BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Zaman Edo (1603-1867) adalah zaman dimana Jepang diperintah oleh keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan keshogunan Tokugawa pada waktu itu berpusat di kota Edo (Tokyo). Lembaga keshogunan ini disebut juga bakufu (Situmorang, 1995:41). Selama pemerintahan dipegang oleh Tokugawa, keadaan dalam negeri Jepang damai dan stabil. Akibatnya mereka mulai memikirkan untuk menyempurnakan warisan kebudayaan sendiri yang kaya. Selama masa ini mereka secara budaya lebih homogen dan dapat mengembangkan identitas nasional yang sangat kuat. Perdamaian dan stabilitas ini pun merupakan lompatan permulaan yang besar dalam bidang perekonomian Jepang masa itu. Keadaan ini memaksa rakyat Jepang untuk mencari pasaran di kota-kota daerah lainnya supaya mereka dapat menjual hasil produksinya secara bebas. Kondisi yang demikian juga menyebabkan timbulnya kota-kota besar sebagai pusat perdagangan. Kemudian karena pasaran yang ada dalam negeri tidak memadai, maka Jepang mulai mengadakan hubungan dagang dengan negara-negara luar. Hubungan dagang ini berkembang dengan pesat dan menjadi maju. Dengan majunya perdangangan tersebut, semangat orang-orang Jepang untuk pergi ke luar negeripun semakin besar. Tetapi dengan majunya perdagangan tersebut, maka ajaran agama Kristen yang sangat bertolak belakang dengan system masyarakat feodal mulai tersebar luas, sehingga banyak orang yang menjadi pemeluk agama tersebut. Hal ini sangat merisaukan dan menimbulkan
kekhawatiran pada diri pemimpin-pemimpin Jepang pada waktu itu, terutama Tokugawa Ieyasu. Melihat keadaan seperti ini, Tokugawa Ieyasu mengeluarkan peraturan yang melarang agama Kristen masuk ke Jepang. Larangan tersebut menimbulkan pertentangan dan ketidakpuasan di kalangan orang-orang Jepang penganut agama Kristen, sehingga terjadi pemberontakan dengan nama Shimabara no Ran. Pemberontakan tersebut membuat Ieyasu makin memperketat peraturan sehingga orang-orang Jepang tidak diperbolehkan untuk pergi ke luar negeri dan sebaliknya orang-orang Jepang yang ada di luar negeri dilarang untuk pulang ke Jepang. Sejak saat itu Jepang menutup seluruh negerinya terhadap pengaruhpengaruh dari luar ini dikenal dengan sebutan Negara tertutup (sakoku). Situmorang (1995:60) menjelaskan bahwa Iemitsu mengeluarkan peraturan untuk menutup diri dari dunia asing secara total pada tahun 1637, yaitu melarang kapal dari luar ke Jepang danmelarang orang Jepang pergi ke luar dengan alasan untuk mencegah masuknya ideologi asing. Sampai dengan tahun 1605, pedagang asing masih diizinkan oleh Tokugawa Ieyasu untuk ke Jepang, karena keuntungan perdagangan. Namun sepuluh tahun kemudian Tokugawa Hidetada melarang perdagangan tersebut karena diragukan adanya pengaruh moralitas bagi rakyat Jepang. Pada tahun 1605 sudah tercatat sebanyak kira-kira 700.000 orang Jepang sudah memeluk agama Kristen. Mengingat akan ketidaksesuaian ideologi tersebut, maka Iemitsu mengadakan penutupan negeri secara total. Walaupun demikian khususnya pedagang Belanda dan China masih disediakan pelabuhan yang dijaga secara ketat di Hirado. Hal ini diizinkan karena para pedagang Belanda, berbeda dengan
pedagang Spanyol dan Portugis, tidak membawa misi agama tersebut. Penutupan dari dunia asing yang di lakukan oleh keluaga Tokuygawa ini, disebabkan karena ideologi dan agama yang dibawa oleh orang-orang asing tersebut tidak sesuai dengan system feodalisme pada masa Edo. Menurut Martin dalam Situmorang (1995:1)mengatakan bahwa feodal adalah masyarakat yang militeristik yang hidup di atas tanah yang terpecah belah. Hal ini terjadi karena lahirnya banyak penguasa feodal yang memberikan perlindungan atas faktor produksi, terutama tanah kepada petani. Penguasa militeris dengan perantara prajurit menekan