BAB II PERJANJIAN KREDIT BANK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II TINJAUAN UMUM KREDIT DAN PERJANJIAN KREDIT BANK. Istilah kredit bukanlah hal yang asing dalam kehidupan sehari-hari di

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB I PENDAHULUAN. sangat fundamental dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Sinungan (1991 : 46), tentang kredit sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang pekoperasian pada Pasal

Pengalokasian Dana Bank (Kredit dan Pembiayaan)

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT. bank secara keseluruhan. Kredit berperan sebagai faktor pendorong dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyatu dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. hubungan antara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sistem adalah sekelompok dua atau lebih komponen-komponen yang saling berkaitan

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan pinjam-meminjam

BAB II KAJIAN PUSTAKA. (Mulyadi, 2010:5). Prosedur adalah suatu urutan pekerjaan klerikal

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan tingkat kebutuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

BAB 5 KEGIATAN MENGALOKASIKAN DANA

BAB II LANDASAN TEORI. bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT. usaha kredit, yaitu berupa bunga dan provisi. Salah satu kegiatan usaha

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

II. Tinjauan Pustaka. Kata Bank dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang asing lagi. Beberapa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT. namun semua pendapat tersebut mengarah kepada suatu tujuan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT. pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT DAN SEWA MENYEWA. Dengan demikian istilah kredit memiliki arti khusus yaitu meminjamkan uang

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Guna mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. usaha dari suatu perusahaan maka akan dirasakan perlu adanya sumber-sumber untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Transkripsi:

BAB II PERJANJIAN KREDIT BANK A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatanperbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. 10 Beberapa Sarjana Hukum juga memberikan definisi mengenai perjanjian antara lain sebagai berikut: Menurut Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling janji melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan. 11 Menurut Syahmin AK, dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 12 Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Dalam definisi tersebut, secara jelas terdapat konsensus hal.140 10 Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta, Sinar Grafika, 2002), hal. 61 11 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, Intermasa, 2003), hal. 5 12 Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006), 14

15 antara para pihak, yaitu persetujuan antara pihak satu dengan pihak lainnya. Selain itu juga, perjanjian yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan. 13 Menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 14 Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian maksudnya adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. 15 Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai benda antara dua pihak dalam mana salah satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 16 Pengertian mengenai perjanjian ini ada diatur di dalam KUHPerdata dalam Pasal 1313, yaitu suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang diatur dalam ketentuan di atas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa: Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum 13 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1990) hal.4 14 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung, Penerbit Alumni, 1979), hal. 4 15 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum perjanjian, (Bandung, Penerbit Alumni, 1986), hal. 6 16 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung, Jakarta, Sumur, 1981) hal. 11

16 keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang. 17 Abdul Kadir Muhammad Menyatakan kelemahan pasal tersebut adalah sebagai berikut: 18 1. Hanya menyangkut sepihak saja Hal tersenit dapat diketahui dari perumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang lain atau lebih. Kata mengikatkan diri sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri, jadi antara consensus antara pihak-pihak. 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tidakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus, seharusnya digunakan kata persetujuan. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, yaitu janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara kreditur dengan debitur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUHPerdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal. 4. Tanpa menyebut ujuan mengadakan perjanjian Tanpa menyebut tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian yaitu suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Dari pengertian singkat di atas kita jumpai didalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain: hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau 17 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta, Citra Aditya Bakti, 2001) hal. 65 18 Abdul Kadir Muhammad, Op.cit., hal. 78

17 lebih, yang memberi hak kepada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. 19 Di dalam Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi adalah perbuatan-perbuatan yang meliputi: 1. Memberikan sesuatu Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan bahwa dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan. Dari pasal ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian memberi sesuatu mencakup pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu penyerahannya. Misalnya: melakukan pembayaran harga dalam perjanjian jual-beli barang. Istilah memberikan sesuatu di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai 2 (dua) pengertian, yaitu: a. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi objek perjanjian b. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi objek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis. 2. Berbuat sesuatu Berbuat sesuatu adalah melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Misalnya: membangun rumah, memperbaiki barang yang rusak. hal. 6 19 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung, Penerbit Alumni, 1986),

