BAB V PENUTUP 4.1. Kesimpulan Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan masyarakat di Asia Tenggara meluas mencangkup persolan-persoalan yang tidak terbatas pada isu-isu ancaman konvensional terhadap keamanan dan kelangsungan hidup suatu negara atau perdamaian kawasan, melainkan juga mencangkup masalah dan isu-isu ligkungan. Hal ini jugalah yang merubah padangan ASEAN untuk tidak hanya melihat atau mengutamakan stabilitas politik saja namun mulai memperhatikan stabilitas kawasan. Kemunculan berbagai macam isu-isu nonkonvensional yang lintas batas negara ini menjadi tantangan besar bagi ASEAN dan negara yang terkait didalam isu tersebut untuk diselesaikan. Dari beberapa isuisu lingkungan yang sangat besar dampaknya bagi negara lain yang berbatasan langsung maupun tidak langsung dengan negara tetangganya yakni menyangkut isu Lingkungan ( kebakaran hutan ). Hutan merupakan suatu pondasi alam dalam menyediakan dan mengendalikan berbagai kebutuhan manusia, seperti udara, air dan sebagainya. Selain sebagai sumber daya alam hutan juga merupakan faktor ekonomi dilihat dari hasil-hasil yang dimilikinya. Namun, bersamaan itu pula sebagai dampak negatif atas pengelolaan hutan yang eksploitatif dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat, pada akhirnya menyisakan banyak persoalan, diantaranya tingkat kerusakan hutan yang sangat menghawatirkan. Demikian juga halnya di Indonesia, permasalahan perusakan hutan yang akibatnya tidak saja dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan tersebut tetapi juga meliputi aspek lepas batas negara, sehingga merugikan masyarakat negara lain. 94
Masalah kabut asap yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia telah menimbulkan pencemaran kabut asap yang tidak saja dirasakan dalam satu negara nmun berdampak lintas batas negara ini kemudian menajdi isu regional di bidang lingkungan hidup dan perlu dicarikan pemecahannya. ASEAN sebagai sebuah rezim regional memiliki peran yang sangat besar dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya sebagai sebuah badan organisasi regional di kawasan Asia Tenggara. Melihat usia ASEAN ditahun ini genap 47 tahun, sudah tentu memiliki proses panjang dalam mengakomodir,kerjasama dalam segala bidang bagi setiap anggota ASEAN yang terdiri dari 10 negara. Untuk mengurangi berbagai dampak daripada Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas, negara anggota ASEAN menyadari bahwa adanya kebutuhan untuk memperkuat kebijakan nasional dan strategi untuk mencegah dan mengurangi kebakaran hutan dan lahan yang berdampak terciptanya kabut dan asap. Permasalahan lingkungan mulai menjadi perhatian penting di wilayah Asia Tenggara khususnya ASEAN sejak memasuki akhir tahun 1970an. Diantara permasalahan lingkungan, fenomena kabut asap merupakan hal yang sering dibicarakan dalam setiap agenda ASEAN. kerjasama dilakukan baik dengan negara tetangga dan juga dengan ASEAN, kerjasama dengan ASEAN mengenai lingkungan hidup dimulai pada tahun 1978. Seiring berjalannya kerja sama kepala negara anggota ASEAN menyepakati sebuah kerangka kerjasama yang dikenal dengan Strategic Plan Of Action on Environment 1999-2004 (SPAE 1999-2004) kerangka kerja ini disepakati pada tahun 1997 dan 1998. Tujuan terpenting dari SPAE 1999-2004 adalah untuk menanggulangi polusi kabut asap yang memasuki lintas batas negara sebagai dampak dari kebekaran hutan yang terjadi di negara anggota ASEAN dan wilayah Asia Tenggara. Pembentukan kerjasama ini juga tidak terlepas dari bencana kebakaran hutan yang besar yang terjadi di Indonesia dan memberikan 95