pajak setinggi-tingginya dari petani, sehingga petani tersebut hidupnya tergantung pada penguasa militer tersebut. Dalam pemerintahan yang berdasarkan feodalisme atau kebudayaan feodal ini, Jepang mempunyai golongan militer yang sangat kuat dalam stratifikasi masyarakat pada saat itu menduduki pada tingkat pertama. Golongan militer ini disebut dengan Bushi. Sistem stratifikasi sosial masyarakat feodal pada zaman Edo ditentukan berdasarkan penggolongan masyarakat menurut profesinya, yang merupakan pinjaman dari system-sistem pemikiran Cina (Nurhayati, 1987:27). Adanya pembagian golongan ini mengakibatkan hubungan vertikal dalam masyarakat Jepang, terutama dalam hal status, terlihat jelas. Pada masyarakat feodalisme di Jepang kekuasaan tertinggi dalam stratifikasi masyarakat tersebut adalah kelas samurai (bushi) disusul dengan petani dan pengrajin serta yang paling rendah adalah kelompok pedagang. Pengklasifikasian ini ditetapkan oleh Tokugawa dengan tujuan utama adalah untuk mempertahankan kedudukannya sebagai seorang penguasa (Sihombing,
1997:16). Pada zaman Edo jumlah kaum samurai tidak lebih dari 10 % jumlah penduduk Jepang pada saat itu, tetapi dalam jumlah yang kecil ini kelas samurai mampu memerintah dan menguasai jumlah penduduk yang banyak. Populasi petani dibanding dengan populasi penduduk Jepang lumayan banyak. Oleh karena itu pada zaman Edo, petani sangat dijaga oleh penguasa. Dengan segala cara kelas petani berhasil diperalat oleh kelas penguasa (samurai). Kelompok petani diharuskan mambayar pajak yang tinggi kepada pemerintah. Uraian di atas, dapat dikatakan bahwa masuknya orang-orang asing mambuat keluarga Tokugawa melakukan sakoku, karena ideologi dan agama yang dibawa oleh orang-orang asing tidak sesuai dengan sistem feodalisme pada zaman Edo. Hal ini dipertahankan oleh keluarga Tokugawa sampai 200 tahun lebih. Namun sakoku tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi, terlebih setelah kedatangan Komodor Perry ke Jepang dengan kapal hitamnya, yang memaksa Jepang untuk melakukan pembukaan negara. Pada masa itu yang menjadi shogun adalah Tokugawa Yoshinobu yang merupakan shogun terakhir. Eksistensi daripada keshogunanan pada masa Tokugawa Yoshinobu inilah yang akan saya lihat dalam novel terjemahan The Last Shogun. Novel The Last Shogun (terj) menceritakan tentang kisah hidup seorang shogun terakhir Tokugawa Yoshinobu, kisah tentang sebuah pergolakan zaman, perbenturan pemikiran timur dan barat, budaya dan norma, kehormatan dan kemanusiaan. Dalam novel yang dikemas apik oleh Ryotaro Shiba ini, penulis akan memfokuskan kepada bagaimana pemikiran Yoshinobu pada masa kepemimpinannya sebagai seorang shogun dimana pada masa kepemimpinannya
terjadi begitu banyak gejolak di dalam Jepang sendiri. Negara-negara luar mendesak Jepang agar membuka diri, namun dari pihak keluarga besar keshogunan yang mengharapkan agar Jepang tetap menutup diri dari negara luar. Bukan itu saja Tokugawa Yoshinobu juga harus mengahadapi pertentangan dari dua buah kubu yang berlawanan yaitu dari keluarga besarnya keluarga Mito dan dari keluarga besar keshogunan. Keluarga Mito adalah keluarga yang menjujung tinggi pengembalian kekuasaan kepada kaisar sedangkan dari keluarga keshogunan tidak ingin kekuasaan dikembalikan kepada kaisar. Disinilah akan terlihat bagaimana cara pandang seorang Yoshinobu dalam menghadapi pergolakan yang terjadi di negaranya dan bagaimana cara dia mengatasi hal tersebut. Alasan inilah yang menarik penulis untuk mengangkat tema tentang bagaimana cara berfikir Tokugawa Yoshinobu dalam memimpin Jepang pada akhir zaman Edo dilihat dari yaitu novel The Last Shogun yang ditulis oleh Ryotaro Shiba dengan judul skripsi Pemikiran Tokugawa Yoshinobu dalam Pemerintahan Militer pada Akhir Zaman Edo dilihat dari novel The Last Shogun Karya Ryotaro Shiba. 1.2 Perumusan Masalah Kondisi keshogunan pada masa terpilihnya Yoshinobu sebagai seorang shogun dalam keadaan gawat.yoshinobu resmi memimpin Jepang pada tahun 1867-1868. Situasi tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti tekanan yang berasal dari negara-negara luar yang menginginkan agar terjadi pembukaan negara, penolakan keluarga keshogunan atas pengangkatan Yoshinobu sebagai