18 3. Tidak berbuat sesuatu Tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan dalam perjanjian, Misalnya; tidak membuat pagar, tidak bekerja di tempat lain selain di perusahaann tempatnya bekerja di dalam perjanjian kerja. Dari beberapa definisi mengenai perjanjian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian, yaitu: 1. Adanya pihak sekurangnya dua orang Yang dimaksud dengan pihak disini, yaitu subjek perjanjian, yaitu bisa saja manusia yang cakap hukum untuk melakukan perbuatan hukum dan bisa juga badan hukum. Di dalam perjanjian, selalu ada 2 (dua pihak) yang terlibat di dalamnya, yaitu debitur (pihak yang berprestasi) dan kreditur (pihak yang berhak atas prestasi). 2. Adanya kata sepakat atau persetujuan Kata sepakat atau persetujuan yang dimaksudkan disini adalah sepakat atau setuju terhadap syarat-syarat yang dibuat dan objek yang diperjanjikan. 3. Adanya tujuan yang ingin dicapai Dengan dibuatnya suatu perjanjian, maka pihak yang mengadakan perjanjian harus secara sukarela mengikatkan diri untuk melakukan prestasi, yang dapat berupa menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu untuk mencapai kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat

19 perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Dalam hal ini berarti, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud para pihak yang membuat perjanjian. 4. Adanya prestasi atau kewajiban yang akan dilaksanakan Prestasi yang dimaksud adalah sebagai kewajiban ara pihak untuk melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain, ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut. 20 5. Adanya bentuk tertentu Bentuk tertentu yang dimaksudkan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus jelas bentuknya agar dapat menjadi alat pembuktian yang sah bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Untuk beberapa perjanjian tertentu, undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, yaitu bentuk tertulis sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata hanya merupakan pembuktian saja, tetapi juga syarat untuk adanya perjanjian itu. 21 6. Adanya syarat-syarat tertentu Syarat-syarat ini berarti substansi perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian tidak boleh sembarangan 20 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian), (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003) hal. 2 21 Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal. 66

20 dibuat. Agar suatu perjanjian tersebut dikatakan sah, maka harus memenuhi syarat-syarat seperti yang dikandung di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Maksud dari sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian saling menyetujui keinginan masing-masing pihak. Namun, kesepakatan tersebut bisa menjadi tidak sah atau cacat apabila kesepakatan itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Hal ini ada diatur di dalam Pasal 1321 KUHPerdata. b. Cakap untuk membuat suatu perikatan Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Sedangkan pada Pasal 1330 KUHPerdata mengkategorikan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu: 1) Orang-orang yang belum dewasa 2) Orang-orang yang berada di bawah pengampuan 3) Perempuan yang telah kawin. Namun ketentuan ini telah dihapuskan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena di dalam Undang-Undang ini menyatakan bahwa kedudukan suami dan istri adalah seimbang. c. Suatu hal tertentu Maksud dari suatu hal tertentu ini adalah objek perjanjian. Setiap perjanjian haruslah mempunyai objek perjanjian dan hal ini diatur pada

21 pasal 1332, 1333, dan 1334 KUHPerdata yang dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Barang yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah barang yang dapat diperdagangkan. 2) Barang yang merupakan objek perjanjian tersebut minimal harus dapat ditentukan jenisnya. 3) Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. 4) Barang yang menjadi objek perjanjian dapat berupa barang yang baru akan ada pada waktu yang akan datang. 5) Tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang masih dalam warisan yang belum terbuka. d. Suatu sebab yang halal Maksudnya adalah bahwa suatu perjanjian tersebut tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan norma kesusilaan dan ketertiban umum. Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Sedangkan menurut Pasal 1335 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. Di dalam hukum perjanjian, dikenal juga asas-asas perjanjian yang meliputi: 1. Asas kebebasan berkontrak Asas ini adalah asas yang termasuk sangat penting di dalam perjanjian. Dengan adanya asas ini maka orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan

22 yang tidak diatur di dalam Buku III KUHPerdata, tetapi diatur sendiri di dalam perjanjian. Pasal-pasal di dalam Buku III KUHPerdata baru mengikat bagi para pihak yang membuatnya apabila mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya. Kebebasan kontrak memberikan jaminan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya: a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; d. Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 2. Asas konsensualisme Asas ini disebut juga sebagai asas persesuaian kehendak. Dengan adanya kata sepakat diantara kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut sudah mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Asas konsensualisme ini dapat ditemukan pada pasal 1320 KUHPerdata mengenai sahnya perjanjian yang menyatakan bahwa satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan diantara para pihak. 3. Asas kepastian hukum Asas ini dikenal juga dengan asas pacta sunt servanda. Asas ini dapat ditemukan di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku

23 sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan adanya konsensus dari para pihak, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaima layaknya undang-undang. Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan hukum menjadi hukum bagi mereka. 4. Asas itikad baik Asas itikad baik ini dapat ditemukan di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Makana itikad baik yang dimaksud dalam Pasal 1338 KUHPerdata ini adalah bahwa orang harus mematuhi atau perkataannya dalam segala keadaan atau suatu tindakan yang mencerminkan standar keadilan dan kepatutan masyarakat yang mensyaratkan adanya penghormatan tujuan hukum. Dengan adanya asas itikad baik ini maka perjanjian dimaksudkan tidak untuk merugikan baik bagi pihak debitur, kreditur, ataupun pihak ketiga lainnya di luar perjanjian. 5. Asas Kepribadian Asas kepribadian ini disebut juga asas personalia dan dapat ditemukan pada Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian daripada untuk dirinya sendiri. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban antara para pihak yang membuatnya.

24 B. Pengertian Perjanjian Kredit Perjanjian ada berbagai macam, salah satunya adalah perjanjian kredit. Dalam Pasal 3 dan 4 Undang-undang Perbankan disebutkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dalam menyalurkan dana masyarakat tersebut, bank memberikan berbagai macam kredit kepada masyarakat. Istilah kredit bukan hal yang asing dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, sebab sering dijumpai di dalam masyarakat bahwa anggota masyarakat melakukan jual beli barang secara kredit. Jual berli tersebut tidak dilakukan secara tunai atau kontan, tetapi dilakukan dengan cara mengangsur. Selain itu juga banyak anggota masyarakat yang menerima kredit baik dari koperasi maupun dari bank untuk memenuhi kebutuhannya. Sebenarnya kata kredit itu berasal dari bahasa Romawi, yaitu Credere yang artinya percaya. Bila dihubungkan dengan bank, maka terkandung pengertian bahwa bank selaku kreditur percaya meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah/debitur, karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan. 22 Dalam masyarakat umum istilah kredit sudah tidak asing lagi dan bahkan dapat dikatakan popular dan merakyat, sehingga dalam bahasa sehari-hari istilah kredit sering disamakan dengan istilah utang. Savelberg menyatakan kredit mempunyai arti antara lain: 1. Sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorag berhak menuntut sesuatu dari orang lain. 22 Gatot Supramono, Op.Cit, hal. 28

25 2. Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu (commodatus, depositus, regulare, pignus) Levy merumuskan arti hukum dari kredit sebagai berikut: Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang hari. 23 M. Jakile mengemukakan bahwa kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu. 24 Menurut Pasal 1 angka (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana tersebut di atas, suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 23 Mariam Darus Badrulzaman, SH., Beberapa Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kredit Bank dengan Jaminan Hypotheek Serta Hambatan-Hambatannya dalam Praktek di Medan, (Bandung, Penerbit Alumni, 1978) hal. 21 24 Ibid, hal. 22

26 1. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang tersebut dilakukan oleh bank. Bank adalah pihak penyedia dana dengan menyetujui pemberian sejumlah dana yang kemudian disebut sebagai jumlah kredit atau plafon kredit. Sementara tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang dalam praktik perbankan misalnya berupa pemberian (penerbitan) garansi bank dan penyediaan fasilitas dana untuk pembukaan letter of credit (LC). 2. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain Persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam merupakan dasar dari penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang tersebut. Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam dibuat oleh bank dengan pihak debitur yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit. Perjanjian kredit sebagai salah satu jenis perjanjian, tunduk kepada ketentuan hukum perikatan dalam hukum positif di Indonesia. Pengaturan tentang perjanjian terdapat dalam ketentuanketentuan KUH Perdata, Buku Ketiga tentang Perikatan. Perjanjian kredit yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (antara lain memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata) merupakan undang-undang bagi bank dan debitur. Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata menetapkan suatu perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang berjanji.

