BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Cedera Kepala Akibat Trauma Cedera kepala umumnya diklasifikasikan atas satu dari tiga sistem utama, yaitu: keparahan klinis, tipe patoanatomi dan mekanisme fisik. Saat ini, kriteria utama untuk inklusi pada uji klinis cedera kepala akibat trauma adalah Glasgow Coma Scale (GCS), skala klinis yang menilai tingkat kesadaran setelah cedera kepala (Kauvar, 2005). Disebut cedera kepala ringan bila skor GCS 13 sampai 15, cedera kepala sedang bila skor GCS 9 sampai 12 dan berat bila skor GCS 3 sampai 8 (Hymel, 1997) Klasifikasi patoanatomi menyebutkan lokasi atau gambaran anatomi dari kelainan yang menjadi target terapi. Dari bagian luar kepala sampai kedalam, tipe cedera meliputi laserasi scalp dan kontusio, fraktur tulang tengkorak, perdarahan epidural, sub dural dan subarahnoid (Kauvar, 2005). Klasifikasi umum bergantung pada letak perdarahan terhadap dura dan otak. Perdarahan dapat berupa ekstradural, subdural dan intra serebral. Namun sering kali suatu perdarahan terjadi pada lebih dari satu sisi intracranial (Saatman, 2005). 2.2 Tatalaksana perdarahan otak akibat trauma Aspek kunci dalam tatalaksana pasien dengan trauma kepala meliputi pemeriksaan klinis yang akurat terhadap cedera neurologis dan cedera lainnya, menentukan proses patologis yang terlibat dan konsep bahwa perubahan tanda neurologis menunjukkan suatu progresifitas atau perubahan dalam proses patologis. Tatalaksana segera pada lokasi cedera meliputi jalan nafas yang adekuat, ventilasi, resusitasi sirkulasi yang esensial, pengobatan pertama untuk cedera lainnya dan rujukan ke rumah sakit. hal ini penting untuk mencegah hipoksia dan hipotensi yang akan menyebabkan cedera otak lebih lanjut. Setelah pemeriksaan klinis dan radiologis, penatalaksanaan selanjutnya bergantung pada kelainan patologis intrakranial dan luas cedera neurologis (Saatman, 2005)
Hematoma epidural Indikasi pembedahan pada hematoma epidural adalah: hematoma epidural lebih dari 30cm 3 tanpa memperdulikan skor GCS pasien. Hematoma epidural kurang dari 30cm 3 dan dengan ketebalan kurang dari 15 mm dan midline shift (MLS) kurang dari 5 mm pada pasien dengan skor GCS lebih dari 8 tanpa defisit fokal dapat ditatalaksana tanpa operasi dengan computed tomographic (CT)scanning serial dan observasi neurologis di senter bedah saraf. Sangat dianjurkan agar evakuasi pembedahan dilakukan sesegera mungkin pada pasien dengan hematoma epidural akut dengan koma ( skor GCS < 9 ) dengan anisokor (Bullock, 2010). Hematoma subdural Hematoma subdural akut dengan ketebalan lebih dari 10 mm atau midline shift lebih dari 5 mm pada CT scan harus dievakuasi dengan pembedahan, tanpa meperhatikan skor GCS pasien. Pemantauan tekanan intracranial harus dilakukan pada semua pasien dengan hematoma subdural akut yang koma (skor GCS < 9). Pada pasien koma (skor GCS < 9) dengan ketebalan hematoma subdural kurang dari 10 mm dan midline shift kurang dari 5 mm harus dilakukan evakuasi pembedahan jika skor GCS menurun 2 atau lebih dan/atau dijumpai pupil asimetri atau fixed dan dilatasi dan/atau tekanan intracranial (TIK) melebihi 20 mmhg. Pada pasien hematoma subdural akut dengan indikasi pembedahan, evakuasi pembedahan seharusnya dilakukan sesegera mungkin. Jika evakuasi pembedahan pada pasien koma diindikasikan, hal ini seharusnya dilakukan dengan kraniotomi, dengan atau tanpa bone flap removal dan duraplasti (Bullock, 2010)
Hematoma intraserebral Hematoma intraserebral yang luas harus dievakuasi, kecuali jika status neurologipasien membaik. Hematoma intraserebral yang kecil, terutama jika multipel, tidak dievakuasi, namun klinisi harus waspada terhadap kemungkinan meluasnya dan memerlukan evakuasi. 2.3 Koagulopati pada cedera kepala Otak mengandung faktor jaringan (tissue factor) dengan jumlah yang besar. Tissue factor ini dilepaskan ke sirkulasi apabila terjadi kerusakan (disrupsi) sawar darah otak (Blood-brain barrier). Pelepasan tissue factor ini ke sirkulasi akan mengaktifkan jalur koagulasi ekstrinsik. (Hulka, 1996; Bredbacka, 1994) D-dimer merupakan fibrin degradation product (FDP), yang merupakan fragmen protein yang terdapat di dalam darah setelah terjadi pembekuan darah yang nantinya akan dihancurkan (didegradasi) melalui proses fibrinolisis. Protein ini dinamakan demikian karena mengandung ikatan yang terhubung dengan fragmen D pada protein fibrinogen. Beberapa penelitian menghasilkan suatu hipotesis dimana semakin besar proses koagulasi intravaskular terjadi berbanding lurus dengan jumlah jaringan otak yang mengalami kerusakan (disrupsi) akibat cedera otak. (Hulka, 1996; Bredbacka, 1994; Scherer, 1998; Stein 1992) Penilaian prognosis yang umumnya digunakan pada penelitian terhadap penderita cedera kepala berat, didasari dengan gambaran CT-scan, pemeriksaan marker-marker/ faktorfaktor koagulopati, dan berdasarkan pemeriksaan klinis neurologis. Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa pemeriksaan kadar D-dimer sensitif dan cukup baik untuk menilai indikator prognosis cedera kepala. (Raabe 1998; Woertgen 1999) Takahashi et al melaporkan hasil penelitiannya bahwa peningkatan kadar D-dimer sebesar dua kali atau tiga kali dibandingkan kadar normal, maka 92% penderita cedera kepala
akan mengalami kematian berapapun tingkat kesadaran penderita tersebut pada waktu masuk rumah sakit. Kadar D-dimer < 1000 µg/l memiliki outcome yang baik (favorable) pada penderita kepala. D-dimer > 1000 µg/l menunjukan outcome yang buruk (grave outcome), baik pada penderita trauma maupun yang non trauma (Takahashi H, 1997) Hubungan yang signifikan antara GCS dengan outcome klinis penderita yang mengalami DIC telah dilaporkan dalam suatu penelitian. (Beeker, 1999). Bredbacka et al juga melakukan penelitian mengenai kadar fibrin, D-dimer dan AT pada trauma tulang tengkorak. Ia melaporkan bahwa kadar fibrin dan D-dimer yang meningkat serta penurunan kadar AT pada penderita tersebut pada waktu masuk memiliki prognosis yang buruk. (Bredbacka, 1994). Bayir et al dalam penelitiannya melaporkan bahwa kadar PT, PTT, FDP dan D-dimer bermanfaat dalam menentukan prognosis pada penderita cedera kepala dalam onset 3 jam pertama. (Bayir, 2006) D-dimer telah diketahui meningkat kadarnya pada kerusakan otak. Kadar D-dimer setelah cedera kepala 3.98 ± 2.76 mg/l (p<0.001), setelah operasi tumor otak 3.38 ± 2.59 mg/l (p<0.005), setelah stroke iskemik 1.81 ± 1.44 mg/l (p<0.01) dan pada stroke hemoragik 1.20 ± 0.83 mg/l (p<0.05). Nilai kontrol D-dimer 0.56 ± 0.10 mg/l. (Antovic, 1998). Kuo et al melaporkan bahwa kadar D-dimer pada traumatic ICH lebih tinggi daripada kontrol (2984 vs 256 µg/l; p = 0.001). Dalam penelitian juga disimpulkan bahwa GCS, midline shift pada CT scan, refleks pupil, dan GOS yang dinilai pada 3 bulan setelah onset berkorelasi signifikan terhadap kadar D-dimer yang tinggi pada penderita trauma (individual P < 0.001), dan temuan ini tidak terjadi pada kelompok non-trauma. (Kuo, 2007) Kelemahan pada penelitian ini adalah laporan dari pengamatan yang dilakukan oleh Nanzaki dan Kemmotsu yang melaporkan bahwa perubahan koagulofibrinolitik akibat cedera kepala tidak berbeda dengan kelompok penderita trauma yang tidak disertai trauma kepala. Pengamatan ini dilakukan dengan jumlah sampel yang sedikit, yakni terhadap 5 penderita
cedera kepala dan 11 penderita trauma yang tidak mengalami cedera kepala. (Nanzaki, 1999). Kelemahan berikutnya dari penelitian ini adalah bahwa pelepasan katekolamin akan memperburuk proses tejadinya disseminated intravascular coagulopathy (DIC) sehingga memperburuk cedera otak yang disebabkan trauma kepala (Kearney, 1992) Skor GOS yang akan dinilai untuk menentukan prognosis pada kelompok penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) meninggal; (2) persistent vegetative state; (3) severe disability (conscious but disabled); (4) moderate disability (disabled but independent); dan (5) good recovery. Skor 4-5 disebut sebagai outcome yang baik (favorable), sedangkan skor 1-3 disebut sebagai outcome yang buruk (unvaforable). 2.4 Kerangka Teori Cedera kepala sedang yang tidak dilakukan tindakan operasi - tissue factor - respon inflamasi - letak dan luas perdarahan - usia - penyakit penyerta - penatalaksanaan aktivasi kaskade koagulasi - kadar D-dimer Tingkat keparahan
2.5 Kerangka Konsep Penderita cedera kepala sedang (GCS 9-13) Memenuhi kriteria inklusi: - Usia 15-60 tahun - onset < 48 jam - tidak memiliki riwayat penggunaan antikoagulan - tidak memiliki indikasi operasi bedah syaraf Dilakukan pengambilan sampel D-Dimer serum Dilakukan penilaian GOS setelah penderita dipulangkan atau meninggal Data analisis untuk mengetahui kebenaran hipotesis: apakah diperoleh hubungan antara kadar D- Dimer dengan prognosis penderita cedera kepala sedang yang tidak dilakukan operasi