BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena merebaknya anak jalanan merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka jarang menjadi masalah bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Keberadaan anak jalanan yang berada hampir di setiap kota-kota besar termasuk halnya di Kota Semarang telah menjadi permasalahan sosial yang serius (Effendy, Frieda, Warsono, 2008). Berdasarkan survei dari Dinas Sosial Kota Semarang dan LSM-LSM lainnya, sebelum krisis moneter pada tahun 1997 di Kota Semarang didapati ada 200-400 anak jalanan tetapi setelah tahun 1997-2004 didapati jumlah anak jalanan meningkat menjadi 1800 anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa permasalahan anak jalanan merupakan fenomena gunung es yang terjadi peningkatan baik dalam jumlah maupun wilayah penyebarannya. Menurut Ketua PAJS (Persatuan Anak Jalanan Semarang) Winarto, anak anak jalanan banyak berasal dari Kota Semarang, yaitu sebesar 60 persen dan 40 persen berasal dari luar Kota Semarang. Anak- anak jalanan menyebar di berbagai titik Kota Semarang di antaranya: kawasan Tugu Muda, Simpang Lima, Pasar Johar, Bundaran Kalibanteng, Perempatan Metro, Pasar Karangayu, dan Swalayan ADA Banyumanik (Jawa Pos, 21 juli 2008). 1
2 Anak jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan waktu di jalanan, baik untuk bekerja maupun tidak, yang terdiri dari anakanak yang mempunyai hubungan dengan keluarga atau terputus hubungannya dengan keluarga dan anak yang mandiri sejak kecil karena kehilangan orang tua atau keluarga (Handayani, dalam Huraerah, 2006). Sementara, definisi yang dirumuskan dalam Lokakarya Kemiskinan dan Anak Jalanan, yang diselenggarakan Departemen Sosial pada tanggal 25 dan 26 Oktober 1995, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya. Definisi tersebut, kemudian dikembangkan oleh Johanes (dalam Huraerah, 2006) yang menyebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang menghabiskan waktunya di jalanan, baik untuk bekerja maupun tidak, yang terdiri dari anak-anak yang mempunyai hubungan dengan keluarga atau terputus hubungannya dengan keluarga, dan anak yang mandiri sejak kecil karena kehilangan orangtua/keluarga. Anak jalanan biasanya berusia 5-18 tahun yang menjadi bagian dari kehidupan di perkotaan. Mereka melaksanakan aktivitas di luar rumah, seperti di jalan raya, pasar, mall, tempat rekreasi, pelabuhan, terminal dan tempat pembuangan sampah (Suradi, 2011). Masalah anak jalanan tidak dapat lepas dari beberapa hal: pertama masih berlangsungnya kemiskinan struktural di dalam masyarakat. Kedua, keberadaan anak jalanan tersebut telah dirasakan oleh sebagian besar masyarakat sebagai suatu bentuk gangguan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Badiiyanto dkk (dalam Siregar dkk., 2006) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
3 menyebabkan anak pergi ke jalanan berdasarkan alasan dan penuturan mereka adalah karena dorongan ekonomi keluarga, ingin bebas, dan ingin memiliki uang sendiri karena pengaruh teman. Selain itu, kekerasan dalam keluarga banyak diungkapkan sebagai salah satu faktor yang mendorong anak lari dari rumah dan pergi ke jalanan. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anak memang dapat terjadi di semua lapisan sosial masyarakat. Namun, pada lapisan masyarakat bawah/miskin, kemungkinan terjadinya kekerasan lebih besar dengan tipe kekerasan yang lebih beragam. Tipe-tipe kekerasan bisa berupa kekerasan mental, kekerasaan fisik dan kekerasan seksual. Seorang anak bisa mengalami lebih dari satu tipe kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarganya. Anak yang turun ke jalanan akibat menjadi korban kekerasan mental, sebagian besar dalam bentuk dimarahi, atau merasa tidak dipercaya dan selalu disalahkan oleh anggota keluarganya. Pergi ke jalanan dinilai sebagai upaya untuk melepaskan atau menghindari tekanan yang dihadapi dalam keluarga (Kushartati, 2004). Secara psikologi mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh negatif bagi perkembangan. Hal ini sebagai penyebab dari perkembangan tidak sehat seorang anak, perkembangan ketidakmampuan menyesuaikan diri, maka kriminalitas muncul sebagai akibat konflik-konflik mental, rasa tidak dipenuhi kebutuhan pokoknya seperti rasa aman, dihargai. Sehingga ada keinginan bebas untuk melakukan apa saja
4 termasuk kriminalitas (Juita, Astanti, Riana, 2009). Dapat disimpulkan bahwa masalah anak jalanan merupakan patologi sosial yang memengaruhi perilaku (behavior) anak, dengan pola dan sub kultur yang berkembang di jalanan sebagai daya tarik bagi anak yang masih tinggal di rumah tetapi rentan menjadi anak jalanan, untuk turun ke jalanaan. Profesi yang digeluti anak-anak di jalanan lambat laun telah membentuk perilaku tendensius atau mengarah pada perbuatanperbuatan menyimpang dan perilaku destruktif sehingga mendorong terciptanya kerawanan terhadap tindakan pelanggaran dan kejahatan, baik di jalan dengan sasaran para pengguna jalan, fasilitas publik maupun di lingkungan sosial lainnya seperti pandangan yang mengancam, gerak-geriknya mengancam, mencaci, mencoret mobil atau bahkan menodong. Berdasarkan laporan penelitian Juita, Astanti & Riana (2009) tentang Delinkuensi Anak Jalanan dan Penanganan di Kota Semarang menyatakan bahwa bentuk-bentuk delinkuensi atau kenakalan yang dilakukan anak jalanan di kota Semarang adalah: Pertama, delinkuensi yang bersifat tindak pidana/kriminal yaitu miras, obat terlarang, penodongan, mencopet, berjudi, berkelahi, mencuri. Kedua ialah delinkuensi yang masih bersifat kenakalan biasa yaitu menjadi anggota geng, melakukan vandalisme (coretcoret tembok), mengunjungi tempat hiburan, mengancam, ucapan porno, dan lain-lain. Selaras dengan laporan penelitian tersebut terdapat pula bentuk-bentuk delinkuensi yang dilakukan oleh beberapa anak jalanan yang tinggal Yayasan Emas Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada anak
5 yang tinggal di Yayasan Emas Indonesia terdapat anak yang memiliki latar belakang menodong dan memakai obat-obatan yang merupakan bentuk-bentuk dari delinkuensi atau kenakalan. Kondisi sebelum mereka tinggal di yayasan, hidup di jalanan sangat membentuk perilaku mereka yang tidak sesuai dengan normanorma yang ada di masyarakat. Bentuk delinkuensi yang dilakukan antara lain: menodong untuk mendapatkan uang agar bisa membelikan dan memakai obat-obatan. Alasan mereka memakai obat-obatan agar bisa meningkatkan kepercayaan diri pada saat berada di jalanan. Selain itu, alasan melakukan perilaku tersebut karena pengaruh dari teman-teman sesama anak jalanan. Hal tersebut selaras dengan pendapat dari Bowman, dkk (dalam Mantiri & Andriani, 2012) yang menjelaskan bahwa faktor teman sebaya merupakan salah satu faktor munculnya kenakalan. Anak jalanan hidup dalam komunitasnya sendiri. Mereka hidup di wilayah yang kurang menyatu dengan wilayah luar. Jadi wilayah tinggal mereka relatif tertutup untuk wilayah luar. Di dalam komunitas itu, anak jalanan bersosialisasi dan mengembangkan pola relasi sosial berdasarkan nilai dan norma sosial yang berlaku dalam komunitas mereka. Proses sosialisasi tersebut membentuk sikap mental dan spiritual mereka yang seringkali tidak sesuai dan bahkan bertentangan atau melanggar aturan atau norma dan hukum yang berlaku (Suradi, 2011). Permasalahan anak jalanan sangat kompleks karena menyangkut kehidupan mereka maupun lingkungan masyarakat. Anak jalanan sering dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang terlupakan dengan berbagai stigma yang melekat, dianggap kotor, miskin dan
