BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Kebijaksanaan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan strategi baru dalam pelaksanaan pemerintahan di Indonesia yang menjadikan pemberdayaan sebagai misi utama pemerintahan dan mendudukkan tugas pemerintahan itu di atas landasan pelayanan serta semakin mendekatkan pemerintah kepada masyarakat. Perubahan undang-undang tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut tidak terlepas dari upaya rakyat untuk mengembalikan fungsi organisasi publik (pemerintahan) yang selama ini berdiri diposisikan untuk melayani kekuasaan daripada costumernya yakni rakyat. 1 Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut merupakan titik awal berjalannya otonomi daerah, dalam hal ini merupakan salah satu bentuk reformasi pemerintahan daerah dan reformasi pengelolaan keuangan daerah di Indonesia. Pemberlakuan undang-undang otonomi daerah itu berimplikasi pada penyelenggaraan pemerintahan yang juga mendorong peningkatan partisipasi, 1 Riantnugroho Dwijowijoto, Reinventing Indonesia: Menata Ulang Manajemen Pemerintahan untuk Membangun Indonesia Baru dengan keunggulan Global. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2001, hlm.54
prakarsa, dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan atau keadilan di seluruh daerah. Mengamati perjalanan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dan yang terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dalam implementasi undang-undang tersebut ternyata masih diliputi berbagai masalah atau kendala-kendala dalam implementasinya yang secara umum berkaitan dengan masalah manajemen, hukum, sosial maupun berbagai kendala lainnya, baik yang bersumber dari pengelola (pemerintah) maupun masyarakat. Penerapan otonomi daerah di Indonesia sebagai salah satu wujud atau bentuk reformasi dalam bidang pemerintahan tidak terlepas dari desakan untuk melakukan perubahan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan yang selama ini bersifat sentralistis. Keadaan pemerintahan yang sentralistis tersebut telah berdampak negatif terhadap akselerasi pertumbuhan daerah-daerah khususnya pada daerah kabupaten dan kota. Keberagaman kondisi daerah yang memiliki karakteristik ekonomi, sosial dan budaya yang berbeda-beda, maka hal itu juga yang menyebabkan perlunya dilakukan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota adalah dianggap wajar paling tidak karena dua alasan yaitu: 2 hlm. 4 2 Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi, Yogyakarta, 2002,
1. Intervensi pemerintah pusat terlalu besar di masa lalu yang telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintahan daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah. Besarnya peranan pemerintah pusat pada masa itu menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. 2. Tuntutan pemberian otonomi daerah juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia dimasa yang akan datang. Pada era seperti itu dimana globalisasi sudah semakin meluas, maka pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip antara lain yaitu: 3 1. Memperhatikan aspek pendewasaan demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah 2. Didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab yang diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota sedang provinsi sangat terbatas. 3. Harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dengan daerah. 4. Harus meningkatkan kemandirian daerah otonom. 3 Afan Gaffar Syaukani dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar dan PUSKAP, Yogyakarta, 2003, hlm.8
Salah satu perangkat daerah yang ada pada setiap daerah kabupaten dan daerah kota adalah kecamatan. Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota. Institusi kecamatan dalam kedudukannya sebagai perangkat daerah merupakan ujung tombak pemerintah daerah yang membawahi kelurahan dan desa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Sejak di keluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka penyelenggaraan otonomi daerah yang sesuai dengan undang-undang tersebut dalam subtansinya juga mengalami perubahan, namun pada esensinya tetap menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah di berikan kewenangan mengurus dan mengatur semua unsur pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahtraan rakyat sejalan dengan prinsip tersebut di laksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Implementasi kebijakan otonomi daerah tersebut mendorong terjadinya perubahan secara struktural, fungsional dan kultural dalam keseluruhan tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah, salah satu perubahan yang sangat esensial adalah yang berkenan dengan kedudukan, kewenangan, tugas, dan fungsi Camat. Perubahan paradigmatik penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, mengakibatkan pola distribusi kewenangan Camat menjadi sangat tergantung pada pendelegasian sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota
untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah dan penyelenggaraan pemerintahan umum, yang mempunyai implikasi langsung terhadap optimalisasi peran dan kinerja camat dalam upaya pemenuhan pelayanan kepada masyarakat. Kecamatan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tidak lagi merupakan satuan wilayah kekuasaan pemerintahan, melainkan sebagai satuan wilayah kerja atau pelayanan, status kecamatan kini merupakan perangkat daerah Kabupaten/Walikota yang setara dengan sekretariat daerah, sekretariat DPRD, inspektorat, dinas dan badan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 209 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yakni, Perangkat daerah Kabupaten/Walikota terdiri atas sekcretariat daerah, sekertariat DPRD, Inspektorat, Dinas, Badan, dan Kecamatan. Camat tidak lagi berkedudukan sebagai kepala wilayah kecamatan dan sebagai alat pemerintah pusat dalam menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi, namun telah beralih menjadi perangkat daerah yang memiliki sebagian kewenangan otonomi daerah dan penyelenggaraan pemerintahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Pada pasal 225 ayat 1 Undang-Undang 23 Tahun 2014 tertuang beberapa tugas pokok dan fungsi camat, Kemudian secara rinci di jelaskan dalam Pertauran Pemerintahan Nomor 19 Tahun 2008 Tugas Camat dalam Penyelenggaraan pemerintahan. Kecamatan Medan Johor Kota Medan merupakan wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah yang dipimpin oleh Camat yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Camat mempunyai tugas melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan
oleh Walikota Medan yang dituangkan dalam Peraturan Walikota Medan Nomor 56 Tahun 2010 untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah dan melaksanakan tugas pokok. Tugas Camat menyelenggarakan fungsinya yaitu mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat seperti mendorong partisipasi masyarakat, pembinaan dan pengawasan, melakukan evaluasi, tugas-tugas lain di bidang pemberdayaan, melaporkan pelaksanaan serta kewenangan atribut yang melekat pada jabatan Camat. Kecamatan Medan Johor Kota Medan menjadi salah satu penyelenggara pemerintahan yang memberikan pelayanan langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat. Sebagai salah satu sub-sistem pemerintahan di Indonesia, Kecamatan Medan Johor Kota Medan yang memiliki visi Terwujudnya Aparatur Pemerintahan Yang Kredibilitas dan Profesional dalam Pelayanan Prima Bagi Masyarakat Kecamatan Medan Johor mempunyai kedudukan cukup strategis dan memainkan peran fungsional dalam pelayanan administrasi pemerintahan pembangunan serta kemasyarakatan. Mengingat luasnya cakupan peran, tugas pokok dan fungsi camat dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka penulis melakukan penelitian tentang "Tugas Dan Fungsi Camat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (Studi Kecamatan Medan Johor)". B. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan Kecamatan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan di Kecamatan Medan Johor? 2. Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi camat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kecamatan Medan Johor? 3. Hambatan apa yang mempengaruhi pelaksanaan tugas dan fungsi camat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kecamatan Medan Johor? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaturan Kecamatan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan di Kecamatan Medan Johor. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan tugas dan fungsi camat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kecamatan Medan Johor. 3. Untuk mengetahui hambatan yang mempengaruhi pelaksanaan tugas dan fungsi camat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kecamatan Medan Johor. Adapun manfaat penulisan dalam skripsi ini adalah: 1. Secara teoritis untuk menambah dan memperluas wawasan ilmu pengetahuan dan memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum khususnya tentang tugas dan fungsi camat dalam penyelenggaraan pemerintahan. 2. Secara praktis memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa saja yang menjadi tugas, fungsi, wewenang Camat dalam penyelenggaraan
pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 di Kecamatan Medan Johor. D. Keaslian Penulisan. Berdasarkan informasi yang diketahui dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum, penulisan skripsi terkait dengan Tugas Dan Fungsi Camat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (Studi Kecamatan Medan Johor) belum pernah ditulis sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya yang asli dan bukan merupakan hasil jiplakan dari skripsi orang lain. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil pemikiran sendiri, refrensi dari buku-buku, undang-undang, makalah-makalah, serta media elektronik yaitu internet dan juga mendapat bantuan dari berbagai pihak. Berdasarkan asas-asas keilmuan yang rasional, jujur, dan terbuka, maka penelitian dan penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. E. Tinjauan Kepustakaan. Kecamatan adalah salah satu perangkat pemerintah yang memberikan pelayanan langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat. Sebagai subsistem pemerintah di Indonesia, kecamatan mempunyai kedudukan cukup strategis dan memainkan peran fungsional dalam pelayanan dan administrasi pemerintahan, pembangunan serta kemasyarakatan.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa Kecamatan adalah perangkat daerah Kabupaten/kota, 4 sebagaimana dijelaskan pada ayat (2) huruf f, sebagai berikut : Perangkat Daerah kabupaten/kota terdiri atas: 1. Sekretariat daerah 2. Sekretariat DPRD 3. Inspektorat. 4. Dinas 5. Badan 6. Kecamatan. Menurut Nordholt, kajian tentang kecamatan berarti mencakup tiga lingkungan kerja yaitu: 5 1. Kecamatan dalam arti kantor camat 2. Kecamatan dalam arti wilayah, dalam arti seorang camat sebagai kepalanya. 3. Camat sebagai Bapak pengetua wilayahnya. Kedudukan Kecamatan dijelaskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai berikut : 6 (1) Daerah kabupaten/kota membentuk Kecamatan dalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat Desa/kelurahan. (2) Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan Perda Kabupaten/Kota berpedoman pada peraturan pemerintah. 4 Pasal 209 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 5 RA. Kinseng, Kelembagaan dan Tata Pemerintahan Kecamatan. Project Working Paper, Bogor, 2008, hlm. 24. 6 Pasal 221 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(3) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan Kecamatan yang telah mendapatkan persetujuan bersama bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota, sebelum ditetapkan oleh bupati/ wali kota disampaikan kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapat persetujuan. Kecamatan dibentuk dalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemrintahan artinya dengan adanya Kecamatan, Camat sebagai pimpinan tertinggi di Kecamatan harus dapat mengkoorkinasikan semua urusan pemerintahan di Kecamatan, kemudian juga Camat harus memberikan pelayanan publik di Kecamatan dan juga pemberdayaan masyarakat Desa/Kelurahan. Kecamatan dibentuk cukup dengan Peraturan Daerah, dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Namun Rancangan Perda tentang pembentukan Kecamatan tersebut sebelumnya harus mendapat persetujuan bersama antara Bupati/Walikota disampaikan kepad Menteri melelui Gubernur untuk mendapat persetujuan. Perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kemudian dilanjutkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan di perbaharui lagi pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Perubahan mencakup mengenai kedudukan kecamatan menjadi perangkat daerah kabupaten/kota, dan camat menjadi pelaksana sebagian urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Bupati/Walikota. Di dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 dinyatakan bahwa, Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah,
sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan. 7 Pasal tersebut menunjukkan adanya dua perubahan penting yaitu: 1. Kecamatan bukan lagi wilayah administrasi pemerintahan dan dipersepsikan merupakan wilayah kekuasaan camat. Dengan paradigma baru, kecamatan merupakan suatu wilayah kerja atau areal tempat camat bekerja. 2. Camat adalah perangkat daerah kabupaten dan daerah kota dan bukan lagi kepala wilayah administrasi pemerintahan, dengan demikian camat bukan lagi penguasa tunggal yang berfungsi sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, akan tetapi merupakan pelaksana sebagian wewenang yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota. Perubahan kedudukan kecamatan dan kedudukan camat, membawa dampak pada kewenangan yang harus dijalankan oleh camat. Namun demikian ada karakter yang berbeda antara status perangkat daerah yang ada pada kecamatan dengan instansi/lembaga teknis daerah. Bila ditelaah lebih lanjut, kewenangan camat justru lebih bersifat umum dan menyangkut berbagai aspek dalam pemerintahan dan pembangunan serta kemasyarakatan. Hal ini berbeda dengan instansi dengan lembaga dinas daerah ataupun lembaga teknis daerah yang bersifat spesifik. Sebagai perangkat daerah, camat memiliki kewenangan delegatif seperti yang dinyatakan dalam Pasal 226 ayat (1) bahwa: Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 225 ayat (1), camat dapat melimpahkan sebagian kewengan Bupati/Walikota untuk melaksanakan sebagian urusan Daerah 7 Pasal 209 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota. Ini berarti bahwa kewenangan yang dijalankan oleh Camat merupakan kewenangan yang dilimpahkan oleh Bupati/ Walikota. Dengan demikian luas atau terbatasnya pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota sangat tergantung pada keinginan politis dari Bupati/Walikota. Tabel 1 Perbandingan Kewenangan Camat sebagai Kepala Wilayah dan Camat sebagai Perangkat Daerah Camat sebagai kepala wilayah Kecamatan merupakan wilayah administrasi pemerintahan. Camat menerima