BAB V KESIMPULAN Fenomena Arab Spring yang dimulai dari Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan menjalar ke Suriah merupakan akar dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah. Fenomena ini menjadi momen sebagai revolusi rakyat yang mana masyarakat Suriah ingin menggulingkan rezim pemerintahan Assad yang telah memerintah Suriah selama bertahun-tahun. Rezim Pemerintahan Assad sendiri terkenal dengan gaya yang diktaktor. Hal ini pula lah yang memicu konflik internal di Suriah yaitu terjadinya perang sipil. Konflik internal yang berkepanjangan tersebut, memberikan kesempatan bagi para pemberontak atau separatisme yang berada di negara sekitarnya untuk masuk dan memprovokator masyarakat negara tersebut untuk menggulingkan rezim pemerintahan negara tersebut. Salah satu kelompok separatisme yang menggunakan kesempatan ini untuk memprovokator rezim Bashar al-assad adalah ISIS. Kehadiran ISIS di Suriah membuat keadaan internal negara Suriah menjadi semakin memburuk. Hal ini dikarenakan, dua tahun semenjak terbentuknya ISIS di Suriah, ISIS berhasil menguasai hampir 50% wilayah Suriah. Selain itu wilayah-wilayah yang dikuasai oleh ISIS pun memiliki letak geografis yang menguntungkan bagi ISIS. Salah satu wilayah yang dikuasai ISIS adalah kota Palmyra. Kota Palmyra merupakan salah satu kota kuno yang ada di Suriah. Kota Palmyra juga termasuk salah 108
satu warisan dunia yang sudah diakui oleh UNESCO sejak tahun 1980. Kota Palmyra dikuasai oleh ISIS pada tahun 2015. Kota Palmyra pada saat kekuasaan ISIS digunakan sebagai jalan yang dapat menghubungkan ke provinsi-provinsi lain yang sebagian besar dikuasai oleh ISIS seperti Deir al-zour, dan Homs di Timur Suriah. Selama dikuasai oleh ISIS banyak peninggalan bersejarah yang berusia ribuan tahun yang dihancurkan. Peninggalan bersejarah yang dihancurkan oleh ISIS seperti tempat ibadah yakni kuil-kuil utama di kota Palmyra, monumen bersejarah, sebuah gerbang yang dijuluki sebagai gerbang kemenangan, artefak-artefak yang berada di kota Palmyra, dan lain-lain. Kurang dari waktu satu tahun, Pemerintah Suriah yang didukung oleh Rusia berhasil merebut kembali kota Palmyra dari kekuasaan ISIS pada tanggal 27 Maret 2016. Kekalahan ISIS pada pertempuran di kota Palmyra merupakan kekalahan yang paling berat sejak organisasi ini muncul pada tahun 2013. Kekalahan ISIS tersebut menjadi kekalahan simbolis ISIS dibandingkan dengan kekalahan ISIS di kota Kobani, kota perbatasan Turki. Pembebasan kota Palmyra yang dilakukan oleh Pemerintah Suriah kurang dari waktu satu tahun itu dikarenakan adanya kekhawatiran, tidak hanya terhadap kawasan kawasan yang berdekatan dengan kota Palmyra namun juga terhadap situs-situs yang berada di kota Palmyra. Selain itu juga terdapat 2 faktor yang mempengaruhi pembebasan kota Palmyra menjadi prioritas bagi Pemerintah Suriah dalam melawan ISIS di tahun 2016. Faktor pertama adalah nilai strategis dari segi ekonomi yang dimiliki oleh kota Palmyra. Jika dilihat dari segi prioritas antara kota Palmyra dengan kota Aleppo, tentu kota Palmyra 109
menjadi prioritas pembebasan Pemerintah Suriah, hal ini dikarenakan dari penjelasan mengenai nilai strategis kota kuno Palmyra dari sektor ekonomi dapat disimpulkan bahwa sejak dulu kota kuno Palmyra telah menjadi jalur perdagangan yang strategis bagi Suriah. Kota Palmyra sudah menjadi pusat pemberhentian para pedagang atau kafilah sejak abad ke-1 SM. Hal ini dikarenakan kota ini berada di persimpangan lalu lintas perniagaan internasional. Jalur perdagangan tersebut kemudian meluas ke selatan di sepanjang sungai menuju pelabuhan Charax Spasinu di Teluk Persia. Pelabuhan tersebut menjadi tempat bagi kapal-kapal Palmyra dalam perjalanan bolak-balik ke India. Sedangkan kota Aleppo pernah menjadi pos utama perdangangan antara Timur dan Eropa, namun hal tersebut mulai menurun ketika gerakan blockade Inggris dan Prancis yang memotong jalur dari Turki Selatan dan Utara Irak. Perekonomian