27 3. Adanya kewajiban melunasi hutang Pinjam-meminjam uang adalah suatu hutang bagi peminjam. Pinjam meminjam wajib melunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pemberian kredit oleh bank kepada debitur wajib melakukan pembayaran pelunasan kredit sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah disepakatinya, yang biasanya terdapat dalam ketentuan perjanjian kredit. Dengan demikian, kredit perbankan bukan suatu bantuan dana yang diberikan secara cuma-cuma. Kredit perbankan adalah suatu hutang yang harus dibayar kembali oleh debitur. 4. Adanya jangka waktu tertentu Pemberian kredit terkait dengan suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan jangka waktu tertentu yang ditetapkan atas pemberian kredit, maka kredit perbankan dapat dibedakan atas kredit jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Kredit jangka pendek adalah kredit yang mempunyai jangka waktu satu tahun atau dibawah satu tahun. Kredit jangka menengah adalah yang mempunyai jangka waktu di atas satu tahun sampai dengan tiga tahun, dan kredit jangka panjang adalah kredit yang mempunyai jangka waktu di atas tiga tahun. Jangka waktu suatu kredit ditetapkan berdasarkan kebijakan yang berlaku pada masing-masing bank dan mempertimbangkan tujuan penggunaan kredit serta kemampuan membayar dari calon debitur setelah dinilai kelayakannya. Berdasarkan pengertian kredit tentang jangka waktu tertentu dapat disimpulkan bahwa jangka waktu kredit harus ditetapkan secara tegas karena menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak.

28 5. Adanya pemberian bunga kredit Terhadap suatu kredit sebagai salah satu bentuk pinjaman uang ditetapkan adanya pemberian bunga. Bank menetapkan suku bunga atas pinjaman uang yang diberikannya. Suku bunga merupakan harga atas uang yang dipinjamkan dan disetujui bank kepada debitur. Namun, sering pula disebut sebagai balas jasa atas penggunaan uang bank oleh debitur. Sepanjang terhadap bunga kredit yang ditetapkan dalam perjanjian kredit dilakukan pembayarannya oleh debitur, merupakan salah satu sumber pendapatan yang utama bagi bank. 25 C. Kredit Bank dalam Perspektif Hukum Perdata KUH Perdata membedakan antara perjanjian yang mempunyai nama tertentu (perjanjian bernama) dan yang tidak mempunyai nama tertentu (perjanjian tidak bernama). Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ditentukan oleh undangundang secara khusus, terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII Buku III KUH Perdata, antara lain perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar, perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian pinjam-meminjam. Meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara tegas dan khusus dalam KUH Perdata, unsur-unsur perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan prinsipprinsip yang diatur oleh KUH Perdata. Hal ini tegaskan oleh Pasal 1319 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama khusus, harus tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Bab I dan Bab II. 25 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta, Rajawali Pers, 2012), hal. 75-78

29 Beberapa pakar hukum berpendapat demikian, bahwa perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Subekti, semua pemberian kredit pada hakekatnya merupakan perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 s/d 1769 KUH Perdata. Perjanjian pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (Pasal 1754 KUH Perdata). Dalam hal ini, Subekti melihat kredit sebagai suatu hal yang umum. Sementara, perjanjian kredit yang diberikan oleh bank memiliki karakteristik yang khusus, terutama berkaitan dengan konsep utang. Pada perjanjian kredit dalam bentuk Rekening Koran, utang yang timbul sebagai akibat perjanjian tersebut bukanlah nilai pagu kredit yang diberikan oleh bank, melainkan jumlah yang benar-benar dipakai oleh debitur. Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung, dalam hal peminjaman uang, utang yang terjadi karenanya hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Sumardi Mangunkusumo melihat bahwa obyek hukum dalam perjanjian kredit adalah uang yang digolongkan sebagai benda yang dapat digunakan sampai habis. Jadi, perjanjian kredit termasuk perjanjian peminjaman benda yang dapat habis/diganti (verbruikleen). Perjanjian peminjaman merupakan perjanjian yang riil (nyata) yang berarti bahwa perikatan baru dianggap terjadi apabila obyek hukumnya (uang) dengan nyata telah diserahkan. Sementara, perjanjian

30 pemberian kredit merupakan perjanjian konsensual (consensuele overeenkomst) yang berarti perikatannya sudah terjadi walaupun uang belum diserahkan. Dalam hal ini, perjanjian pemberian kredit atau membuka kredit hanya merupakan kesanggupan saja dan dapat digolongkan sebagai perjanjian bersyarat dengan syarat tangguh atau penundaan (opschortende voorwaarde) sampai nantinya debitur mengambil atau menerima uangnya. Mariam Darus Badrulzaman menggolongkan perjanjian kredit bank sebagai perjanjian bernama. Dengan demikian, perjanjian kredit digolongkan dalam perjanjian pinjam-meminjam atau perjanjian peminjaman yang terbagi dalam perjanjian pinjam-meminjam secara pinjam pakai yang obyek hukumnya berupa benda yang tidak dapat diganti (bruikleen) dan yang obyek hukumnya merupakan benda yang dapat dihabiskan dalam pemakaian dan dapat diganti dengan benda yang sejenis (verbruikleen).. 26 Pendapat di atas disangkal oleh pakar hukum lainnya Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa sifatnya yang konsensual dari suatu perjanjian kredit ban itulah yang merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian peminjaman uang yang bersifat riil. Dengan kata lain bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian loan of money menurut hukum Inggris yang dapat bersifat riil maupun konsensual, tetapi bukan perjanjian peminjaman uang menurut hukum Indonesia yang bersifat riil. Bagi perjanjian kredit yang jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian yang konsensual sifatnya. Setelah perjanjian kredit ditandatangani oleh 26 https://bh4kt1.wordpress.com/2012/08/24/14/, diakses pada 20 September 2015

