BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V ANALISIS EMPIRIS KESTABILAN LERENG

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Analisis Kestabilan Lereng Batuan

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kestabilan Lereng Batuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

Oleh : ARIS ENDARTYANTO SKRIPSI

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

Gambar 4.1 Kompas Geologi Brunton 5008

Studi Kestabilan Lereng Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) pada Lereng Bekas Penambangan di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28

ANALISIS KESTABILAN LERENG DI PIT PAJAJARAN PT. TAMBANG TONDANO NUSAJAYA SULAWESI UTARA

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line

DAFTAR PUSTAKA. Bieniawski, Z. T., Rock Mechanics Design in Mining and Tunneling. A.A. Balkema, Amsterdam. 272 hal.

Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 2 Periode: Sept Feb. 2016

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

BAB III TEORI DASAR. Longsoran Bidang (Hoek & Bray, 1981) Gambar 3.1

5.1 ANALISIS PENGAMBILAN DATA CORE ORIENTING

BAB IV ANALISA BLASTING DESIGN & GROUND SUPPORT

KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

Oleh: Yasmina Amalia Program Studi Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta

BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI. Masalah kestabilan lereng di dalam suatu pekerjaan yang melibatkan kegiatan

BAB III DASAR TEORI 3.1 UMUM

1) Geometri : Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan

BAB III LANDASAN TEORI

Jl. Raya Palembang-Prabumulih Km.32 Inderalaya Sumatera Selatan, 30662, Indonesia Telp/fax. (0711) ;

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

TUGAS PRAKTIKUM GEOLOGI TEKNIK ROCK QUALITY DESIGNATION (RQD) & SCANLINE

RANCANGAN GEOMETRI WEB PILAR DAN BARRIER PILAR PADA METODE PENAMBANGAN DENGAN SISTEM AUGER

ANGGUNING DIAH FAHMI NIM

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Data Lapangan Pemetaan Bidang Diskontinu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Praktikum

BAB 4 PENGUMPULAN DATA LAPANGAN. Pemetaan geologi dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi daerah penelitian

BAB IV DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN PERUBAHAN KEKUATAN BATUANNYA

BAB IV PENGAMATAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN. besar yang dibangun di atas suatu tempat yang luasnya terbatas dengan tujuan

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

Metode Analisis kestabilan lereng

UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB 1 PENDAHULUAN. PT. Berau Coal merupakan salah satu tambang batubara dengan sistim penambangan

ANALISIS KESTABILAN LERENG BATU DI JALAN RAYA LHOKNGA KM 17,8 KABUPATEN ACEH BESAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu

DAFTAR ISI. SARI... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LAMPIRAN...

MEKANIKA TANAH (CIV -205)

Bab IV Identifikasi Kekuatan Andesit

PHYSICAL PROPERTIES (Perilaku Fisik) AND ROCK CLASSIFICATION (Klasifikasi Batuan)

BAB I PENDAHULUAN. terowongan, baik terowongan produksi maupun terowongan pengembangan.

BAB I PENDAHULUAN. Font Tulisan TNR 12, spasi 1,5 1.1 Latar Belakang

Analisis Kinematik untuk Mengetahui Potensi Ambrukan Baji di Blok Cikoneng PT. CSD Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

PAPER GEOLOGI TEKNIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. dengan cara menggunakan pendekatan Rock Mass Rating (RMR). RMR dapat

BAB III DASAR TEORI. 3.1 Prinsip Pengeboran

ABSTRAK Kata Kunci : Nusa Penida, Tebing Pantai, Perda Klungkung, Kawasan Sempadan Jurang, RMR, Analisis Stabilias Tebing, Safety Factor

UNIVERSITAS DIPONEGORO

ANALISIS KERENTANAN GERAKAN TANAH (LONGSOR) DENGAN MENGGUNAKAN SIG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO

MAKALAH PENGEBORAN DAN PENGGALIAN EKSPLORASI

DINDING PENAHAN TANAH ( Retaining Wall )

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Teguh Samudera Paramesywara1,Budhi Setiawan2

BAB III PEMODELAN DAN HASIL PEMODELAN

MEKANIKA TANAH 2 KESTABILAN LERENG. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III DATA RENCANA TEROWONGAN

EVALUASI TEKNIS SISTEM PENYANGGAAN MENGGUNAKAN METODE ROCK MASS RATING

BAB V KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB I PENDAHULUAN. Menurut PT. Mettana (2015), Bendungan Jatigede mulai dibangun pada

