92 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan atas rumusan masalah ditambah penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Apabila melihat ciptaan yang dilindungi oleh UUHC 2014 maka tari gaya Yogyakarta di Sanggar Wiraga Apuletan Yogyakarta masuk di dalamnya. Namun harus dilihat kembali apakah tari gaya Yogyakarta di Sanggar Wiraga Apuletan Yogyakarta merupakan bagian dari ciptaan berupa tari yang diatur Pasal 40 huruf e, modifikasi ekspresi budaya tradisional yang diatur Pasal 40 huruf o, atau ekspresi budaya tradisional yang diatur Pasal 38 ayat (1). Ekspresi budaya merupakan karya intelektual warisan budaya yang turun temurun sehingga keberadannya masih ada namun tidak diketahui penciptanya. Tari gaya Yogyakarta yang diciptakan di Sanggar Wiraga Apuletan Yogyakarta mengandung unsur kebaruan meskipun penggarapannya berangkat atau berorientasi dari tradisi istana Keraton Yogyakarta, sehingga bukan bagian dari ekspresi budaya. Sesuai dengan asasnya deklaratif, sejatinya perlindungan hukum terhadap suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan tersebut berwujud nyata. Hanya cukup melakukan pendeklarasian dengan memiliki dokumen yang baik. Namun di dalam UUHC 2014 mengatur pula mengenai pencatatan ciptaan. Pencatatan ciptaan bukan suatu keharusan bagi pencipta tetapi bersifat optional.
93 Pencipta boleh mencatatkan boleh tidak mencatatkan. Permohonan pencatatan ciptaan dapat dilakukan melalui Ditjen HKI atau Kanwil Kemenkumham tempat domisili pencipta. Apabila permohonan pencatatan ciptaan diterima oleh Menteri maka ciptaannya akan dicatat di Daftar Umum Ciptaan dan pemohon mendapatkan surat pencatatan ciptaan. Manfaat perlindungan hukum terhadap hak cipta baru dapat dirasakan ketika terjadi sengketa. Ketika terjadi sengketa maka dokumen dan surat pencatatan ciptaan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti kepemilikan ciptaan. Namun alat bukti surat pencatatan ciptaan bukan merupakan alat bukti mutlak karena masih dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan. Sehingga dokumentasi yang baik sangat diperlukan untuk memperkuat bukti. Dokumentasi yang baik tersebut berupa risalah asal usul ciptaan, latar belakang dibuatnya ciptaan, falsafah sehingga muncul wujud kongkrit ciptaan, serta langkah-langkah pembuatannya sehingga menjadi suatu ciptaan. Tari memiliki tiga komponen utama yaitu, busana termasuk rias, komposisi gerak tari dan gending-gending lagu pengiring. Dalam elemen busana, dikenal adanya pakem yang harus diikuti sesuai dengan pakem yang diciptakan oleh pencipta. Penampilan gerak tari juga memiliki pakem, yaitu komposisi gerakan yang menggambarkan manka tertentu, sehingga tidak seharusnya pihak lain melakukan distorsi, mutilasi atau memodifikasi ciptaan tersebut. Namun dalam praktiknya tari-tari yang diciptakan oleh para pengajar tari di Sanggar Wiraga Apuletan maupun tari lain yang telah ada ada atau diciptakan oleh orang lain, saat
94 ditampilkan dalam pementasan kerap terjadi modifikasi tari. Padahal di dalam tari tersebut terkandung makna sendiri yang hendak disampaikan oleh pencipta, sehingga apabila ditampilkan tidak sesuai dengan pakemnya maka maksud yang hendak disampaikan oleh pencipta tidak dapat disampaikan dengan baik. ketika memanfaatkan ciptaan guna mendapatkan keuntungan ekonomis harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari penciptanya, Namun dalam prakteknya hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh para pencipta tari gaya Yogyakara khususnya di Sanggar Wiraga Apuletan dianggap bukan merupakan suatu pelanggaran. Padahal secara normative hal tersebut merupakan suatu pelanggarn terhadap hak cipta baik dalam hal ekonomi maupun hak moral. 