Amelia Febriana Rohi Riwu Ririn Arminsih Wulandari Fakultas Kesehatan Masyarakat Peminatan Kebidanan Komunitas Universitas Indonesia ABSTRAK

dokumen-dokumen yang mirip
Project Status Report. Presenter Name Presentation Date

LAMPIRAN I DOKUMENTASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. serta semakin luas penyebarannya. Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

DEFINISI KASUS MALARIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

I. PENDAHULUAN. dan ibu melahirkan serta dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja (Dinkes

BEBERAPA FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN NANGA ELLA HILIR KABUPATEN MELAWI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. endemik malaria, 31 negara merupakan malaria-high burden countries,

Risk factor of malaria in Central Sulawesi (analysis of Riskesdas 2007 data)

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

Kata Kunci : Kelambu, Anti Nyamuk, Kebiasaan Keluar Malam, Malaria

Latar Belakang Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa

Faktor Risiko Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Kenanga Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung

I. PENDAHULUAN. nyamuk Anopheles sp. betina yang sudah terinfeksi Plasmodium (Depkes RI, 2009)

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai adalah Plasmodium Falciparum dan Plasmodium. Vivax. Di Indonesia Timur yang terbanyak adalah Plasmodium

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang

BAB I PENDAHULUAN. terkena malaria. World Health Organization (WHO) mencatat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Ada empat spesies

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

DETERMINAN PERILAKU MASYARAKAT, LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN MALARIA DI KABUPATEN PESAWARAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kelurahan Kayubulan Kecamatan Limboto terbentuk/lahir sejak tahun 1928 yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN FAKTOR INDIVIDU DAN LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN MALARIA DI PUSKESMAS KOELODA KECAMATAN GOLEWA KABUPATEN NGADA PROVINSI NTT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

C030 PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI KABUPATEN MIMIKA

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia disetiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu Negara

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan bagi

KUESIONER. Hari/Tanggal : Waktu : Pukul... s/d... No. Responden : 1. Nama (inisial) : 2. Umur :

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. utama, karena mempengaruhi angka kesakitan bayi, balita, dan ibu. melahirkan, serta menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB).

PERANAN LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN SILIAN RAYA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KUESIONER ANALISIS FAKTOR KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA MALARIA DI KABUPATEN BIREUEN TAHUN 2010

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

1. PENDAHULUAN. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles sp. betina (Depkes R.I.,

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kejadian kematian ke dua (16%) di kawasan Asia (WHO, 2015).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MUARA KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh parasit Protozoa genus Plasmodium dan ditularkan pada

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu perhatian global karena kasus malaria yang tinggi dapat berdampak luas

BAB 1 PENDAHULUAN. (Harijanto, 2014). Menurut World Malaria Report 2015, terdapat 212 juta kasus

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN KAMPAR KIRI TENGAH, KABUPATEN KAMPAR, 2005/2006

KUESIONER PENELITIAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU TERHADAP DEMAM BERDARAH PADA MASYARAKAT DI CIMAHI TENGAH

ARTIKEL SISTEM KEWASPADAAN DIM KLB MALARIA BERDASARKAN CURAH HUJAN, KEPADATAN VEKTOR DAN KESAKITAN MALARIA DIKABUPATEN SUKABUMI

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PERILAKU DENGAN KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MAYUMBA PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

I. PENDAHULUAN. Diantara kota di Indonesia, Kota Bandar Lampung merupakan salah satu daerah

Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh TIWIK SUSILOWATI J

MANAJEMEN PENANGGULANGAN MALARIA DI KABUPATEN SUMBA TIMUR TAHUN 2011

GAMBARAN CAKUPAN PROGRAM KELAMBUNISASI DALAM MENCEGAH KEJADIAN MALARIA DI DESA TUNGGULO KECAMATAN LIMBOTO BARAT KABUPATEN GORONTALO TAHUN 2012.

SKRIPSI. Oleh Thimotius Tarra Behy NIM

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu

Yurike Gitanurani¹, Dina Dwi Nuryani² Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

Malaria disebabkan parasit jenis Plasmodium. Parasit ini ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi.

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh 4 spesies plasmodium, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

Promotif, Vol.3 No.2, April 2014 Hal

BAB I PENDAHULUAN. miliar atau 42% penduduk bumi memiliki risiko terkena malaria. WHO mencatat setiap tahunnya

PENYELIDIKAN KEJADIAN LUAR BIASA DI GIANYAR. Oleh I MADE SUTARGA PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIK)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah suatu penyakit menular yang banyak diderita oleh penduduk di daerah tropis dan subtropis,

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I PENDAHULUAN. sering disebut sebagai vektor borne diseases. Vektor adalah Arthropoda atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

LAMPIRAN 1 SURAT IJIN PENELITIAN BADAN KESBANGPOL DAN LINMAS PEMERINTAH KABUPATEN HALMAHERA UTARA. 1. Sebelum penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh parasit protozoa UKDW

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya perbaikan kesehatan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan kesehatan. Tugas utama sektor kesehatan adalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

Transkripsi:

FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SEBA KECAMATAN SABU BARAT KABUPATEN SABU RAIJUA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2012 ABSTRAK Amelia Febriana Rohi Riwu Ririn Arminsih Wulandari Fakultas Kesehatan Masyarakat Peminatan Kebidanan Komunitas Universitas Indonesia Malaria merupakan suatu penyakit yang penyebarannya sangat luas di negara yang beriklim tropis dan sub-tropis. Kabupaten Sabu Raijua adalah salah satu kabupaten dengan tingkat endemisitas yang tinggi di Provinsi NTT. Puskesmas Seba merupakan wilayah dengan endemisitas tertinggi yaitu API 38,86%. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian malaria di Puskesmas Seba, Kecamatan Sabu Barat Kabupaten Sabu Raijua Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2012. Desain penelitian kasus kontrol, data primer. Populasi penelitian adalah semua penderita malaria dengan total sampel 260 responden yang diambil secara purposive sampling. Hasil menunjukkan variabel yang berhubungan dengan kejadian malaria adalah lama bermukim (1,95; 1,117-3,411), penggunaan kelambu (2,36; 1,428-3,901), penggunaan obat nyamuk (2,46; 1,466-4,112), penggunaan pakaian tertutup (5,67; 2,261-14,233), penggunaan kawat kasa (2,85; 1,484-5,415), pemeliharaan ternak (3,32; 1,933-5,709) dan lingkungan fisik rumah (3,22; 1,909-5,444). Sedangkan umur, pekerjaan dan tempat perindukan nyamuk tidak ada hubungan dengan kejadian malaria. Faktor paling dominan berhubungan dengan kejadian malaria adalah memakai pakaian tertutup memiliki kecenderungan 8,54 kali berisiko malaria pada responden yang tidak memakai pakaian tertutup. Kata Kunci: karakteristik individu; lingkungan; lingkungan fisik rumah; malaria; nyamuk. ABSTRACT Malaria is disease that is prevalent in or unique to tropical and sub-tropical regions. Sabu Raijua region is one of the regions with a highest level of endemicity in Nusa Tenggara Timur Province. Seba Health Center is the region with the highest endemicity such as API 38.86%. The purpose of this research is to determine the risk factors related to the incidence of malaria in Seba Health Centre, Sabu Barat Sub district, Sabu Raijua Regency, Nusa Tenggara Timur Province in 2012. Case-control study design, primary data. Populations in this research were those all patients infected malaria with a sample of 260 respondents taken by purposive sampling. Results showed that the variables related with the incidence of malaria is long lived (1.95; 1.117 to 3.411), the use of mosquito nets (2.36; 1.428 to 3.901), the use of insect repellent (2.46; 1.466 to 4.112), the use of a closed clothing (5.67; 2.261 to 14.233), the use of wire netting (2.85; 1.484 to 5.415), cattle raising (3.32; 1.933 to 5.709) and the physical environment of house (3.22; 1.909 to 5.444). Meanwhile age, occupation, and mosquito breeding places have no relation with the incidence of malaria. The most dominant factor that related with the incidence of malaria is a tendency to wear clothes covered has a 8.54 times the risk of malaria among those respondents who do not wear clothing covered.

