BAB III DASAR TEORI 3.1. Klasifilasi Massa Batuan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III DASAR TEORI 3.1. Klasifilasi Massa Batuan"

Transkripsi

1 BAB III DASAR TEORI 3.1. Klasifilasi Massa Batuan Klasifikasi massa batuan sangat berguna pada tahap studi kelayakan dan desain awal suatu proyek tambang, dimana sangat sedikit informasi yang tersedia tentang massa batuan dan tegangan serta karakteristik hidrogeologi massa batuan tersebut. Namun klasifikasi massa batuan tidak dimaksudkan dan tidak dapat menggantikan pekerjaan desain rinci, sebab untuk desain rinci diperlukan informasi yang lebih lengkap lagi tentang tegangan insitu, sifat massa batuan dan arah penggalian yang biasanya belum tersedia pada tahap awal proyek (Hoek, dkk, 1995). Secara sederhana klasifikasi ini digunakan sebagai sebuah check list untuk memastikan apakah seluruh informasi penting mengenai massa batuan sudah dimasukkan kedalam desain. Jika semua informasi ini telah tersedia, maka klasifikasi massa batuan dapat dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi spesifik lapangan. Dalam menggunakan klasifikasi massa batuan, sangat direkomendasikan untuk tidak hanya menggunakan satu metode klasifikasi saja, tetapi juga menggunakan metode klasifikasi lainnya yang dapat digunakan sebagai pembanding atas hasil yang diperoleh dari tiap metode. Menurut Bieniawski (1989), tujuan dari klasifikasi massa batuan adalah: 1. Menentukan parameter yang terpenting yang mempengaruhi perilaku massa batuan 2. Membagi formasi massa batuan yang khusus ke dalam kelompok yang mempunyai perilaku sama, yaitu kelas massa batuan dengan berbagai kualitas 3. Memberikan dasar untuk pengertian karakteristik dari tiap kelas massa batuan 4. Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di suatu lokasi dengan pengalaman yang ditemui di lokasi lain 5. Memberikan data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa (engineering design) 20

2 6. Memberikan dasar umum untuk komunikasi diantara para insinyur dan geologiwan Sistem klasifikasi yang paling banyak dipakai pada proyek-proyek tambang bawah tanah saat ini adalah Geomechanics Classification atau lebih dikenal dengan Rock Mass Rating (RMR) system, dan Rock Tunneling Quality Index (Q) system. Kedua sistem klasifikasi ini memakai parameter Rock Quality Designation (RQD) yang diperkenalkan oleh Deere pada tahun Selain RMR dan Q-system, menurut Palmstorm (2000) terdapat beberapa sistem klasifikasi lainnya, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1 Tabel 3.1 Sistem Klasifikasi Massa Batuan ( Palmstrom, 2000) NAME FORM AND TYPE MAIN APPLICATIONS REFERENCES Descriptive and behaviouristic form Design steel support in tunnel Terzaghi, 1946 functional type The Terzaghi Rock load Classification System Lauffer s Stand up time Classification The New Australian Tunneling Methode (NATM) Rock Classification for rock mechanical purposes Unified Cklassification of soils and rocks The Rock Quality Designation The Size strength Classification The Rock Stucture Rating Classification The Rock Mass Rating Classification The Q Classification The Typological Classification The Unified Rock Classification System Basic Geotechnical Classification (BGC) Geological Strength Index (GSI) The Rock Mass Index (RMI) System Descriptive form Functional type Descriptive and Behaviouristic form Tunneling Concept Descriptive form General type Descriptive Form General type Numerical Form General type Numerical form Functional type Numerical form Functional type Numerical form Functional type Numerical form Functional type Descriptive Form General type Descriptive Form General type Descriptive Form General type Numerical form Functional type Numerical form Functional type Input in tunneling design For excavation and design in incompetent (overstress) ground For input in rock mechanics Based on particles and blocks for communications Based on core logging, used in other classification system Based on rock strength and block diameter, used mainly in mine For design of (steel) support in tunnel For use in tunnel, mine and foundation design For Design of Support in Underground Excavation For use in communication For use in communication Lauffer,1958 Rabcewicz, Muller and Pacher, Patching and Coates, 1968 Deere at al, 1969 Deere at al, 1967 Franklin, 1975 Wickham et al, 1972 Bieniawski, 1973 Barton et al, 1974 Matula and Holzer, 1978 Williamson, 1980 For general use ISRM, 1981 For design of support in underground excavation For general characterization, design of support, TBM progress Hoek, 1994 Palmstorm,

3 Rock Mass Rating System Rock Mass Rating System atau juga dikenal dengan Geomechanichs Cclassification dikembangkan oleh Bieniawski pada tahun Metode ini dikembangkan selama bertahun-tahun seiring dengan berkembangnya studi kasus yang tersedia dan disesuaikan dengan standar dan prosedur yang berlaku secara internasional (Bieniawski, 1979). Metode klasifikasi RMR merupakan metode yang sederhana dalam penggunaannya, dan parameter-parameter yang digunakan dalam metode ini dapat diperoleh baik dari data lubang bor maupun dari pemetaan struktur bawah tanah (Gonzalez de Vallejo, 1983; Cameron-Clark & Budavari 1981; Nakao et al., 1983). Metode ini dapat diaplikasikan dan disesuaikan untuk situasi yang berbeda-beda seperti tambang batubara, tambang pada batuan kuat (hard rock), kestabilan lereng, kestabilan pondasi, dan untuk kasus terowongan. Dalam menerapkan sistem ini, massa batuan dibagi menjadi seksi-seksi menurut struktur geologi dan masing-masing seksi diklasifikasikan secara terpisah. Batas-batas seksi umumnya struktur geologi mayor seperti patahan atau perubahan jenis batuan. Perubahan signifikan dalam spasi atau karakteristik bidang diskontinu mungkin menyebabkan jenis massa batuan yang sama dibagi juga menjadi seksi-seksi yang berbeda. Dalam mengklasifikasikan massa batuan berdasarkan sistem Klasifikasi RMR, Bieniawski menggunakan lima parameter utama, yaitu a. Uniaxial Compressive Strength (UCS) batuan b. Rock Quality Designation (RQD) c. Joint spacing atau spasi bidang diskontinu d. Kondisi bidang diskontinu e. Kondisi dari ground water Berikut ini sekilas penjelasan mengenai kelima parameter yang dipakai dalam sistem klasifikasi RMR a. Uniaxial Compressive Strength (UCS) Uniaxial Compressive Strength (UCS) adalah kekuatan dari batuan utuh (intact rock) yang diperoleh dari hasil uji UCS. Uji UCS menggunakan mesin 22

4 tekan untuk menekan sampel batuan dari satu arah (uniaxial). Nilai UCS merupakan besar tekanan yang harus diberikan sehingga membuat batuan pecah. Sedangkan point load index merupakan kekuatan batuan batuan lainnya yang didapatkan dari uji point load. Jika UCS memberikan tekanan pada permukaan sampel, pada uji point load, sampel ditekan pada satu titik. Untuk sampel dengan ukuran 50 mm, Bieniawski mengusulkan hubungan antara nilai point load strength index (Is) dengan UCS adalah UCS = 23 Is. Pada umumnya satuan yang dipakai untuk UCS dan Is adalah MPa. b. Rock Quality Designation (RQD) RQD didefinisikan sebagai prosentase panjang core utuh yang lebih dari 10 cm terhadap panjang total core run. Diameter core yang dipakai dalam pengukuran minimal 54.7 mm. Dan harus dibor dengan double-tube core barrel. Perhitungan RQD mengabaikan mechanical fracture yaitu fracture yang dibuat secara sengaja atau tidak selama kegiatan pengeboran atau pengukuran (Hoek, dkk. 1995). Menurut Deere (1967) prosedur pengukuran RQD adalah sebagai berikut: Gambar 3.1 Prosedur pengukuran RQD (After Deere,1989) 23

5 Jika tidak ada core yang tersedia, maka nilai RQD dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan Palmstrom (1982) RQD = 115 3,3 Jv, dimana Jv adalah jumlah joint per satuan volume massa batuan. Jika S adalah joint spacing dalam suatu joint set, maka Jv dapat ditentukan dengan persamaan J v 1 = S. Hubungan antara Jv dan RQD dapat dilihat dari grafik berikut ini: Gambar 3.2 Grafik hubungan RQD dan Jv (Palmstrom,1982) Kualitas batuan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai RQD nya. Tabel 3.2 memperlihatkan pengelompokan kualitas batuan berdasarkan nilai RQD. 24

6 Tabel 3.2 Hubungan RQD dan kualitas massa batuan (Deere,1967) RQD (%) ROCK QUALITY < 25 Very Poor Poor Fair Good Excellent c. Joint Spacing Spasi bidang diskontinu adalah jarak tegak lurus antara bidang-bidang diskontinuitas yang mempunyai kesamaan arah (satu keluarga) yang berurutan sepanjang garis pengukuran (scanline) yang dibuat sembarang. Kramadibrata (2002) memberikan persamaan untuk menghitung spasi ratarata antar bidang diskontinuitas : Gambar 3.3 Pengukuran Bidang Diskontinuiti dengan Metode Scanline (Kramadibrata, Suseno, 2002) 25

