh pemerintah daerah secara langsung dan nyata. 3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan antara lain laba dividen, penjualan saham milik daerah. 4) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah antara lain hasil penjualan aset tetap dan jasa giro (Sirozujilam dan Mahalli, 2011). Menurut Mardiasmo (2002) PAD adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Menurut Halim (2003) PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, dituntut kemandirian pemerintahan daerah untuk dapat melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal secara lebih 8
bertanggungjawab. Oleh karena itu, pajak dan Retribusi yang telah diserahkan menjadi urusan pemerintah daerah sebagai bagian dari kebijakan desentralisasi fiskal baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota harus dikelola dan ditingkatkan sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah. Hal ini mengingat Pajak dan Retribusi merupakan pendapatan asli daerah dan menjadi sumber pendanaan bagi keberlangsungan pembangunan daerah dalam kerangka otonomi daerah ( Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009). Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi belum merupakan jaminan tingginya pendapatan masyarakat di suatu daerah (regional income). Namun demikian, tingginya PAD dapat menjadi sumberdaya yang sangat penting bagi pemerintah daerah di dalam pengembangan wilayah termasuk dalam peningkatan pendapatan masyarakatnya (Rustiadi, Ghifari, Suradinata, Wijanarko, Supranto, Karmaji, Oyong, Nurbaya dan Martha, 2010). Perolehan PAD diperlukan manajemen pemanfaatan dana yang mampu digunakan semaksimal mungkin bagi kemakmuran masyarakat yang sebesarbesarnya melalui program-program dan kegiatan-kegiatan yang diluncurkan pemerintah daerah tersebut (Susanto, Ghifari, Suradinata, Wijanarko, Supranto, Karmaji, Oyong, Nurbaya dan Martha, 2010). 2.2 Pajak Daerah Kesit (2003) menyatakan bahwa pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang yang berlaku, yang hasilnya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Mardiasmo (1992) yang dimaksud dengan pajak daerah
adalah pajak yang dipungut daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga pemerintah daerah tersebut. Pajak daerah dalam hal ini ditetapkan oleh peraturan daerah. Untuk menerbitkan peraturan daerah peraturan daerah tentang pajak diharuskan memenuhi kriteria sebagai berikut : 1) Bersifat pajak dan bukan retribusi 2) Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten 3) Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum 4) Objek pajak bukan objek provinsi dan atau objek pajak pusat. 5) Potensinya memadai, berarti bahwa hasil pajak cukup besar sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhannya diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi. 6) Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, yang berarti bahwa pajak tidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi antar daerah dan kegiatan eksporimpor (Halim dan Mujib, 2009). Pemerintah daerah harus memastikan bahwa penerimaan pajak lebih besar dari biaya pemungutannya. Selain itu, pemerintah daerah perlu menjaga stabilitas penerimaan pajak tersebut. Fluktuasi penerimaan pajak hendaknya dijaga tidak terlalu besar sebab jika sangat berfluktuasi juga kurang baik untuk perencanaan keuangan daerah (Mahmudi, 2010).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Jenis pajak daerah terdiri atas : a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 2.3 Retribusi Daerah Menurut Sumitro (1979), pengertian retribusi secara umum adalah pembayaran-pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara. Pengertian yang hampir sama diberikan oleh Munawir (1980), retribusi daerah adalah iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjuk. Paksaan disini bersifat ekonomis karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik pemerintah dia tidak dikenakan iuran itu. Retribusi daerah pada umumnya merupakan sumber pendapatan penyumbang PAD kedua setelah pajak daerah. Bahkan untuk beberapa daerah penerimaan retribusi daerah ini lebih tinggi daripada pajak daerah. Retribusi
daerah memiliki karakteristik yang berbeda dengan pajak daerah. Pajak daerah merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah daerah kepada wajib pajak atas pembayaran pajak tersebut. Sementara itu, retribusi daerah merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah daerah kepada wajib retribusi atas pemanfaatan suatu jasa tertentu yang disediakan pemerintah. Jadi dalam hal ini terdapat imbalan langsung yang dapat dinikmati pembayar retribusi. Terdapat tiga jenis retribusi daerah yaitu, retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Berbeda dengan pajak daerah yang bersifat tertutup, untuk retribusi ini pemerintah daerah masih diberi peluang untuk menambah jenisnya namun harus pula memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur undang-undang (Mahmudi, 2010) Karena retribusi ini terkait dengan pelayanan tertentu, maka prinsip manajemen retribusi daerah yang paling utama adalah perbaikan pelayanan tersebut. Tentunya selain perbaikan pelayanan, pemerintah daerah juga perlu melakukan berbagai perbaikan sebagaimana halnya pajak daerah, seperti perluasan basis retribusi, pengendalian atas kebocoran penerimaan retribusi, dan perbaikan administrasi pemungutan retribusi (Mahmudi, 2009). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Jenis Retribusi Jasa Umum adalah : a. Retribusi Jasa Kesehatan; b. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan; c. Retribusi Pelayanan Parkir di tepi Jalan Umum; d. Retribusi Pelayanan Pasar; e. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
f. Retribusi Pemeriksaaan Alat Pemadam Kebakaran g. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; h. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang; i. Retribusi Pelayanan Pendidikan; j. Retribusi Penyediaan dan/atau penyedot kakus; k. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; l. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi; m. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil. Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah : a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; b. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; c. Retribusi Terminal; d. Retribusi Tempat Khusus Parkir; e. Retribusi Tempat Penginapan/Mess f. Retribusi Rumah Potong Hewan; g. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga; h. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah. Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah : a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; b. Retribusi Izin Gangguan; c. Retribusi Izin Trayek; d. Retribusi Izin Usaha Perikanan.