Keywords: Malaria, individual characteristics, environment, the physical environment of house, mosquito. LATAR BELAKANG Malaria adalah penyakit yang penyebarannya di dunia sangat luas yakni meliputi lebih dari seratus negara di sepanjang khatulistiwa yang beriklim tropis dan sub tropis seperti negara-negara Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah dan Asia Tenggara termasuk Indonesia (Achmadi, 2008). Malaria menurunkan status kesehatan dan kemampuan bekerja penduduk dan menjadi hambatan penting pembangunan sosial dan ekonomi suatu negara, bahkan banyak kasus yang akhirnya berakibat pada kematian (Harijanto, 2000). Menurut hasil Riskesdas 2007, penyakit malaria tersebar di seluruh Indonesia dengan angka prevalensi yang beragam, propinsi dengan prevalensi malaria klinis tinggi adalah Papua Barat sebesar 26,1 %, Papua sebesar 18,4% dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 12,0%, sedangkan prevalensi malaria klinis nasional adalah 2,9%. Pada Riskesdas 2010, insiden malaria di Indonesia masih tinggi yaitu 22,9 0 / 00 dengan insiden tertinggi adalah di Papua yaitu 261,5 0 / 00 disusul Papua Barat sebesar 253,2 0 / 00 dan NTT sebesar 117,5 0 / 00. Kabupaten Sabu Raijua merupakan daerah endemis malaria dan kabupaten penyumbang kasus malaria di Propinsi NTT. Pada tahun 2009 prevalensi malaria di Kabupaten Sabu Raijua adalah 16,8%, dan prevalensi tahun 2010 adalah 12,7%, masih tinggi dibandingkan prevalensi NTT 2010 (12,0%) dan prevalensi Kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Kupang (10,47%), serta Kabupaten Rote Ndao dengan prevalensi 9,31% (Profil Kesehatan NTT, 2010). Puskesmas Seba sebagai salah satu dari 6 (enam) Puskesmas di Kabupaten Sabu Raijua, dengan wilayah kerja paling luas yaitu melayani satu kelurahan dan 17 desa di Kecamatan Sabu Barat atau hampir seperempat wilayah Kabupaten ini. Pada tahun 2009 cakupan API sebanyak 3,52%, 2010 sebanyak 5,53% dan 2011 meningkat menjadi 38,86% (Laporan Malaria 2009-2011). Oleh karena itu, penelitian tentang kejadian malaria dan faktor risiko yang mempengaruhinya menarik untuk diketahui. Malaria membutuhkan perhatian serius untuk diprioritaskan dalam melakukan upaya pencegahan infeksi atau serangan malaria. Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian malaria di daerah ini belum pernah diteliti. Tujuan penelitian: menganalisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian malaria di Puskesmas Seba, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2012.

TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Malaria Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan parasit Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Depkes RI, 2009). Malaria adalah penyakit infeksi dengan demam berkala yang disebabkan oleh protozoa intraseluler dari genus Plasmodium dan ditularkan terutama melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi (Harijanto, 2009). B. Penyebab Malaria Ada lima spesies plasmodium penyebab malaria pada manusia yaitu Plasmodium falciparum menyebabkan malaria tropika, Plasmodium vivax menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale, Plasmodium malariae menyebabkan malaria kuartana serta Plasmodium knowlesi (Harijanto, 2009). C. Cara Penularan Malaria Malaria dapat ditularkan melalui dua cara yaitu (Harijanto, 2009): a. Penularan secara alamiah melalui gigitan nyamuk anopheles betina terinfeksi b. Penularan bukan alamiah ada beberapa macam yaitu: 1. Malaria bawaan (congenital) 2. Penularan secara mekanik melalui transfusi darah atau jarum suntik D. Masa Inkubasi Malaria Masa inkubasi malaria tergantung pada jenis plasmodium yang menyerang manusia yaitu P. falciparum berlangsung 7-14 hari, P. vivax selama 13-17 hari, P. ovale 12-14 hari. Plasmodium malariae masa inkubasinya lebih panjang yaitu selama 14-18 hari bahkan kadang-kadang sampai 30-60 hari (Harijanto, 2000; FKUI, 2008). E. Gejala Malaria Seseorang yang terinfeksi malaria tanpa komplikasi akan merasakan gejala seperti demam, pening, lemas, pucat, nyeri otot, nyeri dada, menggigil, bahkan pada infeksi oleh P. falciparum, suhu bisa mencapai 40 o C, mengalami koma, mual, muntah. Serangan demam yang khas terdiri dari tiga stadium yaitu (Achmadi, 2008; FKUI, 2008; Depkes RI, 2010): 1. Stadium menggigil atau stadium dingin berlangsung selama 15 menit-1 jam. 2. Stadium puncak demam (hot stage) berlangsung 2-6 jam 3. Stadium berkeringat berlangsung 2-4 jam. F. Pencegahan Malaria