31 bank dan nasabah debitur, nasabah debitur belum berhak menggunakan atau melakukan penarikan kredit.atau sebaliknya setelah ditandatanganinya kredit oleh kedua belah pihak, belumlah menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit sebagaimana yang diperjanjikan. Hak nasabah debitur untuk dapat menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih tergantung kepada telah terpenuhinya seluruh syarat yang ditentukan di dalam perjanjian kredit. Ciri kedua yang menurut beliau membedakan perjanjian kredit dengan perjanjian peminjaman uang adalah bahwa kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan yang tertentu oleh nasabah debitur, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang (debitur) pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak, maka berarti nasabah debitur bukan merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya perjanjian kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang. Dengan kata lain, perjanjian kredit bank tidak mempunyai ciri yang sama dengan perjanjin pinjam-meminjam atau pinjam mengganti. Oleh karena itu, terhadap perjanjian kredit bank tidak berlaku ketentuan-ketentuan Bab Ketiga belas Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

32 Ciri ketiga, kata Sutan Remy Sjahdeini, perjanjian kredit bank yang membedakannya dari perjanjian peminjaman uang ialah mengenai syarat cara penggunaannya. Kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau perintah pemindahbukuan. Cara lain hampir dapat dikatakan tidak mungkin atau tidak diperbolehkan. Pada perjanjian peminajaman uang biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur kepada kekuasaan debitur dengan tidak diisyaratkan bagaimana caranya debitur akan menggunakan uang pinjaman itu. Pada perjanjian kredit bank, kredit tidak pernah diserahkan oleh bank ke dalam kekuasaan mutlak nasabah debitur. Kredit selalu diberikan dalam bentuk rekening Koran yang penarikan dan penggunaannya selalu di bawah pengawasan bank. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian kredit bank tidak identic dengan perjanjian pinjam-meminjam uang sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian kredit ini tidak tunduk kepada ketentuan-ketentuan bab ketiga belas dari Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan kata lain, perjanjian kredit bank adalah perjanjian tidak bernama (onbeniemde overeentskomst) sebab tidak terdapat ketentuan khusus yang mengaturnya, baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun dalam Undang-Undang Perbankan yang diubah. Dasar hukumnya dilandaskan kepada persetujuan atau kesempatan antara bank dan calon debiturnya sesuai dengan asas kebebasan kontrak. 27 27 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 262-263

33 D. Jenis-Jenis Kredit Bank Di dalam Undang-Undang Perbankan tidak ada diatur atau dijelaskan mengenai jenis-jenis kredit bank. Namun, jenis-jenis kredit bank ini dapat dijumpai di dalam praktek perbankan yang memberikan kredit kepada nasabahnya. Dilihat dari prakteknya, jenis-jenis kredit dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu: 1. Menurut jangka waktunya Dari segi jangka waktunya terdapat 3 (tiga) macam kredit yaitu kredit jangka pendek, kredit jangka menengah, dan kredit jangka panjang. Ketiga macam kredit tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 huruf (d) Undang- Undang Perbankan 1967 dan walaupun sudah berlaku Undang-Undang Perbankan yang baru namun pelaksanaannya kini tidak menjadi masalah, karena jangka waktu kredit dipandang dari pemakaiannya masih belum ada pembatasan yang pasti. Hal ini disebabkan karena pengertian tentang lamanya pemakaian suatu kredit ditentukan oleh kebutuhan dan kemampuan nasabah untuk memakai dan mengembalikannya pada suatu waktu tertentu. Adapun yang disebut kredit jangka pendek adalah kredit yang berjangka waktu paling lama satu tahun. Dalam kredit ini juga termasuk untuk tanaman musiman yang berjangka waktu lebih dari satu tahun. Kredit jangka menengah adalah kredit yang berjangka waktu antara satu tahun sampai dengan tiga tahun, kecuali kredit untuk tanaman musiman tersebut.