6 pembawa masalah sehingga mereka disebut Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Keberadaan anak di jalanan menunjukkan terganggunya keberfungsian sosial anak. Konsep keberfungsian sosial mengacu pada kepada situasi dan relasi anak yang melahirkan berbagai konsep dan tugas mereka. Oleh karena itu, Horton & Hunt (dalam Saripudin & Karim, 2009) berpendapat bahwa orang yang harus menjalani peralihan peran dituntut untuk benar-benar belajar kembali sehingga proses itu disebut resosialisasi. Resosialisasi merupakan salah satu tahap dalam proses pengentasan anak jalanan yang diterapkan di berbagai rumah singgah khususnya Yayasan Emas Indonesia. Hal tersebut berhubungan dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada salah satu pembina yang menyatakan bahwa resosialisasi merupakan salah satu tahapan dimana anak-anak direkrut di jalanan, lalu dibawah ke rumah pengentasan untuk dibina lebih baik lagi dan terakhir di entaskan ke masyarakat. Memasukkan anak jalanan ke panti rehabilitasi atau rumah singgah untuk resosialisasi merupakan salah satu jalanan menuju masyarakat adil dan makmur di kemudian hari (Nurwijayanti, 2012). Hal ini sejalan dengan penjelasan Asmorowati (2008) yang menyatakan bahwa secara ideal rumah singgah diharapkan dapat menjadi proses pembinaan informal yang memberikan suasana resosialisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga dan masyarakat. Berdasarkan pada penjelasan di atas penuturan UNDP & Depsos RI, Sudrajat, Ishak (dalam Saripudin, Suwirta & Komalasari, 2008) menyatakan bahwa upaya untuk
7 mengembalikan sikap dan perilaku terhadap norma sosial sangat penting untuk dilakukan melalui kegiatan resosialisasi. Resosialisasi menekankan sikap dan perilaku anak berubah. Tujuan dari resosialisasi anak jalanan di rumah singgah adalah membuat anak jalanan memiliki sikap baik dan positif, melakukan perilaku sosial yang sesuai dengan norma yang ada di masyarakat, kemampuan untuk mengelola diri dan kemampuan untuk mengatasi masalah yang terjadi. Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2007) tentang Pelayanan Sosial Bagi Anak Yang Dilibatkan Dalam Perdagangan NAPZA terdapat penjelasan mengenai strategi pelayanan sosial terhadap anak yang dilibatkan dalam perdagangan NAPZA. Rumah perlindungan sementara atau rumah singgah juga berfungsi sebagai tempat resosialisasi nilai-nilai kekeluargaan yang selama ini tidak mereka dapatkan di jalanan. Di rumah ini dibangun pola hubungan, dimana pekerja sosial mereka anggap sebagai kakak, teman atau orang tua dan diciptakan aturan-aturan yang disepakati diantara mereka. Program resosialisasi merupakan salah satu pelayanan sosial dalam mengatasi masalah kesejahteraan sosial. Hal tersebut sehubungan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hikmawati & Rusmiyati (2011) tentang Kebutuhan Pelayanan Sosial Penyandang Cacat menyatakan bahwa Pelayanan sosial dapat berbentuk pengembangan, pencegahan, penyembuhan atau rehabilitasi. Salah satu tahap dalam rehabilitasi adalah bimbingan resosialisasi yang dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosial dengan wajar.
