BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufiensi fungsi insulin (Depkes RI., 2005). 2.1.1 Klasifikasi Diabetes Melitus Menurut Dipiro (2008), terdapat 4 klasifikasi diabetes mellitus, yaitu : i. Diabetes melitus tipe 1 Diabetes tipe ini disebabkan oleh kerusakan autoimun dari sel-sel β pankreas. Terjadi kerusakan sebanyak 90% selβ pada saat individu didiagnosis dan sudah termasuk antibodi sel islet, antibodi untuk dekarboksilase asam glutamat dan antibodi terhadap insulin. Meskipun bentuk diabetes tipe ini biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja, tetapi juga dapat terjadi pada semua usia. Individu yang lebih muda biasanya memiliki tingkat yang lebih cepat terhadap kerusakan sel-β dan dengan adanya ketoasidosis, sedangkan orang dewasa dapat mempertahankan sekresi insulin yang cukup untuk mencegah ketoasidosis selama bertahun-tahun (Dipiro, 2008). ii. Diabetes melitus tipe 2 Bentuk diabetes tipe ini ditandai dengan resistensi insulin dan relatif kurangnya sekresi insulin, sebab sekresi insulin yang semakin rendah dari waktu ke waktu. Kebanyakan individu dengan diabetes tipe 2 menderita obesitas pada perut, yang dengan sendirinya menyebabkan resistensi insulin. Tambahan lagi, 7
hipertensi, dislipidemia sering diderita setiap individu. Kelainan inilah yang disebut sebagai resistensi sindrom insulin atau sindrom metabolik. Karena kelainan ini, pasien dengan diabetes tipe 2 berada pada risiko mengembangkan komplikasi makrovaskuler (Dipiro, 2008). iii. Diabetes Melitus Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus/GDM) GDM didefinisikan sebagai intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan. Diabetes melitus gestasional mempersulit sekitar 7% dari semua kehamilan. Deteksi klinis penting, sebagai terapi mengurangi morbiditas dan mortalitas perinatal (Dipiro, 2008). iv. Diabetes tipe spesifik Tipe spesifik diabetes disebabkan penyakit lain seperti seperti sindrom monogenic diabetes (seperti neonatal diabetes dan maturity-onset diabetes of the young {MODY}), penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis sistik), dan obat atau bahan kimia yang menginduksi diabetes (seperti pada pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ) (Dipiro, 2008). 2.2Penatalaksanaan Diabetes Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu (Depkes RI., 2005): 1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal 2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. 8
Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa obat (terapi non farmakologi) dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat (terapi farmakologi) sebagai berikut : 2.2.1 Terapi non farmakologi Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat (60-70%), protein (10-15%) dan lemak (20-25%), sesuai dengan kecukupan gizi baik (Depkes RI., 2005). Berolah raga secara teratur juga dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220 - umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya, paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes RI., 2005). 9
2.2.2 Terapi farmakologi Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga) belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi farmakologi, baik dalam bentuk obat antidiabetik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya (Depkes RI., 2005). a. Insulin Insulin merupakan protein kecil yang mengandung 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai (A dan B) yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Insulin dilepaskan dari sel β pankreas dengan laju basal yang rendah dan dengan laju yang jauh lebih tinggi bila terstimulasi sebagai respon terhadap berbagai rangsangan, terutama glukosa. Insulin meningkatkan simpanan lemak dan glukosa di dalam sel target khusus dan mempengaruhi pertumbuhan sel dan fungsi metabolik berbagai jaringan (Prativi, 2015). b. Obat antidiabetik-oral Ada 5 golongan obat antidiabetika oral (ADO) yang dapat digunakan untuk DM dan telah dipasarkan di Indonesia yakni golongan : sulfonilurea, meglitinid, biguanida, penghambat α-glikosidase, dan tiazolidinedion. Kelima golongan ini dapat diberikan pada DM tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja (Suharti, 2011). i. Sulfonilurea Dikenal 2 generasi sulfonilurea, generasi 1 terdiri dari tolbutamid, tolazamid, asetoheksimid dan klorpropamid. Generasi II yang potensi hipoglikemik lebih besar antara lain : (Glibenklamid), glipizid, gliklazid, dan 10