34 Kredit jangka panjang adalah kredit yang jangka waktunya lebih dari tiga tahun. 2. Menurut Kegunaannya Ditinjau dari segi kegunaannya, maka kredit dapat digolongkan menjadi tiga macam, masing-masing yaitu kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit profesi. a. Kredit Investasi Kata investasi artinya adalah penanaman modal. Dengan demikian kredit investasi ialah kredit yang diberikan kepada nasabah untuk keperluan penanaman modal yang bersifat ekspansi, modernisasi maupun rehabilitasi perusahaannya. Misalnya kredit yang diberikan kepada perusahaan angkutan dimana kredit ini untuk keperluan membeli tambahan sejumlah kendaraan. Juga kredit untuk keperluan memberikan suatu proyek seperti tambak udang, dan sebagainya. b. Kredit modal kerja Yang dimaksud adalah kredit yang diberikan untuk kepentingan kelancaran modal kerja nasabah. Jadi kredit ini sasarannya untuk membiayai biaya operasi usaha nasabah. Kredit bank dipergunakan untuk membeli bahan dasar, alat-alat bantu, maupun membayar biaya lainnya. c. Kredit profesi Kredit ini diberikan bank kepada nasabah semata-mata untuk kepentingan profesinya. Misalnya kredit yang diberikan kepada seorang dokter gigi untuk membeli seperangkat peralatan medis. Meskipun namanya kredit

35 profesi, namun sebenarnya kredit tersebut tidak berbeda dengan kredit investasi, yang berbeda hanya terletak pada kedudukan (status) nasabah. 3. Menurut pemakaiannya Menurut pemakaiannya kredit dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu kredit konsumtif dan kredit produktif. a. Kredit konsumtif Kredit konsumtif adalah kredit yang diberikan kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Contohnya adalah kredit yang diberikan untuk membeli alat-alat rumah tangga seperti meja-kursi, televisi, mobil. Semua barang-barang yang dibiayai bank itu tujuannya untuk dipakai sampai habis oleh nasabah. b. Kredit produktif Berbeda dengan konsumtif, pada kredit produktif ini pembiayaan bank ditujukan untuk keperluan usah nasabah agar produktifitas akan bertambah meningkat. Bentuk kredit produktif dapat berupa kredit investasi maupun kredit modal kerja, karena kedua kredit tersebut diberikan untuk nasabah meningkatkan produktifitas usahanya. Di atas telah dikenal kredit profesi, yang menurut hemat kami tidak dapat dimasukkan ke dalam bentuk kredit produktif, karena kemampuan nasabah yang menerima kredit profesi sangat terbatas sekali sehingga sulit diharapkan produktifitas meningkat dengan pesat. Kalau seorang dokter gigi mendapat kredit profesi untuk membeli kursi untuk mengobati pasien empat buah, maka ia tidak akan mampu mengobati pasien sekaligus lebih

36 dari seorang. Jadi disini dasarnya nasabah ini tidak mungkin dapat berkembang usahanya secara kuantitatif. 4. Menurut sektor yang dibiayai Di samping macam-macam kredit yang diterangka di atas, masih ada beberapa macam kredit yang diberikan nasabah dipandang dari sektor yang dibiayai bank, sebagai berikut: kredit perdagangan, kredit pemborongan, kredit pertanian, kredit peternakan, kredit perhotelan, kredit percetakan, kredit pengangkutan, kredit perindustrian. 28 Kamsir menambahkan 1 (satu) jenis kredit lagi di dalam bukunya, yaitu: 5. Dilihat dari segi jaminan a. Kredit dengan jaminan Merupakan kredit yang diberikan dengan suatu jaminan. jaminan tersebut dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud atau jaminan orang. artinya setiap kredit yang dikeluarkan akan dilindungi minimal senilai jaminan atau untuk kredit tertentu jaminan harus melebihi jumlah kredit yang diajukan si calon debitur. b. Kredit tanpa jaminan Merupakan kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. kredit jenis ini diberikan dengan melihat prospek usaha, karakter serta loyalitas atau nama baik si calon debitur selama berhubungan dengan bank atau pihak lain. 29 28 Gatot Supramono, Op.Cit, hal. 29-31 29 Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta, Rajawali Pers, 2010) hal. 76