perdagangan di kota Aleppo sempat berhenti pada tahun 1869 ketika Terusan Suez dibuka yang mengakibatkan perdagangan di kota kuno Aleppo dialihkan ke laut dan Aleppo perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Keunggulan dari sektor perdagangan meskipun kota Palmyra dan kota Aleppo pernah sama-sama ditinggalkan namun, kota Palmyra tetap menjadi tempat pemberhentian para pedagang maupun kafilah hingga sampai saat ini. Kemudian pada perekonomian modern antara kota Palmyra dan kota Aleppo, ekonomi kota Palmyra saat ini ditopang dari perdagangan dan sektor wisata yang menawarkan berbagai bangunan tua seperti museum, kuil, serta artefak, prasasti, dan beberapa makam. Berbeda dengan kota Palmyra, perekonomian kota kuno Aleppo 110
telah bertransformasi menjadi pusat industri mayor menyaingi Ibukota Damaskus sejak kemerdekaan Suriah. Kota kuno Aleppo telah berfungsi sebagai motor ekonomi negara. Sebagai kota terbesar kedua di Suriah, perekonomian kota Aleppo modern didorong oleh tekstil, bahan kimia, farmasi, industri pengolahan hasil pertanian, komoditas listrik, minuman beralkohol, teknik dan pariwisata. Kemakmuran perekonomian yang terjadi di kota Palmyra tidak hanya datang dari perdagangan dan pariwisata saja. Kota Palmyra saat ini berfungsi sebagai pusat industri produksi pertambangan fosfat dan gas alam Suriah. Sedangkan kota Aleppo juga menjadi industri berkembang di Suriah dengan menjadi pusat utama untuk pembuatan logam mulia dan batu. Kemudian, faktor kedua yaitu nilai strategis dari segi budaya yang dimiliki oleh kota Palmyra. Dalam hal ini, jelas terlihat bahwasanya kota Palmyra memiliki keunggulan dari nilai strategis budaya dibandingkan dengan kota kuno Aleppo. Kota Palmyra menunjukkan bahwasanya kota tersebut memiliki mahakarya kreativitas dan kecerdasan manusia yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak berubah selama kurun waktu tertentu dalam hal arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan tata kota atau desain lanskap serta memiliki penggambaran tentang tahapan penting dalam sejarah peradaban manusia yang berpengaruh secara signifikan terhadap budaya. Hal ini pun dapat dilihat dari bangunan-bangunan yang masih ada di kota palmyra, seperti Kuil Bel, Kuil Baalshamin, Amfitheater, makam, bentengbenteng dan tiang-tiang yang berada disepanjang jalan utama kota Palmyra. 111
Terdapat pula artefak-artefak yang tersimpan di monumen, serta hasil dari penggalian-penggalian yang dilakukan oleh sejumlah arkeolog yang menemukan sebuah desa dengan teknologi pertanian yang unggul dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Hasil dari penggalian tersebut menjadi jawaban bahwasanya manusia di zaman tersebut sudah mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi pertanian, pengairan, dan pembuatan bangunan untuk tempat tinggal. Selain itu juga, bangunan-bangunan bersejarah di kota Palmyra lebih banyak dibandingkan kota Aleppo yang hanya terdapat benteng, sekolah dan tempat ibadah. Sehingga kota Palmyra pun menjadi tujuan para wisatawan untuk melihat pusat tertingginya sejarah peradaban Timur Tengah. Dua faktor diatas yaitu nilai startegis dari segi ekonomi dan budaya menjadi alasan diprioritaskannya kota Palmyra untuk direbut kembali dari tangan ISIS oleh Pemerintah Suriah. Hal ini pun dikarenakan, bangunan-bangunan kota kuno tersebut dapat diajdikan sebagai sumber sejarah bagi para ilmuwan. Bahkan bangunanbangunan kota kuno tersebut mampu menjadi daya tarik bagi para wisatawan yang berkunjung ke Suriah untuk menikmati sejarah tiga peradaban yang ada di kota palmyra, yaitu peradaban Romawi kuno, Yunani, dan Persia. Dengan kehadiran para wisata yang berkunjung melihat kota kuno Palmyra pun secara tidak langsung juga memperbaiki perekonomian masyarakat kota Palmyra. Bahkan bangunan-bangunan tersebut juga dapat menjadi saksi yang berbicara bagaimana penduduk kota tersebut dapat mempertahankan dan menciptakan kebudayaannya pada saat itu. 112