7 θi+θ (i+1) d (i,i+1) =J (i,i+1) cos (3-3) 2 θ = α n α s β n β s+ β n β s cos cos( ) cos cos sin sin α d < 180, α n = α d α d > 180, α n = α d 180 β n = 90 β d dengan : d (i,i+1) = jarak sebenarnya amtara 2 kekar yang berurutan dalam satu (m) J (i,i+1) θ α n = jarak semu antara 2 kekar yang berurutan dalam satu set (m) = sudut normal = arah dip dari garis normal α d = arah dip dari kekar (dalam gambar ditunjukkan dengan α f ) α s β n = arah dip dari scanline = dip dari garis normal β d = dip dari kekar (dalam gambar ditunjukkan dengan β f ) β s = sudut kemiringan scanline Persamaan Kramadibrata diatas ini akan digunakan untuk menghitung nilai RMR pada dinding crosscut dan drift yang telah di scanline. Hal ini sedikit banyak akan mempengaruhi penilaian RMR pada core log (hasil pemboran inti) d. Joint Condition Ada beberapa parameter yang digunakan oleh Bieniawski dalam memperkirakan kondisi permukaan bidang diskontinu. Parameter tersebut adalah sebagai berikut: Roughness Roughness atau kekasaran permukaan bidang diskontinu merupakan parameter yang penting untuk menentukan kondisi bidang diskontinu. Suatu permukaan yang kasar akan dapat mencegah terjadinya pergeseran antara kedua permukaan bidang diskontinu. 26

8 Tabel 3.3 Penggolongan dan pembobotan kekasaran menurut Bienawski (1976) Kekasaran Permukaan Sangat kasar (very rough) Kasar (rough) Sedikit kasar (slightly rough) Halus (smooth) Licin berlapis (slikensided) Deskripsi Apabila diraba permukaan sangat tidak rata, membentuk punggungan dengan sudut terhadap bidang datar mendekati vertikal, Bergelombang, permukaan tidak rata, butiran pada permukaan terlihat jelas, permukaan kekar terasa kasar. Butiran permukaan terlihat jelas, dapat dibedakan, dan dapat dirasakan apabila diraba Permukaan rata dan terasa halus bila diraba Permukaan terlihat mengkilap Pembobotan Separation Merupakan jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu. Jarak ini biasanya diisi oleh material lainya (filling material) atau bisa juga diisi oleh air. Makin besar jarak ini, semakin lemah bidang diskontinu tersebut. Continuity Continuity merupakan kemenerusan dari sebuah bidang diskontinu, atau juga merupakan panjang dari suatu bidang diskontinu. Weathering Weathering menunjukkan derajat kelapukan permukaan diskontinu. Tabel 3.4 Tingkat pelapukan batuan (Bieniawski, 1976) Klasifikasi Tidak terlapukkan Sedikit terlapukkan Keterangan Tidak terlihat tanda-tanda pelapukan, batuan segar, butiran kristal terlihat jelas dan terang Kekar terlihat berwarna atau kehitaman, biasanya terisi dengan lapisan tipis material pengisi. Tanda kehitaman biasanya akan nampak mulai dari permukaan sampai ke dalam batuan sejauh 20% dari spasi 27

9 Terlapukkan. Sangat terlapukkan Infilling (gouge) Tanda kehitaman nampak pada permukaan batuan dan sebagian material batuan terdekomposisi. Tekstur asli batuan masih utuh namun mulai menujukkan butiran batuan mulai terdekomposisi menjadi tanah. Keseluruhan batuan mengalami perubahan warna atau kehitaman. Dilihat secara penampakan menyerupai tanah namun tekstur batuan masih utuh, namun butiran batuan telah terdekomposisi menjadi tanah Filling atau material pengisi antara dua permukaan bidang diskontinu mempengaruhi stabilitas bidang diskontinu dipengaruhi oleh ketebalan, konsisten atau tidaknya dan sifat material pengisi tersebut. Filling yang lebih tebal dan memiliki sifat mengembang bila terkena air dan berbutir sangat halus akan menyebabkan bidang diskontinu menjadi lemah. e. Kondisi Air Tanah Debit aliran air tanah atau tekanan air tanah akan mempengaruhi kekuatan massa batuan. Oleh sebab itu perlu diperhitungkan dalam klasifikasi massa batuan. Pengamatan terhadap kondisi air tanah ini dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu Inflow per 10 m tunnel length : menunjukkan banyak aliran air yang teramati setiap 10 m panjang terowongan. Semakin banyak aliran air mengalir maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan semakin kecil Joint Water Pressure : semakin besar nilai tekanan air yang terjebak dalam kekar (bidang diskontinu) maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan semakin kecil. General condition : mengamati atap dan dinding terowongan secara visual sehingga secara umum dapat dinyatakan dengan keadaaan umum dari opermukaan seperti kering, lembab, menetes atau mengalir. Untuk penelitian ini, cara ketiga ini yang digunakan. 28

10 Tabel 3.5 Rock Mass Rating System 29

11 Pada Tabel RMR tersebut ditunjukkan bahwa parameter-parameter itu mempunyai rating tertentu. Rating yang lebih tinggi menunjukkan kondisi massa batuan yang lebih baik. Kondisi massa batuan dievaluasi untuk setiap set bidang diskontinu yang ada (Bieniawski,1989). Dengan menjumlahkan semua rating dari lima parameter pada bagian A Tabel, akan diperoleh nilai RMR dasar yang belum memperhitungkan orientasi bidang diskontinu. Pengaruh dari orientasi bidang diskontinu selanjutnya diperhitungkan berdasarkan bagian B Tabel. Adjusment terhadap orientasi bidang diskontinu ini dipisahkan dalam perhitungan nilai RMR karena pengaruh dari bidang diskontinu tersebut tergantung pada aplikasi engineering-nya, seperti terowongan, chamber, lereng atau fondasi (Edelbro, 2003). Arah umum dari bidang diskontinu berupa strike dan dip, akan mempengaruhi kestabilan lubang bukaan. Hal ini ditentukan oleh sumbu dari lubang bukaan tersebut, apakah tegak lurus strike atau sejajar strike, penggalian lubang bukaan tersebut, apakah searah dip atau berlawanan arah dengan dip dari bidang diskontinu. RMR dapat digunakan sebagai panduan memilih penyangga terowongan, seperti terlihat pada tabel. Panduan ini tergantung pada beberapa faktor seperti kedalaman lubang bukaan dari permukaan, ukuran dan bentuk terowongan serta metode penggalian yang dipakai (Bieniawski,1989) Sedangkan untuk menentukan kestabilan lubang bukaan dapat ditentukan melalui stand-up time dari nilai RMR menggunakan grafik span terhadap standup time pada gambar 3.4 (Bieniawski 1989). Bieniawski (1976) mengembangkan grafik ini berdasarkan konsep dasar stand-up time yang diperkenalkan oleh Lauffer (1958). Keakuratan dari stand-up time ini menjadi diragukan karena nilai stand-up time sangat dipengaruhi oleh metode penggalian, ketahanan terhadap pelapukan (durability), dan kondisi tegangan in situ yang merupakan parameterparameter penting yang tidak tercakup dalam metode klasifikasi RMR. Oleh karena itu, sebaiknya grafik ini digunakan hanya untuk tujuan perbandingan semata. 30

12 Gambar 3.4 Grafik Hubungan Antara Span, Stand-Up Time, Dan RMR (after Bieniawski, 1989 & 1993) Kelebihan dan kekurangan Klasifikasi RMR diberikan pada Tabel 3.4 dibawah ini: Tabel 3.6 Kelebihan Dan Kelemahan Metode RMR Bieniawski (Swart, A. H., 2004) Kelebihan Telah dikenal dan digunakan secara luas. Adanya faktor koreksi terhadap orientasi kekar. Adanya faktor koreksi terhadap pengaruh air tanah. Kondisi kekar yang digambarkan meliputi kontinuitas, separasi, kekasaran, isian, dan alterasi kekar. Kelemahan Sangat bergantung terhadap metode penggalian yang digunakan. Rekomendasi penyangga yang diberikan hanya berlaku untuk bentuk terowongan tapal kuda dengan span maksimum 10 m dan kedalaman maksimum 900 m. Faktor koreksi terhadap orientasi kekar merupakan kategori yang kasar dan sulit ditentukan tanpa pengalaman yang luas. Pada kondisi terburuk, orientasi kekar tidak dipertimbangkan untuk mendapatkan pengaruh yang dominan pada perilaku massa batuan. Dalam praktiknya, beberapa kondisi kekar tidak dapat digambarkan secara akurat Nilai RQD ditentukan melalui persamaan yang diberikan oleh Palmström. Nilai RQD yang diberikan oleh persamaan ini bisa menghasilkan nilai yang lebih besar daripada nilai RQD yang dihitung secara aktual. 31

