BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di negara Indonesia pajak sangatlah penting untuk menambah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pajak menurut beberapa ahli antara lain :

BAB II BAHAN RUJUKAN

NO. PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 KET 1. Pasal 1. Tetap

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2011 NOMOR 1

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Sama seperti pajak, namun terdapat imbalan (kontra-prestasi) secara langsung yang dapat dirasakan oleh pembayar retribusi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR TAHUN 2010 NOMOR 25 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR NOMOR 25 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BAUBAU,

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6).

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI KONAWE UTARA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG

5/3/2011 DASAR HUKUM BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) OBJEK BEA PEROLEHAN HAK ATAS PENGERTIAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS

TENTANG` BUPATI PATI,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R.

TITIS RONALITA RESMADEWI NIM

PERPAJAKAN (SEBUAH PENGANTAR) Disampaikan oleh: Rr. Indah Mustikawati, M.Si., Ak.

WALIKOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG

Pembedaan dan Penggolongan Pajak didasarkan pada suatu kriteria,seperti:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI BANDUNG BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 02 TAHUN 2011 TLD : 01

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak pada dasarnya mempunyai peranan yang sangat penting dalam

PENGANTAR PERPAJAKAN. Amanita Novi Yushita, M.Si

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

a PEMERINTAH KOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 4 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk. membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2011).

PEMERINTAH KOTA SURABAYA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Mardiasmo, 2009:21). digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BUPATI BANGKA TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2011 NOMOR

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

PEMERINTAH KABUPATEN SIDOARJO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2011 NOMOR 01 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2011 T E N T A N G

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

TENTANG. dilakukan. Nomor 21. diubah. Tanah dan. Tahun. Nomor...

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BUPATI MUSI RAWAS, TENTANG

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BUPATI MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

RGS Mitra 1 of 15 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I I TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKULU TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II LANDASAN TEORI. keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 ketentuan Umum dan Tata

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KABUPATEN KONAWE UTARA. PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR: 4 TAHUN20t2 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN ( BPHTB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tahun 2009 dalam pasal 1 angka 1, sebagai berikut

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. yang menyelenggarakan pemerintahan (Waluyo, 2007: 2) untuk memelihara kesejahteraan secara langsung.

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

BAB II BAHAN RUJUKAN

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 06 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pada sensus penduduk yang dilakukan pada 1 Mei 15 Juni 2010 tercatat paling

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II BAHAN RUJUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 18 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara

PERATURAN DAERAH LAMPUNG SELATAN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 T E N T A N G BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (Berita Resmi Kota Yogyakarta)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pajak 1. Pengertian Pajak Pajak menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 Ayat 1 yang berbunyi: Pajak adalah kontribusi waji terutang oleh orang pibadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur (Waluyo, revisi): 1. Iuran dari rakyat kepada Negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undangundang serta aturan pelaksanaannya.

35 3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya jasa timbal individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. B. Tinjauan Pajak dari Berbagai Aspek Masalah perpajakan tidaklah sederhana hanya sekedar menyerahkan sebagian penghasilan atau kekayaan seseorang kepada negara, tetapi coraknya terlihat bermacam-macam bergantung pada pendekatannya. Dalam hal ini pajak dapat didekati atau ditinjau dari berbagai aspek (Waluyo 2013): 1. Aspek Ekonomi Dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk mengarahkan kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan. Pajak merupakan penggerak kehidupan ekonomi masyarakat. Tanpa kesadaran masyarakat dalam membayar pajaknya, pemerintah tidak dapat meningkatkan prasarana ekonominya. Oleh karena itu, diperlukan usaha mengerahkan dana-dana investasi yang

36 bersumber pada tabungan masyarakat, tabungan pemerintah, serta penerimaan devisa yang berasal dari ekspor atau jasa. 2. Aspek Hukum Pajak merupakan masalah keuangan negara. Dasar yang digunakan pemerintah untuk mengatur masalah keuangan negara yaitu Pasal 23A Amandemen UUD 1945 (pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang). Meskipun undang-undang yang mengatur tentang perpajakan di Indonesia masih sering mengalami perubahan, namun diharapkan perundang-undangan pemerintah dapat menegakkan law enforcement dibidang perpajakan. 3. Aspek Keuangan Pajak dipandang sebagai bagian yang sangat penting dalam penerimaan negara. Jika dilihat dari penerimaan negara, kondisi keuangan negara tidak lagi semata-mata dari penerimaan negara berupa minyak dan gas bumi, tetapi lebih berupaya untuk menjadikan pajak sebagai primadona penerimaan negara. Alat ukur yang digunakan sebagai indikator efektif dan produktifnya pemungutan pajak yaitu dalam fungsinya pengumpulan penerimaan negara berupa pajak. Kecenderungan umum dengan semakin maju suatu sistem pajak suatu negara, akan semakin tinggi rasio pajak (tax ratio).

