BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film adalah media reproduksi informasi, media dari sebuah pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat luas tentang sebuah gambaran, gagasan, informasi, ungkapan atau ekspresi yang dapat dibicarakan, ditelaah dan dianalisa sebagai wacana dari proses gerak peradaban manusia. Berangkat dari proses akulturasi seni (puisi, tari, teater, dan novel) dan teknologi, film merupakan bentuk semu dari kehidupan dengan simbol-simbol dan aktivitas imajinatif juga kekuatan teknologi tercipta sebuah pesan yang menunjukkan realitas yang lain, realitas khayalan yang memberikan harmoni ataupun sekedar menghibur. Dilihat dari kata pusat perfilman, kita menanggapi bahwa itu adalah sebagai wadah produksi film. Mencipta film merupakan lingkaran bisnis dan kerja budaya. Sebuah film yang berhasil diproduksi adalah untuk produksi sebuah film berikutnya. Akhirnya antara keduanya akan hadir kreativitas dengan produktivitas yang tinggi dari kerja insan perfilman, sekaligus kesetiaan masyarakat sebagai penonton membentuk apresiasinya. Disisi lain ada sebuah dunia yang mempunyai kemiripan dengan arsitektur, terutama dari segi proses penciptaan dan fungsinya dalam mewadahi dan memaknai hubungan antar masyarakat, yaitu dunia film. Melalui film kini orang bisa mengekspresikan dan mengkomunikasikan hal-hal yang mungkin tidak
tertampung melalui media seni lainnya ( misalnya: seni lukis, patung, tari, musik, dan lain-lain). Bioskop menyediakan ruang bagi kerja distribusi film sekaligus media bagi masyarakat sebagai penonton untuk merawat kebutuhannya mengapresiasi film. Bioskop dan film telah menjadi sarana bagi penonton untuk mengisi waktu luang mereka. Dengan keragaman kehadirannya dalam industri sinematografi Indonesia, seperti bioskop keliling dan cineplex, bioskop di Indonesia telah menjadi media terbaik tentang perjumpaan film dengan penonton film. Ada filmfilm yang laris oleh kunjungan penonton, juga film-film sepi penonton yang karenanya akan memicu refleksi produser dan sutradara untuk lebih mampu menemukan sosok film yang dapat mencapai puncak kualitas sekaligus keinginan penonton. Bioskop adalah salah satu fasilitas yang menjadi ujung tombak pemasaran film. Seperti yang kita tahu di kota-kota besar banyak sekali bioskop-bioskop besar dengan bendera manajemen dari sebuah perusahaan terkenal. Akan tetapi bioskop tersebut menjadi bagian dari sebuah fasilitas publik yang lain sehingga bioskop tersebut hanya menjadi pemicu orang untuk mendatangi tempat utama tersebut seperti mall-mall dan pusat perbelanjaan lain. Sudah banyak usaha bioskop yang ambruk karena kurangnya peminat dan tidak adanya keragaman usaha yang saling mendukung. Mengandalkan pemasukan dari tiket karcis dirasa kurang memberi hidup di masa yang akan datang meskipun secara umum bioskop hidup dari penjualan tiket.
Disisi lain, fenomena bahwa kadang-kadang gedung bioskop hanya sebagai fungsi sekunder, yang mencoba menarik perhatian orang untuk datang, saat orang tersebut melakukan aktivitas lain dibangunan sekitarnya, menyimpulkan bahwa gedung cineplex/bioskop, menjadi gedung cineplex yang memiliki nilai lebih melalui pewadahan aktivitas pendukung yang dapat membuat gedung cineplex menjadi menarik untuk dikunjungi, ramai dan laku. Aktivitas pendukung adalah aktivitas selain aktivitas cineplex yang berbeda sama sekali dengan aktivitas cinepelex, yang dimunculkan sebagai aktivitas sampingan / sekunder. Fenomena lain yang terjadi di kota-kota besar seperti di Jakarta dan kotakota besar lainnya seperti juga Yogyakarta, banyak kelompok masyarakat yang membuat bioskop mini dengan penonton yang menggunakan sistem membership sehingga orang-orang diluar kelompok tersebut tidak bisa menikmati akses secara langsung dan harus menjadi anggota kelompok tersebut dahulu. Dengan demikian interaksi sosial yang terjadi hanya terbatas pada kelompok-kelompok tertentu saja. Gejala-gejala seperti ini yang membuat perlunya cineplex dengan konsep publik space. Diawal awal adanya bioskop orang dapat menikmati film secara bersama-sama, akan tetapi seiring dengan perkembangan teknologi gambar digital yang semakin lama semakin terjangkau seperti teknologi seluloid yang kemudian diganti dengan teknologi kepingan atau compact disc dan home theater sehingga dengan kondisi yang sedemikian rupa orang-orang cenderung terkotak-kotak dan