13 Kelebihan Mudah menggabungkan parameterparameter yang diukur yaitu RQD dan jarak antar kekar untuk menjelaskan frekuensi kekar ataupun ukuran blok. Kuat tekan uniaksial digunakan untuk menentukan kekuatan batuan intak. Nilai ini dapat dengan mudah ditentukan uji point load secara langsung dilapangan. Parameter-parameter penting dari massa batuan dapat ditentukan dari nilai RMR. Kelemahan Metode RMR memperhitungkan frekuensi kekar dua kali, yaitu melalui RQD dan jarak antar kekar. Oleh karena itu, metode ini sangat sensitif terhadap perubahan dari spasi fraktur yang ada. Tidak memperhitungkan pengaruh dari tegangan terinduksi dalam perkiraan kestabilan lubang bukaan. Metode RMR dikembangkan dari latar belakang teknik sipil yang berbeda dengan penggalian berbentuk lombong-lombong. Metode RMR sangat tidak sensitif terhadap kuat tekan batuan intak yang merupakan parameter penting dalam perilaku teknik dari massa batuan tertentu (Pells, 2000). Metode RMR tidak dapat membedakan perbedaan grade dari material batuan yang dihadapi dengan baik (Pells, 2000). Keakuratan dari nilai stand-up time yang diberikan oleh Bieniawski diragukan sejak nilai ini sangat bergantung terhadap metode penggalian yang digunakan, durability dan tegangan in situ yang merupakan parameter penting yang tidak tercakup dalam metode RMR. Oleh karena itu, grafik tersebut hanya digunakan untuk kepentingan perbandingan semata. Tidak memperhitungkan laju pada saat batuan segar melapuk ketika tersingkap ke permukaan Rock Mass Quality (Q) System Rock Mass Quality (Q) System atau disebut juga sebagai Tunneling Quality Index pertama kali diusulkan oleh Barton, Lien dan Lunde pada tahun 1974 di Norwegian Geotechnical Institute (NGI) sehingga disebut juga NGI Classification System. Q-System sebagai salah satu dari klasifikasi massa batuan dibuat berdasarkan studi kasus dilebih dari 200 kasus tunneling dan caverns. 32

14 Q-system merupakan fungsi dari enam parameter yang dinyatakan dengan persamaan berikut: dimana, RQD Jr Q = Jn Ja RQD : Rock Quality Designation Jn Jr Ja Jw SRF : Joint set number : Joint roughness number : Joint alteration number : Joint water reduction factor : Stress Reduction Factor Jw SRF Dalam menjelaskan keenam parameter yang dipakai untuk menghitung Q, Barton (1974) membagi enam parameter tersebut menjadi tiga bagian: RQD/Jn merepresentasikan struktur dari massa batuan, menunjukkan ukuran blok batuan. Jr/Ja menunjukkan kekasaran (roughness) dan karakteristik geser dari permukaan bidang diskontinu atau filling material dari bidang diskontinu tersebut. Suatu bidang diskontinu dengan permukaan yang kasar dan tidak mengalami alterasi dan mengalami kontak dengan permukaan bidang lainnya, akan mempunyai kuat geser yang tinggi dan menguntungkan untuk kestabilan lubang bukaan. Adanya lapisan mineral clay pada permukaan kontak antara kedua bidang diskontinu tersebut, akan mengurangi kuat geser secara signifikan. Selanjutnya kontak antar permukaan bidang diskontinu yang mengalami pergeseran juga akan mempertinggi potensi failure pada lubang bukaan. Dengan kata lain Jr/Ja menunjukkan shear strength atau kuat geser antar blok batuan. Jw/SRF terdiri dari dua parameter stress. Parameter Jw adalah ukuran tekanan air yang dapat mempengaruhi kuat geser dari bidang diskontinu. Sedangkan parameter SRF dapat dianggap sebagai 33

15 parameter total stress yang dipengaruhi oleh letak dari lubang bukaan yang dapat mereduksi kekuatan massa batuan. Secara empiris Jw/SRF mewakili active stress yang dialami batuan. Menurut Barton, dkk parameter Jn, Jr dan Ja memiliki peranan yang lebih penting dibandingkan pengaruh orientasi bidang diskontinu. Oleh karena itu dalam Q-system tidak terdapat parameter adjustment terhadap orientasi bidang diskontinu. Nilai Q yang didapat dihubungkan dengan kebutuhan penyanggan terowongan dengan menetapkan dimensi ekivalen (equivalent dimension) dari galian. Dimensi ekivalen merupakan fungsi dari ukuran dan kegunaan dari galian, didapat dengan membagi span, diameter atau tinggi dinding galian dengan harga yang disebut Excavation Support Ratio (ESR). Dimensi Ekivalen = Span atau tinggi (m) ESR Tabel 3.7 Nilai ESR Untuk Berbagai Lubang Bukaan Excavation Category ESR A Temporary mine openings 3 5 B Permanent mine openings, water tunnels for hydropower (Excluding high pressure penstocks), pilot tunnels, drifts, and headings for large excavations 1.6 C Storage rooms, water treatment plants, minor road and railway tunnels, surge chambers, access tunnels 1.3 D Power stations, major road and railway tunnels, civil defence chambers, portal intersections 1 E Underground nuclear power stations, railway stations, sports and public facilities, factories

16 Hutchinson dan Diederichs (1996) memperkenalkan grafik hubungan antara nilai Q dan span maksimum untuk berbagai macam nilai ESR Gambar 3.5 Grafik Hubungan Antara Nilai Q, Maksimum Span, Dan Nilai ESR Barton et al. (1980) memberikan informasi tambahan terhadap panjang rockbolt, span maksimum, dan tekanan penyangga atap untuk melengkapi rekomendasi penyangga pada publikasi yang diterbitkan tahun Panjang L dari rockbolt ditentukan dari lebar penggalian (B) dan dari nilai ESR melalui persamaan: 2 + 0,15B L = ESR Span maksimum yang tidak disangga dapat dihitung dengan persamaan: Span maksimum (Tidak disangga) = 2 ESR Q 0,4 Grimstad dan Barton (1993) memberikan hubungan antara nilai Q dengan tekanan penyangga atap permanen P roof melalui persamaan: 2( Jn)Q -1/3 P roof = 3 Jr 35

17 Rekomendasi penyangga ditentukan melalui grafik yang di berikan oleh Grimstad dan Barton (1993) seperti yang ditunjukkan oleh gambar 3.6 Gambar 3.6 Grafik Penentuan Rekomendasi Penyangga Berdasarkan Q-System (After Grimstad & Barton, 1993) Kelebihan dan kelemahan dari metode Q-System diberikan pada tabel 3.8 Tabel 3.8 Kelebihan Dan Kelemahan Metode Q-System (Swart, A. H., 2004) Kelebihan Telah dikenal dan digunakan secara luas. Telah terbukti konsisten selama lebih dari 20 tahun dimana sistem dasarnya tidak berubah Deskripsi terhadap indeks untuk setiap parameter yang berbeda sangat terinci. Dalam penerapannya, Q-System berfokus pada parameter-parameter yang seringkali dilupakan pada saat tahap penyelidikan lapangan. Kelemahan Berdasarkan persepsi dari Afrika Selatan, metode ini hanya berlaku untuk klasifikasi massa batuan untuk terowongan semata. Sulit untuk menggunakannya karena banyaknya tabel klasifikasi. Namun sistem ini sangat mudah digunakan jika sudah terbiasa menggunakannya. Pengaruh dari arah kekar tidak dipertimbangkan. Dalam kasus lombonglombong dengan span yang lebih besar dari terowongan, arah dari kekar sangat mempengaruhi kestabilan dari panel. Pada beberapa kasus, arah penggalian diubah karena pengaruh dari arah set kekar mayornya. 36

18 Kelebihan Mempertimbangkan pengaruh dari tegangan induksi yang diakibatkan oleh penggalian terhadap kestabilan galian. Kelemahan Karena adanya pertimbangan akan pengaruh tegangan terinduksi pada metode ini, maka harus dipastikan bahwa tidak ada koreksi lanjut terhadap parameter ini. Joint roughness dan joint alteration dianalisis secara terpisah. Memperhitungkan pengaruh dari air tanah Dapat memperkirakan deformability dari massa batuan dengan mengkonversikan nilai Q ke RMR. Meskipun memberikan deskripsi yang rinci untuk joint roughness dan isian kekar, Q- System tidak memperhitungkan kemenerusan kekar dan separasi dari kekar. Parameterparameter ini dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap kekuatan dari kekar-kekar. Q-System mempertimbangkan kondisi dari permukaan kekar sebagai parameter penting, akibatnya massa batuan yang memiliki kekar dengan kekuatan yang rendah diklasifikasikan sebagai massa batuan yang lemah. Pada kenyataannya, permukaan kekar hanya akan mempengaruhi kekuatan massa batuan jika arah dari kekar sangat tidak menguntungkan terhadap arah penggalian. Karena Q-System tidak mempertimbangkan arah dari bidang diskontinu, maka metode ini tidak memberikan indikasi yang tepat terhadap perilaku massa batuan disekeliling tambang. Q-System memperkirakan desain penyangga untuk terowongan pada kedalaman dangkal secara non-konservatif (Pells, 2000). Q-System dikembangkan dari latar belakang teknik sipil sehingga konservatif untuk kasus lombong Q System dan hubungannya dengan RMR System Beberapa ahli telah melakukan penelitian untuk mengetahui korelasi antara dua sistem klasifikasi RMR dan Q system. Korelasi ini dikembangkan di lokasi yang bermacam-macam dengan karakteristik batuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu hasil yang didapat juga berbeda-beda. Pada tabel 3.9 terdapat beberapa korelasi antara RMR dan Q serta ahli yang mengusulkannya dan daerah tempat korelasi tersebut diturunkan. 37

19 Tabel 3.9 Korelasi antara Geomechanics Classification (RMR) dengan Q Classification System (Choquet and Hadjigeorgiou,1993) CORRELATION AUTHOR, YEAR ORIGIN COMMENTS RMR = 13.5 log Q New Zealand Tunnels RMR = 9 ln Q + 44 Bieniawski, 1976 Diverse origin Tunnels RMR = 12.5 log Q Spain Tunnels RMR = 5 ln Q Cameron, 1981 S. Africa Tunnels RMR = 5.9 ln Q + 43 Rutledge & Preston, RMR = ln Q - Spain Mining soft rock RMR = 10.5 ln Q Abad, 1984 Spain Mining soft rock RMR = log Q Canada Mining hard rock RMR = 5.4 ln Q Moreno, RMR = 8.7 ln Q Canada Tunnels, sedimentary rock RMR = 10 ln Q Canada Mining hard rock Perbandingan nilai Q system dengan klasifikasi RMR dapat diinterpretasikan sebagai grafik seperti ditunjukkan pada gambar 3.7. Gambar 3.7 Grafik hubungan klasifikasi RMR dan Q system (Bienawski, 1993) 38