Perlindungan berbasis pribadi untuk mencegah gigitan nyamuk malaria adalah (Widoyono, 2005; Harijanto, 2009): a. Tidak keluar rumah pada senja hari sampai dini hari, bila terpaksa keluar, sebaiknya mengenakan pakaian berlengan panjang dan bercelana panjang, berwarna terang. b. Menggunakan repelan atau lotin yang mengandung dimetilftalat c. Memasang kawat kasa pada ventilasi pintu dan jendela d. Menggunakan kelambu berinsektisida e. Memakai obat nyamuk baik lotion, semprot, bakar maupun obat nyamuk listrik. Pencegahan malaria berbasis masyarakat dilaksanakan dengan membunuh nyamuk dewasa atau menyemprot dengan insektisida, membunuh jentik dan menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan vektor. Hal ini dapat memperpendek umur nyamuk dan menekan pertambahan jumlah (density) nyamuk, sehingga siklus parasit malaria dalam tubuh nyamuk menjadi tidak selesai, yang akhirnya dapat mengurangi penyebaran penyakit malaria. Program pemberantasan vektor di Indonesia saat ini meliputi (Widoyono, 2011): a. Meningkatkan pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat melalui penyuluhan kesehatan, promosi kesehatan, diskusi kelompok dan kampanye massal untuk mengurangi sarang nyamuk melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) meliputi: menghilangkan genangan air, menimbun atau mengeringkan barang atau wadah yang memungkinkan air tergenang. b. Menemukan dan mengobati penderita sedini c. Melakukan penyemprotan melalui kajian mendalam tentang bionomik anopheles d. Memelihara ikan pemakan jentik seperti ikan kepala timah, gambusia, nila dan mujair e. Menaburkan bubuk pembunuh jentik pada tempat penampungan air f. Pengelolaan lingkungan sebagai berikut (Depkes 2003): 1) Pengubahan Lingkungan, meliputi: a) Penimbunan tempat-tempat yang dapat menimbulkan genangan air b) Pengeringan berkala dari sistem irigasi c) Pengeringan tempat-tempat yang tergenang air d) Pengaturan dan perbaikan saluran air e) Pembersihan semak-semak. 2) Manipulasi lingkungan (Environmental Manipulation), antara lain: a) Pengaturan kadar garam pada lahan tambak ikan dan tambak udang b) Pembersihan lumut dan tanaman air di kolam atau genangan air

c) Memberikan bayangan pada tempat perindukan, menanan dan mencegah penebangan pohon bakau. G. Faktor Risiko Kejadian Malaria Penyebaran penyakit malaria dipengaruhi oleh agent, host intermediate (manusia) dan host definitive (nyamuk) dan environment. Di samping itu perilaku manusia juga mempunyai pengaruh terhadap peyebaran penyakit malaria (Depkes, 2009; Susana, 2011). 1. Faktor manusia Setiap manusia dapat terinfeksi oleh agent biologis yaitu plasmodium. Ada beberapa faktor interistik yang mempengaruhi kerentanan manusia yaitu: 1. Usia Anak-anak merupakan kelompok yang lebih rentan dan berisiko terhadap penyakit malaria. Sekitar 70% kematian akibat malaria terjadi pada anak usia kurang dari lima tahun (balita), hal ini disebabkan karena respon imun terhadap malaria pada anak belum sempurna dan terbentuk lebih lambat. Sistim imun yang belum sempurna pada balita dimana ketika terinfeksi malaria dengan banyak variasi antigen, maka sistim imun akan terpacu secara non spesifik dan menghambat pembentukan respon imun spesifik. Kecepatan respon untuk membentuk imunitas tidak seimbang dengan infeksi yang timbul, sehingga infeksi dapat timbul lebih dahulu. Imunitas ini mulai berkembang pada umur lebih dari lima tahun (Harijanto, 2009) 2. Jenis kelamin Jenis kelamin tidak berpengaruh pada kerentanan individu terhadap penyakit malaria, tapi bila malaria menyerang wanita hamil akan menambah risiko dan memperburuk keadaan ibu dan janinnya. Wanita hamil cenderung memiliki kekebalan yang lebih rendah terhadap malaria (Harijanto, 2009). 3. Ras Beberapa ras atau kelompok penduduk mempunyai kekebalan alamiah terhadap malaria, misalnya ras Papua New Guinea dan mungkin juga Papua. Kekebalan alamiah terhadap malaria dapat juga berupa mekanisme non imunologis berupa kelainan genetik pada ertirosit maupun haemoglobin (Hb). Kelainan genetik Hb tertentu di daerah endemis seperti di Papua dan Afrika Barat berupa Hb S dan Hb C yang dapat menghambat pertumbuhan parasit dan menghambat merozoit keluar dari eritrosit. Eritrosit Hb S dan Hb C lebih mudah dirusakkan oleh sistim imun (Harijanto, 2000). 4. Kehamilan

Ibu hamil mempunyai risiko terinfeksi dua kali lebih besar dibanding wanita tidak hamil. Malaria memperberat kondisi kehamilan, baik pada kehamilan pertama atau kedua kali, mempunyai risiko lebih besar untuk menderita malaria berat (Depkes RI, 2010). 5. Genetik Faktor kelainan genetik pada eritrosit maupun hemoglobin seperti golongan darah Duffy negatif, Hemoglobin S yang menyebabkan sickle cell anemia, yang tidak mendukung pertumbuhan parasit dalam eritrosit karena Hb S mudah dimusnahkan oleh sistim imun. Thalasemia (alfa dan beta) lebih protektif terhadap malaria dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel (Harijanto, 2009). 6. Riwayat penyakit malaria Orang yang sebelumnya pernah menderita malaria akan terbentuk imunitas yang signifikan, sehingga lebih kebal terhadap malaria. Mekanisme lain adalah terbentuknya imunitas yang mampu mencegah timbulnya gejala penyakit malaria tanpa berpengaruh terhadap jumlah parasit. Antibodi Ig G atau Ig M dapat menetralkan toksin-toksin parasit malaria dan meningkatkan kemampuan sistim imun untuk mengatur sekresi sitokin untuk menekan efek toksik dari parasit. Gejala klinis malaria yang berat tidak timbul, walaupun pada penderita didapati parasit dalam jumlah besar (Harijanto, 2009; Widoyono, 2011). 7. Status gizi Masyarakat khususnya anak-anak yang status gizinya baik dapat mengatasi malaria berat lebih cepat dibanding anak dengan status gizi buruk karena memiliki imunitas yang lebih baik (Harijanto, 2000). 8. Imunitas Penduduk yang tinggal di daerah endemis terpapar dengan parasit secara terus-menerus dan kadar imunitas humoral dan imunitas selulernya memadai untuk melindungi individu terhadap infeksi malaria dan komplikasi malaria. Imunitas ini tidak permanen atau akan hilang bila individu lama meninggalkan daerah asalnya, sehingga jika kelak ia kembali dan terinfeksi malaria, maka dapat menjadi sakit. Individu yang tidak memiliki kekebalan lebih rentan terhadap malaria dan komplikasi malaria karena imunitas seseorang terhadap malaria terbentuk paling cepat sekitar dua tahun setelah seseorang tinggal di daerah endemis (Depkes RI, 2003; Harijanto, 2000). 2. Faktor Nyamuk Nyamuk Anopheles terutama hidup di daerah beriklim tropis dan subtropis, bahkan di daerah beriklim sedang seperti Afrika. Nyamuk Anopheles jarang ditemukan pada

