KOMPOSISI VEGETASI DASAR PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI TRIMULYA KECAMATAN TIMPEH KABUPATEN DHARMASRAYA ARTIKEL E-JURNAL

dokumen-dokumen yang mirip
IV. METODE PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

KOMPOSISI CACING TANAH PADA AREAL PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI JORONG LUBUK HIJAU KECAMATAN RAO UTARA KABUPATEN PASAMAN E-JURNAL

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

BAB IV METODE PENELITIAN

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI TUMBUHAN. Analisis Vegetasi dengan Point Intercept

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENGUKURAN BIODIVERSITAS

BAB I PENDAHULUAN. bukanlah suatu hal yang terjadi begitu saja akantetapi memiliki arti dan tujuan.

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

KERAPATAN TUMBUHAN BAWAH (Ground Cover) DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT JORONG GIRI MAJU KABUPATEN PASAMAN BARAT ARTIKEL ILMIAH

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRATIFIKASI HUTAN MANGROVE DI KANAGARIAN CAROCOK ANAU KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN

III. METODE PENELITIAN

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU

Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

I. PENDAHULUAN. yang dipakai untuk membudidayakan tanaman. Gangguan ini umumnya berkaitan

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

BAB III METODE PENELITIAN

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia produksi nanas memiliki prospek yang baik. Hal ini dilihat dari

METODE PENELITIAN. A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian

No Spesies F FR % K KR % INP %

BAB III METODE PENELITIAN

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU DI HUTAN KOTA KELURAHAN BUNUT KABUPATEN SANGGAU Bamboo Species Diversity In The Forest City Bunut Sanggau District

(Varius Kind of Lower Plants on Dipterocarpaceae in KHDTK (Forest Area With Special Purpose) Haurbentes, Kecamatan Jasinga.

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS VEGETASI POHON PADA FAMILIA EUPHORBIACEAE DI HUTAN MUDIAK AIR JORONG TAMPANG NAGARI TARUNG- TARUNG KECAMATAN RAO KABUPATEN PASAMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

Pada mulsa eceng gondok dan alang-alang setelah pelapukan (6 MST), bobot gulma naik dua kali lipat, sedangkan pada mulsa teki dan jerami terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

IV. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) diklasifikasikan ke dalam kelas

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

KOMPOSISI DAN DOMINANSI GULMA KEBUN KELAPA SAWIT PADA TANAMAN BELUM MENGHASILKAN DAN TANAMAN MENGHASILKAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Gulma Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunitas Gulma Lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

KOMPOSISI DAN STRUKTUR RERUMPUTAN DI KAWASAN DANAU TOBA DESA TOGU DOMU NAULI KECAMATAN DOLOK PARDAMEAN KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2014 di Desa Kibang Pacing. Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang.

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI

III. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelestarian fungsi danau. Mengingat ekosistem danau memiliki multi fungsi dan

TINJAUAN PUSTAKA. Tebu adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang ditanam untuk bahan baku gula.

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan

BAB 2 BAHAN DAN METODA

III. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kawasan secara umum merupakan permukaan tanah atau air yang sederhana

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

STUDI HABITAT PELANDUK

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

I. PENDAHULUAN. tumbuhan asing yang dapat hidup di hutan-hutan Indonesia (Suryowinoto, 1988).

Transkripsi:

KOMPOSISI VEGETASI DASAR PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI TRIMULYA KECAMATAN TIMPEH KABUPATEN DHARMASRAYA ARTIKEL E-JURNAL RITA RAHMADAYANTI NIM. 11010009 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) PGRI SUMATERA BARAT PADANG 2016