20 3.2. Shaft Shaft adalah lubang bukaan utama miring atau vertikal didalam batuan yang bertujuan untuk menyediakan jalan masuk ke berbagai level didalam tambang bawah tanah. Shaft dapat diklasifikasikan berdasarkan : 1. Kegunaannya : Produksi, pelayanan, ventilasi, eksplorasi, jalan ke luar, dan kombinasi dari semuanya. 2. Bentuk dan ukurannya : Kecil, medium, dan besar. 3. Penyanggannya : Penyangga sementara dan penyangga tetap. 4. Metode Penggaliannya : Metode konvensional dan metoda kontinyu Shaft berdasarkan kegunaannya Kegunaan shaft bermacam-macam, antara lain : 1. Produksi : Pengangkutan bijih dan pengotor 2. Pelayanan : Pengangkutan personil dan material 3. Ventilasi : Keluar masuk aliran udara 4. Eksplorasi : Lokalisasi dan menetukan jumlah cadangan bijih 5. Jalan ke luar : Keselamatan kerja 6. Kombinasi dari semuanya Shaft berdasarkan bentuk dan ukurannya Bentuk utama dari shaft umumnya salah satu dari bulat, persegi, atau elips dan ukurannya : 1. Kecil : 3 15 m2. 2. Medium : m2 3. Besar : >200 m Shaft berdasarkan penyangganya Penyangga yang dipasang pada struktur shaft dapat diklasifikasikan menjadi penyangga sementara dan penyangga tetap. 39

21 Shaft berdasarkan metode penggaliannya Ada dua macam metoda penggalian yaitu metoda kontinyu dan metoda konvensional. Metoda konvensional adalah penggalian yang merupakan gabungan antara kegiatan pengeboran, peledakan, dan pengangkutan yang diikuti kegiatan penyanggaannya. Bisa digunakan untuk berbagai macam bentuk dan kemiringan. Sedangkan metoda kontinyu adalah kegiatan penggalian secara mekanis yang tidak mengalami interupsi. Metoda ini menggunakan prinsip rock cutting dengan raise boring atau shaft boring machine. Metoda ini diawali dengan pembuatan pilot hole lalu diikuti pemboran lubang besar. Semua metoda pemboran shaft kontinyu adalah berbentuk bulat, dengan berbagai metoda variasi penyanggannya Lokasi dan kemiringan Shaft Parameter yang mempengaruhi lokasi dan kemiringan shaft adalah sebagai berikut : 1. Tata letak permukaan tambang 2. Lokasi, kemiringan, dan kemenerusan badan bijih 3. Jumlah level kerja 4. Lokasi fasilitas penanganan bijih dan waste 5. Sump 6. Keamanan dan stabilitas shaft pillar 7. Kelanjutan arah penambangan di masa datang Kemiringan badan bijih adalah faktor utama yang menentukan apakah sebuah shaft itu harus miring (incline) atau tegak. Faktor kedua adalah karakteristik kekuatan massa batuan dan batuan utuh yang akan ditembus oleh shaft. Incline shaft biasanya dibuat bila sumbu terpanjang badan bijih juga membentuk sudut terhadap garis horizontal, karena kalau memakai vertical shaft pembuatan cross cut untuk mencapai badan bijih menjadi lebih jauh dan lebih mahal. 40

22 Gambar 3.8 Macam-macam Shaft 3.2. Jenis Penyangga Jenis penyangga dapat dikelompokkan sebagai penyangga sementara dan penyangga tetap. Penyangga sementara diaplikasikan untuk menjamin keselamatan kerja selama kegiatan penambangan. Penyangga tetap diaplikasikan untuk menjaga kestabilan lubang bukaan selama kurun waktu tertentu. Jenis penyangga juga dapat dikelompokkan sebagai penyangga primer dan penyangga sekunder. Penyangga primer dipasang sesaat setelah penggalian untuk menjamin keselamatan kerja bagi penggalian selanjutnya. Penyangga sekunder dipasang pada tahap yang lebih lanjut. Berdasarkan proses pembebanan, penyangga dapat dibedakan menjadi penyangga aktif dan penyangga pasif. Dikatakan penyangga aktif apabila penyangga langsung mendapatkan pembebanan setelah dipasang. Sedangkan penyangga pasif apabila penyangga tidak langsung mendapatkan pembebanan setelah dipasang. Penyangga akan mendapatkan pembebanan setelah massa batuan terdeformasi. Jenis penyangga yang dijelaskan adalah penyanggaan yang digunakan pada penelitian ini seperti baut batuan dengan pengikatan geser (friction anchored rockbolt), beton tembak (shotcrete), dan perlengkapan penunjang. 41

23 Baut Batuan dengan Pengikatan Geser (Friction Anchored Rockbolt) Dua tipe baut batuan dengan pengikatan geser yang tersedia, yaitu split set dan swellex. Mekanisme pengikatan split set timbul dari kekuatan geser dari adanya pembebanan yang mendekati batas beban maksimum dari baut batuan, saat baut batuan akan tergelincir. Sedangkan pengikatan dari swellex ditimbulkan dari kekuatan geser pembebanan. Jenis baut batuan yang digunakan di UBPE Pongkor PT Antam,Tbk. adalahjenis split set seperti terlihat pada gambar 3.8 Gambar 3.9 Split set (Hoek and Brown, 1980) Perlengkapan Penunjang Beberapa komponen penunjang yang digunakan bersama dengan baut batuan adalah: b. Face plate Sebuah face plate dirancang untuk mendistribusikan beban pada kepala baut secara merata di sekitar batuan sekelilingnya. Jenis dan bentuk face plate dapat dilihat pada gambar 3.9. c. Mes kawat (wire mesh) Dua jenis wire mesh yang umum digunakan adalah chailink mesh dan weld mesh. Chailink mesh kuat dan fleksibel, umunya digunakan pada permukaan. Weld mesh terdiri atas kabel baja yang diatur dengan pola segiempat atau bujur sangkar dan dipatri pada ttitik perpotongannya. Weld mesh digunakan untuk memperkuat beton tembak dan lebih kaku dari chailink mesh. 42

24 Gambar 3.10 Face plate (Schach, 1971) Beton Tembak (Shotcrete) Beton tembak adalah salah satu jenis penyangga yang bersifat pasif. Beton tembak dihasilkan dari dua jenis proses yaitu: beton tembak campuran kering dimana campuran semennya kering dan air ditambahkan pada penyemprot (nozzle) dan beton tembak campuran basah yang pada dasarnya memiliki komponen yang sama dengan campuran kering, tetapi airnya telah dicampurkan dalam tempat pengaduk. Beton tembak campuran kering lebih sering digunakan karena peralatan yang digunakan lebih ringan dan ekonomis. Namun, beton tembak campuran basah memiliki keuntungan karena tingkat debu yang dihasilkan yang lebih rendah, tidak membutuhkan keahlian khusus, dan peralatan yang dibutuhkan lebih sedikit pada saat mengaplikasikan. Campuran beton tembak harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Shotability, yaitu kemampuan untuk melekat di atas permukaan batuan dengan kemungkinan lepas sangat kecil. 2. Kekuatan awal (early strength) harus cukup kuat untuk menyediakan penyanggaan dalam waktu kurang dari 24 jam. 43

25 3. Harus mampu mencapai kekuatan 28 hari dengan komposisi pemercepat (accelerator) yang dibutuhkan untuk mendapatkan kekuatan awal. 4. Durability, yaitu ketahanan terhadap pengaruh cuaca. 5. Ekonomis, yaitu biaya material yang rendah dan biaya minimum akibat material yang lepas. Karena beton tembak dipergunakan beberapa saat setelah penggalian, maka diperlukan kekuatan awal sehingga mampu memberikan penyangga dengan segera. Untuk itu pada campuran bahan untuk semen ditambahkan pemercepat yang mengandung garam-garam larut dalam air (water soluble salts) yang berfungsi mempercepat pengerasan. Tipe persentase pencampuran komponen kering dengan berat: Semen % Aggregate kasar % Aggregate halus/pasir % Accelerator 2 5 % Nisbah berat air/semen untuk beton tembak campuran kering ditempatkan pada interval 0,3-0,5 sedangkan untuk campuran basah pada interval 0,4-0,6. Penambahan serat besi baja dengan panjang 50 mm dan diameter 0,4-0,8 mm dapat meningkatkan kekerasan, daya tahan, tegangan geser dan flexural beton tembak, dan untuk mengurangi formasi keretakan. 44

Gambar 4.1 Kompas Geologi Brunton 5008

Gambar 4.1 Kompas Geologi Brunton 5008 4.1. Geoteknik Tambang Bawah Tanah Geoteknik adalah salah satu dari banyak alat dalam perencanaan atau design tambang. Data geoteknik harus digunakan secara benar dengan kewaspadaan dan dengan asumsiasumsi

Lebih terperinci

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. Pengumpulan Data Pengumpulan data lapangan dilakukan pada lokasi terowongan Ciguha Utama level 500 sebagaimana dapat dilihat pada lampiran A. Metode pengumpulan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Data Lapangan Pemetaan Bidang Diskontinu