ketinggian lebih dari 2000-2500 meter dan sebagian besar di temukan di dataran rendah (Harijanto, 2000). Efektifitas vektor untuk menularkan malaria antara lain dipengaruhi oleh (Depkes,2003; Achmadi, 2008; Susana, 2011): 1. Umur nyamuk 2. Peluang kontak dengan manusia 3. Frekuensi menggigit seekor nyamuk 4. Kerentanan nyamuk terhadap parasit 5. Kepadatan nyamuk dekat pemukiman manusia. 3. Faktor Lingkungan a. Lingkungan Fisik Keberadaan tempat perindukan nyamuk Anopheles di suatu tempat berhubungan dengan tingkat kepadatan nyamuk Anopheles di suatu daerah. Tempat perindukan berupa genangan air seperti rawa, aliran sungai, empang, tambak yang ditemukan vektor atau diduga vektor pada periode tertentu dan berjarak < 2 km dari pemukiman (Depkes, 2009). Faktor lingkungan fisik sebagian besar berkaitan dengan klimatologi seperti suhu udara, kelembaban udara, hujan, angin, sinar matahari dan arus air (Achmadi, 2008; Harijanto,2000) yaitu: 1. Suhu Suhu udara mempengaruhi siklus hidup parasit malaria, secara normal siklus inkubasi fase ekstrinsik sekitar 9-10 hari, tapi kadang lebih singkat, hanya 5 hari. Makin rendah suhu udara makin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Pengaruh suhu berbeda pada tiap spesies. Suhu minimum bagi perkembangbiakan nyamuk adalah 8-10 o C danoptimum 22-27 o C. Parasit akan mati dalam tubuh nyamuk pada suhu > 32 o C (Achmadi, 2008). 2. Kelembaban Kelembaban yang kondusif untuk kehidupan nyamuk adalah berkisar antara 60-80%, jika kelembaban rata-rata mingguan < 60%, maka dapat memperpendek umur nyamuk (Achmadi, 2008). 3. Hujan Hujan berhubungan dengan penularan malaria karena hujan dapat meningkatkan kelembaban dan merubah suhu udara serta mempengaruhi peningkatan jumlah tempat perindukan nyamuk. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan perkembangbiakan nyamuk Anopheles (Achmadi, 2008; Harijanto, 2000) 4. Angin

Kecepatan angin mempunyai pengaruh positif dan negatif bagi penularan malaria, angin yang bertiup kencang akan mengurangi jumlah gigitan tapi pada saat yang bersamaan akan menambah jarak terbang nyamuk dalam mencari makan. Arah dan kecepatan angin mempunyai potensi untuk merubah penyebaran nyamuk secara geografis (Achmadi, 2011). 5. Sinar matahari Berpengaruh terhadap pertumbuhan larva dengan pengaruh yang berbeda-beda pada setiap spesies. Larva nyamuk Anopheles sundaicus lebih suka tempat teduh, sebaliknya Anopheles hyrcanus lebih menyukai tempat terbuka dan terang, sedangkan Anopheles barbirostris dapat hidup baik di tempat teduh maupun di tempat terang (Achmadi, 2008). 6. Arus air Anopheles barbirostris menyukai tempat perindukan yang aliran airnya statis/mengalir sedikit, Anopheles minimus menyukai aliran air yang cukup deras, Anopheles letifer menyukai air tergenang (Achmadi, 2011). b. Lingkungan kimiawi Lingkungan kimiawi berhubungan dengan Anopheles adalah kadar garam dan ph air tempat perindukannya. Air payau dengan kadar garam 12-18% adalah tempat ideal untuk perkembangbiakan nyamuk Anopheles, sedangkan kadar garam > 40 % Anopheles tidak dapat berkembangbiak. Larva nyamuk umumnya dapat hidup di air dengan ph 6-9 dan tidak dapat hidup di air dengan ph 3 atau ph 10 (Achmadi, 2008; Harijanto, 2000; Susana, 2011). c. Lingkungan biologis Tumbuhan air seperti bakau, lumut dan ganggang pada tempat perindukan nyamuk dapat memberi perlindungan terhadap larva nyamuk dari pengaruh sinar matahari dan gangguan predatornya seperti ikan kepala timah, gambusia, nila dan mujair. Adanya ternak besar seperti sapi kerbau dan kambing dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila kandang ternak berada di pekarangan rumah (Harijanto, 2000). d. Lingkungan Sosial Budaya Pengaruh faktor ini sering lebih besar daripada faktor lainnya dalam penularan penyakit malaria. Pada daerah di mana vektor malaria lebih eksofilik dan eksofagik kebiasaan masyarakat berada di luar rumah pada malam hari akan memperbesar jumlah gigitan meliputi(achmadi, 2008): 1. Pekerjaan

Pekerjaan atau cara hidup sangat berpengaruh terhadap penularan malaria, misalnya sering berada di luar rumah pada malam hari, sebagai nelayan, mencari ikan atau kerang, berburu di hutan, mengambil air pada dini hari, menyadap karet pada dini hari maupun sebagai buruh pelabuhan yang biasanya dilakukan pada malam dan dini hari (Achmadi, 2008; Manalu, 1997). 2. Perilaku mencegah gigitan nyamuk Orang yang tidur tidak menggunakan kelambu, tidak menggunakan lotion anti nyamuk, tidak menyemprot kamar dengan obat nyamuk, tidak memasang kawat atau kain kasa pada ventilasi rumah berpeluang lebih besar untuk digigit nyamuk Anopheles sehingga lebih berisiko terinfeksi malaria (Achmadi, 2008; Chin, 2009; Widoyono, 2011). 3. Kebiasaan beraktifitas di luar rumah pada malam hari Kebiasaan masyarakat menonton televisi di tempat umum maupun di rumah tetangga tanpa memakai baju merupakan risiko tinggi untuk tertular malaria. Kebiasaan mengikuti acara sosial budaya lainnya seperti menonton ketoprak pada malam hari tanpa memakai pakaian tertutup berisiko kontak dengan nyamuk lebih besar (Achmadi, 2008). 4. Status sosial ekonomi Keadaan sosial ekonomi masyarakat erat hubungannya dengan penyakit malaria. Penghasilan keluarga maupun individu berpengaruh terhadap perilaku kesehatan dan aspek kehidupan lainnya. Seseorang yang berpenghasilan baik mengetahui cara mencegah malaria, yaitu ia akan berupaya untuk mencegah gigitan nyamuk. Kemiskinan membuat orang bangun sejak dini hari dan bekerja dan daya beli masyarakat menurun serta hanya memprioritaskan kebutuhan pokok saja (Achmadi, 2008; Depkes, 2003). 5. Pendidikan Tingkat pendidikan tidak mempunyai pengaruh secara langsung terhadap malaria, tapi umumnya mempengaruhi jenis pekerjaan seseorang dan perilaku kesehatannya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin baik pengetahuan dan perilaku kesehatannya serta pekerjaannya, sehingga peluang kontak dengan nyamuk lebih kecil (Palupi, 2010). 6. Lama bermukim Lama orang tinggal di daerah endemis malaria akan menyebabkan respon imunitas terhadap parasit tertentu. Seseorang yang baru tinggal di daerah endemis malaria memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita malaria daripada orang yang telah lama tinggal di daerah tersebut, karena imunitas seseorang terhadap malaria terbentuk paling cepat sekitar dua tahun setelah tiba di daerah endemis malaria (Nugroho, 2000). 7. Memelihara ternak