KOMPOSISI VEGETASI DASAR PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI TRIMULYA KECAMATAN TIMPEH KABUPATEN DHARMASRAYA Rita Rahmadayanti 1, Nursyahra 2, Rizki 3 Program Studi Pendidikan Biologi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumatera Barat Email : rritarahmadayanti@gmail.com ABSTRAK Ground cover is botanical community that arranges to stratication down near the soil surface. Ground cover can be weed if it is too close to the main plant. In oil palms plantation management, Ground cover is often mown without considering its role for the ecosystem. The Function of Ground cover prevents the erosion, regulates the water sistem and also forms microclimate. The environmental balance can be disturbed if there is no Ground cover. This research has been conducted in july-august 2016 at Trimulya Kecamatan Timpeh Kabupaten Dharmasraya by using petak ganda method. The composition of Ground cover obtained consist of 39 species which is divided into 24 familia and 3325 individuals. The result of Ground cover is the highest KR is 21,41 %. The highest FR is 11,83 %. The highest DR is 52,80 %. The highest INP is 77,31 %. The divercity index is 2,46. The index similarity at station I, II and III are similar. Key word: Ground cover, Oil palm, Composition Pendahuluan Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman sumber daya hayati di Indonesia tidak hanya terbatas pada tumbuhan berkayu atau menahun, namun juga ditumbuhi oleh beranekaragam tumbuhan bawah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Tumbuhan bawah dikenal juga dengan sebutan vegetasi dasar. Vegetasi dasar adalah komunitas tumbuhan yang menyusun stratifikasi bawah dekat permukaan tanah. Tumbuhan ini umumnya berupa rumput, herba, semak, atau perdu rendah. Pada daerah perkebunan, vegetasi dasar hidup di sela-sela tumbuhan pokok. Demikian juga pada perkebunan kelapa sawit. Pada perkebunan kelapa sawit, vegetasi dasar sering dianggap sebagai tanaman pengganggu. Dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit, vegetasi dasar sering disiangi tanpa mempertimbangkan peranannya bagi ekosistem. Kabupaten Dharmasraya merupakan salah satu kabupaten yang mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Luas perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Dharmasraya yaitu 313.995,52 ha. Kelapa sawit menjadi komoditas utama diantara 7 jenis komoditi yang dikembangkan di Kabupaten Dharmasraya. Perkembangan peremajaan dan perluasan kelapa sawit cukup signifikan dari tahun 2012 (BPS, 2014). Perluasan areal perkebunan kelapa sawit mengakibatkan penggunaan lahan seperti hutan dan sawah menjadi lahan konversi untuk perkebunan kelapa sawit. Akibatnya akan terjadi perubahan ekosistem di daerah tersebut. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit di Trimulya Kecamatan Timpeh Kabupaten Dharmasraya, terdapat perbedaan cara pengelolaan terhadap perkebunan kelapa sawit, mulai dari pemupukan dan penyiangan. Ada sebagian dari petani yang rutin menyiangi kebun kelapa sawit dari vegetasi dasar, sehingga kebun kelapa sawitnya bersih dari gangguan gulma. Namun ada juga yang tetap mempertahankan keberadaan vegetasi dasar pada bagian-bagian tertentu, hanya pada radius 1-1,5 meter dari batang kelapa sawit yang disiangi. Komposisi dari keanekaragaman vegetasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, kelembaban, ph tanah, tutupan tajuk dari pohon disekitarnya. Pada perkebunan kelapa sawit, penetrasi cahaya yang masuk berbeda-beda pada setiap usia tanam. Hal ini disebabkan batang sawit memiliki panjang pelepah yang berbeda-beda pada setiap usia tanam. Panjang pelepah yang berbadabeda tersebut akan mempengaruhi peneduhan yang berbeda pula. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka peneliti telah melakukan penelitian tentang komposisi vegetasi dasar pada Timpeh Kabupaten Dharmasraya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi vegetasi dasar pada Timpeh Kabupaten Dharmasraya. METODE PENELITIAN Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2016. Pengambilan sampel dilakukan pada perkebunan kelapa sawit di Trimulya Kecamatan Timpeh Kabupaten Dharmasraya. Metode yang digunakan adalah metode petak ganda dengan plot ukuran 1m x 1m. Penelitian ini dilakukan pada areal perkebunan kelapa sawit usia tanam 5 tahun, 10 tahun dan 20 tahun. Penelitian ini dilakukan dengan cara membuat plot pada lokasi yang telah ditentukan dengan ukuran plot 1 m x 1 m. Lakukan pencatatan terhadap jenis