pelimpahan sebagian wewenang Bupati/ Walikota dalam bidang desentralisasi Kewenangan yang dijalankan camat hanya bersifat delegasi dari Bupati/ Walikota. Kecamatan dibentuk dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi. Data di olah tahun 2016 Camat sebagai perangkat daerah Kecamatan merupakan wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota. Camat menerima pelimpahan sebagian wewenang Bupati/ Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah (kewenangan delegatif) Camat juga melaksanakan tugas umum pemerintahan sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014. (kewenangan atributif). Kecamatan dibentuk sebagai pelaksana asas desentralisasi. Tugas umum pemerintahan yang dimaksud dalam Pasal 225 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 berbeda maknanya dengan urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Menurut Pasal 1 huruf (j) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang dimaksud dengan urusan pemerintahan umum adalah: urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan ketertiban, politik, koordinasi, pengawasan dan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas
sesuatu Instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga Daerah. Urusan pemerintahan umum ini diselenggarakan oleh setiap kepala wilayah pada setiap tingkatan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam rangka melaksanakan asas dekonsentrasi. Tugas umum pemerintahan yang diselenggarakan oleh Camat tidak dimaksudkan sebagai pengganti urusan pemerintahan umum, karena Camat bukan lagi sebagai kepala wilayah. Selain itu, intinya juga berbeda. Tugas umum pemerintahan sebagai kewenangan atributif mencakup tiga jenis kewenangan yakni kewenangan melakukan koordinasi yang meliputi lima bidang kegiatan, kewenangan melakukan pembinaan serta kewenangan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Kewenangan koordinasi dan pembinaan merupakan bentuk pelayanan secara tidak langsung (indirect services), karena yang dilayani adalah entitas pemerintahan lainnya sebagai pengguna (users), meskipun pengguna akhirnya (end users) tetap masyarakat. Sedangkan kewenangan pemberian pelayanan kepada masyarakat, pengguna (users) maupun pengguna akhirnya (end users) sama yakni masyarakat. Jenis pelayanan ini dapat dikategorikan sebagai pelayanan secara langsung (direct services). Diberikannya kewenangan atributif bersama-sama kewenangan delegatif kepada Camat menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebenarnya merupakan koreksi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Pada masa Undang-Undang tersebut, Camat hanya memiliki kewenangan delegatif dari Bupati/Walikota tanpa disertai kewenangan atributif. Dalam prakteknya selama Undang-Undang tersebut berlaku, masih banyak Bupati/Walikota yang tidak
mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada Camat, entah karena tidak tahu ataupun karena tidak mau tahu. Akibatnya banyak Camat yang tidak mengetahui secara tepat mengenai apa yang menjadi kewenangannya. Mereka umumnya hanya menjalankan kewenangan tradisional yang sudah dijalankan secara turuntemurun, padahal peraturan perundang-undangannya sudah berubah. Posisi camat menjadi serba tidak menentu. F. Metode Penelitian. Sehubungan yang telah dikemukakan diatas sebelumnya, untuk melengkapi penulisan skripsi ini agara tujuan dapat terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, oleh karena itu adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skrispsi ini meliputi : 1. Jenis Penelitian. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, artinya permasalahan yang ada diteliti berdasarkan peraturan perundangundangan yang ada dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan. 8 Penelitian hukum normatif ini mencakup : 9 a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. b. Penelitian terhadap sistematika hukum. c. Penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum. d. Penelitian sejarah hukum. e. Penelitian perbandingan hukum. 8 Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Ind-Hillco, Jakarta, 2001, hlm. 13 9 Ibid., hlm.15
Penelitian hukum normatif sendiri mengacu pada berbagai data sekunder, 10 yaitu inventarisasi berbagai peraturan hukum, jurnal-jurnal dan karya tulis lainnya, serta artikel-artikel berita terkait. Sedangkan penelitian deskriptif adalah penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran yang akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan sebuah proses atau hubungan, menggunakan informasi dasar dari suatu hubungan teknik dengan definisi tentang penelitian ini dan berusaha menggambarkan secara lengkap 11 yaitu tentang tugas dan fungsi camat dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 di Kecamatan Medan Johor. 2. Sumber data Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan antara lain : a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan 10 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 14. 11 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2003, hlm.16.