Prosiding Seminar Nasional XI Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2016 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

Analisis Geoteknik Terowongan Batuan Geurutee Aceh Menggunakan Metode Elemen Hingga

BAB V PEMBAHASAN. lereng tambang. Pada analisis ini, akan dipilih model lereng stabil dengan FK

ANALISIS KESTABILAN LUBANG BUKAAN DAN PILLAR DALAM RENCANA PEMBUATAN TAMBANG BAWAH TANAH BATUGAMPING DENGAN METODE ROOM AND PILLAR

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT FRAGMENTASI

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

GEOTEKNIK TAMBANG DASAR DASAR ANALISIS GEOTEKNIK. September 2011 SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL (STTNAS) YOGYAKARTA.

Stabilitas lereng (lanjutan)

GEOTEKNIK dan GEOMEKANIK

Gambar 1 Hubungan antara Tegangan Utama Mayor dan Minor pada Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown dan Kriteria Keruntuhan Mohr-Coulomb (Wyllie & Mah, 2005)

Studi Jarak Kekar Berdasarkan Pengukuran Singkapan Massa Batuan Sedimen di Lokasi Tambang Batubara

PEMODELAN PARAMETER GEOTEKNIK DALAM MERESPON PERUBAHAN DESAIN TAMBANG BATUBARA DENGAN SISTEM TAMBANG TERBUKA

BAB III DASAR TEORI 3.1. Klasifilasi Massa Batuan

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR...i. SARI...iv. ABSTRACT...v. DAFTAR ISI...vi. DAFTAR TABEL...ix. DAFTAR GAMBAR...x. DAFTAR LAMPIRAN...

ANALISA KESTABILAN LERENG METODE SLICE (METODE JANBU) (Studi Kasus: Jalan Manado By Pass I)

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan batuan samping berpotensi jatuh. Keruntuhan (failure) pada batuan di

M VII KUAT TARIK TIDAK LANGSUNG (Indirect Brazillian Tensile Strength Test)

Bendungan Urugan I. Dr. Eng Indradi W. Tuesday, May 14, 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III KARAKTERISTIK PELAPUKAN ANDESIT

METODE PENANGGULANGAN GERAKAN TANAH

ANALISIS KARAKTERISTIK MASSA BATUAN DI SEKTOR LEMAJUNG, KALAN, KALIMANTAN BARAT

BAB IV SIMULASI PENGARUH PERCEPATAN GEMPABUMI TERHADAP KESTABILAN LERENG PADA TANAH RESIDUAL HASIL PELAPUKAN TUF LAPILI

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat

BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1. TINJAUAN UMUM TAHAPAN PENELITIAN BERBASIS STUDI NUMERIK... 73

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP STABILITAS GOA SEROPAN, KECAMATAN SEMANU, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Oleh; Bani Nugroho

Transkripsi:

BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat dua proses utama dalam melakukan evaluasi kestabilan lereng batuan, pada bab ini dibahas langkah kedua yang merupakan tahap analisis kestabilan lereng batuan. Metode yang banyak digunakan untuk menganalisis kestabilan lereng adalah metode kesetimbangan batas (limit equilibrium). Metode analitis ini menggunakan konsep faktor keamanan, yaitu perbandingan antara gaya penahan dan gaya penggerak yang diperhitungkan pada bidang gelincirnya. Namun seringkali metode ini tidak efektif untuk memprediksi longsoran pada batuan dan cara penanggulangannya (Maerz, 2000). Oleh karena itu, penggunaan desain empriris dan klasifikasi massa batuan untuk melakukan analisis kestabilan lereng batuan menjadi penting (Franklin dan Maerz, 1996). Berdasarkan hal di atas, penulis menggunakan klasifikasi massa batuan berupa rock mass rating (Bieniawski, 1984) yang kemudian diaplikasikan untuk analisis kestabilan lereng batuan dengan menggunakan klasifikasi slope mass rating (Romana, 1985). 5.1 Klasifikasi Massa Batuan dengan Sistem Rock Mass Rating (RMR) Dalam sistem RMR, terdapat lima parameter dasar yang digunakan untuk mengklasifikasikan massa batuan dalam suatu kelas tertentu. Kelima parameter dasar tersebut dibahas secara terperinci seperti berikut ini. 5.1.1 Kuat Tekan Uniaksial Andesit Dalam kaitannya untuk mencari parameter kekuatan batuan, penulis menggunakan metode point load. Tujuan metode ini adalah untuk mendapatkan indeks kekuatan batuan dengan beban titik terhadap andesit. 61

