BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seseorang, seiring harapan untuk memiliki anak dari hasil pernikahan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya perilaku agresif saat ini yang terjadi di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

I. PENDAHULUAN. pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

Bab 5. Ringkasan. Setelah melakukan analisis pada bab tiga, penulis mengambil kesimpulan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemandirian yang dimiliki oleh setiap manusia berawal dari masa anak anak. Proses

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. pasangan (suami) dan menjalankan tanggungjawabnya seperti untuk melindungi,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Keluarga merupakan tempat awal kontak anak dalam anggota keluarga (ibu dan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah periode perkembangan disaat individu mengalami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan kemajuan zaman banyak dampak yang dialami manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah dan

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu atau objek-objek

HUBUNGAN KEPRIBADIAN HARDINESS DENGAN POLA ASUH PERMISSIVE IBU SINGLE PARENT

PENDAHULUAN. disebut sebagai periode pubertas, pubertas (puberty) adalah perubahan cepat pada. terjadi selama masa remaja awal (Santrock, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial. Dalam kenyataannya, kenakalan remaja merusak nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. orangtua. Anak bukan hanya sekedar hadiah dari Allah SWT, anak adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku sesuai dengan moral dan cara hidup yang diharapkan oleh ajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

I. PENDAHULUAN. pelepah dasar terbentuknya kepribadian seorang anak. Kedudukan dan fungsi

BAB III BEBERAPA UPAYA ORANG TUA DALAM MEMBINA EMOSI ANAK AKIBAT PERCERAIAN. A. Fenomena Perceraian di Kecamatan Bukit Batu

BAB I PENDAHULUAN. juga adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN. dan seluruh keluarga. Karena tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Makhluk individu

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

BAB V PEMBAHASAN. mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

BAB II LANDASAN TEORITIS

Bab 1. Pendahuluan. Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Anak menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

I. PENDAHULUAN. Remaja sebagai bagian dari masyarakat merupakan mahluk sosial yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang dia lihat. Istilah yang sering didengar yaitu chidren see children

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti (Mappiere 1982: 12). Menurut Gunarsa (2001: 87) masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anakanak menuju kedewasaan, masa dimana remaja mulai memiliki tanggung jawab untuk diri sendiri maupun untuk lingkungannya. Kepribadian dan sikap-sikap yang dimiliki remaja menjadi hal yang paling penting dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Hamalik (1995: 17) mengatakan bahwa, pendapat dari orang sekitar atau sikap para remaja lainnya tentang dirinya dapat mempengaruhi respon seorang remaja terhadap lingkungan sekitarnya. Seorang remaja ketika berada dalam lingkungannya, sering memandang dan menilai dirinya apakah keberadaannya begitu menyenangkan atau tidak. Anantasari (2006: 117) mengungkapkan bahwa ketrampilan bersosialisasi dan berkomunikasi bagi seorang remaja sangat penting agar remaja tersebut dapat menyesuaikan dirinya dalam menghindari kesalahpahaman. Ketidakmampuan seorang remaja dalam berkomunikasi atau bersosialisasi dapat menimbulkan frustasi, sehingga remaja cenderung melakukan perilaku agresif. Di Indonesia, peningkatan perilaku kekerasan di kalangan masyarakat, terdapat pada kalangan anak dan remaja. Hal ini dapat terlihat dari berbagai bentuk peristiwa kekerasan baik secara fisik maupun verbal, yang terjadi hampir di setiap waktu. Perilaku kekerasan ini sering kita lihat, di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Sears dkk (1994: 5) menjelaskan bahwa perilaku agresif adalah tindakan yang dapat melukai 1