2.4. Lain-Lain PAD yang sah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pendapatan daerah yang berasal dari lain-lain yang sah antara lain : 1. Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan 2. Jasa giro 3. Pendapatan bunga 4. Tuntutan Ganti Rugi 5. Komisi 6. Potongan 7. Keuntungan selisih kurs 8. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan 9. Pendapatan denda pajak dan retribusi 10. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan 11. Pendapatan atas fasilitas sosial dan fasilitas umum 12. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. Pendapatan yang berasal dari penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, dan pendapatan bunga pada umumnya memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan bunga dan jasa giro melalui optimalisasi manajemen kas daerah (Mahmudi, 2010). 2.5. Belanja Modal Menurut Halim dan Abdullah (2003), belanja modal merupakan belanja yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah serta akan menimbulkan konsekuensi menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Belanja modal memiliki karakteristik
spesifik yang menunjukkan adanya pertimbangan dalam pengalokasiannya. Pemerolehan aset tetap juga memiliki konsekuensi pada beban operasional dan pemeliharaan pada masa yang akan datang. Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual (Abdullah, 2004). Belanja modal merupakan belanja daerah yang dilakukan pemerintah daerah diantaranya pembangunan dan perbaikan infrastruktur, sehingga masyarakat dapat menikmati manfaatnya dari pembangunan daerah. Tersedianya infrastruktur yang baik diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas di berbagai sektor, produktifitas masyarakat diharapkan menjadi semakin tinggi dan pada gilirannya terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi. 2.6. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Rahardja dan Manurung (2002) yang dimaksud dengan PDRB adalah nilai barang dan jasa akhir, yang diproduksi oleh sebuah perekonomian dalam satu periode (kurun waktu) dengan menggunakan faktor- faktor produksi yang berada (berlokasi) dalam perekonomian tersebut. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan keseluruhan nilai tambah yang dasar pengukurannya timbul akibat adanya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah. Data PDRB menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Tingkat PDRB ini juga
ditentukan oleh lajunya pertumbuhan penduduk lebih dari PDRB, maka ini mengalami perubahan terhadap pendapatan per kapita, oleh sebab itu pertambahan PDRB tidak memperbaiki tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat karena terdapat kemungkinan timbulnya keadaan tersebut maka pengertian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi harus dibedakan (Sirojuzilam, 2011). Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dikatakan sebagai ukuran produktivitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah. PDRB dinilai sebagai tolak ukur pembangunan yang paling operasional. PDRB pada dasarnya merupakan total produksi kotor dari suatu wilayah, yakni total nilai tambah dari semua barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah dalam periode satu tahun. Dengan demikian PDRB mempunyai arti nilai tambah dan aktivitas produktif manusia. Bila PDRB ini ini dibagi dengan jumlah penduduk yang ada di wilayah tersebut mencerminkan pendapatan per kapita masyarakat. Tingkat PDRB belum menjamin peningkatan kesejahteraan bagi setiap individu dalam masyarakat. Bahkan mungkin sekali yang meningkat pendapatannya justru pada sekelompok orang tertentu saja sedangkan yang lainnya relatif tetap atau menurun. PDRB merupakan total nilai tambah kotor (bruto) yang dihitung dari jumlah gaji/upah, keuntungan-keuntungan perusahaan, sewa lahan, bunga, penyusutan dan pajak-pajak tidak langsung neto. Dengan demikian tingginya PDRB suatu daerah belum menjamin tingginya pendapatan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat suatu daerah (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju, 2011).