Pengujian dilakukan terhadap 20 sampel andesit yang diambil dari lereng penelitian. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan hasil pengujian dengan keakuratan yang tinggi. Dari hasil uji point load indeks kekuatan batuan sebesar 10,07 MPa (lihat Lampiran H). 5.1.2 Rock Quality Designation (RQD) Rock quality designation pertama kali dipublikasikan oleh Deere dkk. (1967 op cit. GSEG, 1970). RQD adalah persentase yang menunjukkan perbandingan antara inti batuan utuh yang memiliki panjang lebih dari 10 cm terhadap panjang total keseluruhan inti batuan (core). Kemudian Priest (1993 op cit. Adu dan Acheampong, 2003) memberikan persamaan yang menghubungkan frekuensi diskontinuitas ( ) dengan RQD sebagai berikut : RQD = 100e 0,1λ (1 + 0,1λ ) dan dengan : N λ = L N adalah jumlah diskontinuitas yang memotong garis pengamatan (scan line) L adalah panjang dari garis pengamatan (scanline). Perhitungan RQD secara rinci diberikan pada Lampiran I. Dari hasil perhitungan, dapat dikatakan bahwa massa batuan pada keseluruhan segmen memiliki persentase RQD berkisar 93 % sampai 97 %. Untuk lebih jelas, diberikan rekapitulasi hasil perhitungan RQD dari keseluruhan segmen (Tabel 5.1). 62

Tabel 5.1. Rekapitulasi hasil perhitungan RQD keseluruhan segmen Segmen Nilai RQD (%) 1 96,93 2 97,75 3 96,35 4 96,06 5 94,53 6 93,47 7 93,38 8 96,01 5.1.3 Spasi Diskontinuitas Spasi rekahan adalah jarak antara dua rekahan terdekat yang saling sejajar pada arah normal atau tegak lurus bidang rekahan (Priest dan Hudson, 1976). Oleh karena itu pengukuran spasi rekahan dilakukan pada rekahan-rekahan dalam set yang sama. Jarak yang diukur selama pengamatan di lapangan masih merupakan jarak semu karena pengukuran jarak mengikuti scanline, sehingga yang diperoleh belum tentu jarak tegak lurus antar dua rekahan. Berdasarkan uraian di atas, maka spasi rekahan sebenarnya (Si) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Si = So cos β cosα cosθ dengan adalah sudut vertikal antara scanline dengan bidang horizontal adalah sudut horizontal antara scanline dengan arah kemiringan adalah sudut vertikal antara garis normal rekahan dengan bidang horizontal So adalah spasi semu yaitu jarak yang diukur di lapangan 63

Perhitungan spasi rekahan sebenarnya (Si) dari tiap set rekahan dicantumkan pada Lampiran J. Bieniawski (1989) tidak menjelaskan bagaimana cara menghitung spasi diskontinuitas apabila terdapat lebih dari satu set diskontinuitas pada suatu massa batuan. Namun, mengacu kepada Edelbro (2003 op cit. Palmstrom, 2005) yang intinya menyatakan bahwa apabila terdapat lebih dari satu set diskontinuitas dalam massa batuan, maka spasi diskontinuitas yang digunakan adalah spasi diskontinuitas yang memiliki nilai rata-rata terkecil. Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat diberikan spasi diskontinuitas yang digunakan untuk perhitungan RMR terhadap keseluruhan segmen lereng pada Tabel 5.2 sebagai berikut. Tabel 5.2. Hasil perhitungan spasi diskontinuitas pada tiap segmen lereng Segmen Spasi diskontinuitas (meter) 1 0,289 2 0,508 3 0,217 4 0,392 5 0,136 6 0,231 7 0,153 8 0,774 5.1.4 Kondisi Diskontinuitas Kondisi diskontinuitas merupakan salah satu parameter komplek dalam klasifikasi RMR, terdiri atas beberapa sub-parameter : (i) roughness (kekasaran); (ii) separation (bukaan); (iii) filling (material pengisi); (iv) persistence (kemenerusan); dan (v) weathering (pelapukan). 64