vegetasi dasar yang diperoleh dan jumlah individu pada masing-masing species. Lakukan pengkoleksian terhadap jenis vegetasi dasar dengan mengambil sampel pada tiap species yang berbeda. Sampel yang diambil untuk mengukur biomasa tidak diberi alkohol dalam pengawetannya. Sampel yang terdapat di dalam plot dicabut seluruhnya. Sampel dapat dikeringkan langsung dengan menggunakan oven atau dijemur dengan sinar matahari secara langsung. Faktor lingkungan yang diukur meliputi suhu, kelembaban dan ph tanah. Data komposisi vegetasi dasar hasil yang dianalisis adalah: Densitas K-i = KR-i= x100% Frekuensi F-i = FR-i = X 100 % Dominansi D-i = DR-i = x 100% Indeks Nilai Penting (INP) INP-i = KR-i + FR-i +DR-i Indeks keanekaragaman H = - p i ln p i Pi = Indeks kesamaan (index of similarity) Is = x 100 % HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jumlah individu vegetasi dasar pada Timpeh Kabupaten Dharmasraya sebanyak 3325 individu, yang terbagi dalam 39 species, dan 24 familia. Hasil penghitungan komposisi vegetasi dasar pada perkebunan kelapa sawit di Trimulya Kecamatan Timpeh Kabupaten Dharmasraya dapat dilihat pada Tabel. 1. Tabel 1. Komposisi vegetasi dasar pada Timpeh Kabupaten Dharmasraya No Species K KR F FR D DR INP Pi lnpi 1 Asystasia gangetica 0.5 0.54 0.22 2.87 0.12 0.17 3.58-0.03 2 Colocasia esculenta 0.03 0.03 0.03 0.36 0.14 0.21 0.59-0.002 3 Asplenium raddianum 0.47 0.51 0.11 1.43 0.39 0.56 2.50-0.03 4 Asplenium cf. praemorsum 0.06 0.06 0.03 0.36 0.01 0.01 0.43-0.004 5 Mikania micrantha 0.03 0.03 0.03 0.36 0.02 0.02 0.41-0.002 6 Spilanthes paniculata 0.03 0.03 0.03 0.36 0.03 0.05 0.44-0.002 7 Struchium sparganiphorum 0.11 0.12 0.11 1.43 0.11 0.16 1.72-0.01 8 Rorripa indica 0.03 0.03 0.03 0.36 0.004 0.01 0.39-0.002 9 Trema cannabina 0.03 0.03 0.03 0.36 0.02 0.03 0.41-0.002 10 Commelina diffusa 0.44 0.48 0.08 1.08 0.14 0.21 1.76-0.03 11 Ageratum conyzoides 7.58 8.21 0.22 2.87 0.77 1.10 12.18-0.21 12 Eclipta alba 0.14 0.15 0.08 1.08 0.16 0.23 1.46-0.01 13 Synedrella nodifolia 0.42 0.45 0.17 2.15 0.07 0.09 2.69-0.02 14 Cyanthillium cenereum 0.03 0.03 0.03 0.36 0.002 0.002 0.39-0.002 15 Kyllinga brevifolia 0.33 0.36 0.11 1.43 0.07 0.09 1.89-0.02 16 Olfersia alata 1.64 1.77 0.39 5.02 0.70 1.00 7.79-0.07 17 Phyllantus niruri 0.25 0.27 0.19 2.51 0.04 0.06 2.84-0.02 18 Desmodium sp 0.14 0.15 0.03 0.36 0.02 0.03 0.54-0.01 19 Mimosa pudica 0.14 0.15 0.08 1.08 0.08 0.11 1.33-0.01 20 Axonopus compresus 19.78 21.41 0.92 11.83 3.97 5.69 38.93-0.33 21 Cynodon nlemfuensis 15.56 16.84 0.72 9.32 4.37 6.26 32.42-0.30 22 Digitaria ciliaris 0.06 0.06 0.06 0.72 0.04 0.05 0.83-0.004 23 Eragrotis amabilis 2.94 3.19 0.25 3.23 0.45 0.64 7.06-0.11 24 Paspalum scrobiculatum 0.06 0.06 0.03 0.36 0.06 0.08 0.50-0.004 25 Hyptis capitata 7.14 7.73 0.25 3.23 7.63 10.94 21.89-0.20