dampak kabut asap yang paling besar di wilayah Asia Tenggara. Tindak lanjut dari ASEAN terhadap kerjasama di bidang lingkunga hidup, dibentuklah sebuah forum, yaitu Haze Technical Task Force (HTTF) forum ini berada di bawah naungan ASOEN (ASEAN Senior Officials on the Environment) yang dibentuk pada pertemuan ASEAN yang ke 6 di Bali pada September 1995. Setelah melalui proses yang cukup panjang, pada akhirnya dibentuklah perjanjian yang mengakomodir berbagai macam kerja sama dalam penanggulangan kabut asap lintas batas yaitu ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Yang pada substansinya fokus pada pencegahan, pengawasan terhadap polusi asap lintas batas negara yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan, melalui usaha nasional dan kerjasama regional dan internasional. Setiap negara dalam pihak memilik tanggung jawab masing-masing. Dalam perjanjian, sudah sepatutnya menimbulkan kekuatan yang mengikat para pihak atau pacta sun servanda. Bukan cuma menerapkan Prinsip Hukum Lingkungan seperti prinsip kedaulatan dan tanggung jawab Negara, ataupun good neighbourliness. Namun setiap negara wajib untuk mengintensifkan kerja sama, seperti pembentukan ASEAN Center, sebuah badan yang ditujukan, demi memfasilitasi para pihak dalam mengelola dampak kebakaran lahan. Sebagai konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional maka akan terikat dan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditanda tangani. Selama materi atau substansi dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Nasional. AATHP adalah rezim lingkungan yang dibentuk dari beberapa proses kesepakatan yang pada akhirnya disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN pada tahun 2002, AATHP bertujuan untuk menanggulangi masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara. Akan tetapi AATHP telah terbukti sebagai rezim yang tidak efektif dalam menangani 96
masalah ini karena negara-negara anggotanya tidak melakukan aturan-aturan rezim sehingga tidak terjadi perubahan lingkungan sesuai dengan tujuan AATHP yaitu untuk menanggulangi masalah polusi asap lintas batas di Asia Tenggara. Bukti dari ketidakefektifan AATHP adalah dengan melihat catatan polusi asap lintas batas yang terjadi sejak berlakunya perjanjian yaitu pada tahun 2003 hingga tahun 2013. Polusi asap lintas batas yang terjadi adalah pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2012 dan 2013, yang meliputi hampir diseluruh negara di Asia Tenggara, tercatat bahwa Myanmar, Laos, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan Brunei Darussalam merupakan negara-negara yang dilanda bencana polusi asap lintas batas. Hal ini menandakan bahwa setelah disahkannya AATHP hingga saat ini, AATHP tidak mampu melakukan perubahan pada lingkungan. Menurut analisa yang dilakukan berdasarkan teori Arild Underdal adalah penyebab ketidakefektifan sebuah rezim disebabkan dari problem malignancy dan problem solving capacity yang ada pada rezim. Problem malignancy pada penelitian ini terpenuhi dua indikator yaitu asymmetry dan cumulative cleavages. Sedangkan pada problem solving capacity hanya terpenuhi satu indikator yaitu distribution of power. Keadaan ini lah yang menyebabkan AATHP menjadi efektif yaitu karena kemampuan menyelesaikan masalah yang dimiliki oleh negara-negara ASEAN tidak mempu mengatasi masalah polusi asap yang menjadi fokus AATHP. Berbeda dengan perjanjian bilateral, AATHP merupakan perjanjian regional yang bersifat multilateral maka tidak ada kewajiban untuk diratifikasi. Bila dilihat, sebenarnya ratifikasi kesepakatan tersebut lebih banyak keuntungannya daripada kerugiannya terhadap kepentingan dan kebijakan nasional Indonesia. Contohnya Indonesia dapat memanfaatkan bantuan teknis serta dana yang ada dalam menanggulangi kebakaran hutan (Pasal 20 AATHP). Dan juga, Indonesia tidak lagi dapat dituntut karena telah menjadi tanggung jawab 97