Keberadaan ternak besar seperti kerbau, sapi, babi dan kambing dapat memberikan perlindungan pada seseorang dari gigitan nyamuk Anopheles, bila ternak dikandangkan di dekat tempat tinggal manusia atau di sekitar pekarangan rumah. Nyamuk yang memiliki sifat zoofilik (suka mengisap darah binatang) lebih menyukai darah ternak besar seperti kerbau, sapi, babi dan kambing (Harijanto, 2000). 8. Lingkungan rumah Lingkungan fisik rumah terutama berkaitan dengan jenis dinding rumah, lantai, plafon dan atap rumah. Lantai yang lembab memperpanjang umur nyamuk. Dinding rumah yang tidak permanen atau tidak rapat, plafon yang tidak rapat dapat menyebabkan nyamuk bisa masuk ke dalam rumah melalui celah dinding sehingga mempengaruhi intensitas kontak antara manusia dan nyamuk. Atap rumah dari daun disertai tidak dilengkapi plafon menjadi tempat untuk nyamuk beristirahat (Depkes, 2003). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol (case control), yakni rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara paparan dengan penyakit, dengan cara membandingkan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya (Murti, 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan hubungan antara karakteristik individu, (umur, pekerjaan, lama bermukim dan perilaku), lingkungan (tempat perindukan nyamuk, pemeliharaan ternak) dan lingkungan fisik rumah dengan kejadian malaria. Penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Seba, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dimulai sejak bulan September 2012 sampai dengan bulan Maret 2013. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita malaria yang berkunjung dan berobat di Puskesmas Seba, Kecamatan Sabu Barat, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sampel penelitian terdiri dari kelompok kasus dan kelompok kontrol, yaitu: a. Kasus : Penderita dengan gejala klinis malaria maupun tanpa gejala klinis malaria yang dinyatakan positif malaria (ditemukan Plasmodium) pada sediaan darah melalui pemeriksaan di laboratorium Puskesmas. b. Kontrol : Penderita dengan gejala klinis malaria maupun tanpa gejala klinis malaria yang dinyatakan negatif malaria (tidak ditemukan Plasmodium) pada sediaan darah melalui pemeriksaan di laboratorium Puskesmas.

Sampel diambil dengan menggunakan Purposive Sampling, di mana pada penelitian ini sampel yang diambil adalah semua penderita malaria yang berkunjung dan berobat di Puskesmas Seba, Kecamatan Sabu Barat. Jumlah kasus dalam penelitian ini menjadi 130 orang. Kontrol berjumlah 130 orang, didapatkan dari pasien di Puskesmas Seba dan tetangga kasus yang hasil pemeriksaan laboratoriumnya negatif. Total sampel berjumlah 260 orang. Pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan oleh peneliti dan dua orang petugas Puskesmas yaitu petugas laboratorium dan perawat di poliklinik. Petugas Puskesmas tersebut telah dilatih tentang prosedur wawancara dan observasi lingkungan sesuai kuesioner. Peneliti melakukan pengumpulan data primer dengan cara wawancara dan observasi pada variabel independen dalam penelitian ini yaitu karakteristik individu (umur, pekerjaan, lama bermukim dan perilaku), lingkungan (tempat perindukan nyamuk, pemeliharaan ternak) dan lingkungan fisik rumah. Teknik analisa data merupakan langkah lanjutan dari pengolahan data, untuk memperoleh makna yang bermanfaat bagi pemecahan masalah penelitian. Data akan dianalisis dengan menggunakan software di Fakultas. Analisis data dilakukan secara bertahap, yaitu analisis univariat, analisis bivariat dan analisis multivariat. HASIL PENELITIAN A. Karakteristik Individu Umur pada hasil penelitian setelah dianalisis, diperoleh persentase responden yang mengalami kejadian malaria pada kelompok berisiko yaitu umur balita (<5 tahun) adalah 30 anak (23,1%), sedangkan responden yang tidak berisiko (>5 tahun) dan tidak mengalami kejadian malaria adalah 99 orang (76,2%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1,00, berarti bahwa tidak ada hubungan antara umur responden dengan kejadian malaria (Tabel 1.1). Pekerjaan responden pada hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sebanyak 129 responden (99,2%) yang tidak berisiko atau bekerja bukan nelayan dan mengalami kejadian malaria, sedangkan di antara responden berisiko yaitu yang bekerja sebagai nelayan, tidak ada responden yang mengalami kejadian malaria. Berdasarkan hasil analisis hubungan, tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kejadian malaria (Tabel 1.1). Lama bermukim pada hasil analisis hubungan diperoleh bahwa ada sebanyak 86 responden (66,2%) yang tidak berisiko yaitu yang lama bermukim >2 tahun dan mengalami kejadian malaria, sedangkan di antara responden yang berisiko atau lama bermukim <2 tahun, ada 27 responden (20,8%) tidak mengalami kejadian malaria. Dari hasil uji statistik terlihat ada hubungan yang bermakna antara lama bermukim dengan kejadian malaria (nilai

p=0,026). Responden yang lama bermukim <2 tahun mempunyai peluang 1,95 kali mengalami kejadian malaria daripada responden yang lama bermukim >2 tahun (Tabel 1.1). Penggunaan kelambu setelah dianalisis, menunjukkan bahwa ada sebanyak 60 responden (46,2%) yang menggunakan kelambu dan mengalami kejadian malaria, sedangkan di antara responden yang tidak menggunakan kelambu, ada 43 responden (33,1%) tidak mengalami kejadian malaria. Variabel penggunaan kelambu mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria (nilai p=0,001). Terlihat bahwa responden yang tidak menggunakan kelambu mempunyai risiko 2,36 kali mengalami kejadian malaria dibandingkan dengan responden yang menggunakan kelambu (Tabel 1.1). Penggunaan obat nyamuk pada hasil analisis diperoleh bahwa ada sebanyak 36 responden (27,7%) yang menggunakan obat nyamuk dan mengalami kejadian malaria, sedangkan di antara responden yang tidak menggunakan obat nyamuk, ada 67 responden (51,5%) tidak mengalami kejadian malaria. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,001, berarti ada hubungan yang bermakna antara penggunaan obat nyamuk dengan kejadian malaria. Responden yang tidak menggunakan obat nyamuk berisiko 2,46 kali terinfeksi malaria dibandingkan dengan responden yang menggunakan obat nyamuk (Tabel 1.1). Perilaku menggunakan pakaian tertutup pada hasil analisis menunjukkan bahwa ada sebanyak 6 responden (4,6%) yang menggunakan pakaian tertutup dan menderita malaria, sedangkan di antara responden yang tidak menggunakan pakaian tertutup, ada 102 responden (78,5%) tidak menderita malaria. Penggunaan pakaian tertutup mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria dengan nilai p=0,00. Responden yang tidak menggunakan pakaian tertutup berisiko sebesar 5,67 kali mengalami kejadian malaria daripada responden yang menggunakan pakaian tertutup (Tabel 1.1). Penggunaan kawat kasa pada ventilasi rumah responden dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada sebanyak 16 responden (12,3%) yang menggunakan kawat kasa pada ventilasi dan mengalami kejadian malaria, sedangkan di antara responden yang tidak menggunakan kawat kasa, ada 93 responden (71,5%), tetapi tidak mengalami kejadian malaria. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,002, berarti ada hubungan yang bermakna antara penggunaan kawat kasa pada ventilasi dengan kejadian malaria. Responden yang tidak menggunakan kawat kasa pada ventilasi rumahnya berisiko sebesar 2,85 kali menderita malaria dibandingkan dengan responden yang menggunakan kawat kasa (Tabel 1.1). Tabel 1.1 Hubungan Karakteristik individu, Faktor Lingkungan dan Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Seba, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2012