26 Cuphea carthagenensis 1.25 1.35 0.22 2.87 0.11 0.16 4.38-0.06 27 Clidemia hirta 15.36 16.63 0.61 7.89 36.83 52.80 77.31-0.30 28 Melastoma malabathricum 2.58 2.80 0.53 6.81 4.37 6.26 15.87-0.10 29 Peperomia pellucida 0.08 0.09 0.06 0.72 0.00 0.004 0.81-0.01 30 Mitracarpus hirtus 0.22 0.24 0.03 0.36 0.09 0.13 0.72-0.01 31 Paederia foetida 0.11 0.12 0.06 0.72 0.14 0.20 1.04-0.01 32 Spermacoce latifolia 5.47 5.92 0.56 7.17 1.88 2.69 15.78-0.17 33 Spermacoce remota 0.86 0.93 0.14 1.79 0.13 0.19 2.91-0.04 34 Lygodium volubile 0.17 0.18 0.11 1.43 0.07 0.09 1.71-0.01 35 Scoparia dulcis 0.03 0.03 0.03 0.36 0.02 0.03 0.42 0.00 36 Torenia polygonoides 2.92 3.16 0.31 3.94 0.57 0.81 7.91-0.11 37 Sida acuta 2.17 2.35 0.17 2.15 0.39 0.56 5.06-0.09 38 Cissus verticillata 0.31 0.33 0.17 2.15 0.84 1.21 3.69-0.02 39 Stachytapheta indica 2.92 3.16 0.56 7.17 4.95 7.09 17.42-0.11 92.36 100 7.75 100 69.77 100 300-2.46 Nilai indeks similaritas pada perkebunan kelapa sawit dapat dilihat pada table 2. Tabel 2. Nilai indek similaritas komposisi vegetasi dasar pada Timpeh Kabupaten Dharmasraya Stasiun 1 2 3 1-2 62,20-3 62 52 - Hasil pengukuran faktor lingkungan pada Timpeh Kabupaten Dharmasraya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengukuran faktor lingkungan di lokasi penelitian pada perkebunan kelapa sawit di Trimulya Kecamatan Timpeh Kabupaten Dharmasraya No Parameter Stasiun I II III 1 Suhu Udara ( C) 30 35 28 33 28 34 2 Kelembaban Udara (%) 71 81 76 90 76 90 4 ph Tanah 6,2 7,0 6,2 6,8 6,3 7,0 Berdasarkan Tabel 1, nilai kerapatan reletif vegetasi dasar berkisar antara 0,03 % - 21,41 %. Species memiliki nilai kerapatan relatif yang berbeda-beda pada setiap stasiun. Hal ini disebabkan karena setiap jenis tumbuhan memiliki kemampuan yang berbeda-beda pada lingkungan yang berbeda. Batang kelapa sawit setiap stasiun memiliki luas naungan yang berbeda-beda. Pada stasiun I memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun II dan stasiun III, sehingga akan mempengaruhi vegetasi yang hidup di sekitarnya. Menurut Iswandi (2012), kisaran toleransi suhu bagi tumbuhan sangat bervariasi. Secara garis besar semua tumbuhan memiliki kisaran toleransi terhadap suhu yang berbeda tergantung pada umur, keseimbangan air dan keadaan musim. Species yang memiliki kerapatan relatif tertinggi adalah Clidemia hirta. Pada perkebunan kelapa sawit memiliki nauangan yang berbeda-beda karena memiliki panjang tajuk yang berbeda. Semakin panjang tajuk, maka semakin uas naungannya, sehingga sinar matahari yang mengenai permukaan tanah sedikit dan menyebabkan kelembaban tanah tinggi. Palijama, Riri dan Wattimewa (2012) menjelaskan bahwa Clidemia hirta merupakan gulma perdu tahunan dengan perakaran yang kuat dan berbatang keras. Tumbuhan ini sering dijumpai di tepi hutan, semak belukar, daerah terbuka dan terganggu seperti pingguran jalan, padang rumput dan perkebunan. Golongan gulma berdaun lebar ini cenderung tumbuh dengan habitat agak ternaung. Kerapatan relatif terendah adalah species Colocasia esculenta, Mikania micratha, Spilanthes paniculata, Rorripa indica, Trema cannabina, Cyanthillium cenereum dan Scoparia dulcis. Hal ini diduga karena penyesuaian diri dari species tersebut masih rendah, masih belum bisa bersaing dengan species lain dalam memanfaatkan ruang dan unsur hara yang persediaannya terbatas. Setiap species berusaha mempertahankan hidupnya dengan persaingan dalam hal ruang dan unsur hara. Menurut Soerianegara dan Indrawan (2012),