individualis serta menciptakan lingkungan pribadi sendiri tanpa berinteraksi dengan orang lain, akan tetapi lama-kelamaan orang menjadi bosan dengan kondisi semacam ini dan membutuhkan untuk berinteraksi dengan orang-orang disekelilingnya. Di kota Yogyakarta sendiri, kebutuhan menonton masyarakat Yogya saat ini masih dipenuhi dengan meminjam film di rental-rental VCD. Sedangkan untuk menonton di bioskop masih kurang minat, akhir-akhir ini hanya film-film Indonesia yang baru yang ramai peminatnya. Untuk film-film box office terbaru masyarakat harus menunggu 5-6 bulan bahkan harus sampai 12 bulan menunggu diputar di kota Yogyakarta. Apabila dilihat dari data statistik jumlah penonton bioskop di Yogyakarta dapat di ketahui bahwa banyak sekali masyarakat dalam mendatangi bioskop yaitu dilihat dari jumlah penonton pada tahun 2002 dengan jumlah penonton 469.523 yang tercatat di Badan Pusat Statistik D.I. Yogyakarta. Akan tetapi setelah sebuah bioskop kelas A di kota ini hancur karena terbakar peminat menjadi turun karena tidak adanya bioskop yang sekelas dengan bioskop tersebut. Dengan keadaan yang demikian banyak bioskop-bioskop di kota Yogyakarta ini tidak bisa memuaskan konsumen karena seperti yang kita lihat kondisi bioskop di Yogyakarta fisiknya maupun kualitas film yang diputar adalah film-film lama yang tidak up to date. Dari segi fisik misalnya gedung yang sudah tua, banyak furniture yang tidak layak pakai dan dari sirkulasi udara yang tidak nyaman lagi sehingga menimbulkan rasa bau dan panas. Sedangkan dari film yang diputar kebanyakan adalah film lama yang diputar kembali karena pemilik
bioskop yang tidak mempunyai koneksi vendor film besar tidak mampu membeli film-film baru. Konsep cineplex sebagai alternatif public space untuk kota Yogyakarta dirasa perlu mengingat perkembangan kota dan makin bervariasinya tingkah laku, lifestyle dan behaviour dari masyarakat Yogya sendiri yang sudah mulai bergeser dari semula yang bersifat komunal ke arah individual. Dengan demikian cineplex ini bukan hanya fasilitas untuk menonton, tapi juga fasilitas sosial untuk berinteraksi dengan tujuan agar orang-orang yang menuju ke cineplex ini tidak hanya dengan datang menonton dan langsung pulang. Secara tidak langsung fasilitas ini diharapkan menjadi trend baru dimana orang-orang dapat menikmati fasilitas publik yang belum pernah ada di Yogyakarta. Konsep fungsi cineplex sebagai sebuah ruang publik haruslah dapat menarik minat orang untuk mendatanginya. Khususnya lewat exploitasi cahaya pada malam hari atau suara pada siang hari. Sedangkan untuk atraksi dan program sebuah cineplex dapat memutar film untuk umum tapi bukan di dalam teater sehingga publik luas dapat menikmatinya, sedangkan untuk edukasi dapat dilengkapi dengan perpustakaan dan pemutaran film alternatif untuk kemudian dikaji lewat diskusi di kine klub.
1.2 Rumusan Masalah Seperti yang diketahui bahwa biasanya cineplex dipergunakan sebagai daya tarik dari sebuah areal komersial seperti mall-mall dan pusat perbelanjaan, akan tetapi disini cineplex benar-benar berdiri sendiri dengan fasilitas pendukungnya dan hubungannya dengan kota sebagai sebuah ruang publik yang menyediakan space untuk interaksi masyarakat sehingga cineplex ini bukan hanya sebagai bioskop untuk menonton film tetapi juga berfungsi sebagai ruang publik kota yang terus hidup walaupun fungsi utama fasilitas ini tidak berjalan atau sedang off. Sehingga secara arsitektural bagaimana sebuah bangunan cineplex ini juga mampu membuat orangorang atau pelaku didalamnya dapat berinteraksi satu dengan yang lain baik yang ada didalam bangunan dengan diluar bangunan sehingga seperti mempunyai sebuah kontinuitas ruang publik yang tidak pernah berhenti. Secara umum permasalahan utama dalam bahasan ini adalah - bagaimana menarik masyarakat untuk menghidupkan kembali bioskop yang lesu di Yogyakarta ini. Secara khusus: - Bagaimana membuat sebuah fasilitas publik space yang dapat melengkapi ruang terbuka kota. - Bagaimana menyajikan aspek-aspek di dalam perfilman dan bioskop ke dalam konsep arsitektural.
1.3 Tujuan dan Sasaran Tujuan yang ingin dicapai adalah sebuah tutunan/guidelines sebuah perancangan cineplex sebagai sebuah ruang publik kota dengan memperhatikan kontuinitas antara aktivitas di luar dengan di dalam bangunan sehingga interaksi sosial tidak terputus, sedangkan sasarannya adalah menciptakan sebuah ruang publik baru dengan fasilitas-fasilitasnya sehingga dapat menjadi sebuah node baru bagi sebuah kota yang secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan sebuah kota. 1.4 Metodologi 1.4.1 Metode Mencari Data Observasi Pengamatan langsung pada penayangan film di gedung cineplex/bioskop. Studi pustaka/literatur Mempelajari buku-buku tentang film, akustik, bioskop, publik space,sosiologi masyarakat urban. Studi banding Studi dilakukan dengan membandingkan dengan proyek-proyek yang serupa dengan poyek yang akan dibuat serta melihat secara langsung.
1.4.2 Metode Menganalisis Data Kualitatif Temuan-temuan dikomunukasikan secara naratif tentang berbagai kegiatan bioskop, standar-standar bioskop, publik space. 1.5 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Mengungkapkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran, metode dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN TEORITIS GEDUNG CINEPLEX Mengungkapkan potensi dan beserta segala fasilitas yang menyertainya. BAB III TINJAUAN RUANG INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT URBAN Mengungkapkan hubungan antara fasilitas dengan ruang publik yang ingin diciptakan melalui teori-teori mengenai ruang publik dan interaksi sosial yang terjadi didalamnya. BAB IV KONSEP DESAIN Mengungkapkan proses untuk menemukan ide-ide konsep perencanaan dan perancangan melalui metode-metode analisa tertentu yang diaplikasikan pada site. BAB V KESIMPULAN Mentransformasikan ide-ide desain dalam rancangan fisik arsitektural.