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Data Lapangan Pemetaan Bidang Diskontinu BAB V PEMBAHASAN 5.1. Data Lapangan Pembahasan data lapangan ini mencakup beberapa kendala yang dihadapi dalam proses pendataan serta pengolahannya. Data lapangan ini meliputi data pemetaan bidang diskontinu

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS EMPIRIS KESTABILAN LERENG

BAB V ANALISIS EMPIRIS KESTABILAN LERENG BAB V ANALISIS EMPIRIS KESTABILAN LERENG Selain analisis kinematik, untuk menganalisis kestabilan suatu lereng digunakan sistem pengklasifikasian massa batuan. Analisis kinematik seperti yang telah dibahas

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional XI Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2016 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

Prosiding Seminar Nasional XI Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi 2016 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta Rancangan Teknis Penyanggaan Berdasarkan Kelas Massa Batuan Dengan Menggunakan Metode RMR dan Q-System di Terowongan Gudang Handak dan Pasir Jawa UBPE Pongkor PT. Aneka Tambang Persero Tbk Ambar Sutanti

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI 29 BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Metoda Rancangan Terowongan Konsep rancangan terowongan bawah tanah merupakan suatu hal yang relatif baru. Salah satu alasan tersebut adalah persoalan rancangan tambang bawah

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kestabilan Lereng Batuan

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kestabilan Lereng Batuan BAB II DASAR TEORI 2.1 Kestabilan Lereng Batuan Kestabilan lereng batuan banyak dikaitkan dengan tingkat pelapukan dan struktur geologi yang hadir pada massa batuan tersebut, seperti sesar, kekar, lipatan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA BLASTING DESIGN & GROUND SUPPORT

BAB IV ANALISA BLASTING DESIGN & GROUND SUPPORT BAB IV ANALISA BLASTING DESIGN & GROUND SUPPORT 4.1 ANALISA GROUND SUPPORT Ground support merupakan perkuatan dinding terowongan meliputi salah satu atau atau lebih yaitu Rib, wiremesh, bolting dan shotcrete

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 DATA Data yang digunakan dalam penelitian Tugas Akhir ini adalah data-data yang dikumpulkan dari kegiatan Core Orienting di lokasi proyek Grasberg Contact Zone. Data

Lebih terperinci

Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28

Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28 Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28!! Bulletin of Scientific Contribution, Edisi Khusus, Desember 2005: 18-28 Lereng Kupasan (cut slope) dan Manajemen Lingkungan di

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV DATA DAN PENGOLAHAN DATA Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi kemantapan lereng G-6/PB-8 South berdasarkan penilaian kualitas massa batuan pembentuk lereng tersebut. Kualitas

Lebih terperinci

Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 2 Periode: Sept Feb. 2016

Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 2 Periode: Sept Feb. 2016 Jurnal Teknologi Pertambangan Volume. 1 Nomor. 2 Periode: Sept. 2015 Feb. 2016 KARAKTERISASI MASSA BATUAN DAN ANALISIS KESTABILAN LERENG UNTUK EVALUASI RANCANGAN PADA PENAMBANGAN BIJIH EMAS DI DINDING

Lebih terperinci

RANCANGAN GEOMETRI WEB PILAR DAN BARRIER PILAR PADA METODE PENAMBANGAN DENGAN SISTEM AUGER

RANCANGAN GEOMETRI WEB PILAR DAN BARRIER PILAR PADA METODE PENAMBANGAN DENGAN SISTEM AUGER RANCANGAN GEOMETRI WEB PILAR DAN BARRIER PILAR PADA METODE PENAMBANGAN DENGAN SISTEM AUGER Tommy Trides 1, Muhammad Fitra 1, Desi Anggriani 1 1 Program Studi S1 Teknik Pertambangan, Universitas Mulawarman,

Lebih terperinci

5.1 ANALISIS PENGAMBILAN DATA CORE ORIENTING

5.1 ANALISIS PENGAMBILAN DATA CORE ORIENTING BAB V ANALISIS 5.1 ANALISIS PENGAMBILAN DATA CORE ORIENTING Adanya data yang baik tentulah sangat menentukan besar kecilnya kesalahan yang mungkin terjadi pada saat proses pengolahan data. Pengolahan data

Lebih terperinci

Studi Kestabilan Lereng Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) pada Lereng Bekas Penambangan di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar

Studi Kestabilan Lereng Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) pada Lereng Bekas Penambangan di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar Studi Kestabilan Lereng Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) pada Lereng Bekas Penambangan di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar Rijal Askari*, Ibnu Rusydy, Febi Mutia Program Studi Teknik Pertambangan,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... ii ABSTRAK... v ABSTRACT... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Saat ini pendirian suatu konstruksi terus berkembang seiring dengan kebutuhan manusia terhadap kegiatan tersebut yang terus meningkat. Lebih lanjut lagi,

Lebih terperinci

Gambar 1 Hubungan antara Tegangan Utama Mayor dan Minor pada Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown dan Kriteria Keruntuhan Mohr-Coulomb (Wyllie & Mah, 2005)

Gambar 1 Hubungan antara Tegangan Utama Mayor dan Minor pada Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown dan Kriteria Keruntuhan Mohr-Coulomb (Wyllie & Mah, 2005) Kekuatan Massa Batuan Sebagai alternatif dalam melakukan back analysis untuk menentukan kekuatan massa batuan, sebuahh metode empirik telah dikembangkan oleh Hoek and Brown (1980) dengan kekuatan geser

Lebih terperinci

BAB III DASAR TEORI 3.1 UMUM

BAB III DASAR TEORI 3.1 UMUM BAB III DASAR TEORI 3.1 UMUM Pada kegiatan penambangan, proses penggalian merupakan kegiatan yang utama. Penggalian dilakukan terhadap massa batuan yang memiliki struktur geologi yang kompleks didalamnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Potensi ketidakstabilan yang terjadi pada batuan di sekitar lubang bukaan tambang bawah tanah biasanya akan selalu membutuhkan penanganan khusus terutama atas

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Analisis Kestabilan Lereng Batuan

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Analisis Kestabilan Lereng Batuan BAB II DASAR TEORI Eskavasi terbuka adalah memindahkan suatu massa dari material tanah (soil) ataupun batuan (rocks) dengan tujuan untuk memudahkan pembuatan konstruksi yang telah direncanakan sebelumnya.

Lebih terperinci

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line

Scan Line dan RQD. 1. Pengertian Scan Line Scan Line dan RQD 1. Pengertian Scan Line Salah satu cara untuk menampilkan objek 3 dimensi agar terlihat nyata adalah dengan menggunakan shading. Shading adalah cara menampilkan objek 3 dimensi dengan

Lebih terperinci

EVALUASI TEKNIS SISTEM PENYANGGAAN MENGGUNAKAN METODE ROCK MASS RATING

EVALUASI TEKNIS SISTEM PENYANGGAAN MENGGUNAKAN METODE ROCK MASS RATING EVALUASI TEKNIS SISTEM PENYANGGAAN MENGGUNAKAN METODE ROCK MASS RATING (RMR) SYSTEM PADA DEVELOPMENT AREA (CKN_DC) TAMBANG EMAS BAWAH TANAH PT. CIBALIUNG SUMBERDAYA Frisky Alfathoni 1, Syamsul Komar 2,

Lebih terperinci

BAB III DASAR TEORI. 3.1 Prinsip Pengeboran

BAB III DASAR TEORI. 3.1 Prinsip Pengeboran BAB III DASAR TEORI 3.1 Prinsip Pengeboran Hampir dalam semua bentuk penambangan, batuan keras diberai dengan pengeboran dan peledakan. Pengeboran dan peledakan dibutuhkan di sebagian besar tambang terbuka

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii SURAT PERNYATAAN KARYA ASLI TUGAS AKHIR... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v HALAMAN MOTTO... vi ABSTRAK...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terowongan, baik terowongan produksi maupun terowongan pengembangan.

BAB I PENDAHULUAN. terowongan, baik terowongan produksi maupun terowongan pengembangan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Segala aktivitas penambangan bawah tanah dilakukan dengan membuat terowongan, baik terowongan produksi maupun terowongan pengembangan. Terowongan dibuat dengan menjaga

Lebih terperinci

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: 2460-6499 Sistem Stabilitas Lubang Bukaan Pengembangan dengan Menggunakan Baut Batuan (Rockbolt) dan Beton Tembak (Shotcrete) di Blok Cikoneng PT Cibaliung Sumberdaya,

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN LERENG DI PIT PAJAJARAN PT. TAMBANG TONDANO NUSAJAYA SULAWESI UTARA

ANALISIS KESTABILAN LERENG DI PIT PAJAJARAN PT. TAMBANG TONDANO NUSAJAYA SULAWESI UTARA ABSTRAK ANALISIS KESTABILAN LERENG DI PIT PAJAJARAN PT. TAMBANG TONDANO NUSAJAYA SULAWESI UTARA Arin Chandra Kusuma, Bagus Wiyono, Sudaryanto Prodi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. Longsoran Bidang (Hoek & Bray, 1981) Gambar 3.1

BAB III TEORI DASAR. Longsoran Bidang (Hoek & Bray, 1981) Gambar 3.1 BAB III TEORI DASAR 3.1 Jenis-Jenis Longsoran Ada beberapa jenis longsoran yang umum dijumpai pada massa batuan di tambang terbuka, yaitu : Longsoran Bidang (Plane Failure) Longsoran Baji (Wedge Failure)

Lebih terperinci

BAB IV DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN PERUBAHAN KEKUATAN BATUANNYA