persaingan menyebabkan terbentuknya susunan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang tertentu bentuknya, macam dan banyaknya jenis, serta jumlah individu-individu lainnya, sesuai dengan keadaan tempat tumbuhnya. Selain persaingan, herbisida yang digunakan oleh petani juga mempengaruhi kehadiran suatu species. Jika suatu species tidak mampu bertahan dari herbisida maka jenisnya tidak akan muncul lagi. Menurut Moenandir (1988), kebanyakan herbisida akan lebih efektif pada gulma berdaun lebar, bila besar konsentrasinya tepat dan tepat pula waktu pemberian yang dibutuhkan. Berdasarkan data Tabel 1, nilai frekuensi relatif berkisar antara 0,36 11,83 %. Species yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah Axonopus compresus. Hal ini diduga karena species ini memiliki kemampuan yang tinggi untuk hidup di daerah yang ekstrim. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aththorick (2005), ia juga menemukan bahwa Axonopus compresus memiliki persebaran homogen pada perkebunan kelapa sawit. Menurut Moenandir (1988), jenis tumbuhan seperti Axonopus compresus ini mudah beradaptasi pada keadaan cuaca yang beragam termasuk pada lahan yang terbuka, dan mudah mudah beradaptasi pada berbagai jenis tanah. Sedangkan species yang memiliki frekuensi relatif terendah adalah Colocasia esculenta, Asplenium cf. praemorsum, Mikania micrantha, Spilanthes paniculata, Rorripa indica, Trema cannabina, Cyanthillium cenereum, Desmodium sp, Paspalum scrobiculatum, Mitracarpus hirtus, Scoparia dulcis dengan nilai 0,36 %. Hal ini diduga karena species tersebut kurang menyukai daerah di sekitar tanaman kelapa sawit. Persebaran individu di dalam ekosistem kelapa sawit tidak merata. Menurut Indriyanto (2006), individu-individu yang ada dalam populasi mengalami persebaran di dalam habitatnya mengikuti salah satu di antara tiga pola penyebaran, yaitu penyebaran acak, seragam dan bergerombol. Penghitungan nilai dominansi berdasarkan berat kering (biomasa). Penghitungan berat kering (biomasa) diukur dalam gram/m 2. Nilai dominansi relatif berkisar antara 0,003 % - 52,80 %. Species yang memiliki nilai dominansi relatif tertinggi adalah Clidemia hirta. Clidemia hirta memiliki batang yang bercabang dan berdaun lebar, sehingga ia akan menguasai suatu daerah. Clidemia hirta memiliki biomasa yang tertinggi diantara speciesspecies yang ditemukan di daerah penelitian. Menurut Odum (1959) dalam Soerianegara dan Indrawan (2012), jenis-jenis yang dominan memiliki jumlah biomasa yang terbesar. Sedangkan dominansi relatif terendah dimiliki oleh Cyanthillium cenereum. Hal ini karena Cyanthillium cenereum memiliki jumlah individu yang rendah pula. Selain itu, tumbuhan