8 Pelayanan sosial bertujuan membantu upaya resosialisasi atau memasyarakatkan kembali penyandang cacat baik lingkungan keluarga maupun masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Sehubungan dengan penjelasan di atas, untuk mengetahui keberfungsian program resosialisasi dalam penanganan anak jalanan maka dapat dilihat dari segi proses maupun hasil, salah satunya yaitu dengan melihat sikap anak jalanan yang sedang menjalani proses resosialisasi terhadap program tersebut. Baron & Byrne (2004) menggunakan istilah Attitude untuk merujuk pada evaluasi terhadap berbagai aspek dunia sosial serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka terhadap isu, ide, orang, kelompok sosial bahkan objek tertentu. Pendapat dari Baron & Byrne (2004) juga menjelaskan bahwa sikap sebagai sesuatu yang penting bukan hanya karena sikap sulit diubah tetapi ada beberapa alasan logis yang menjadikan sikap sebagai isu sentral dalam bidang psikologi sosial. Pertama, sikap sangat memengaruhi pemikiran sosial, meskipun sikap tersebut tidak selalu direfleksikan dalam tingkah laku yang nampak. Kedua, sikap sebagai hal yang penting karena sikap memengaruhi tingkah laku individu maupun kelompok, terutama terjadi saat sikap yang dimiliki kuat dan mantap. Terkait hal tersebut terdapat hasil penelitian dari Sakina (2001) yang berjudul Penilaian Anak Jalanan Terhadap Pelayanan Rumah Singgah dan Hubungannya Dengan Perilaku Mereka menyatakan bahwa mayoritas anak jalanan memiliki penilaian positif dan perilaku yang positif yaitu mereka merasa puas terhadap fungsi rumah singgah sebagai tempat pertemuan,
9 perlindungan, pusat informasi, kuratif-rehabilitatif, pelayanan sosial dan resosialisasi misalnya waktu yang digunakan anak jalanan untuk berkeliaran di jalanan menjadi berkurang. Mereka menjadi lebih sering melakukan ibadah dan teratur melakukan kegiatan sehari-hari. Selain itu, terdapat beberapa anak binaan yang kembali tinggal bersama orang tuanya. Namun di sisi lain, ada penelitian yang bertentangan dengan penelitian sebelumnya seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Saripudin & Karim (2009) tentang Program Resosialisasi Kanak-kanak Jalanan di Rumah Singgah: Satu Penilaian menyatakan bahwa program resosialisasi kanak-kanak jalanan di rumah singgah di Bandar Bandung masih terdapat beberapa kelemahan atau masalah yang dihadapi. Seperti pertama, terbatasnya kemudahan prasarana pembelajaran. Kedua, terbatasnya sumber dana yang tersedia. Ketiga, masih tingginya minat kanak-kanak jalanan untuk turun kembali ke jalanan karena lebih banyak menghasilkan uang. Berdasarkan paparan diatas secara tidak langsung menjelaskan adanya hubungan sikap dengan perilaku. Sikap anak jalanan terhadap program resosialisasi juga akan mempengaruhi perilaku anak jalanan. Artinya, semakin positif sikap anak jalanan terhadap program resosialisasi maka semakin positif pula perilaku mereka. Sherif & Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003). Ahmadi (1999) menjelaskan bahwa meskipun ada beberapa
10 perbedaan pengertian sikap, namun ada beberapa ciri yang dapat disetujui. Sebagian besar ahli dan penelitian sikap setuju bahwa sikap adalah predisposisi yang dipelajari yang mempengaruhi tingkah laku. Untuk beberapa alasan inilah sikap telah menjadi konsep utama dalam psikologi sosial dan menjadi konsep utama untuk mengevaluasi ide, pemikiran serta keseluruhan dunia sosial. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk melihat program resosialisasi yang merupakan salah satu objek sikap. Berdasarkan paparan di atas serta penjelasan dari beberapa hasil penelitian, maka peneliti tertarik untuk meneliti Resosialisasi Anak Jalanan (Studi Kasus Sikap Anak Jalanan Yang Memiliki Latar Belakang Menodong dan Memakai Obat- Obatan di Yayasan Emas Indonesia). B. Perumusan Masalah Bagaimana sikap anak jalanan yang memiliki latar belakang menodong dan memakai obat-obatan terhadap pelaksanaan program resosialisasi di Yayasan Emas Indonesia. C. Tujuan Penelitian Memperoleh gambaran mengenai sikap anak jalanan yang memiliki latar belakang menodong dan memakai obat-obatan terhadap pelaksanaan program resosialisasi di Yayasan Emas Indonesia.
11 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terhadap anak jalanan dalam menjalani program resosialisasi di Yayasan Emas Indonesia serta dapat menjadi referensi yang terkait dengan topik-topik psikologi sosial. 2. Manfaat Praktis 1. Anak Jalanan: Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan, informasi kepada anak jalanan akan pentingnya program resosialisasi bagi kehidupan mereka yang memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma sosial. 2. Rumah Singgah atau Yayasan Emas Indonesia: Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menjadi masukan dalam meminimalkan dan membantu dalam pengetasan problem anak jalanan. 3. Pemerintah: Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat dijadikan masukan kepada pemerintah untuk memerhatikan keberadaan anak jalanan. 4. Masyarakat: Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat agar ikut berpartisipasi terhadap masalah anak jalanan.