BAB IV DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN PERUBAHAN KEKUATAN BATUANNYA BAB IV DERAJAT PELAPUKAN ANDESIT DAN PERUBAHAN KEKUATAN BATUANNYA 4.1 Analisis Hasil Uji Schmidt Hammer Hasil uji Schmidt hammer pada andesit di Gunung Pancir, Soreang menunjukkan bahwa tingkat kekerasan

Lebih terperinci

Gophering Adalah metode penambangan yang tidak sistematis, umumnya dilakukan secara tradisional / manual. Dipakai untuk endapan tersebar dengan nilai

Gophering Adalah metode penambangan yang tidak sistematis, umumnya dilakukan secara tradisional / manual. Dipakai untuk endapan tersebar dengan nilai Gophering Adalah metode penambangan yang tidak sistematis, umumnya dilakukan secara tradisional / manual. Dipakai untuk endapan tersebar dengan nilai sedang-tinggi Bijih dan batuan samping cukup kuat,

Lebih terperinci

Istilah-istilah dalam Tambang Bawah Tanah

Istilah-istilah dalam Tambang Bawah Tanah Istilah-istilah dalam Tambang Bawah Tanah 1.Shaft Shaft adalah suatu lubang bukaan vertical atau miring yang menghubungkan tambang bawah tanah dengan permukaan bumi dan berfungsi sebagai jalan pengangkutan

Lebih terperinci

BAB IV PENGAMATAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGAMATAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGAMATAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1 Penentuan Blok Penelitian Penentuan blok penelitian dilakukan dengan menyesuaikan aktivitas mesin bor yang sedang bekerja atau beroperasi memproduksi lubang tembak.

Lebih terperinci

Jl. Raya Palembang-Prabumulih Km.32 Inderalaya Sumatera Selatan, 30662, Indonesia Telp/fax. (0711) ;

Jl. Raya Palembang-Prabumulih Km.32 Inderalaya Sumatera Selatan, 30662, Indonesia Telp/fax. (0711) ; ANALISIS KESTABILAN LERENG MENGGUNAKAN METODE SLOPE MASS RATING DAN METODE STEREOGRAFIS PADA PIT BERENAI PT. DWINAD NUSA SEJAHTERA (SUMATERA COPPER AND GOLD) KABUPATEN MUSI RAWAS UTARA PROVINSI SUMATERA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan batuan samping berpotensi jatuh. Keruntuhan (failure) pada batuan di

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan batuan samping berpotensi jatuh. Keruntuhan (failure) pada batuan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi ketidakstabilan yang terjadi pada batuan di sekitar lubang bukaan tambang bawah tanah membutuhkan penanganan khusus, terutama perancangan penyanggaan untuk

Lebih terperinci

JURNAL TEKNOLOGI INFORMASI & PENDIDIKAN ISSN : VOL. 6 NO. 1 Maret 2013

JURNAL TEKNOLOGI INFORMASI & PENDIDIKAN ISSN : VOL. 6 NO. 1 Maret 2013 STUDI TEROWONGAN JALAN RAYA PADANG SOLOK Yoszi Mingsi Anaperta 1 ABSTRACT Padang Solok roadway has Solok hillsides are unstable due to pruning as well as human activity itself, so it will be at high risk

Lebih terperinci

1) Geometri : Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan

1) Geometri : Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan 24 Gambar 2.10 Tipe urat pengisi (Pluijm dan Marshak, 2004) : (a) blocky vein, (b) fibrous vein, (c) dan (d) arah bukaan diskontinuitas sama dengan sumbu fiber Sehingga berdasarkan parameter deskripsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur yang memiliki kondisi geologi dari aktivitas gunung api yang kompleks dengan keberagaman morfologi yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KINEMATIK

BAB IV ANALISIS KINEMATIK BAB IV ANALISIS KINEMATIK Pada prinsipnya terdapat dua proses untuk melakukan evaluasi kestabilan suatu lereng batuan. Langkah pertama adalah menganalisis pola-pola atau orientasi diskontinuitas yang dapat

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Metode Underhand Cut And Fill Metode underhand cut and fill (UHCF) merupakan teknik penambangan dengan memotong batuan untuk membuat stope dalam level kemudian mengisi kembali

Lebih terperinci

MAKALAH PENGEBORAN DAN PENGGALIAN EKSPLORASI

MAKALAH PENGEBORAN DAN PENGGALIAN EKSPLORASI MAKALAH PENGEBORAN DAN PENGGALIAN EKSPLORASI Disusun Oleh : ERWINSYAH F1B3 13 125 TEKNIK JURUSAN PERTAMBANGAN FAKULTAS ILMU TEKNOLOGI KEBUMIAN UNIVERSITAS HALUOLEO 2017 KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN

BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat dua proses utama dalam melakukan evaluasi kestabilan lereng batuan, pada bab ini dibahas

Lebih terperinci

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: Prosiding Teknik Pertambangan ISSN: 2460-6499 Evaluasi Stabilitas Lubang Bukaan berdasarkan Pemodelan Geoteknik dan Metode Pull Out Test di Site Kencana PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) Kabupaten Halmahera

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN DAN HASIL PEMODELAN

BAB III PEMODELAN DAN HASIL PEMODELAN BAB III PEMODELAN DAN HASIL PEMODELAN Data-data yang telah didapatkan melalui studi literatur dan pencarian data di lokasi penambangan emas pongkor adalah : 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukaan

Lebih terperinci

PAPER GEOLOGI TEKNIK

PAPER GEOLOGI TEKNIK PAPER GEOLOGI TEKNIK 1. Apa maksud dari rock mass? apakah sama atau beda rock dengan rock mass? Massa batuan (rock mass) merupakan volume batuan yang terdiri dan material batuan berupa mineral, tekstur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Praktikum

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Praktikum BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batuan adalah benda padat yang terbentuk secara alami dan terdiri atas mineralmineral tertentu yang tersusun membentuk kulit bumi. Batuan mempunyai sifat-sifat tertentu

Lebih terperinci

Oleh: Yasmina Amalia Program Studi Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta

Oleh: Yasmina Amalia Program Studi Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta PENERAPAN METODE KRITERIA RUNTUH HOEK & BROWN DALAM MENENTUKAN FAKTOR KEAMANAN PADA ANALISIS KESTABILAN LERENG DI LOOP 2 PT. KALTIM BATU MANUNGGAL KALIMANTAN TIMUR Oleh: Yasmina Amalia Program Studi Teknik

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN LUBANG BUKAAN DAN PILLAR DALAM RENCANA PEMBUATAN TAMBANG BAWAH TANAH BATUGAMPING DENGAN METODE ROOM AND PILLAR

ANALISIS KESTABILAN LUBANG BUKAAN DAN PILLAR DALAM RENCANA PEMBUATAN TAMBANG BAWAH TANAH BATUGAMPING DENGAN METODE ROOM AND PILLAR ANALISIS KESTABILAN LUBANG BUKAAN DAN PILLAR DALAM RENCANA PEMBUATAN TAMBANG BAWAH TANAH BATUGAMPING DENGAN METODE ROOM AND PILLAR DI DESA SIDOREJO KECAMATAN LENDAH KAB. KULONPROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PT. Adaro Indonesia merupakan satu perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia. PT. Adaro telah berproduksi sejak tahun 1992 yang meliputi 358 km 2 wilayah konsesi

Lebih terperinci

M VII KUAT TARIK TIDAK LANGSUNG (Indirect Brazillian Tensile Strength Test)

M VII KUAT TARIK TIDAK LANGSUNG (Indirect Brazillian Tensile Strength Test) M VII KUAT TARIK TIDAK LANGSUNG (Indirect Brazillian Tensile Strength Test) 3.5.1 Tujuan pengujian Kuat Tarik Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui kuat tarik batuan secara tidak langsung, pengertian

Lebih terperinci

Cara uji geser langsung batu

Cara uji geser langsung batu Standar Nasional Indonesia Cara uji geser langsung batu ICS 93.020 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian atau seluruh isi dokumen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Jalan 2.1.1 Istilah Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut : 1. Jalan adalah prasarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar yang dibangun di atas suatu tempat yang luasnya terbatas dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. besar yang dibangun di atas suatu tempat yang luasnya terbatas dengan tujuan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bendungan adalah suatu konstruksi atau massa material dalam jumlah besar yang dibangun di atas suatu tempat yang luasnya terbatas dengan tujuan untuk menahan laju

Lebih terperinci

Analisis Geoteknik Terowongan Batuan Geurutee Aceh Menggunakan Metode Elemen Hingga

Analisis Geoteknik Terowongan Batuan Geurutee Aceh Menggunakan Metode Elemen Hingga Reka Racana Jurusan Teknik Sipil Itenas Vol. 2 No. 4 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Desember 216 Analisis Geoteknik Terowongan Batuan Geurutee Aceh RYAN ACHMAD FADHILLAH, INDRA NOER HAMDHAN

Lebih terperinci

ANALISIS KARAKTERISTIK MASSA BATUAN DI SEKTOR LEMAJUNG, KALAN, KALIMANTAN BARAT

ANALISIS KARAKTERISTIK MASSA BATUAN DI SEKTOR LEMAJUNG, KALAN, KALIMANTAN BARAT ANALISIS KARAKTERISTIK MASSA BATUAN DI SEKTOR LEMAJUNG, KALAN, KALIMANTAN BARAT ANALYSIS OF ROCK MASS CHARACTERISTICS IN LEMAJUNG SECTOR, KALAN, WEST KALIMANTAN Heri Syaeful * dan Dhatu Kamajati Pusat