bersama negara ASEAN, meskipun munculnya polusi asap berasal dari Indonesia. (Pasal 4 dan Pasal 5 AATHP). Kepentingan Indonesia tidak meratifikasi AATHP adalah banyaknya aktor yang terlibat dalam proses pengambilan kebijakan untuk meratifikasi. Didalam konstitusi Indonesia mengatur setiap perjanjian yang melibatkan negara lain (perjanjian Internasional) yang memiliki wewenang untuk meratifikasinya adalah badan legislatif (dewan perwakilan rakyat). Kendati demikian banyaknya sub aktor lain seperti LSM, WALHI, WWF Indonesia yang terus mendesak pemerintah agar meratifikasi AATHP, karena menurut WWF Indonesia akan mendapatkan banyak keuntungan apabila meratifikasi AATHP selain itu isi yang terkandung didalam AATHP sesuai dengan visi dari WWF sendiri yaitu menanggulangi dan menghentikan kerusakan lingkungan. Faktor lainnya adalah perusahaan-perusahaan kertas di Indonesia yang sangat mempengaruhi pembuatan kebijakan tersebut dan panjangnya jalan prosedur untuk memutuskan kebijakan tersebut yang harus dihadapi oleh para pembuat keputusan. Melihat posisi ASEAN yang mengalami kelemahan dalam meralisasikan perjanjian AATHP ini, dapat dikatakan bahwa ASEAN memiliki beberapa faktor penyebab yakni pertama, ASEAN dalam penanganan pemecahan setiap persoalan yang terjadi didalam anggota-anggota ASEAN tidak bisa secara langsung menangani ataupun menyelesaikan persoalannya tersebut karena berbenturan dengan prinsip ASEAN Way atau yang kita ketahui dengan non-intervensi. Hal ini sudah barang tentu menyulitkan upaya bersama dalam penanganan konflik ataupun masalah yang terjadi seperti halnya kasus kebakaran hutan di Indonesia yang terjadi. Yang kedua yakni, kefektifan ASEAN sebagai sebua rezim tidak berjalan secara baik. Hal ini dikarena belum diratifikasinya AATHP oleh Indonesia sendiri. Ini secara lamgsung melemahkan posisi ASEAN dalam upaya penyelesaian masalah kabut 98
asap. Dan ketiga, ASEAN mengalami kendala dalam menyakinkan Indonesia untuk meratifikasi AATHP karena adanya syarat yang diajukan Indonesia belum ditanggapi oleh ASEAN yakni masalah Illegal login. Kelemahan perjanjian AATHP ini tidak berbadan hukum mengikat setiap anggota ASEAN, hal ini semakin memperjelas bahwa segala upaya dalam rezim ASEAN untuk menanggulangi masalah pencemaran kabut asap ini semakin sulit ditegaskan. Apabila ada sanksi hukum paling tidak disini mampu menekan atau mengharuskan setiap negara untuk meratifikasi perjanjian AATHP dengan demikian meminimalisir masalah kerusakan hutan dan dampak yang ditimbulkan bagi negara lain sehingga penanganan lebih lanjut permasalahan kabut asap ini bisa diselesaiakan bersama dalam forum ASEAN. Lemahnya sentralitas kepemimpinan ASEAN merupakan masalah krusial yang membuat kesulitan ASEAN dalam mewujudkan berbagai sasarannya selama ini. Kelemahan ini memperlihatkan berbedanya ASEAN dengan Uni Eropa yang harus konsisten untuk menerapkan apa yang sudah diputuskan, dengan tidak membuka jalur-jalur diplomasi bilateral dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di kawasan yang dihadapi negaranegara anggotanya, seperti masalah Laut Cina Selatan. Jika negara-negara anggota ASEAN gagal memperlihatkan sentralitasnya, atau mau selalu membuka jalur bilateral jika berhadapan dengan negara luar, terutama negara besar seperti RRC, dengan lebih mau mendengar dan mendahulukan kepentingan negara itu ketimbang kepentingan negara anggotanya, di masa depan, akan lebih banyak lagi kesepakatan bersama yang dilanggar ASEAN, seperti terhadap realisasi perdagangan bebas, mekanisme solusi masalah HAM dan sebagainya. Sebagai konsekuensinya, kondisi sentralitas kepemimpinan ASEAN harus diperbaiki dengan memperkuatnya, dengan cara memperlihatkan komitmen yang lebih kuat atas 99
berbagai kesepakatan bersama yang telah dicapai, dan melarang anggotanya untuk menggunakan jalur-jalur bilateral dalam berhadapan dengan negara luar kawasan, apalagi negara besar, yang sangat berpengaruh. Sentralitas harus diperkuat dengan memperbaiki persatuan dan kekompakan negara-negara anggota ASEAN. Persamaan senasib, kesatuan kepentingan, kebersamaan dalam menyelesaikan masalah dan menghadapi pihak luar harus dipertahankan. Hanya dengan berhasilnya ASEAN mengukuhkan kepentingan bersama (common interest) sebagai identitas bersama (common identity), sentralitas kepemimpinan, dan selanjutnya, kinerja dan capaian kemajuan ASEAN, dapat diperbaiki. 100