glimepirid (Suharti, 2011). Sulfonilurea diindikasikan pada pasien (terutama pasien yang mendekati berat badan idealnya) yang dietnya gagal mengendalikan hiperglikemianya. Tetapi pada sekitar 30% control tidak dapat dicapai dengan obat ini (Neal, 2006). Obat ini menstimulasi pelepasan insulin dari pulau-pulau pankreas sehingga pasien harus mempunyai selβ yang berfungsi parsial agar obat ini berguna. Glipizid dan Glikazid mempunyai waktu paruh yang relatif singkat dan biasanya diberikan pertama kali. Glibenklamid mempunyai durasi kerja yang lebih panjang dan dapat diberikan sekali sehari. Akan tetapi, terdapat lebih banyak kemungkinan hipoglikemia dan glibenklamid sebaiknya dihindari pada pasien dengan risiko hipoglikemia (misalnya pada orang lanjut usia). Pasien-pasien lanjut usia mungkin lebih aman diberi tolbutamid yang mempunyai durasi kerja paling singkat (Neal, 2006). Mekanisme kerja golongan obat ini sering disebut sebagai insulin secretagogues, kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul sel sel β Langerhans pankreas. Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada membran sel sel β yang menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca ++ akan masuk sel-β, merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekivalen dengan peptida-c, kecuali itu sulfonilurea dapat mengurangi klirens insulin di hepar (Suharti, 2011). ii. Meglitinid Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinid, mekanisme kerjanya sama dengan sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat berbeda. 11
Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATPindependent di sel β pankreas (Suharti, 2011). Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karenanya harus diberikan beberapa kali sehari, sebelum makan. Metabolisme utamanya di hepar dan metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10% dimetabolisme di ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus diberikan secara hati-hati. Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna. Reaksi alergi juga pernah dilaporkan (Suharti, 2011). iii. Biguanid Metformin merupakan contoh obat golongan dari golongan ini. Zat ini adalah derivat-dimetil dari kelompok biguanida yang berkhasiat memperbaiki sensitivitas-insulin, terutama menghambat pembentukan glukosa dalam hati serta menurunkan kolesterol-ldl dan trigliserida. Lagipula berdaya menekan nafsu makan dan berbeda dengan sulfonilurea tidak meningkatkan berat badan. Oleh karenanya terutama digunakan pada pasien yang sangat gemuk (Tjay dan Rahardja, 2013). Dengan daya kerja supresi produksi dan penyerapan glukosa, fluktuasi gula-darah menjadi lebih kecil dan nilai rata-ratanya menurun. Zat ini khusus digunakan pada diabetes tipe 2 bila diet tunggal tidak mencukupi (Tjay dan Rahardja, 2013). iv. Tiazolidinedion Senyawa golongan tiazolidinedion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator 12
activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Senyawa-senyawa tiazolindinedion juga menurunkan kecepatan glikogenesis (Depkes RI., 2005). v. Inhibitor enzim α-glikosidase Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes. Senyawa inhibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus. Obat ini merupakan obat oral yang biasanya diberikan dengan dosis 150-600 mg/hari. Obat ini efektif bagi 46 penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl (Depkes RI., 2005). Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Obat-obat inhibitor α- glukosidase dapat diberikan sebagai obat tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan obat hipoglikemik lainnya. Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari. Dianjurkan untuk memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan (Depkes RI., 2005). 13
2.3 Algoritma Penatalaksanaan DM Tipe 2 American Diabetes Association (2015) telah mengeluarkan algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 dengan tahapan sebagai berikut: a. Tahap 1 Kebanyakan pasien harus memulai dengan perubahan gaya hidup (konseling gaya hidup, edukasi penurunan berat badan, olahraga, dll.). Apabila perubahan gaya hidup saja tidak cukup untuk mempertahankan tujuan glikemik, monoterapi metformin harus ditambahkan apabila tidak intoleransi dan dikontraindikasikan. Metformin adalah agen farmakologis awal yang lebih disukai untuk DM tipe 2. b. Tahap 2 Apabila target HbA1C tidak tercapai dalam 3 bulan dengan monoterapi, metformin dapat digunakan kombinasi dengan salah satu dari agen berikut: Sulfonilurea, Thiazolidindion, inhibitor DPP-4, agonis reseptor GLP-1, penghambat SGLT-2, atau insulin basal (Gambar 2.1). Pilihan obat didasarkan pada variasi pasien, penyakit, karakteristik obat, dengan sasaran menurunkan KGD dan meminimalisir efek samping, terutama hipoglikemia. Obat golongan lain tidak ditampilkan pada Gambar 2.1 misalnya α-glukosidase inhibitor, kolesevelam, bromokriptin, pramlintide karena biasa digunakan pada keadaan spesifik, tetapi tidak diutamakan disebabkan efikasinya sederhana, frekuensi pemberian, dan/atau efek sampingnya. Mulai terapi dengan kombinasi saat HbA1C 9%. 14
c. Tahap 3 DM tipe 2 merupakan penyakit degeneratif yang semakin lama akan semakin parah dikarenakan progres alaminya sehingga terapi insulin akhirnya banyak diindikasikan untuk pasien ini. Pertimbangan terapi kombinasi dengan insulin dimulai saat KGD 300-350mg/dL (16,7-19,4 mmol/l) dan/atau HbA1C 10-12%. Insulin basal sendiri adalah regimen insulin awal yang cocok. Insulin basal biasanya diresepkan dengan metformin dan kemungkinan dengan satu tambahan agen noninsulin. Apabila insulin basal yang telah dititrasi untuk KGD puasa dapat diterima, tetapi kadar HbA1C masih diatas target, kombinasi terapi injeksi dapat dipertimbangkan untuk dimulai guna menangani fluktuasi glukosa postprandial. Pilihan menambahkan agonis reseptor GLP1-1 atau insulin saat makan, yang terdiri dari satu sampai tiga injeksi analog insulin kerja ultra pendek (lispro, aspart, glulisine) dapat diberikan saat sebelum makan. Atau juga dapat menggunakan insulin campuran (formulasi NPH-regular premixed 70/30, 70/30 asprat mix). Alternatif terapi basal-bolus dengan multipel injeksi harian (insulinpump) jarang digunakan dan relatif lebih mahal. Pemilihan agen farmakologis didasarkan pada individu dan pertimbangan seperti efikasi, biaya, efek samping yang potensial, resiko hipoglikemia, dan preferensi pasien. 15