shogun, dan juga serangan dari keluarga Mito yang kuatir apabila Yoshinobu menjadi seorang shogun maka Yoshinobu bisa mengkhianati keluarga Mito yang anti shogun. Gejolak-gejolak yang seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya kepada shogun shogun terdahulu sebelum Yoshinobu dan hal inilah yang menjadi pembeda antara pengangkatan shogun-shogun terdahulu sebelum Yoshinobu. Inilah yang menjadi kekhasan dari novel ini, dimana cara pandang dan cara berfikir Yoshinobu dalam menyikapi masalah-masalah yang ada berbeda dengan para pendahulunya. Hal ini juga yang membuat Tokugawa Yoshinobu menjadi dilema antara membuka negara sebagai tuntutan dari negara luar atau tetap menutup diri sebagai wujud kesetiaan terhadap semboyan sonno joi yang telah mendarah daging dalam keluarga keshogunan bahkan negara. Yoshinobu dalam keadaan terjepit. Jika para pendahulunya seperti Tokugawa Ieyasu menyikapi masalah yang ada pada zaman pemerintahannya dengan menunjukkan kekuasaan dan dengan pemerintahan feodalnya, tetapi pada masa kepemimpinan Yoshinobu ia lebih banyak melakukan musyawarah dengan para daimyonya. Yoshinobu juga banyak melakukan perundingan dengan bangsa luar dan lebih terbuka dengan teknologiteknologi dan cara berfikir negara-negara luar. Pemikirasn dan kebijakan Yoshinobu yang berbeda dengan para pendahulunya dalam memimpin Jepang dan para daimyo inilah yang membuat novel ini sangat menarik untuk diteliti. Masalah-masalah dalam bentuk pertanyaan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana situasi pemerintahan militer pada akhir zaman Edo saat kepepimpinan Yoshinobu? 2. Bagaimana pemikiran shogun Tokugawa Yoshinobu dalam memerintah pada akhir pemerintahan militer zaman Edo dilihat dari novel The Last Shogun karya Ryotaro Shiba? 1.3 Ruang Lingkup Pembahasan Dalam penelitian ini penulis membatasi pembahasannya yaitu pada hal yang berkaitan dengan cara berfikikir Tokugawa Yoshinobu dalam menyikapi permasalahan yang terjadi di Jepang pada zaman Edo dilihat dalam novel The Last Shogun. Untuk dapat mengetahui hal diatas dalam penulisan ini akan dibahas mengenai sejarah kehidupan masyarakat pada masa Edo dan juga proses sakoku yang berlangsung di Jepang pada masa Tokugawa, kehidupan masyarakat pada masa Tokugawa di zaman Edo sebelum Tokugawa Yoshinobu, kehidupan masyarakat Jepang pada masa kepemimpinan Tokugawa Yoshinobu, setting novel The Last shogun dan biografi pengarang. Penulis juga akan mendeskripsikan cara berfikir Tokugawa Yoshinobu dalam memimpin Jepang pada akhir zaman Edo. 1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka Dalam pemerintahan yang berdasarkan feodalisme/ kebudayaan feodal, golongan militer merupakan golongan yang sangat kuat. Menurut Martin dalam Situmorang (1995:1) mengatakan bahwa masyarakat feodal adalah masyarakat yang militeristik yang hidup di atas tanah yang terpecah belah. Hal ini terjadi