Bieniawski (1984) memberikan skala roughness (Tabel 5.3) yang dapat diaplikasikan langsung di lapangan, untuk mempermudah penilaian terhadap permukaan bidang diskontinuitas secara visual. Tabel 5.3 Skala roughness yang digunakan dalam sistem RMR (Bieniawski, 1984) Tingkat Roughness Permukaan Very rough suface Rough surface Slightly rough surface Smooth suface Slickensided surface Keterangan Membentuk sisi curam yang hampir vertikal dan permukaan diskontinuitas sangat bergelombang. Permukaan bergelombang pada beberapa bagian, terdapat asperities, dan terasa sangat abrasif. Terdapat asperities, permukaan diskontinuitas terasa bergelombang jika disentuh. Tidak terdapat asperities, permukaan diskontinuitas terasa halus. Permukaan rata dan mengkilat (polashing surface). Hasil pengamatan secara visual terhadap kedelapan lereng penelitian menunjukkan bahwa permukaan diskontinuitas keseluruhan segmen lereng tersebut secara umum termasuk kedalam kategori slightly rough surface (lihat Foto 4.9). Separation (bukaan) adalah jarak tegak lurus antara dua permukaan rekahan yang terbuka. Jika ruang antara rekahan tersebut tidak terisi maka disebut aperture, namun jika terisi oleh suatu material maka lebih cocok jika digunakan penamaan lebar rekahan (ISRM, 1978 op cit. Bieniawski, 1984). Selanjutnya, Bieniawski (1984) mengklasifikasikan separation (bukaan) yang digunakan dalam sistem RMR adalah seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 5.4. 65

Tabel 5.4 Klasifikasi aperture (bukaan) dalam sistem RMR (Bieniawski, 1984) Kategori Bukaan Lebar Bukaan (mm) Close < 0,1 Moderately open < 1 Open 1 5 Very open > 5 Keterangan Tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Kedua permukaan rekahan akan bersentuhan dengan sedikit pergerakan geseran (shearing movement). Kedua permukaan rekahan bersentuhan setelah pergerakan geseran. Kedua permukaan rekahan tetap tidak bersentuhan setelah terjadi pergerakan geseran yang besar. Berdasarkan hasil investigasi diskontinuitas pada tiap segmen lereng penelitian (lihat Lampiran A), dapat disimpulkan bahwa pada umumnya bukaan yang ada memiliki lebar dengan kisaran 1 3 mm. Oleh karena itu, berdasarkan tabel klasifikasi di atas, bukaan rekahan (aperture) tersebut masuk dalam kategori open (lihat Foto 4.9). Lebih lanjut lagi, hasil investigasi pada Lampiran A juga menunjukkan bahwa sebagian besar rekahan yang ada telah tergantikan (replacement) oleh material oksidasi. Material oksidasi tersebut kemungkinan berasal dari hasil pelapukan batuan andesit, memiliki warna coklat terang kemerahan, material bersifat lepas (noncohesive material), dan bersifat lunak (soft filling). ISRM (1978 op cit. Bieniawski, 1984) membagi kelas diskontinuitas berdasarkan sifat kontinuitas dari rekahan, yaitu (i) persistent (continuous); dan (ii) not persistent (not continuous). Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa secara umum keseluruhan lereng segmen penelitian memiliki diskontinuitas yang tidak menerus dengan kisaran panjang 1 3 meter. 66

Klasifikasi derajat pelapukan untuk massa batuan diberikan pada Tabel 5.5 (ISRM, 1978). Akan tetapi, dalam klasifikasi RMR hanya menggunakan derajat I, II, III, dan IV. Derajat pelapukan V (completely weathered) dapat disetarakan dengan derajat IV (highly weathered) karena pada kedua derajat tersebut gaya gesek (frictional strength) dari permukaan diskontinuitas menjadi sangat kecil (Romana, 1985). Tabel 5.5. Klasifikasi tahapan pelapukan pada massa batuan (ISRM, 1978) Grade Term Decomposed rock (%) Description Ia Fresh - No visible weathering Ib Fresh - Slight discoloration of walls II III IV V VI Slighlty weathered Moderately weathered Highly weathered Completely weathered Residual soil < 10 General discoloration 10 50 50 90 > 90 100 Part of rock is decomposed. Fresh rock is a continuum General decomposition of rock. Some fresh rock appears All rock is decomposed. Original structure remains All rock is converted to soil. Original structure is destroyed Dari hasil pengamatan di lapangan, terlihat sebagian massa batuan pada lereng segmen 1 dan 2 telah mengalami pelapukan derajat III (moderately weathered), karena sebagian kecil dari massa batuan telah terdekomposisi. Sedangkan pada lereng segmen 3 sampai 8 dianggap mengalami pelapukan derajat II (slightly weathered), karena hanya mengalami perubahan warna (discoloration) pada permukaan massa batuannya saja. 5.1.5 Kondisi Airtanah Dalam klasifikasi RMR, kondisi airtanah dapat diperkirakan dengan tiga cara : (i) menghitung kecepatan aliran air dalam terowongan; (ii) menghitung rasio tekanan pori; dan (iii) memberikan gambaran umum kondisi airtanah. 67