37 E. Syarat-Syarat Perjanjian Kredit Bank Mengenai ketentuan dan persyaratan umum dalam pemberian kredit oleh bank terdiri dari 9 (Sembilan) persyaratan sebagai berikut: 1. Mempunyai feasibility study, yang dalam penyusunannya melibatkan konsultan yang terkait. 2. Mempunyai dokumen administrasi dan izin-izin usaha, misalnya akta perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Surat Izini Usaha Perdagangan (SIUP), dan lain-lain. 3. Maksimum jangka waktu kredit adalah 15 tahun dan masa tenggang waktu (grace period) maksimum 4 tahun. 4. Agunan utama adalah usaha yang dibiayai. Debitur menyerahkan agunan tambahan jika menurut penilaian bank diperlukan. Dalam hal ini akan melibatkan pejabat penilai (appraiser) independen untuk menentukan nilai agunan. 5. Maksimum pembiayaan bank adalah 65% (enam puluh lima persen) dan self financing adalah sebesar 35% (tiga puluh lima persen). 6. Penarikan atau pencairan kredit biasanya didasarkan atas dasar prestasi proyek. Dalam hal ini biasanya melibatkan konsultan pengawas independen untuk menentukan progres proyek. 7. Pencairan biasanya dipindahbukukan ke rekening giro. 8. Rencana angsuran ditetapkan atas dasar cash flow yang disusun berdasarkan analisis dalam feasibility study.

38 9. Pelunasan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapka. 30 F. Prinsip-Prinsip Hukum Kredit Bank 1. Prinsip kepercayaan Prinsip ini menyatakan bahwa debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk memenuhi perikatannya, hal ini menuju kepada arti hukum kredit pada umumnya. Sesuai dengan asal kata kredit yang berarti kepercayaan, maka setiap pemberian sebenarnya mestilah diikuti oleh kepercayaan, yakni kepercayaan dari kreditur akan bermanfaatnya kredit bagi debitur sekaligus kepercayaan oleh kreditur bahwa debitur dapat membayar kembali kreditnya. Tentunya untuk bisa memenuhi unsur kepercayaan ini oleh kreditur mestilah dilihat apakah calon debitur memenuhi berbagai kriteria yang biasanya diberlakukan terhadap suatu kredit. Karena itu timbul suatu prinsip lain yang disebut prinsip kehati-hatian. 2. Prinsip Kehati-hatian Prinsip kehati-hatian (prudent) ini adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Disamping pula sebagai suatu perwujudan dari prinsip prudent bankin dari seluruh kegiatan perbankan. Untuk mewujudkan prinsip ini dalam pemberian kredit berbagai usaha pengawasan dilakukan baik pengawasan internal (dalam bank itu sendiri) maupun eksternal (pihak luar). Untuk itulah Bank Indonesia mengeluarkan 62 30 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2008), hal. 61-

39 berbagai macam ketentuan antara lain mengenai batas maksimum pemberian kredit (legal-lending-limit). 3. Prinsip 5-C Prinsip ini dikenal dalam dunia perbankan yang merupakan singkatan dari unsur-unsur character capacity capital condition of economy dan collateral. 31 a. Penilaian watak (character) Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan itikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari. Penilaian watak ini dapat juga diperoleh oleh pihak bank dari pihak lain yang mengetahui kepribadian calon debitur dalam kehidupan sehari-hari. b. Penilaian kemampuan (capacity) Kemampuan debitur juga harus diteliti oleh bank sebelum memberikan kredit kepada si debitur. Yang harus dilihat adalah kemampuan si debitur di dalam bidan usaha dan kemampuan mengatur atau mengelolanya supaya bank yakin bahwa dalam jangka waktu yang telah ditentukan si debitur dapat melunasi pinjamannya. c. Penilaian terhadap modal (capital) Bank harus mengetahui keuangan si debitur secara menyeluruh sehingga kemampuan permodalan si debitur dapat diketahui oleh bank. Namun pada prakteknya, bank tidak memberikan kredit untuk membiayai seluruh 31 https://kuliahade.wordpress.com/2010/06/27/hukum-perbankan-kredit-bank-ii/, diakses pada 16 September 2015