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT FRAGMENTASI

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT FRAGMENTASI FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT FRAGMENTASI Tingkat fragmentasi batuan hasil peledakan merupakan suatu petunjuk yang sangat penting dalam menilai keberhasilan dari suatu kegiatan peledakan, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Manusia secara historis telah menggunakan tanah dan batuan sebagai bahan untuk pengendalian banjir, irigasi, tempat pemakaman, membangun pondasi, dan bahan

Lebih terperinci

KAJIAN GEOTEKNIK UNTUK TAMBANG BATUBARA BAWAH TANAH DI KABUPATEN TAPIN, KALIMANTAN SELATAN

KAJIAN GEOTEKNIK UNTUK TAMBANG BATUBARA BAWAH TANAH DI KABUPATEN TAPIN, KALIMANTAN SELATAN RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN GEOTEKNIK UNTUK TAMBANG BATUBARA BAWAH TANAH DI KABUPATEN TAPIN, KALIMANTAN SELATAN Oleh : Ir. Endri O Erlangga M.Sc Ir. Masri Rifin Ir. Ahmad Syofyan Wiroto W Prihono, ST Gunawan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN TESIS 2013 BAB I PENDAHULUAN

LAPORAN PENELITIAN TESIS 2013 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Proses-proses geologi yang terjadi selama dan setelah pembentukan batuan mempengaruhi sifat massanya (rock mass properties), termasuk sifat keteknikan (engineering

Lebih terperinci

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP STABILITAS GOA SEROPAN, KECAMATAN SEMANU, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Oleh; Bani Nugroho

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP STABILITAS GOA SEROPAN, KECAMATAN SEMANU, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Oleh; Bani Nugroho PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP STABILITAS GOA SEROPAN, KECAMATAN SEMANU, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Oleh; Bani Nugroho Teknik Geologi FTKE- Universitas Trisakti Program Doktor

Lebih terperinci

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING

BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING BAB VI KARAKTERISTIK REKAHAN PADA BATUGAMPING 6. 1 Pendahuluan Menurut Nelson (1985), sistem rekahan khususnya spasi rekahan dipengaruhi oleh komposisi batuan, ukuran butir, porositas, ketebalan lapisan,

Lebih terperinci

BAB III METODE KAJIAN

BAB III METODE KAJIAN 24 BAB III METODE KAJIAN 3.1 Persiapan Memasuki tahap persiapan ini disusun hal-hal penting yang harus dilakukan dalam rangka penulisan tugas akhir ini. Adapun tahap persiapan ini meliputi hal-hal sebagai

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO

UNIVERSITAS DIPONEGORO UNIVERSITAS DIPONEGORO KAJIAN KLASIFIKASI MASSA BATUAN DAN ANALISIS STEREOGRAFIS TERHADAP STABILITAS LERENG PADA OPERASI PENAMBANGAN TAMBANG BATUBARA AIR LAYA DESA TANJUNG ENIM KABUPATEN MUARA ENIM SUMATERA

Lebih terperinci

Analisis Kinematik untuk Mengetahui Potensi Ambrukan Baji di Blok Cikoneng PT. CSD Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten

Analisis Kinematik untuk Mengetahui Potensi Ambrukan Baji di Blok Cikoneng PT. CSD Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten Analisis Kinematik untuk Mengetahui Potensi Ambrukan Baji di Blok Cikoneng PT. CSD Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten Thresna Adeliana 1, Asan Pasintik 2, Risanto Panjaitan 3 Mahasiswa Magister Teknik

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Bieniawski, Z. T., Rock Mechanics Design in Mining and Tunneling. A.A. Balkema, Amsterdam. 272 hal.

DAFTAR PUSTAKA. Bieniawski, Z. T., Rock Mechanics Design in Mining and Tunneling. A.A. Balkema, Amsterdam. 272 hal. DAFTAR PUSTAKA Adu, A. dan Acheampong, 2003. Importance of geotechnical field mapping in acessing the stability of underground excavation. SME Annual Meeting. Cincinati, Ohio. 6 hal. Alzwar, M., Akbar,

Lebih terperinci

BAB 4 PENGUMPULAN DATA LAPANGAN. Pemetaan geologi dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi daerah penelitian

BAB 4 PENGUMPULAN DATA LAPANGAN. Pemetaan geologi dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi daerah penelitian BAB 4 PENGUMPULAN DATA LAPANGAN 4.1. Pemetaan Geologi dan Struktur Geologi Pemetaan geologi dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi daerah penelitian yang berupa jenis batuan, penyebarannya, stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. PT. Berau Coal merupakan salah satu tambang batubara dengan sistim penambangan

BAB 1 PENDAHULUAN. PT. Berau Coal merupakan salah satu tambang batubara dengan sistim penambangan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian PT. Berau Coal merupakan salah satu tambang batubara dengan sistim penambangan terbuka di Kalimantan Timur Indonesia yang resmi berdiri pada tanggal 5 April

Lebih terperinci

Tambang Terbuka (013)

Tambang Terbuka (013) Tambang Terbuka (013) Abdullah 13.31.1.350 Fakultas Teknik Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Pejuang Republik Indonesia Makassar 2013 Pendahuluan Aturan utama dari eksploitasi tambang adalah memilih

Lebih terperinci

SQUEEZING PADA MASSA BATUAN SEKITAR TEROWONGAN DI DAERAH TAMBANG CIKONENG, BANTEN

SQUEEZING PADA MASSA BATUAN SEKITAR TEROWONGAN DI DAERAH TAMBANG CIKONENG, BANTEN Vol.1. No. 2, November 2016, pp.61-66 61 SQUEEZING PADA MASSA BATUAN SEKITAR TEROWONGAN DI DAERAH TAMBANG CIKONENG, BANTEN Bayurohman Pangacella PUTRA 1,a, Budi SULISTIANTO 2, Ganda M. SIMANGUNSONG 2,

Lebih terperinci

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut :

Untuk mengetahui klasifikasi sesar, maka kita harus mengenal unsur-unsur struktur (Gambar 2.1) sebagai berikut : Landasan Teori Geologi Struktur Geologi struktur adalah bagian dari ilmu geologi yang mempelajari tentang bentuk (arsitektur) batuan akibat proses deformasi serta menjelaskan proses pembentukannya. Proses

Lebih terperinci

EVALUASI MASSA BATUAN TEROWONGAN EKSPLORASI URANIUM EKO-REMAJA, KALAN, KALIMANTAN BARAT

EVALUASI MASSA BATUAN TEROWONGAN EKSPLORASI URANIUM EKO-REMAJA, KALAN, KALIMANTAN BARAT Eksplorium p-issn 0854-1418 Volume 37 No. 2, November 2016: 89 100 e-issn 2503-426X EVALUASI MASSA BATUAN TEROWONGAN EKSPLORASI URANIUM EKO-REMAJA, KALAN, KALIMANTAN BARAT ROCK MASS EVALUATION OF EKO-REMAJA

Lebih terperinci

PENGAMBILAN CONTOH TANAH DAN BATUAN. Dr.Eng. Agus S. Muntohar

PENGAMBILAN CONTOH TANAH DAN BATUAN. Dr.Eng. Agus S. Muntohar 45 PENGAMBILAN CONTOH TANAH DAN BATUAN Pertemuan ke-4 16-20 Maret 2015 Dr.Eng. Agus S. Muntohar Metode Pengambilan Contoh Tanah Contoh Tanah Terusik (disturbed) Struktur tanah dan kadar air telah berubah

Lebih terperinci

Oleh : ARIS ENDARTYANTO SKRIPSI

Oleh : ARIS ENDARTYANTO SKRIPSI ANALISIS KESTABILAN LERENG DENGAN MENGGUNAKAN METODE KINEMATIK DAN KLASIFIKASI MASSA BATUAN; STUDI KASUS DI AREA PENAMBANGAN ANDESIT, DESA JELEKONG, KECAMATAN BALE ENDAH, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT

Lebih terperinci

Sistem Penambangan Bawah Tanah (Edisi I) Rochsyid Anggara, ST. Balai Pendidikan dan Pelatihan Tambang Bawah Tanah

Sistem Penambangan Bawah Tanah (Edisi I) Rochsyid Anggara, ST. Balai Pendidikan dan Pelatihan Tambang Bawah Tanah Sistem Penambangan Bawah Tanah (Edisi I) Rochsyid Anggara, ST Balai Pendidikan dan Pelatihan Tambang Bawah Tanah Ditinjau dari sistem penyanggaannya, maka metode penambangan bawah tanah (Underground mining)

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG R. Andy Erwin Wijaya. 1,2, Dwikorita Karnawati 1, Srijono 1, Wahyu Wilopo 1 1)

Lebih terperinci

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN 1. GAMBAR KONSTRUKSI JALAN a) Perkerasan lentur (flexible pavement), umumnya terdiri dari beberapa lapis perkerasan dan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Gambar 6 Jenis Perkerasan Lentur Tanah

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN 4.1. UJI SIFAT FISIK Parameter uji sifat fisik dari sampel batuan didapatkan dengan melakukan perhitungan terhadap data berat natural contoh batuan (Wn), berat jenuh

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Korelasi Laju Penembusan antara Dispatch dan Aktual. Tabel 5.1 Korelasi Laju Penembusan antara data Dispatch dan data Aktual