Gambar 2.1 Terapi antihiperglikemik pada pasien DM tipe 2: rekomendasi umum. Keterangan: DPP-4-i, inhibitor DPP-4; fx, fraktur; GI, gastrointestinal; GLP-1RA, reseptor agonis GLP-1; GU, genitourinari; HF, heart failure (gagal jantung); Hipo, hipoglikemia; SGLT2-i, inhibitor SGLT 2; SU, sulfonilurea; TZD, thiazolidindion. * Pertimbangkan memulai tahap ini saat A1C 9%. ** Pertimbangkan mulai tahap ini saat KGD 300-350 mg/dl (16,7-19,4 mmol/l) dan/atau A1C 10-12%, terutama apabila tanda atau ciri katabolik muncul (penurunan berat badan, ketosis), dalam hal ini insulin basal + insulin waktu makan lebih disukai sebagai regimen awal (ADA., 2015). 2.4 Terapi Kombinasi Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa ADO atau ADO dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan 16
sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri (Depkes RI., 2005). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan obat antidiabetes oral (Depkes RI., 2005) : 1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap. 2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obatobat tersebut. 3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat. 4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan untuk beralih pada insulin. 5. Hipoglikemia harus dihindari terutama pada penderita lanjut usia, oleh sebab itu sebaiknya obat hipoglikemik oral yang bekerja jangka panjang tidak diberikan pada penderita lanjut usia. 6. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh penderita. (Depkes RI, 2005). 2.5 Interaksi Obat Interaksi obat-obat didefinisikan sebagai respon farmakologis atau klinis terhadap kombinasi obat berbeda ketika obat-obat tersebut diberikan tunggal 17
(Tatro, 2009). Interaksi obat terjadi ketika salah satu obat mengubah efek farmakologi obat lain. Efek yang terjadi akibat interaksi obat dapat berupa peningkatan ataupun penurunan efek farmakologi, atau timbul efek samping yang baru dan tak terduga dapat terjadi. (Britannica, 2015). Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lain. Terutama orang lanjut usia, orang yang menerima beberapa obat, dan pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan/atau hati merupakan merupakan orang yang rentan terhadap interaksi obat (Fradgley, 2003). 2.6 Mekanisme interaksi obat Interaksi obat terdiri dari obat objek dan obat presipitan. Obat objek merupakan obat yang dipengaruhi, dan obat presipitan merupakan obat yang mempengaruhi. Secara umum mekanisme interaksi obat terbagi menjadi dua yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik. a. Interaksi farmakokinetik Interaksi farmakokinetik yaitu interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi obat lain. Dengan demikian interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek farmakologinya. Tidak mudah untuk memperkirakan interaksi jenis ini dan banyak diantaranya hanya mempengaruhi pada sebagian kecil pasien yang mendapat kombinasi obat-obat tersebut. Interaksi farmakokinetik yang terjadi pada satu obat belum tentu akan terjadi pula dengan obat lain yang sejenis, kecuali jika memiliki sifatsifat farmakokinetik yang sama (BPOM., 2015). 18
Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe : i. Interaksi pada absorbsi obat 1. Efek perubahan ph gastrointestinal Obat melewati membran mukosa dengan cara difusi pasif sederhana tergantung pada sejauh mana obat berada dalam bentuk non-terionisasi yang larut-lemak. Absorpsi obat dipengaruhi oleh pka obat, kelarutan obat dalam lemak, ph isi usus dan berbagai parameter lainnya yang berhubungan dengan formulasi obat. Sehingga penyerapan asam salisilat di lambung jauh lebih besar pada ph rendah daripada pada ph tinggi (Tatro, 2009) 2. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis teraupetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dengan kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap sehingga mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008). 3. Perubahan motilitas gastrointestinal Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Misalnya metoklopramid mempercepat pengosongan lambung sehingga meningkatkan penyerapan parasetamol (asetaminofen) (Stockley, 2008). 19
4. Malabsorbsi dikarenakan obat Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008). ii. Interaksi pada distribusi obat 1. Interaksi ikatan protein setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul - molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008). 2. Induksi dan inhibisi protein transport obat Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping Central Nervous System (CNS) (Stockley, 2008). iii. Interaksi pada metabolisme obat 1. Perubahan pada metabolisme fase pertama Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi yang lebih 20
mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma selsel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008). 2. Induksi Enzim Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008). 3. Inhibisi enzim Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat 21
kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008). 4. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi Parasetamol dimetabolisme oleh CYP2E1, metronidazole menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa metronidazole meningkatkan efek parasetamol (Medscape, 2015). iv. Interaksi pada ekskresi obat 1. Perubahan ph urin Pada nilai ph tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pka 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus maka akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pka 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan ph yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008). 2. Perubahan ekskresi aktif tubular renal Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama ditubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya (Stockley, 2008). 3. Perubahan aliran darah renal Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008). 22
b. Interaksi farmakodinamik Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik tanpa ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Salah satu contoh dari perubahan ini adalah peningkatan toksisitas digoksin akibat penggunaan diuretik tiazid. Interaksi farmakologis, yaitu, penggunaan bersamaan dari dua atau lebih obat dengan tindakan farmakologis yang sama atau menentang (misalnya, penggunaan alkohol dengan obat antiansietas dan hipnotik atau antihistamin), adalah bentuk interaksi farmakodinamik (Tatro, 2009). i. Interaksi aditif atau sinergis Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah sedang dengan dosis teraupetik normal sejumlah besar obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan.kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas dan depresi sumsum tulang (Stockley, 2008). ii. Antagonisme Interaksi terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan sehingga mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat (Stockley, 2008). 23
2.7 Tingkat keparahan interaksi obat Potensi keparahan interaksi sangat penting dalam menilai risiko dan manfaat terapi alternatif. Dengan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi jadwal penggunaan obat, efek negatif dari kebanyakan interaksi dapat dihindari. Tiga derajat keparahan didefinisikan sebagai: i. Keparahan minor Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek biasanya ringan; konsekuensi mungkin mengganggu atau tidak terlalu mencolok tapi tidak signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan. Interaksi dengan tingkat keparahan minor ini risikonya minimal, untuk itu perlu diambil tindakan yang dibutuhkan untuk mengurangi risiko (Tatro, 2009). ii. Keparahan moderate Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika efek yang terjadi dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan, perpanjangan pengobatan dan rawat inap mungkin diperlukan perawatan di rumah sakit. Interaksi dengan tingkat keparahan moderate biasanya kombinasi obat dihindari, sebaiknya penggunaan kombinasi tersebut hanya pada keadaan khusus (Tatro, 2009). iii. Keparahan major Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi, berpotensi mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen. Interaksi dengan tingkat keparahan major sebaiknya dihindari karena lebih besar risikonya dibandingkan keuntungannya (Tatro, 2009). 24
Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi (Fradgley, 2003): a. Menghindari kombinasi obat yang berinteraksi Jika risiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada manfaatnya maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik. b. Penyesuaian dosis obat Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuaian dosis diperlukan pada saat mulai atau menghentikan penggunaan obat yang berinteraksi. c. Pemantauan pasien Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka diperlukan pemantauan pasien. Keputusan untuk memantau atau tidak tergantung pada berbagai faktor, seperti karakteristik pasien, penyakit lain yang diderita pasien, waktu mulai menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan waktu timbulnya reaksi interaksi obat. d. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal, pengobatan pasien dapat diteruskan. Profesional perawatan kesehatan perlu menyadari sumber interaksi obat yang mengidentifikasi kedekatan dan tingkat keparahan interaksi, dan mampu menggambarkan hasil potensi interaksi dan menyarankan intervensi yang tepat. 25
Hal ini juga tugas pada profesional kesehatan untuk dapat menerapkan literatur yang tersedia untuk setiap situasi. Profesional kesehatan harus mampu untuk merekomendasi secara individu berdasarkan parameter-pasien tertentu. Meskipun beberapa pihak berwenang menyarankan efek samping yang dihasilkan dari interaksi obat mungkin kurang sering daripada yang dipercaya, profesional perawatan kesehatan harus melindungi pasien terhadap efek berbahaya dari obatobatan, terutama ketika interaksi tersebut dapat diantisipasi dan dicegah (Tatro, 2009). 26