37 4. Aspek Sosiologi Pada aspek sosiologi, bahwa pajak ditinjau dari segi masyarakat yaitu menyangkut akibat atau dampak terhadap masyarakat atas pungutan dan hasil apakah yang dapat disampaikan kepada masyarakat. Pajak memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara merata dengan melakukan pembangunan di berbagai sektor. C. Teori Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (Revisi), pemungutan pajak yang dilaksanakan oleh suatu negara khususnya Indonesia, didasarkan atas beberapa teori. Teori-teori tersebut antara lain: 1. Teori Asuransi Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut. 2. Teori Kepentingan Dalam teori ini, pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masingmasing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar. 3. Teori Daya Pikul

38 Teori ini menyatakan bahwa, beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu: a. Unsur Objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. b. Unsur Subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi. 4. Teori Bakti Teori ini menyatakan bahwa, dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban. 5. Teori Asas Daya Beli Teori ini beranggapan bahwa, dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

39 D. Fungsi Pajak Pajak yang ada di Indonesia memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah (Resmi 2009): 1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi budgetair,artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barah Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan lain-lain. 2. Fungsi Regularend (Pengatur) Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. E. Pengelompokan Pajak Di Indonesia jenis-jenis pajak dapat dikelompokkan menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutnya (Mardiasmo revisi).

40 Berikut pengelompokkan jenis-jenis pajak: 1. Menurut Golongannya a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Menurut Sifatnya a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 3. Menurut Lembaga Pemungutnya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

41 Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai. b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas: a) Pajak Propinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. b) Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan. F. Tata Cara Pemungutan Pajak 1. Stelsel Pajak Pemungutan pajak di Indonesia menggunakan 3 stelsel, yakni (Mardiasmo Revisi): a. Stelsel nyata (riel stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan

42 kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui). b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya. c. Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali. 2. Asas Pemungutan Pajak a. Asas domisili (asas tempat tinggal)

43 Asas ini menyatakan bahwa, negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri. b. Asas sumber Asas ini beranggapan bahwa, negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Asas ini yang sering digunakan di Indonesia. c. Asas kebangsaan Asas ini menyatakan bahwa, pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. 3. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Resmi (2009), dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu: a. Official Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan para aparatur

44 perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peranan dominan ada pada aparatur perpajakan). b. Self Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib Pajak. c. With Holding System Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. G. Hambatan Pemungutan Pajak Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi (Mardiasmo 2011): 1. Perlawanan Pasif Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain:

45 a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik. 2. Perlawanan Aktif Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain: a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang. b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak). H. Pajak Daerah 1. Dasar Hukum Pajak Daerah Dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yaitu: a. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. b. Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

46 2. Pengertian Pajak Daerah Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 3. Sumber-sumber Penerimaan Daerah a. Pendapatan Asli Daerah (PAD); b. Dana Perimbangan; c. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak; d. Dana Alokasi Umum (DAU); e. Dana Alokasi Khusus (DAK); f. Pinjaman Daerah (Pembiayaan); g. Lain-lain penerimaan yang sah; h. Hibah; dan i. Dana darurat lainnya. 4. Jenis Dan Tarif Pajak Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 2, Pajak Derah dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

47 1. Pajak Provinsi, terdiri dari: a. Pajak Kendaraan Bermotor pribadi, tarif paling rendah 2% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 10% (dua persen); b. Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut: a) Penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen; dan b) Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen); c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen); d. Pajak Air Permukaan, ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen); e. Pajak Rokok, ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok. 2. Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari: a. Pajak Hotel, ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen); b. Pajak Restoran, ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen); c. Pajak Hiburan, ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen);

48 d. Pajak Reklame, ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen); e. Pajak Penerangan Jalan, ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen); f. Pajak Penerangan Jalan Bukan Logam dan Batuan, ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen); g. Pajak Parkir, ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen); h. Pajak Air Tanah, ditetapkan paling tinggi sebesar 205 (dua puluh persen); i. Pajak Sarang Burung Walet, ditetapkan paling tinggi sebesar 105(sepuluh persen); j. Pajak Bumu dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,35 (nol koma tiga persen); k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). 5. Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah a. Pemungut Pajak dilarang diborongkan. b. Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh

49 Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. c. Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lain yang dipersamakan berupa karcis dan nota perhitungan. d. Wajib Pajak yang memnuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SKPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), dan/atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT). 6. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan a. Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 hari setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang oleh wajib pajak. b. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang,Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah

50 merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 bulan sejak tanggal diterbitkan. c. Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas permohonan wajib pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada wajib pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak,dengan dikenakan bunga sebesar 2% sebulan. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Bupati. e. Pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberiathuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh wajib pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa dan tindak Penyitaan. I. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 1. Dasar Hukum Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

51 b. Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. c. Peraturan Bupati Karanganyar Nomor 8 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 2. Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 14 Tahun 2010, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh pribadi atau Badan. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dibidang pertanahan dan bangunan. 3. Wajib Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 14 Tahun 2010 Pasal 3 ayat (2), Wajib BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. 4. Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

52 Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 14 Tahun 2010 Pasal 3 ayat (1), Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. 5. Objek BPHTB Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud meliputi: a. Pemindahan Hak karena: 1) Jual-beli. 2) Tukar menukar 3) Hibah 4) Hibah wasiat 5) Waris 6) Pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lain 7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan. 8) Penunjukkan pembeli dalam lelang. 9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 10) Penggabungan usaha. 11) Peleburan usaha. 12) Pemekaran usaha. 13) Hadiah.