2 orang lain. Tindakan agresif ini, bisa berupa tindakan anti sosial, prososial atau sekedar disetujui, tergantung apakah tindakan tersebut bertentangan atau sejalan dengan norma sosial. Perilaku agresif pada remaja dapat kita lihat dalam perkelahian antar pelajar atau tawuran yang sering terjadi pada lingkungan masyarakat (Mappiere 1982: 23). Menurut data Badan Pusat Statistik Indonesia (2010), adanya peningkatan dari segi kuantitas dari tahun 2007 tercatat sekitar 3100 orang remaja yang terlibat dalam kasus kriminalitas, kemudian pada tahun 2008 dan 2009 meningkat menjadi 3.300 dan sekitar 4.200 remaja. Komnas PA juga mencatat, sepanjang 2013 ada 255 kasus tawuran antar pelajar di indonesia. Angka ini meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya, yang hanya terdapat 147 kasus, dari jumlah tersebut 20 pelajar meninggal dunia, saat terlibat atau usai aksi tawuran, sisanya mengalami luka berat dan ringan. Badan Pusat Statistik Jawa Timur (2015), menambahkan bahwa kenakalan remaja pada tahun 2014 mencapai 127 orang. BAPAS Jatim (2015), juga mencatat bahwa pada tahun 2013 remaja yang melakukan tindakan kriminal mencapai 460 anak, kemudian meningkat pada tahun 2014 menjadi 1380 remaja yang melakukan tindakan kriminal. Keadaan remaja di Indonesia saat ini begitu memprihatinkan. Kondisi remaja saat ini cenderung lebih bebas dan jarang memperhatikan nilai moral yang ada sehingga mereka lebih bebas untuk bertindak. Remaja yang memiliki sifat kecenderungan agresif, memiliki emosi yang tidak stabil, dan tidak bisa menahan dorongan nafsu. Pada masa remaja, mereka mengalami banyak pengaruh dari luar yang menyebabkan remaja terbawa pengaruh oleh lingkungan tersebut. Bekowitz (dalam Sawono 2015: 210) mengatakan bahwa pengendalian terhadap amarah perlu dilakukan sebagai sarana mengurangi perilaku agresif seseorang. Tingkat amarah yang tinggi

3 di kalangan remaja awal sering terwujud dalam perilaku kejahatan, antisosial, kekerasan. Sarwono (2015: 210) mengungkapkan bahwa contoh sikap yang paling sering di lihat pada perilaku kenakalan remaja adalah kekerasan fisik baik dengan cara menyerang, memukul, mencerca atau bahkan menggosip dengan teman-temannya. Perasaan marah berlanjut pada keinginan untuk melampiaskannya dalam satu bentuk tertentu dan pada objek tertentu. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku agresif pada remaja yaitu faktor internal (dari dalam) maupun faktor eksternal (dari luar). Faktor internal tersebut meliputi frustasi, ekspetasi pembalasan, dan imitasi, Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor kondisi lingkungan tempat tinggal, dan kualitas hubungan dengan orang tua (Sears et al, 2011: 12). Berdasarkan fakta tersebut, maka remaja yang beresiko memiliki perilaku agresif perlu mendapatkan perhatian khusus, dengan memberikan penanganan yang tepat dalam mengelola amarah dan mengendalikan dorongan perilaku agresfinya. Sears (1994: 23) mengatakan bahwa salah satu penyebab perilaku agresif yang muncul pada remaja, berasal dari asuhan orangtuanya. Orangtua menjadi sumber model penguatan perilaku agresif, yang dapat ditiru oleh remaja. Menurut Weigert & Thomas (1971: 30) fungsi keluarga yang paling utama adalah mengajarkan segala sesuatu pada remaja untuk mempersiapkan remaja tersebut dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Fungsi keluarga yang lainnya adalah membentuk remaja. dan menjadi tempat melatih remaja untuk mendukung perkembangan dalam setiap aspek hidupnya. Mappiere (1982: 36) juga menambahkan bahwa tugas orang tua adalah mengasuh anak mereka, sehingga terbentuk perilaku anak yang sesuai dengan norma di dalam lingkungannya. Santrock (2003: 121) mengatakan bahwa secara alami ibu adalah pengasuh yang lebih baik

4 daripada ayah, sehingga seharusnya ibu dapat membentuk karakter anak lebih baik lewat pengasuhan yang dia berikan Seiring dengan berkembangnya waktu, kita dapat melihat di dalam masyarakat seorang remaja dapat dibesarkan oleh seorang single parent. Yenjeli (2012) mengatakan bahwa status single parent dapat terjadi karena adanya masalah-masalah yang mucul di dalam keluarga. Masalah masalah yang muncul dapat terjadi karena adanya masalah ekonomi, perceraian, serta kematian pada pasangan. Masalah tersebut dapat membuat kehilangan pasangan dan memiliki tanggung jawab kepada anak. Dalam jurnal Olatunde dan Abisola (2010) mengungkapkan bahwa dalam keretakan rumah tangga tidak hanya terjadi pada orangtua yang bercerai, tetapi juga keretakan terjadi dalam rumah tangga karena salah satu orangtua meninggal dunia dan orang tua single parent tidak dapat menggantikan figur ayah ataupun figur ibu secara utuh. Peneliti memilih ibu single parent karena menurut Berliana (2010) seorang ibu single parent memiliki kualitas komunikasi yang lebih baik dibandingkan ayah yang berperan sebagai single parent. Peran single parent yang dijalankan seorang ayah lebih sulit dibandingkan oleh ibu single parent, sehingga terkadang anggota lain dari pihak ayah harus membantu untuk mengasuh remaja Hal ini membuat anak remaja yang tinggal dengan single parent tersebut menjadi tidak bisa dekat dan terbuka dengan ayah single parentnya. Sedangkan kualitas komunikasi ibu single parent, meskipun tidak intens tapi ibu single parent selalu berusaha untuk berkomunikasi dengan anak remajanya ditengah-tengah kesibukkan aktifitas yang dijalaninya, sehingga peran yang dilakukan oleh ibu single parent ini tetap berusaha dijalankan bersamaan dengan kesibukkan tersebut. Pengasuhan sendiri adalah cara orang tua dalam berinteraksi dengan