tersebut kalah bersaing dengan tumbuhan lain yang mendominasi suatu tempat. Menurut Loveless (1989), pada umumnya semakin besar tumbuhan semakin besar pula pengaruhnya terhadap keadaan habitat sehingga semakin besar pula kendalinya terhadap komunitas yang diakibatkannya. Hal ini berarti bahwa bentuk hidup yang karena ukurannya atau jumlahnya atau karena kedua-duanya, mempunyai pengaruh terbesar terhadap habitat dan mendominasi atau merajai seluruh komunitas. Indeks nilai penting yang didapat berkisar antara 0,39 % - 77,31 %. Species yang memiliki nilai INP tertinggi adalah Clidemia hirta. Hal ini disebabkan karena Clidemia hirta memiliki nilai dominansi tertinggi, sehingga akan berpengaruh terhadap INP. Indeks nilai penting menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya. Menurut Fachrul (2006), apabila INP suatu jenis vegetasi bernilai tinggi, maka jenis itu sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut. Kebaradaan vegetasi dasar pada Timpeh Kabupaten Dharmasraya cukup beragam. Hal ini dibuktikan dengan nilai indeks keanekaragaman pada perkebunan kelapa sawit cukup tinggi, yaitu 2,46. Indeks keanekaragaman vegetasi dasar pada perkebunan kelapa sawit tergolong sedang. Menurut Fachrul (2006), jika nilai H > 3, maka keanekaragaman species adalah tinggi, jika nilai H 1 H 3, maka keanekaragaman species adalah sedang, jika H > 1, maka keanekaragaman species adalah sedikit atau rendah. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa indeks keanekaragaman pada perkebunan kelapa sawit di Trimulya tergolong sedang. Meskipun pada perkebunan kelapa sawit sering disiangi, namun vegetasi dasar dapat menjaga agar keberadaannya tetap stabil (menjaga kestabilan ekosistem). Menurut Indriyanto (2006), keanekaragaman species merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman species dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Keanekaragaman species juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponenkomponennya. Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena interaksi species yang terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi. Indek similaritas pada perkebunan kelapa sawit yang ditunjukkan oleh stasiun I, II dan III termasuk mirip. Menurut Michael (1994) dalam Gumiati (2015), nilai indeks similaritas 75-100 % dikatakan sangat mirip, 50-75 % dikatakan mirip, 25-50 % dikatakan tidak mirip, dan <25 % dikatakan sangat tidak mirip. Hal ini dapat dilihat dari table 3. Antara stasiun I dengan II, memiliki nilai 62,20 %, pada stasiun I dengan III memiliki nilai 62 %, dan pada stasiun II dengan III memiliki nilai 52 %. Nilai indeks kesamaan terendah yaitu 52 %. Hal ini diduga karena adanya penyiangan