53 b. Pemberian hak baru karena: 1) Kelanjutan pelaksanaan hak; atau 2) Di luar pelaksanaan hak. Hak atas tanah sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut: a) Hak milik. b) Hak guna usaha. c) Hak guna bangunan. d) Hak pakai. e) Hak milik atas satuan rumah susun. f) Hak pengelolaan. 6. Objek yang tidak dikenakan BPHTB Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh dari: a. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum. c. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.

54 d. Orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama. e. Orang pribadi atau Badan karena wakaf. f. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. 7. Dasar Pengenaan BPHTB Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 14 Tahun 2010 Pasal 4 ayat (1), Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal: a. Jual beli adalah harga transaksi; b. Tukar menukar adalah nilai pasar; c. Hibah adalah nilai pasar; d. Hibah wasiat adalah nilai pasar; e. Waris adalah nilai pasar; f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar; g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;

55 i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar; j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; k. Penggabungan usaha adalah nilai pasar; l. Peleburan usaha adalah nilai pasar; m. Pemekaran usaha adalah nilai pasar; n. Hadiah adalah nilai pasar; dan/atau o. Penunjukkan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf o tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. 8. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah: a. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp60 juta untuk setiap Wajib Pajak. b. Dalam hal hak perolehan karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan

56 keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp300 juta. 9. Tarif BPHTB Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen) 10. Saat Terutangnya BPHTB Saat terutangnya BPHTB ditentukan sebagai berikut: a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. b. Tukar-menukar sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. d. Hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. e. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan. f. Pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

57 h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. i. Pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak. j. Pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat pemberian hak. k. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. l. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. m. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. n. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta: dan o. Lelang sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang. Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana telah dimaksud dari huruf a sampai o. 11. Tempat Pajak Terutang BPHTB Tempat Pajak Terutang adalah di wilayah Kota, Kabupaten atau Provinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan. Cara Pembayaran Pajak adalah Wajib Pajak membayar pajak yang

58 terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak Daerah dibayar ke kas daerah melalui Bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaranlain yang ditunjuk oleh Bupati dengan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) BPHTB. 12. Cara Pembayaran BPHTB Wajib Pajak (WP) membayar BPTHB yang terutang tidak menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) melainkan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) BPHTB ke Kas Daerah atau tempat yang telah ditunjuk (Bendahara Penerima pada DPPKAD Kabupaten Karanganyar). 13. Perhitungan BPHTB Secara sistematis perhitungan BPHTB adalah sebagai berikut: NPOP = xxx NPOPTKP = (xxx) NPOPKP = xxx BPHTB Terutang: Tarif 5%x NPOPKP = xxx Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sehingga diperoleh Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Besarnya NPOPKP dikalikan tarif 5% (lima persen).

59 J. Tinjuan Penelitian Terdahulu Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian sejenis yang terkait dengan potensi penerimaan pajak daerah yang pernah ada dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam menyusun laporan tugas akhir. Wicaksana (2015) meneliti tentang pengaruh verifikasi BPHTB terhadap pendapatan asli daerah Kabupaten Karanganyar. Penelitian tersebut membahas mengenai prosedur verifikasi BPHTB, terbitnya Surat Edaran Nomor 5/SE/IV/2013 yang mempengaruhi potensi pajak BPHTB, serta dampak yang timbul diterbitkannya Surat Edaran Nomor 5/SE/IV/2013. Adapun yang membedakan laporan tugas akhir ini dengan penelitian tersebut adalah inti pembahasannya yaitu potensi BPHTB secara lebih mendalam. Penelitian tersebut merupakan jenis penelitian deskriptif analitik yang memfokuskan pembahasan pada proses verifikasi BPHTB serta dampak diterbitkannya Surat Edaran Nomor 5/SE/IV/2013 terhadap potensi BPHTB di Kabupaten Karanganyar. Potensi yang dibahas dalam penelitian terdahulu secara keseluruhan tidak dibahas secara detail pada setiap proses pelaksanaan BPHTB dan data yang di sajikan kurang lengkap. Apabila dilihat dari kelengkapan pembahasan tentang BPHTB, penelitian yang penulis teliti menyajikan data yang lebih lengkap di

60 setiap proses BPHTB. Karena dalam penulisan laporan tugas akhir ini penulis membahas tentang sistem pemungutan BPHTB, potensi BPHTB,kontribusi BPHTB, kendala yang dihadapi DPPKAD dan upaya yang dilakukan DPPKAD dalam meningkatkan potensi BPHTB di Kabupaten Karanganyar.