Namun apabila klasifikasi RMR diaplikasikan pada lereng batuan, informasi mengenai kondisi airtanah secara umum (general condition) dirasakan sudah mencukupi (Romana, 1985). ISRM (1978) memberikan klasifikasi kondisi airtanah yang dapat digunakan untuk aplikasi klasifikasi RMR pada lereng batuan (Tabel 5.6). Tabel 5.6. Kondisi airtanah untuk aplikasi RMR pada lereng batuan (ISRM, 1978) Unfilled joints Filled joints Description Joint Flow Filling Flow Completely dry Dry No Dry No Damp Stained No Damp No Wet Damp No Wet Some drips Dripping Wet Occasional Outwash Dripping Flowing Wet Continuous Washed Continuous Pengamatan kondisi airtanah (general groundwater condition) dilakukan secara visual terhadap keseluruhan segmen lereng penelitian. Dari hasil pengamatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kondisi umum airtanah pada lereng segmen 1 dan 2 adalah lembab (damp), karena material pengisi rekahan dalam keadaan lembab, namun tidak terdapat rembesan pada segmen lereng tersebut. Sementara itu, lereng segmen 3 sampai 8 dianggap kering (completely dry), karena material pengisi berada dalam kondisi kering dan tidak dijumpainya rembesan pada segmen lereng tersebut. Setelah kelima parameter dasar dari RMR dibahas, massa batuan pada setiap segmen lereng penelitian dapat dikategorikan berdasarkan klasifikasi RMR tersebut. Perhitungan klasifikasi RMR diberikan pada Lampiran K dan Tabel 5.7 merangkum hasil perhitungan RMR yang telah dilakukan. Dari hasil perhitungan, didapatkan kisaran nilai RMR pada keseluruhan segmen lereng adalah 66 78. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa keseluruhan massa batuan penyusun lereng masuk dalam kelas II (good rock). 68

Tabel 5.7. Rekapitulasi hasil perhitungan RMR untuk setiap segmen lereng penelitian Segmen Nilai RMR 1 66 2 66 3 73 4 73 5 71 6 73 7 71 8 78 5.2 Analisis Kestabilan Lereng berdasarkan Slope Mass Rating (SMR) Hasil analisis kinematik (lihat Tabel 4.3) dan klasifikasi RMR (lihat Tabel 5.7) yang telah dilakukan tersebut, dijadikan suatu parameter masukan dalam klasifikasi SMR yang dibahas dalam subbab berikut ini. Jika dilihat pada Tabel 2.5 yang menjelaskan tentang perhitungan SMR dan nilai pembobotannya, tidak disebutkan secara lengkap mengenai bagaimana cara menghitung nilai SMR untuk tipe longsoran membaji (Sulistianto, 2001). Namun, Romana (1985 op cit. Sulistianto, 2001) menyatakan bahwa nilai SMR longsoran baji didapatkan dengan cara menghitung nilai SMR untuk masing-masing sistem rekahan yang terlibat. Lokasi penelitian terletak pada area penambangan yang menggunakan metode peledakan (blasting) untuk memproduksi blok-blok batuan secara cepat dan efisien. Romana (1984) menyatakan bahwa apabila penelitian dilakukan pada daerah penambangan yang menggunakan teknik peledakan dengan tujuan efektivitas dari kuantitas produksi, maka faktor penyesuai untuk metode peledakan (F 4 ) dapat dikategorikan dalam deficient blasting. 69