menyebabkan tumbuhan menjadi hadir atau tidak di suatu tempat berdasarkan tempat hidupnya yang baru. Penyiangan menyebabkan ekosistem berubah, karena ekosistem yang ada dimusnahkan dengan cara membabat ataupun disemprot. Menurut Indriyanto (2008), proses perubahan yang terjadi dalam komunitas dapat diamati secara mudah dan seringkali perubahan itu berupa pergantian suatu komunitas yang lain. Berdasarkan hasil pengukuran faktor lingkungan pada perkebunan kelapa sawit di Trimulya Kecamatan Timpeh Kabupaten Dharmasraya, pada stasiun I, suhu udara berkisar antara 30-32 o C, kelembaban udara 71 81 % %, ph tanah 6,2-7. Pada stasiun II, suhu udara berkisar antara 28-31 o C, kelembaban udara 76-90 %, dan ph tanah 6,2 6,8. Sedangkan pada stasiun III, suhu udara berkisar antara 28-34 o C, kelembaban udara 76-91 %, dan ph tanah 6,3-7. Kelembaban udara pada lokasi penelitian sangat tinggi karena pada saat pengambilan sampel pada saat musim penghujan sehingga mempengaruhi kelembaban uadara. Kondisi lingkungan berpengaruh terhadap keberadaan vegetasi yang ada di sekitarnya. Variasi jenis dan jumlah dari vegetasi dasar penyusun perkebunan kelapa sawit dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berbedabeda pada setiap usia tanam. Pada stasiun II memiliki suhu dan kelembaban tertinggi dibandingkan dengan stasiun I dan stasiun III. Hal ini dibuktikan dengan melimpahnya jumlah jenis Clidemia hirta yang menyukai daerah yang memiliki kelembaban yang tinggi. Syafe i (1990) menyatakan bahwa setiap individu memperlihatkan respon yang berbeda terhadap kondisi lingkungan teertentu, yang diperlihatkan dengan optimalisasi pertumbuhan yang berbeda pada kondisi lingkungan tertentu bagi jenis-jenis tumbuhan yang berbeda. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Jumlah species vegetasi dasar yang dijumpai sebanyak 39 species, yang terbagi dalam 24 familia dan 3325 individu. 2. Komposisi vegetasi dasar pada perkebunan kelapa sawit di Trimulya Kecamatan Timpeh Kabupaten Dharmasraya yaitu penghitungan kerapatan relatif tertinggi adalah Axonopus compresus yaitu 21,41 %. Frekuensi relatif tertinggi adalah Axonopus compresus yaitu 11,83 %. Dominansi relatif tertinggi adalah Clidemia hirta yaitu 52,80 %. Indeks nilai penting yang tertinggi adalah Clidemia hirta yaitu 77,31 %. Nilai indeks keanekaragaman yaitu 2,46. Indeks similaritas pada stasiun I, II dan III tergolong mirip. DAFTAR PUSTAKA Aththorick, A. 2005. Kemiripan Komunitas Tumbuhan Bawah pada Beberapa Tipe Ekosistem Perkebunan di Kabupaten Labuhan Batu. Jurnal Komunikasi Penelitian. 17(5) Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara Fauzi, Y. Y. E, Widyastuti. I, Satyawibawa. R. H. Paeru. 2014. Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya Gumiati, I, A,. 2015. Komposisi Nimfa Odonata di Batang Tambangan Kenagarian Tambangan Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar. Skripsi. Padang: STKIP PGRI Sumatera Barat Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara Iswandi. 2012. Ekologi dan Ilmu Lingkungan. Padang: UNP Press Loveless, A. R. 1989. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik. Jakarta: PT. Gramedia Moenandir, Jodi. 1988. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma (Ilmu Gulma- Buku I). Jakarta: Rajawali Pers Palijama. W, J. Riri. A.Y, Wattimena. 2012. Komunitas Gulma pada Pertanaman Pala (Myristica flagrans H) Belum Menghasilkan dan Menghasilkan di Desa Hutumuri Kota Ambon. Jurnal Agrologia. 1(2). Hlm: 91-169 Soerianegara. I dan Indrawan. A. 2012. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Intitut Pertanian Bogor Syafei. E. S. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung: Institut Teknologi Bandung