Umur Variabel Kasus (n=130) Kejadian Malaria Kontrol (n=130) Jml (n=260) N % n % N % Nilai p OR CI 95% < 5 tahun 30 23.1 31 23.8 61 23.5 1,000 0.96 0.540-1.700 5 tahun 100 76.9 99 76.2 199 76.5 Pekerjaan Berisiko 1 0.8 0 0 1 0.4 1,000 Tdk berisiko 129 99.2 130 100 259 99.6 Lama Bermukim <2 tahun 44 33.8 27 20.8 71 27.3 0.026 1.95 1.117-3.411 >2 tahun 86 66.2 103 79.2 189 72.7 Penggunaan Kelambu Tidak 70 53.8 43 33.1 113 43.5 0.001 2.36 1.428-3.901 Ya 60 46.2 87 66.9 147 56.5 Penggunaan Obat Nyamuk Tidak 94 72.3 67 51.5 161 61.9 0.001 2.46 1.466-4.112 Ya 36 27.7 63 48.5 99 38.1 Penggunaan Pakaian Tertutup Tidak 124 95.4 102 78.5 226 86.9 0,000 5.67 2.261-14.233 Ya 6 4.6 28 21.5 34 13.1 Penggunaan Kawat Kasa Tidak 114 87.7 93 71.5 207 79.6 0.002 2.85 1.484-5.415 Ya 16 12.3 37 28.5 53 20.4 b. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang diteliti dalam penelitian ini meliputi tempat perindukan nyamuk dan pemeliharaan ternak. Tempat perindukan nyamuk setelah dianalisis menunjukkan bahwa ada sebanyak 7 responden (5,4%) yang lingkungan rumahnya tidak terdapat tempat perindukan nyamuk dan mengalami kejadian malaria, sedangkan di antara responden yang yang lingkungan rumahnya terdapat tempat perindukan nyamuk, ada 119 responden (91,5%) tidak mengalami kejadian malaria. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,46, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara tempat perindukan nyamuk dengan kejadian malaria (Tabel 1.2). Pemeliharaan ternak pada hasil analisis hubungan menunjukkan bahwa ada sebanyak 28 responden (21,5%) yang memelihara ternak atau yang tidak berisiko dan mengalami kejadian malaria. Sedangkan di antara responden yang berisiko atau tidak memelihara ternak, ada 68 responden (52,3%) tidak mengalami kejadian malaria. Variabel pemeliharaan ternak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria (nilai

p=0.00). Terlihat bahwa responden yang tidak memelihara ternak berisiko sebesar 3,32 kali untuk terinfeksi malaria daripada responden yang memelihara ternak (Tabel 5.2). Tabel 1.2 Analisis Hubungan Lingkungan Dengan Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Seba, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2012 Variabel Tempat Perindukan Nyamuk Kejadian Malaria Kasus Kontrol Jml n % n % n % Nilai p OR CI 95% Ya 123 94.6 119 91.5 242 93.1 0.464 1.62 0.609-5.415 Tidak 7 5.4 11 8.5 18 6.9 Pemeliharaan Ternak Tidak 102 78.5 68 52.3 170 65.4 0.000 3.32 1.933-5.709 Ya 28 21.5 62 47.7 90 34.6 c. Faktor Lingkungan Fisik Rumah Hasil analisis hubungan antara kasus malaria dengan lingkungan fisik rumah menunjukkan bahwa ada sebanyak 33 responden (25,4%) yang lingkungan fisik rumah tidak berisiko dan mengalami kejadian malaria. Sedangkan di antara responden yang lingkungan fisik rumah berisiko, ada 62 responden (47,7%) tetapi tidak mengalami kejadian malaria. Hasil analisis diperoleh nilai p=0.00, yang berarti bahwa ada hubungan yang bermakna antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian malaria. Responden yang mempunyai lingkungan fisik rumah berisiko mempunyai peluang 3.22 kali mengalami kejadian malaria dibandingkan dengan responden yang lingkungan fisik rumah berisiko (Tabel 1.3). Tabel 1.3 Analisis Hubungan Lingkungan Dengan Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Seba, Kecamatan Sabu Barat, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2012 Kejadian Malaria Variabel Kasus Kontrol Jml Nilai p OR CI 95% n % n % N % Lingkungan Fisik Rumah Berisiko 97 74.6 62 47.7 159 61.2 0.000 3.224 1.909-5.444 Tidak berisiko 33 25.4 68 52.3 101 38.8 3. Faktor Paling Dominan Mempengaruhi Kejadian Malaria Faktor yang paling dominan mempengaruhi kejadian malaria ditentukan dengan cara melakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik. Faktor yang dominan berhubungan dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Seba adalah variabel memakai pakaian