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, perhitungan SMR untuk setiap segmen lereng penelitian diberikan pada Lampiran L dan Tabel 5.8 berikut ini merangkum hasil perhitungan SMR yang telah dilakukan. Tabel 5.8. Rekapitulasi hasil perhitungan SMR untuk tiap segmen lereng Segmen Nilai SMR 1 38,00 2 58,00 3 61,25 4 61,25 5 59,25 6 58,63 7 59,25 8 62,50 Berdasarkan hasil perhitungan SMR di atas, dapat disimpulkan bahwa lereng segmen 1 merupakan lereng kelas IV (bad) dengan kondisi lereng tidak stabil. Kemudian lereng segmen 2, 5, 6, dan 7 merupakan lereng kelas III (normal) dengan kondisi lereng stabil sebagian (partially stable), sedangkan lereng segmen 3, 4, dan 8 dapat dikategorikan sebagai lereng kelas II (good) dengan kondisi lereng yang stabil. 5.3 Kajian Awal Desain Perkuatan Lereng Batuan Banyak cara yang dapat digunakan untuk menanggulangi terjadinya longsoran pada suatu lereng batuan. Penulis menggunakan klasifikasi SMR dalam memilih jenis perkuatan yang dibutuhkan secara optimum dan efektif. Pada umumnya, jenis-jenis perkuatan yang dapat digunakan untuk usaha stabilisasi lereng batuan dibagi menjadi enam kelas yang berbeda (Tabel 5.9). 70

Tabel 5.9. Kelas dan metode perkuatan yang digunakan (Romana, 1985) Support class Support measure None No support Scaling Toe dithes Protection Fences (at toe or in the slope) Nets (over the slope face) Bolts Reinforcement Anchors Shotcrete Dental concrete Concreting Ribs and/or beams Toe walls Surface drainage Drainage Deep drainage Reexcavation Pada umumnya tidak ada perkuatan yang dibutuhkan apabila suatu lereng batuan memiliki nilai SMR melebihi 75. Di lain pihak, eskavasi total dapat dilakukan pada lereng yang memiliki tipe longsoran planar yang besar, namun eskavasi total tersebut tidak dibutuhkan pada lereng batuan yang memiliki nilai SMR di atas 30 (Romana, 1985). Pemilihan jenis perkuatan yang sesuai harus didasarkan atas dua hal utama, yaitu tipe keruntuhan utama yang terjadi dan frekuensi dari diskontinuitas yang ada. Berdasarkan hal tersebut, Romana (1985) memberikan panduan untuk memilih jenis perkuatan yang dibutuhkan berdasarkan nilai SMR yang didapatkan (Tabel 5.10). 71

Tabel 5.10. Rekomendasi jenis perkuatan untuk setiap kelas SMR (Romana, 1985) Class SMR Support Ia 91 100 None Ib 81 90 None or scaling IIa 71 80 (None. Toe ditch or fence), spot bolting IIb 61 70 IIIa 51 60 IIIb 41 50 IVa 31 40 IVb 21 30 Toe ditch or fence, nets, spot or systematic bolting Toe ditch and/or nets, spot or systematic bolting, spot shotcrete (Toe ditch and/or nets), systematic bolting. Anchors, systematic shotcrete Toe wall and/or dental concrete Anchors, systematic shotcrete, toe wall and/or concrete, (reexcavation) drainage Systematic reinforced shotcrete, toe wall and/or concrete, reexcavation, deep drainage Va 11 20 Gravity or anchored wall or reexcavation Berdasarkan Tabel 5.10 di atas, lereng segmen 1 yang memiliki nilai SMR 38,00 termasuk dalam kategori kelas IVa. Pada segmen 1 ini dapat digunakan perkuatan jenis jangkar kabel baja (anchors), beton semprot (shotcrete) secara sistematis, dan tumpuan beton (toe wall). Kemudian pada lereng segmen 2, 5, 6, dan 7 dengan kisaran nilai SMR 58,00 sampai dengan 59,25 termasuk dalam kategori Kelas IIIa. Pada segmen ini jenis perkuatan yang digunakan dapat berupa paritan pada kaki lereng (toe ditch) dikombinasikan dengan jala kawat (nets), baut batuan (bolting) secara sistematis, dan beton semprot (shotcrete) pada beberapa bagian lereng. Sedangkan pada lereng segmen 3, 4, dan 8 dengan kisaran nilai SMR 61,25 sampai 62,50 masuk dalam kategori Kelas IIb. Pada segmen ini, jenis perkuatan yang dibutuhkan berupa paritan pada kaki lereng (toe ditch), dikombinasikan oleh penggunaan batu batuan (bolting) pada beberapa titik lereng dengan penggunaan jala kawat (nets). 72