2. Kendala pelaksanaan perlindungan hukum terhadap hak cipta tari gaya Yogyakarta di kalangan para pencipta karya seni tari gaya Yogyakarta menghambat optimalnya perlindungan hukum hak cipta. Kendala yang paling signifikan mempengaruhi perlindungan hukum hak cipta yakni terdapat kerancuan mengenai tata cara perolehan hak cipta atas suatu ciptaan. Terdapat dua ketentuan mengenai tata cara perolehan hak cipta, perolehan hak cipta menggunakan asas deklaratif dan ketentuan mengenai pencatatan ciptaan. Keduanya saling bertolak belakang sehingga hal ini membingungkan bagi para pencipta. Kendala lainnya yakni belum adanya kesamaan pemahaman mengenai hak cipta oleh aparat penegak hukum, mereka masih berpatokan bahwa sertifikat merupakan bukti kepemilikan
95 yang mutlak. UUHC dalam memberikan perlindungan belum optimal. Hal ini terkait belum diaturnya mengenai kostum dan rias sebagai bagian dari tari. Selain itu keterbatasan jumlah penyidik PPNS padahal PPNS lebih kompeten di bidang HKI termasuk hak cipta dibandingkan kepolisian, serta kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perlindungan hak cipta. Para seniman lebih perduli untuk mempertahankan kesenian daripada pengaturan mengenai hak cipta terkait dengan hak moral dengan hak ekonomi. B. Saran Dari rumusan masalah dan kesimpulan yang telah dipaparkan, ada beberapa saran yang disampaikan penulis yakni sebagai berikut: 1. Perlu adanya perubahan terhadap substansi Undang-Undang yang mengatur hak cipta sehingga lebih jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya. Adanya dua perolehan hak cipta dengan asas deklaratif dan pencatatan ciptaan mengakibatkan rancunya pemahaman oleh baik masyarakat maupun aparat penegak hukum yang bersangkutan. Apabila digunakannya asas deklaratif belum cukup melindungi hak pencipta atas ciptaanya dan perlu adanya pencatatan, maka pencatatan jangan terlalu diformalkan. Diformalkan disini dalam artian, prosesnya sama dengan perolehan hak pada HKI yang perolehannya haknya mengharuskan adanya pendaftaran. Proses pencatatan menjadi rumit dan berbelit-belit padahal hak sebenarnya sudah timbul sejak ciptaan berwujud nyata, bukan merupakan pemberian Negara.
96 Negara hanya mencatat saja. Selain itu perlu diaturnya mengenai komponen yang termasuk dalam tari seperti perlu diaturnya mengenai komponenen yang termasuk dalam tari seperti kostum atau busana, dan rias sehingga dapat lebih menjamin perlindungan terhdapa keseluruhan komponen tari. 2. Meningkatkan pemahaman mengenai hak cipta kepada aparat penegak hukum guna kelancaran terhadap perlindungan hukum terhadap hak cipta. Apabila aparat penegak hukum paham betul mengenai hak cipta tentu akan mempermudah proses penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran. 3. Perlu ditambahnya penyidik PPNS atau sekaligus dibentuk tim khusus penyidik pada PPNS. Penyidik tindak pidana Hak Cipta terdiri dari Kepolisian dan PPNS. Apabila pada saat menjalankan tugasnya sebagai penyidik PPNS masih dibebani tugas lain dari jabatan strukturalnya sehingga sangat berat dan ditakutkan kinerjanya menjadi kurang optimal. Padahal PPNS lebih kompeten di bidang HKI termasuk hak cipta dibandingkan kepolisian. 4. Meningkatkan frekuensi sosialisasi kepada masyarakat mengenai hak cipta agar kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perlindungan hak cipta meningkat. Meningkatkan pemahaman mengenai hal-hal yang dilindungi oleh hak cipta terkait dengan hak moral dan hak ekonomi. Hal ini mengingat pelanggaran terhadap hak cipta semakin marak terjadi.