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Korelasi Laju Penembusan antara Dispatch dan Aktual. Tabel 5.1 Korelasi Laju Penembusan antara data Dispatch dan data Aktual BAB V PEMBAHASAN 5.1 Korelasi Laju Penembusan antara Dispatch dan Aktual Dalam pengambilan data laju penembusan di lapangan diperoleh adanya perbedaan hasil pencatatan antara Dispatch dan aktual. Hal ini

Lebih terperinci

Studi Jarak Kekar Berdasarkan Pengukuran Singkapan Massa Batuan Sedimen di Lokasi Tambang Batubara

Studi Jarak Kekar Berdasarkan Pengukuran Singkapan Massa Batuan Sedimen di Lokasi Tambang Batubara Studi Jarak Kekar Berdasarkan Pengukuran Singkapan Massa Batuan Sedimen di Lokasi Tambang Batubara Oleh: Saptono, S., Kramadibrata, S., Sulistianto, B., Irsyam, M. Ringkasan Perdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

DISAIN TAMBANG BATUBARA BAWAH TANAH DENGAN CAD

DISAIN TAMBANG BATUBARA BAWAH TANAH DENGAN CAD DISAIN TAMBANG BATUBARA BAWAH TANAH DENGAN CAD Ketut Gunawan Jurusan T. Pertambangan, FTM, UPN Veteran Yogyakarta, Email : ketutgunawan@yahoo.com Abstract Over time the amount of coal reserves in Indonesia

Lebih terperinci

D3 JURUSAN TEKNIK SIPIL POLBAN BAB II DASAR TEORI

D3 JURUSAN TEKNIK SIPIL POLBAN BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Stabilitas Talud (Stabilitas Lereng) Suatu tempat yang memiliki dua permukaan tanah yang memiliki ketinggian yang berbeda dan dihubungkan oleh suatu permukaan disebut lereng (Vidayanti,

Lebih terperinci

METODE TAMBANG BAWAH TANAH : SHRINKAGE STOPING. Rochsyid Anggara, ST. Balai Pendidikan dan Pelatihan Tambang Bawah Tanah

METODE TAMBANG BAWAH TANAH : SHRINKAGE STOPING. Rochsyid Anggara, ST. Balai Pendidikan dan Pelatihan Tambang Bawah Tanah 1. Penjelasan Umum METODE TAMBANG BAWAH TANAH : SHRINKAGE STOPING Rochsyid Anggara, ST Balai Pendidikan dan Pelatihan Tambang Bawah Tanah Shrikage stoping adalah sistem penggaliannya dilakukan secara over

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Font Tulisan TNR 12, spasi 1,5 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Font Tulisan TNR 12, spasi 1,5 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Font Tulisan TNR 12, spasi 1,5 1.1 Latar Belakang Batuan adalah benda padat yang terbentuk secara alami dan terdiri atas mineral-mineral tertentu yang tersusun membentuk kulit bumi. Batuan

Lebih terperinci

ISTILAH-ISTILAH PERTAMBANGAN BAWAH TANAH

ISTILAH-ISTILAH PERTAMBANGAN BAWAH TANAH ISTILAH-ISTILAH PERTAMBANGAN BAWAH TANAH DISUSUN OLEH : HENGKY RIZKY ROMADHONA Pengertian Tambang Bawah Tanah O Secara umum pengertian tambang bawah tanah adalah suatu sistim penambangan mineral atau batubara

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1.Tanah Lempung Tanah Lempung merupakan jenis tanah berbutir halus. Menurut Terzaghi (1987) tanah lempung merupakan tanah dengan ukuran mikrokopis sampai dengan sub mikrokopis

Lebih terperinci

RESUME APLIKASI MEKANIKA TANAH DALAM PERTAMBANGAN

RESUME APLIKASI MEKANIKA TANAH DALAM PERTAMBANGAN RESUME APLIKASI MEKANIKA TANAH DALAM PERTAMBANGAN A. Pengertian Tanah Sejarah terjadinya tanah, pada mulanya bumi ini berupa bola magma cair yang sangat panas. Karena adanya proses pendinginan permukannya

Lebih terperinci

PENYANGGAAN TAMBANG BAWAH TANAH

PENYANGGAAN TAMBANG BAWAH TANAH PENYANGGAAN TAMBANG BAWAH TANAH PENYANGGAAN Fungsi 1.Menyangga batuan yang potensial untuk runtuh 2.Menahan / menghentikan perpindahan lubang bukaan Tujuan Mempertahankan luas dan bentuk bidang penampang

Lebih terperinci

ESTIMASI GEOLOGICAL STRENGTH INDEX (GSI) SYSTEM PADA LAPISAN BATUGAMPING BERONGGA DI TAMBANG KUARI BLOK SAWIR TUBAN JAWA TIMUR

ESTIMASI GEOLOGICAL STRENGTH INDEX (GSI) SYSTEM PADA LAPISAN BATUGAMPING BERONGGA DI TAMBANG KUARI BLOK SAWIR TUBAN JAWA TIMUR ESTIMASI GEOLOGICAL STRENGTH INDEX (GSI) SYSTEM PADA LAPISAN BATUGAMPING BERONGGA DI TAMBANG KUARI BLOK SAWIR TUBAN JAWA TIMUR R. Andy Erwin Wijaya 1, Dwikorita Karnawati 2, Srijono 2, Wahyu Wilopo 2,

Lebih terperinci

BEBERAPA PENYELIDIKAN GEOMEKANIKA YANG MUDAH UNTUK MENDUKUNG RANCANGAN PELEDAKAN

BEBERAPA PENYELIDIKAN GEOMEKANIKA YANG MUDAH UNTUK MENDUKUNG RANCANGAN PELEDAKAN BEBERAPA PENYELIDIKAN GEOMEKANIKA YANG MUDAH UNTUK MENDUKUNG RANCANGAN PELEDAKAN S. Koesnaryo Fakultas Teknologi Mineral UPN Veteran Yogyakarta koesnaryo_s@yahoo.co.id Abstrak Pancangan peledakan yang

Lebih terperinci

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM

BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM BAB 4 PENGUJIAN LABORATORIUM Uji laboratorium dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan perilaku struktur bambu akibat beban rencana. Pengujian menjadi penting karena bambu merupakan material yang tergolong

Lebih terperinci

Studi Mengenai Keberlakuan Pengaruh Permukaan Spesifik Agregat terhadap Kuat Tekan dalam Campuran Beton

Studi Mengenai Keberlakuan Pengaruh Permukaan Spesifik Agregat terhadap Kuat Tekan dalam Campuran Beton Reka Racana Teknik Sipil Itenas No.x Vol.xx Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Januari 2015 Studi Mengenai Keberlakuan Pengaruh Permukaan Spesifik Agregat terhadap Kuat Tekan dalam Campuran Beton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan cara menggunakan pendekatan Rock Mass Rating (RMR). RMR dapat

BAB I PENDAHULUAN. dengan cara menggunakan pendekatan Rock Mass Rating (RMR). RMR dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Keadaan struktur massa batuan di alam yang cenderung berbeda dikontrol oleh kenampakan struktur geologi, bidang diskontinuitas, bidang perlapisan atau kekar.

Lebih terperinci

b. Komponen D2 Berat komponen adalah 19,68 kg Gambar 65. Komponen D1 Gambar 66. Komponen D2

b. Komponen D2 Berat komponen adalah 19,68 kg Gambar 65. Komponen D1 Gambar 66. Komponen D2 1. Varian I Varian I memiliki tiga buah komponen yaitu komponen D1 yang berfungsi sebagai dinding utama, komponen D2, komponen D3 dan komponen D4. Varian I dikembangkan dalam modul 70 x 60 cm. a. Komponen

Lebih terperinci

Cara uji kuat tarik tidak langsung batu di laboratorium

Cara uji kuat tarik tidak langsung batu di laboratorium Standar Nasional Indonesia Cara uji kuat tarik tidak langsung batu di laboratorium ICS 91.100.30 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Maksud dan Tujuan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geoteknik merupakan suatu ilmu terapan yang peranannya sangat penting, tidak hanya dalam dunia pertambangan akan tetapi dalam berbagai bidang seperti teknik sipil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 40 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bahan dan Struktur Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Udayana di Kampus Bukit Jimbaran. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

ANALISIS KESTABILAN LERENG BATU DI JALAN RAYA LHOKNGA KM 17,8 KABUPATEN ACEH BESAR

ANALISIS KESTABILAN LERENG BATU DI JALAN RAYA LHOKNGA KM 17,8 KABUPATEN ACEH BESAR ISSN 0125-9849, e-issn 2354-6638 Ris.Geo.Tam Vol. 27, No.2, Desember 2017 (145-155) DOI: 10.14203/risetgeotam2017.v27.452 ANALISIS KESTABILAN LERENG BATU DI JALAN RAYA LHOKNGA KM 17,8 KABUPATEN ACEH BESAR

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENGUJIAN

BAB III PELAKSANAAN PENGUJIAN BAB III PELAKSANAAN PENGUJIAN Pengujian dilakukan di Laboratorium Geomekanika, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung. Pengujian diawali dengan kegiatan pengeboran dan

Lebih terperinci

Bab IV Identifikasi Kekuatan Andesit

Bab IV Identifikasi Kekuatan Andesit Bab IV Identifikasi Kekuatan Andesit 4.1 Aturan Pengujian RSCH Identifikasi kekuatan andesit dilakukan dengan menggunakan rock strength classification hammer (RSCH) secara langsung di lapangan. Pengujian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM Tujuan utama analisis variogram yang merupakan salah satu metode geostatistik dalam penentuan hubungan spasial terutama pada pemodelan karakterisasi

Lebih terperinci