2.7. Pengembangan Wilayah Dalam upaya pembangunan regional, masalah yang terpenting yang menjadi perhatian para ahli ekonomi dan perencanaan regional adalah menyangkut proses pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Berbagai masalah timbul dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, dan terus mendorong perkembangan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi wilayah. Pengembagan wilayah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan manambah, meningkatkan, memperbaiki atau memeperluas terhadap aspek-aspek pembangunan wilayah dari suatu proses dinamis dan interaksi kajian teoritis dengan pengalaman yang bersifat praktis dalam rangka memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai arti peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata membaik, di samping menunjukkan lebih banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya (Sirojuzilam, 2011) Dalam membahas analisis ekonomi kewilayahan, pendekatan yang dilakukan cenderung komprehensif dan tidak semata-mata berlandaskan kepada kepentingan individual ataupun berorientasi kepada keuntungan semata. Bahkan dalam upaya mengoptimalkan kinerja ekonomi suatu wilayah, analisis ekonomi kewilayahan cenderung lebih banyak mengakomodasi dan mempertimbangkan kepentingan publik atau masyarakat setempat. Dalam hal ini publik atau masyarakat setempat dipandang sebagai salah satu sumberdaya pelaku ekonomi,
sehingga peran mereka dalam perekonomian wilayah perlu diperlakukan sejajar dengan pemangku kepentingan pembangunan yang lain seperti pelaku usaha swasta dan pemerintah. Analisis ekonomi kewilayahan secara komprehensif juga mempertimbangkan berbagai interaksi sektoral dan spasial dari kegiatan ekonomi yang ada di suatu wilayah dalam upaya mencari model sinergi ekonomi yang paling optimal. Satuan entitas perekonomian kewilayahan di Indonesia dapat berupa perekonomian desa dan kecamatan (lokal), atau pun perekonomian kabupaten, provinsi, pulau, kawasan dan sebagainya. Artinya entitas perekonomian kewilayahan mencakup bagian-bagian daerah tertentu (administratif, geografis), dan sebagainya (Soetiono, 2011). Target pengembangan wilayah untuk jangka panjang adalah pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Sedangkan tujuan pengembangan wilayah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya yang tersebar di wilayah Indonesia guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Dengan demikian, arah dan kebijaksanaan pengembangan wilayah pada prinsipnya mendukung dan memperkuat pembangunan daerah yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional (Pusat Pengkajian Kebijakan Tekhnologi Pengembangan Wilayah, 2001). 2.8. Penelitian Terdahulu Saggaf (1999) melakukan analisis pengaruh pendapatan asli daerah terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi di Kotamadya Dati II Pekanbaru. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa pengaruh PAD dan komponen PAD terhadap pertumbuhan ekonomi di Kotamadya Dati II Pekanbaru, dengan
kesimpulan hasil analisis terdapat pengaruh yang signifikan antara PAD dan komponen PAD terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB). Sembiring (2001) melakukan analisis potensi pendapatan asli daerah bagi pengembangan wilayah Kabupaten Karo. Tujuan penelitian untuk melihat apakah ada pengaruh PAD terhadap pertumbuhan (PDRB) dan pendapatan perkapita, dengan kesimpulan bahwa PAD Karo mempunyai hubungan yang signifikan terhadap PDRB dan pendapatan per kapita. Hasil penelitian Munawar Ismail (2001) PAD masih memiliki peran yang relatif kecil dalam struktur keuangan daerah, sehingga anggaran daerah sangat tergantung dari pemerintah pusat, dengan kesimpulan PAD hanya bisa membiayai kurang dari 10 persen pengeluaran totalnya. Hal ini sangat menyulitkan untuk bisa melakanakan otonomi daerah secara nyata. Tambun (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh otonomi daerah terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan sektor-sektor berpotensi yang dapat dikembangkan di pemerintah kota Medan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sektor-sektor mana saja dari PAD yang berpotensi untuk dapat dikembangkan dalam meningkatkan PAD di pemerintah kota Medan, dengan kesimpulan hasil sektor yang mempengaruhi potensi atas PAD di pemerintah kota Medan untuk dapat dikembangkan adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Adi (2006) yang meneliti hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hasil penelitian adalah pertumbuhan ekonomi daerah mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan PAD dan Belanja Pembangunan mempunyai dampak yang positif dan signifikan terhadap PAD maupun pertumbuhan ekonomi.
Batubara (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh PAD terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Toba Samosir. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sektor-sektor mana saja dari PAD yang berpotensi untuk dapat dikembangkan dalam meningkatkan PAD di Kabupaten Toba Samosir. Penelitian ini menunjukkan bahwa retribusi daerah dan lain-lain PAD yang sah merupakan sumber PAD yang berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Toba Samosir. 2.9. Kerangka Konseptual Pengaruh penerimaan daerah untuk meningkatkan keuangan daerah melalui intensifikasi dan ekstensifikasi subjek dan objek pendapatan diperoleh dari PAD yang terdiri dari Hasil Pajak Daerah, Hasil Retribusi Daerah, dan lainlain PAD yang sah. Kemudian melihat pengaruh PAD terhadap penggunan belanja modal dan pengaruh belanja modal terhadap PDRB. PDRB ini akhirnya dijadikan indikator dalam pengembangan ekonomi wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Kerangka konseptual yang dijadikan dasar dalam penelitian ini adalah :
PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) : 1. Pajak Daerah (X1) 2. Retribusi Daerah (X2) 3. Lain-Lain PAD yang sah (X3) BELANJA MODAL (Y) PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (Z) PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN TAPANULI SELATAN Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Penelitian 2.10. Hipotesis Penelitian Dari kerangka konseptual di atas maka rumusan hipotesis penelitian yang diajukan adalah : 1. PAD terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Lain-lain PAD yang sah berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. 2. Belanja Modal berpengaruh positif terhadap PDRB Kabupaten Tapanuli Selatan.