anaknya, sehingga di dalam interaksi tersebut pasti akan terjadi komunikasi yang membantu pengasuhan yang diberikan ibu single parent. Majzud (1999: 1) mengungkapkan bahwa wanita single parent adalah seorang wanita yang telah ditinggal dengan kematian atau kepergian suaminya. Menurut Qaimi (2003), ibu single parent adalah keadaan seorang ibu yang menduduki dua jabatan sekaligus, sebagai ibu yang akan mengasuh dan mendidik, kemudian menafkahi keluarganya. Ibu single parent juga memiliki dua bentuk sikap, sebagai ibu yang harus bersikap lembut terhadap remajanya, dan sebagai ayah yang bersikap jantan dan bertugas memegang kendali aturan. Yenjeli (2012) mengungkapkan bahwa wanita yang mengalami perceraian mempunyai stres yang cukup berat dikarenakan adanya tuntutan dari diri sendiri dan dan dari anak remajanya. Dampak Stres yang dialami oleh ibu single parent ini adalah sering menangis, sering marah dan kurang mengendalikan emosi dengan baik. Di sisi lain, Hermia (2014) mengungkapkan bahwa ibu single parent lebih menggunakan perasaan dan emosional mereka. Hal ini berisiko menyebabkan munculnya masalah dalam pengasuhan remaja, karena banyaknya emosi negatif yang dialami oleh ibu single parent. Single parent memiliki tanggung jawab yang sangat berat dan sulit dalam mengasuh anaknya. Kesibukan single parent bukan hanya mengasuh namun juga harus bekerja menafkahi anaknya. Salah seorang single parent yang diwawancarai dalam pengambilan data awal, mengatakan pada peneliti bahwa: Saya sangat susah membesarkan anak saya, karena saya harus bekerja sambil mengasuh anak saya. Terkadang saya sedih seolah-olah tidak mengerti saya. Saya akui terkadang saya dinasehati keluarga saya, karena saya terlalu keras bicara kepada dia. Dia selalu mengomel dan meminta saya untuk menuruti semua keinginan dia, kalau tidak dia akan 5

6 marah pergi kerumah temannya atau tidak akan makan seharian.melihat anak saya yang bersikap Kesulitan tersebut juga dialami oleh seorang ibu lainnya. Ia mengatakan bahwa: Sangat berat untuk mengurus anak sendirian. Kadang ketika saya menasehati dia, dia langsung membantah dan marahmarah serta tdak mau terima perkataan saya, sepertinya dia marah karena saya berpisah dengan suami saya. Santrock (2003: 58) mengungkapkan bahwa dalam kehidupan keluarga kehadiran orang tua yang lengkap sangat besar artinya bagi perkembangan kepribadian seorang remaja. Bagi perkembangan remaja hubungan emosiomal yang dijalin antara remaja dan orang tua sangatlah penting, hubungan emosional yang dimiliki berkaitan erat dengan kepribadian remaja. Kepribadian sangat penting bagi remaja dalam menjalani kehidupan sosialnya, baik dalam berteman, bersosialisasi maupun belajar. Namun, ketika seorang remaja hanya diasuh oleh salah satu orang tua yang berperan ganda untuk menjadi ayah dan ibu, akan membuat perkembangan kepribadian remaja menjadi terganggu. Kepribadian sangat berpengaruh dalam kesehariannya. Kehilangan salah satu peran orang tua bagi remaja, tentunya cukup membuat seorang remaja sangat terpukul, oleh sebab itu perilaku remaja kadang menunjukkan masalah-masalah baik masalah eksternal seperti kenakalan atau masalah internal tidak memiliki tanggung jawab sosial, penggunaan obat, antisosial dan memiliki harga diri yang rendah. Oktaviana (2008) menjelaskan bahwa salah satu persoalan bagi single parent adalah mengatur waktu antara mencari nafkah dan mengawasi keseharian anak. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan

bekerja paruh waktu, agar ibu single parent tersebut dapat memiliki waktu untuk mengawasi mereka. Namun, waktu yang digunakan untuk mengawasi remaja tersebut, tentu saja masih kurang. Kurangnya perhatian karena banyaknya peran yang harus dijalani ibu single parent tersebut, dapat menimbulkan masalah psikologis yang muncul dalam diri remaja. Sebagai contoh salah satu remaja yang orangtuanya bercerai dan diasuh ibunya mengatakan :.saya tidak suka, jika teman saya dekat dengan teman lainnya, dia hanya boleh berteman dan bermain bersama saya. Kalau dia bermain bersama yang lainnya, saya akan mencari teman lain dan membicarakan teman saya yang awalnya berteman dengan saya itu. Saya kan tau kelemahannya sist. 7 Berdasarkan pernyataan remaja yang di wawancarai tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja yang diasuh ibu single parent tersebut memiliki sikap agresif, hal ini dapat dilihat ketika teman remaja tersebut ingin berteman dengan lainnya, namun tidak diperbolehkan oleh remaja tersebut. Jika temannya tetap melakukan hal yang dia tidak sukai tersebut, maka dia akan membicarakan rahasia yang dimiliki temannya tersebut pada orang lain. Hal lain yang dilihat oleh peneliti saat melakukan observasi adalah ketika remaja tersebut sedang marah, dia akan membanting barang apapun yang lagi di dekatnya sambil menangis, kadang dia akan pergi meninggalkan rumahnya, kemudian kembali pada keesokan harinya tanpa ijin dari ibunya. Ketiadaan tokoh figur yang tepat sebagai panutan bagi seorang remaja, dapat menimbulkan masalah frustasi, stress, depresi, masalah konflik, karena tidak adanya teman yang dapat diajak berkomunikasi. Oleh karena itu remaja tersebut harus memiliki seorang teman untuk dapat diajak berkomunikasi, agar sikap agresif karena frustasi yang dimiliki remaja dapat berkurang.

Listiyanto (2008) mengatakan pola asuh yang diberikan kepada remaja yang memiliki ibu single parent juga sangat berkaitan dengan perilaku agresif remaja tersebut. Dalam penelitiannya Listiyanto (2008) mengatakan bahwa remaja yang memiliki ibu single parent memiliki rasa kecewa karena tidak memiliki orang tua lengkap, sehingga remaja tersebut merasa terbebani. Bentuk beban yang dimiliki remaja tersebut bisa menyebabkan sikap agresif, kesepian, frustrasi, bahkan mungkin bunuh diri. Kondisi seperti itu sangat rentan terjadi pada anak dengan kondisi keluarga single parent. Maka orang tua perlu berkomunikasi dengan anak, agar dia tidak merasa kesepian Alvita (2008). Taganing (2008) juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa adanya hubungan antara pola asuh orang tua. Hasil yang ditunjukkan dalam jurnal tersebut terlihat bahwa ketika pola asuh yang diterapkan adalah pola asuh otoriter, maka anak yang diasuh tersebut dapat memiliki sikap agresif yang tinggi. Yulianti (2005) menegaskan bahwa perilaku agresif seorang remaja semakin meningkat akibat diasuh oleh single parent. Perilaku agresif itu terlihat pada agresif secara verbal dan agresif secara fisik. Agresif secara verbal tersebut seperti menggosip atau mencerca temannya, sedangkan agresif secara fisik seperti menyerang atau memukul temannya secara langsung. Menjadi seorang remaja yang ditinggal seorang ayah dan dibesarkan oleh seorang ibu, tentulah sangat memberi tekanan kepada remaja tersebut. Remaja lainnya yang diasuh oleh ibunya mengatakan bahwa : ya, saya iri, dengan teman-teman yang punya orang tua yang lengkap. Saya tidak mengerti kenapa mereka bercerai, tapi yang jelas saya tidak terima. Saya kalau mengingat hal itu, saya suka cari cara agar jangan mengingat semua itu. Kadang saya suka meminta barang-barang seperti punyanya teman-teman saya ke mamaku. Itu kan sudah tanggung jawab mama saya. 8