40 dana yang dibutuhkan oleh si debitur. Bank hanya memberikan tambahan modal untuk si debitur tersebut. d. Penilaian terhadap agunan (collateral) Untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan kepadanya. Untuk itu sudah seharusnya bank wajib meminta agunan tambahan dengan maksud jika calon debitur tidak dapat melunasi kreditnya, maka agunan tambahan tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian kredit atau pembiayaan yang tersisa. e. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy) Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar negeri baik masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon debitur yang dibiayai bank dapat diketahui. 32 4. Prinsip 5-P a. Para pihak (party) Para pihak adalah hal yang utama yang harus diperhatikan dalam pemberian kredit. Pemberian kredit tidak bisa sembarangan diberikan oleh si kreditur dikarenakan si kreditur harus yakin terlebih dahulu kepada si debitur sebelum memberikan kredit. 32 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 247

41 b. Tujuan (purpose) Kreditur harus mengetahui tujuan si debitur melakukan pinjaman kredit. Kreditur harus mengawasi juga apakah kredit yang diberikan kepada si debitur dipergunakan sesuai dengan tujuan awal atau tidak. Kreditur harus melihat juga apakah kredit yang digunakan oleh debitur dipakai untuk hal-hal yang postif dan menaikkan pendapatan si debitur atau tidak. c. Pembayaran (payment) Kreditur harus mengetahui apakah pendapatan debitur ini tersedia untuk membayar apabila kredit dikeluarkan oleh si kreditur. Kreditur harus yakin terlebih dahulu sebelum memberikan kredit bahwa si debitur dapat membayar kembali kredit yang diberikan kepadanya. d. Perolehan laba (profitability) Unsur perolehan laba oleh debitur tidak kurang pula pentingnya dalam suatu pemberian kredit. Untuk itu, kreditur harus berantisipasi apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan lebih besar daripada bunga jaminan dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kembali kredit, cash flow, dan sebagainya. e. Perlindungan (protection) Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitur. Untuk itu, perlindungan dari kelompok perusahaan, atau jaminan dari holding, atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting diperhatikan. Terutama untuk berjaga-jaga sekiranya terjadi hal-hal di luar scenario atau di luar prediksi semula.

42 5. Prinsip 3-R a. Returns (hasil yang diperoleh) Returns, yakni hasil yang diperoleh oleh debitur, dalam hal ini ketika kredit telah dimanfaatkan dan dapat diantisipasi oleh calon kreditur. Artinya perolehan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, di samping membayar keperluan perusahaan yang lain seperti untuk cash flow, kredit lain jika ada, dan sebagainya. b. Repayment (pembayaran kembali) Kemampuan bayar dari pihak debitur tentu saja juga mesti dipertimbangkan. Dan apakah kemampuan bayar tersebut macth dengan schedule pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikan itu. Ini juga merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. c. Risk Bearing Ability (kemampuan menanggung resiko) Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah sejauh mana terdapatnya kemampuan debitur untuk menanggung resiko. Misalnya dalam hal terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jika dapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu harus diperhitungkan apakah misalnya jaminan dan/atau asuransi barang atau kredit sudah cukup aman untuk menutupi resiko tersebut. Di samping prinsip-prinsip di atas, beberapa prinsip lain dalam hal pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur yang mesti diperhatikan oleh suatu bank adalah sebagai berikut:

43 a. Prinsip Matching, yaitu harus match antara pinjaman dengan aset perseroran. Jangan sekali-kali memberikan suatu pinjaman berjangka waktu pendek untuk kepentingan pembiayaan/investasi yang berjangka panjang. Karena hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya mismatch. b. Prinsip Kesamaan Valuta. Maksudnya adalah penggunan dana yang didapatkan dari suatu kredit sedapat-dapatnya haruslah digunakan untuk membiayai atau investasi dalam mata uang yang sama. Sehingga resiko gejolak nilai valuta dapat dihindari. Meskipun untuk itu tersedia apa yang disebut dengan currency hedging. c. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dan Modal. Maksudnya mestilah ada hubungan yang prudent antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal. Jika pinjamannya terlalu besar disebut perusahaan yang high gearing. Sebaliknya jika pinjamannya kecil dibandingkan dengan modalnya disebut low gearing. Post permodalan earnings yang akan didapat oleh perusahaan tidak fixed, yaitu dalam bentuk dividen, sementara cost terhadap suatu pinjaman yaitu dalam bentuk bunga relatif tetap. Karena itu, kelangsungan suatu perusahaan akan terancam jika antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal tidak reasonable. d. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dan Aset. Alternatif lain untuk menekan resiko dari suatu pinjaman adalah dengan memperbandingkan antara besarnya pinjaman dengan aset, yang juga dikenal dengan gearing ratio. 33 33 Ibid, hal. 249-250