tertutup dengan risiko sebesar 8,54 kali, diikuti lingkungan fisik rumah (3,81), penggunaan kelambu (2,99), dan lama bermukim (2,95) serta terakhir adalah pemeliharaan ternak (2,82). Variabel penggunaan obat nyamuk sebagai variabel confounder. Penggunaan pakaian tertutup merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian malaria. Risiko kejadian malaria pada masyarakat berisiko sebesar 72,46 kali dibandingkan masyarakat tidak berisiko. PEMBAHASAN 1. Hubungan Karakteristik individu, Faktor Lingkungan dan Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Malaria a. Karakteristik individu 1) Umur Respon imun terhadap malaria pada anak terbentuk lebih lambat, Hal ini diakibatkan karena pada usia balita sistim imunnya belum sempurna dan banyak variasi antigen parasit malaria sehingga sistim imun akan terpacu secara non spesifik. Sistim imun non spesifik yang terpacu karena banyaknya variasi antigen parasit menghambat pengaktifan respon imun spesifik yang sebenarnya lebih unggul membunuh parasit. Kecepatan atau respon untuk membentuk imunitas tidak seimbang dengan kecepatan infeksi sehingga infeksi dapat terjadi lebih dahulu sebelum imunitas terbentuk dengan sempurna (Harijanto, 2000). Pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara proporsi responden umur <5 tahun yang menderita malaria dan responden umur 5 tahun yang menderita malaria dan tidak ada hubungan bermakna antara umur dengan kejadian malaria. 2) Pekerjaan Pekerjaan diduga berhubungan dengan kejadian malaria, karena pekerjaan seseorang bisa membuat yang bersangkutan lebih berisiko untuk menderita malaria. Orang yang bekerja sebagai nelayan, buruh pelabuhan, penyadap karet dan petani yang menginap di hutan atau lahan berpindah berpeluang lebih banyak untuk kontak dengan nyamuk sebagai vektor malaria (Achmadi,2008). Pada penelitian ini, data tentang pekerjaan tidak menunjukkan hubungan dengan kejadian malaria disebabkan karena sebagian besar pekerjaan responden adalah pekerjaaan yang dianggap tidak berisiko untuk tertular malaria. Faktor lain adalah karena

ada penderita malaria yang berobat bukan ke Puskesmas sehingga tidak terjaring dalam penelitian ini. 3) Lama bermukim Lama bermukim seseorang di daerah endemis malaria berhubungan dengan pembentukan imunitas. Pembentukan imunitas paling lambat dalam waktu dua tahun. Individu yang tidak memiliki kekebalan (tidak pernah tinggal di daerah endemis malaria atau lama bermukim di daerah endemis <2 tahun) lebih rentan terhadap malaria dan komplikasi malaria (Harijanto, 2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara lama bermukim dengan kejadian malaria, responden yang lama bermukim <2 tahun mempunyai peluang 1,95 kali mengalami kejadian malaria daripada responden yang lama bermukim >2 tahun. 4) Penggunaan kelambu Hasil penelitian didapatkan bahwa perilaku penggunaam kelambu berhubungan dengan kejadian malaria. Seseorang yang tidak menggunakan kelambu saat tidur berisiko menderita malaria sebesar 2,36 kali daripada yang menggunakan kelambu. Berdasarkan teori dan hasil penelitian bahwa penggunaan kelambu berinsektisida efektif untuk membunuh nyamuk karena dapat melindungi manusia dari gigitan nyamuk sekaligus mengurangi populasi nyamuk (Harijanto, 2009). 5) Penggunaan obat nyamuk Penggunaan obat nyamuk pada penelitian ini meliputi obat nyamuk bakar, obat nyamuk oles (repellent), obat nyamuk semprot maupun elektrik, didapati bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan obat nyamuk dengan kejadian malaria. Responden yang tidak menggunakan obat nyamuk berisiko terinfeksi malaria 2,46 kali daripada responden yang menggunakan obat nyamuk. Penggunaan repellent dapat melindungi diri dari gigitan nyamuk dan merupakan cara pencegahan yang efektif. 6) Penggunaan pakaian tertutup Perilaku memakai pakaian tertutup pada penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penggunaan pakaian tertutup dengan kejadian malaria dan responden yang tidak menggunakan pakaian tertutup berisiko 5,67 kali mengalami kejadian malaria daripada responden yang menggunakan pakaian tertutup. Pemakaian repellent dan memakai pakaian tertutup berwarna terang dengan bahan dasar katun maupun kaus yang lembut merupakan hal yang penting dan prioritas dalam pengendalian dan pemberantasan malaria di daerah penelitian (Achmadi, 2008). 6) Penggunaan kawat kasa

Penggunaan kawat kasa pada ventilasi rumah dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria dan responden yang tidak menggunakan kawat kasa mempunyai risiko 2,85 kali terinfeksi malaria dibandingkan dengan responden yang menggunakan kawat kasa pada ventilasi. Rumah merupakan tempat berlindung bagi manusia termasuk dari gigitan serangga seperti nyamuk. Segala tempat yang terbuka memungkinkan nyamuk untuk masuk ke dalam rumah harus diproteksi seperti pintu, jendela, ventilasi diupayakan untuk dipasang kawat kasa. Menurut Pribadi (1994) dalam Masra (2002), rumah harus dibuat bebas dari nyamuk dengan memasang kawat kasa pada jendela dan lubang angin sebagai salah satu pencegahan penyakit malaria. b. Faktor lingkungan 1) Tempat perindukan nyamuk Pada penelitian ini didapatkan risiko terjadinya malaria pada responden yang bertempat tinggal <2 km dari tempat perindukan nyamuk adalah sebesar 1,62 kali dibandingkan dengan responden yang bertempat tinggal >2 km dari tempat perindukan nyamuk. Hasil penelitian ini menyatakan tidak terbukti adanya hubungan yang bermakna antara tempat perindukan nyamuk dengan kejadian malaria. Tidak bermaknanya hubungan antara tempat perindukan nyamuk dengan kejadian malaria disebabkan karena dari 260 responden, hampir semuanya (93,1%) tinggal di daerah yang ada tempat perindukan nyamuk atau data homogen. 2) Pemeliharaan ternak Pemahaman tentang bionomik nyamuk penular malaria menjadi penting sebagai landasan untuk memahami pemutusan dinamika penularan. Bionomik nyamuk meliputi perilaku dan waktu bertelur, tempat dan waktu menggigit (Achmadi, 2005). Nyamuk yang memiliki sifat zoofilik lebih menyukai darah ternak besar seperti kerbau, sapi, babi dan kambing sebagai sumber makanan yang baik bagi nyamuk daripada darah ayam, kucing dan anjing. Keberadaan ternak besar seperti kerbau, sapi, babi dan kambing dapat memberikan perlindungan pada mannnnnusia dari gigitan nyamuk Anopheles, bila dikandangkan di sekitar pekarangan rumah (Harijanto, 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemeliharaan ternak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria. Responden yang tidak memelihara ternak berisiko 3,32 kali untuk terinfeksi malaria daripada responden yang memelihara ternak. c. Lingkungan fisik rumah