karena banyak pengasa feodal yang memberikan perlindungan atas faktor produksi, terutama kepada kepada petani. Penguasa militer dengan perantara prajurit menekan pajak setinggi-tingginya dari petani sehingga petani tersebut hidupnya tergantung pada penguasa militer. Bushi adalah golongan militer yang dikenal sebagai ahli-ahli pedang Jepang atau disebut juga dengan samurai, Benedict (1982:335) mengatakan bahwa samurai adalah prajurit feodal yang berpedang dua. Sedangkan menurut Nurhayati (1987:10) samurai adalah pasukan pengikut tuan tanah/ penguasa setempat yang disebut daimyo. Menurut Suryohadiprojo (1982:16) Shogun atau dengan kepanjangan Sei-taishogun adalah jabatan militer tertinggi dalam negara. Sakoku menurut Sudjianto (2002:88) dalam kamus istilah masyarakat dan kebudayaan Jepang adalah politik isolasi yang melarang orang Jepang melakukan perjalanan ke luar negeri dan melarang kapal asing memasuki wilayah Jepang. Selama rezim tokugawa, Jepang melakukan politik isolasi atau sakoku. Maksud Tokugawa melakukan politik isolasi untuk Jepang, khususnya disebabkan oleh rasa khawatirnya akan pengaruh kaum Kristen. Masa isolasi yang dihubungkan dengan politik yang ketat di dalam negerilah yang telah membawa perdamaian dan stabilitas bagi Jepang selama lebih dari 250 tahun (Suryohadiprojo, 1982:20). Tujuan bakufu melakukan politik tertutup ini ialah untuk memperkokoh gangguan-gangguan yang ditimbulkan oleh paham Kristen (Nurhayati,1987:26). Penutupan hubungan ini berlangsung pada tahun 1639 sampai 1854 dan salah satu dari akibat politik isolasi ini adalah putusnya hubungan Jepang dengan luar negeri.
1.4.2 Kerangka Teori Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan masalah. Itu sebabnya perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:39-40). Dengan demikian maka dalam penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan pendekatan semiotik dan pendekatan historis. Jan Van Luxemburg (1986:46) menyatakan bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, lambang-lambang, sistem lambang dan proses perlambangan. Ilmu tentang semiotik ini menganggap bahwa fenomena sosial maupun masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Berdasarkan teori semiotik diatas, maka penulis dapat menginterpretasikan kondisi dan sikap para tokoh ke dalam tanda. Tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah novel akan diinterpretasikan dan kemudian akan dipilih bagian mana merupakan tindakan maupun perbuatan yang mencerminkan bagaimana pemikiran shogun Tokugawa Yoshinobu dalam masa kepemimpinannya. Selain menggunakan pendekatan semiotik, penelitian ini juga menggunakan pendekatan historis. Pendekatan historis menurut Fox dalam Consuelo (1993:42) yaitu pendekatan melalui pengalaman masa lampau untuk mengetahui apa yang akan dikerjakan sekarang dan apa yang akan dikerjakan pada masa depan nanti. Pendekatan ini cocok digunakan dalam penelitian ini karena cerita dalam novel ini berkaitan dengan masa lampau.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian 1. Untuk mendeskripsikan situsi pemerintahan militer pada akhir zaman Edo saat kepemimpinan Tokugawa Yoshinobu. 2. Untuk mendeskripsikan pemikiran Tokugawa Yoshinobu dalam kepemimpinannya sebagai shogun pada akhir zaman Edo dalam novel The Last Shogun. 1.5.2 Manfaat Penelitian 1. Untuk menambah pengetahuan tentang sejarah Jepang pada masa Edo dalam novel The Last Shogun 2. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang cara berfikir Tokugawa Yoshinobu dalam menyikapi masalah yang terjadi di wilayah Jepang pada akhir zaman Edo. 1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dalam cakupan penelitian kualitatif dan pendekatan historisme. Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu yang memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah novel yang berjudul The Last Shogun karya Ryotaro Shiba yang diterbitkan oleh Penerbit Kantera pada tahun 2010 yang cetakan pertama oleh Bungei Shunju Ltd pada tahun 1967.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka yaitu dengan menyelususri sumber-sumber kepustakaan dengan buku dan referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan. Data yang diperoleh dari berbagai referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan dan saran.