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. d. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Urusan Pemerintahan Kota Medan. e. Peraturan Walikota Medan Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Camat Untuk Penandatanganan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Lingkungan Pada Kelurahan Se-Kota Meda Bahan hukum sekunder adalah data yang telah diolah sebelumnya yang diperoleh dari dokumentasi maupun studi pustaka. Adapun data sekunder diperoleh melalui : a. Dokumentasi yang dapat diasumsikan sebagai sumber data tertulis yang terbagi dalam dua ketegori yaitu sumber resmi dan sumber tidak resmi. Sumber resmi merupakan dokumen yang dibuat/dikeluarkan oleh lembaga/perorangan atas nama lembaga. Sumber tidak resmi adalah dokumen yang dibuat/dikeluarkan oleh individu tidak atas nama lembaga. Dokumen yang akan dijadikan sebagai sumber referensi dapat berupa hasil rapat, laporan pertanggungjawaban, surat, dan catatan harian. b. Studi pustaka merupakan langkah yang sangat penting dalam metode ilmiah untuk mencari sumber data sekunder yang akan mendukung penelitian dan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu yang berhubungan dengan penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat kesimpulan dan degeneralisasi yang pernah dibuat. Cara yang dilakukan dengan mencari data-data pendukung (data sekunder) pada berbagai literatur baik berupa buku-buku,
dokumen-dokumen, makalah-makalah hasil penelitian serta bahan-bahan referensi lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia. 3. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yaitu dengan menginventarisir peraturan Perundang-undangan untuk dipelajari sebagai suatu kesatuan yang utuh dan dengan studi kepustakaan, internet browsing, telah artikel ilmiah, telaah karya ilmiah sarjana dan studi dokumen, termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar. Metode pengumpulan data menggunakan : a. Studi Kepustakaan yaitu teknik mengumpulkan data dengan jalan membaca dan mempelajari buku-buku kepustakaan yang berkaitan dengan materi penelitian, kemudian menyusun sebagai sajian data. Metode dokumentasi adalah salah satu cara pengumpulan data yang digunakan penulis dengan cara menelaah dokumen-dokumen pemerintah maupun non pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini. Instrument yang digunakan berupa form dokumentasi, form kepustakaan, dan alat-alat perpustakaan lainnya. b. Studi lapangan yaitu dengan melakukan wawancara kepada Camat Kecamatan Medan Johor Kota Medan sebagai informan. 4. Analisis data Data bahan-bahan hukum yang diperoleh akan dianalisis secara normatif kualitatif tentang tugas dan fungsi camat dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 di Kecamatan Medan Johor.
Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, danlain-lain. Salah satu alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti dimana metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perpektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Kualitatif karena data yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif, untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Metode analisis datanya adalah sebagai berikut: 12 a. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat pada undangundang. Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum. b. Metode interpretasi secara sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan apasal yang lain dalam suatu perundang-undangan 12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 31
yang bersangkutan, atau dengan undang-undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut sehingga kita memahami maksudnya. G. Sistematika Penulisan Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap tiap bab terbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini kemudian dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan ditutup dengan memberikan sistematikan dari penulisan skripsi ini. BAB II PENGATURAN KECAMATAN DALAM PELAKSANAAN TUGAS PEMERINTAHAN DI KECAMATAN MEDAN JOHOR. Bab ini menguraikan mengenai Dasar Hukum Pembentuan Kecamatan, Susunan dan Bagan Organisasi Kecamatan, Peran Kecamatan dalam Pembangunan. BAB III PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI CAMAT DI KECAMATAN MEDAN JOHOR Bab ini menguraikan mengenai Gambaran Umum Kecamatan Medan Johor, Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Tugas Pokok Dan Fungsi Camat, Implementasi Kewenangan Camat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan.
BAB IV HAMBATAN CAMAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI KECAMATAN MEDAN JOHOR Bab ini menguraikan mengenai Hambatan yang Dihadapi Camat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Upaya yang Dilakukan dalam Mengatasi Hambatan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kecamatan Medan Johor.. BAB IV PENUTUP Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab. Seluruhnya yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini yang dilengkapi dengan saran-saran.