Lingkungan fisik rumah pada penelitian ini meliputi keadaan dinding, lantai, atap dan plafon rumah responden berisiko untuk ada kontak dengan nyamuk atau tidak. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian malaria. Responden yang mempunyai lingkungan fisik rumah berisiko mempunyai peluang sebesar 3,22 kali mengalami kejadian malaria disbanding responden yang mempunyai lingkungan fisik rumah tidak berisiko. Kualitas rumah (desain, konstruksi dan bahan konstruksi) dan lokasi berada pada daerah perkembangbiakan nyamuk mempengaruhi masuknya nyamuk dan beristirahat serta kontak dengan manusia. Ketidaklengkapan rumah seperti dinding terbuka atau tidak rapat, bagian atap terbuka, pintu dan jendela terbuka dan tidak didukung adanya plafon, sehingga nyamuk dapat masuk ke dalam rumah. Dinding yang tidak diplester dan adanya celah dan retak, membuat atap dari jerami atau dinding berlubang selalu menyediakan tempat yang disenangi nyamuk untuk beristirahat (Susana, 2011). 2. Faktor Dominan Mempengaruhi Kejadian Malaria Faktor yang dominan berhubungan dengan kejadian malaria di Puskesmas Seba menurut besar nilai OR yaitu memakai pakaian tertutup, lingkungan fisik rumah, lama bermukim, dan penggunaan kelambu serta pemeliharaan ternak. Memakai pakaian tertutup adalah variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian malaria. Risiko kejadian malaria pada responden yang tidak memakai pakaian tertutup sebesar 8,54 kali dibandingkan dengan responden yang memakai pakaian tertutup, setelah dikontrol variabel lingkungan fisik rumah, lama bermukim, dan penggunaan kelambu serta pemeliharaan ternak. Risiko kejadian malaria pada masyarakat berisiko adalah 72,46 kali dibandingkan masyarakat yang tidak berisiko. KESIMPULAN Variabel yang berhubungan dengan kejadian malaria adalah lama bermukim, penggunaan kelambu, penggunaan obat nyamuk, penggunaan pakaian tertutup, penggunaan kawat kasa, pemeliharaan ternak dan lingkungan fisik rumah. Sedangkan umur, pekerjaan dan tempat perindukan nyamuk tidak ada hubungan dengan kejadian malaria. Faktor paling dominan berhubungan dengan kejadian malaria adalah memakai pakaian tertutup. Risiko kejadian malaria pada masyarakat berisiko sebesar 72,46 kali dibandingkan masyarakat tidak berisiko. SARAN 1. Masyarakat

a. Tokoh masyarakat dan tokoh agama dapat meningkatkan perannya sebagai penggerak kegiatan pencegahan dan pengendalian malaria di daerahnya melalui membuat aliran air dari sungai atau saluran air menjadi lancar, membesihkan saluran air dari lumut dan rumput, melakukan pengeringan sawah secara berkala, menabur ikan pemakan jentik, seperti ikan mujair, ikan kepala timah dan ikan nila. b. Perlu peningkatan pengetahuan masyarakat tentang perilaku pencegahan dan pemberantasan malaria melalui penyuluhan kesehatan di Posyandu. c. Masyarakat diharapkan melindungi diri terhadap gigitan nyamuk dengan cara selalu menggunakan kelambu saat tidur, memakai obat nyamuk oles dan atau memakai pakaian tertutup yaitu baju atau kaus lengan panjang dan celana panjang atau sarung saat beraktifitas di luar rumah pada malam hari. d. Setiap warga diharapkan berusaha agar lingkungan fisik rumahnya memenuhi syarat kesehatan yaitu lantai diplester dengan semen, tembok diplester semen atau konstruksi dinding dan plafon yang rapat serta memasang kawat atau kasa nyamuk pada semua ventilasi dan jendela rumah. e. Masyarakat yang mempunyai lahan, diharapkan dapat memelihara ternak besar seperti kerbau, sapi, babi atau kambing. 2. Puskesmas Seba. a. Meningkatkan upaya promotif dan preventif dengan lebih gencar melakukan penyuluhan dan promosi kesehatan tentang pencegahan malaria dengan mengendalikan faktor risiko dan pencarian kasus secara aktif dengan melibatkan kader Pos Malaria Desa serta menerapkan pengobatan malaria yang tepat dan efektif sesuai pedoman yang ada. b. Meningkatkan cakupan dignostik malaria dan peningkatan kompetensi petugas laboratorium. c. Bekerja sama lintas sektor dan lintas program dengan LSM, PKK, Karang Taruna dan sekolah dalam promosi pencegahan dan pemberantasan malaria. 3. Dinas Kesehatan Kabupaten Sabu Raijua a. Merancang program pengendalian malaria berbasis wilayah dan masyarakat, yang dikukuhkan dalam pembentukan Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Bupati, misalnya tentang tempat perindukan nyamuk perlu dilakukan larvaciding berkala. b. Menjalin kemitraan dengan stakeholder seperti sektor terkait (Dinas Peternakan, Dinas Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum), pengusaha dan swasta dalam kegiatan pengendalian dan pemberantasan malaria, misalnya dengan pengadaan dan

pemeliharaan tenak, pengeringan sawah secara berkala, menabur ikan pemakan jentik di rawa dan tambak yang terbengkalai serta perbaikan rumah penduduk. c. Peningkatan kualitas monitoring dan evaluasi pelaksanaan program pengendalian dan pemberantasan malaria di Puskesmas serta peningkatan kualitas Puskesmas dalam meningkatkan cakupan dignostik dan pengobatan yang tepat dan efektif. d. Penentuan program prioritas program pengendalian dan pemberantasan malaria yang tepat dalam mencegah dan memberantas malaria mulai dari tingkat desa (Survei Mawas Diri, SKD-KLB malaria, Kader Pos Malaria Desa dan penyuluhan kesehatan 4. Peneliti lain: melakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel yang lebih lengkap dan desain penelitian yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA 1. Achmadi. (2008). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Universitas Indonesia (UI- Press), Jakarta 2. Achmadi. (2011). Dasar Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Rajawali Pers, Jakarta 3. Depkes RI. (2003). Malaria Dan Kemiskinan Di Indonesia. Pusat Data dan Informasi Depkes RI, Jakarta 4. Depkes RI. (2008). Modul Pemberantasan Vektor Malaria. Dirjen P2PL, Jakarta 5. Depkes RI. (2009 a ). Pedoman Penatalaksanaan Malaria Di Indonesia. Dirjen P2PL, Jakarta 6. Depkes RI. (2009 b ). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007. Depkes RI, Jakarta 7. Depkes RI. (2011). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010. Depkes RI, Jakarta 8. FKUI. (2008). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi IV. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 9. Harijanto, P. N. (2000). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. EGC, Jakarta. 10. Harijanto, P. N. (2009). Malaria: Dari Molekul ke Klinis. EGC, Jakarta. 11. Manalu, H. (1997). Penanggulangan Malaria Ditinjau Dari Aspek Sosial Budaya Di Daerah Hiperendemis Timika, Irian Jaya. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia Th. XXV nomor 10 12. Murti, Bhisma. (2003). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 13. Susana, Dewi (2011). Dinamika Penularan Malaria. Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta 14. WHO. (2012). Malaria. www.who.int/mediacentre/factsheets/fs094/en/ index.html. Diakses tanggal 13 Oktober 2012 15. Widoyono. (2005). Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Erlangga, Jakarta