9...saya hanya punya lima teman yang menurut saya, sama dengan saya, kami selalu memiliki barang bermerk yang sama... saya kurang cocok berteman dengan yang lainnya, yah, karena saya hanya cocok dengan mereka berlima yang mengerti saya... Berdasarkan Hasil wawancara tersebut remaja tersebut mengatakan dia mengalami tekanan ditinggal oleh Ayahnya, dan harus diasuh oleh ibunya. Tekanan tersebut bertambah ketika remaja tersebut melihat teman-temannya yang memiliki orang tua lengkap, sehingga dia akan melakukan cara meminta ibu nya untuk menuruti segala kemauannya. Ibunya pun akan memberikannya secara terus menerus tanpa memberi batasan atau memberi peringatan tentang perilaku anaknya tersebut. Selain itu dapat dilihat remaja tersebut memiliki agresif tidak langsung, dengan cara tidak mau berteman dengan teman-teman yang dia rasa cocok atau memiliki sesuatu yang sama dengan dirinya. Dia menghindari mendekati atau berteman dengan lainnya, selain dengan lima temannya tersebut. Salah satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan remaja adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Wijaya (2012) mengatakan pengasuhan yang diberikan oleh single parent, sangat berpengaruh pada kecenderungan anak berperilaku agresif. Dalam penelitannya Wijaya (2012), mengatakan bahwa gaya pengasuhan yang diberikan oleh single parent kepada anaknya, memiliki kombinasi dari gaya pengasuhan Baumrind. Kombinasi yang pertama adalah gaya pengasuhan otoriter-demokratis, dimana orang tua akan bersikap lebih protektif, bahkan terlalu over protective pada anaknya. Gaya pengasuhan otoriter-demokratis ini timbul karena single parent tersebut berpikir bahwa tujuan utamanya adalah membahagiakan anaknya, sehingga anak dibatasi atau dituntut untuk menurut pada peraturan yang dibuatnya. Gaya pengasuhan otoriter-

10 demokratis ini membuat anak gemar menentang dan suka melanggar norma. Gaya kombinasi keduanya adalah permissive-pelantar, dimana orang tua cenderung menelantarkan anak, dan tidak bersikap tegas untuk melatih tanggung jawab anak. Hal ini terjadi karena anak tidak memiliki kedekatan dengan salah satu orang tua yang mengasuhnya, dan single parent tersebut pun tidak memiliki waktu bagi anaknya. Kombinasi dari gaya pengasuhan permissive-pelantar ini mengakibatkan anak-anak memiliki perilaku yang agresif, tidak patuh, mau menang sendiri, dan sering bermasalah dalam bersosialisai dengan lingkungannya. Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti ingin meneliti apakah ada hubungan antara pengasuhan orang tua yang single parent, dalam hal ini dikhususkan pada Ibu yang berperan menjadi single parent dengan kecenderungan perilaku agresif pada remaja. 1.2. Batasan Masalah Penelitian ini membatasi ruang lingkup pada remaja yang berusia 11-18 tahun, yang diasuh oleh ibu single parent. 1.3. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana bentuk bentuk perilaku agresif pada remaja yang diasuh oleh ibu single parent? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui Bentuk bentuk perilaku agresif remaja yang diasuh oleh ibu single parent.

11 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan tambahan untuk bidang psikologi perkembangan, khususnya tentang pengasuhan yang diterapkan oleh ibu single parent, sehingga menimbulkan kecenderungan perilaku agresif pada remaja. Diharapkan penelitian ini dapat memicu munculnya penelitian yang sama, agar bisa diaplikasikan pada masyarakat yang khususnya adalah ibu single parent. 1.5.2. Manfaat Praktis A. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada masyarakat mengenai hubungan pengasuhan ibu single parent terhadap perilaku agresif anak, sehingga kedepannya masyarakat dapat memahami bahwa perilaku agresif anak berkaitan dengan pengasuhan yang diterapkan oleh ibu single parent. Masyarakat pun dapat memberikan masukan kepada ibu single parent tentang pengasuhan yang benar, untuk mengurangi sikap agresif pada anak. B. Bagi Subyek Remaja dapat menegetahui pengasuhan yang dapat menimbulkan kecenderungan berperilaku agresif, khususnya pada remaja yang hanya di asuh oleh ibu yang berperan sebagai single parent. C. Bagi Praktisi Perkembangan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada praktisi perkembangan, dinas sosial, serta berbagai pihak lainnya yang berhubungan dengan perkembangan anak-remaja, untuk mengetahui pengasuhan ibu yang berperan sebagai single parent, terhadap kecenderungan perilaku agresif pada remaja. Sehingga

12 praktisi memahami tentang kecenderengan perilaku agresif remaja, yang diakibatkan oleh pengasuhan, khususnya pengasuhan yang diterapkan oleh ibu yang berperan sebagai single parent. Di harapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bagi praktisi perkembangan dalam memberikan konseling atau penyuluhan terhadap masyarakat atau kepada ibu yang berperan sebagai single parent.