BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis,

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (3) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

BAB I PENDAHULUAN. menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, dimana salah satu

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Oleh : Baskoro Adi Nugroho NIM. E

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini rasanya cukup relevan untuk membicarakan masalah polisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara.

BAB I. Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus telah menyatakan diri sebagai negara berdasarkan atas hukum.

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

PEMECATAN PRAJURIT TNI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peradilan hukum di Indonesia dibedakan menjadi empat

BAB V PENUTUP. Undang Undang Nomor 7 tahun 1946 tentang peraturan tentang

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. 1945), di dalam Pembukaan alinea pertama menyatakan bahwa sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara yang berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka maka penulis

BAB I PENDAHULUAN. perlakuan yang sama dihadapan hukum 1. Menurut M. Scheltema mengatakan

I. PENDAHULUAN. menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana. hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum.

BAB I PENDAHULUAN. mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah : Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar bagi keberlangsungan dan keutuhan Negara Kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara yang berlandaskan atas dasar hukum ( Recht Staat ), maka

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3703)

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: dalam tahap pembahasannya. Alasan pertama selalu munculnya deadlock

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER

BAB I PENDAHULUAN. yang jabatannya atau profesinya disebut dengan nama officium nobile

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekuasaan kehakiman yang independen merupakan salah satu faktor

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (TRI) sebagai tentara regular dan badan-badan. dengan resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai tanggung jawab. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan. Salah satu ciri negara hukum Indonesia yaitu adanya. yang bertugas mengawal jalannya pemeriksaan sidang pengadilan.

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

NOMOR 26 TAHUN 1997 TENTANG HUKUM DISIPLIN PRAJURIT ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Pembangunan dan pembinaan serta pembaharuan hukum nasional harus sesuai dan mengacu pada cita-cita hukum (rechtsidee). 1 Penegakan hukum dalam menciptakan suatu keadilan merupakan syarat mutlak untuk mencapai tujuan nasional. Saat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk pada tanggal 5 Oktober 1945, belum tersedia perangkat hukum atau peraturan yang mengendalikan suatu organisasi bersenjata atau angkatan perang. Anggota TKR tersebut terdiri dari bermacam-macam warga yang mempunyai latar belakang berbeda dan tidak mengerti akan hakekat disiplin. Selain organisasi TKR, terbentuk juga organisasi pejuang bersenjata yang tidak terikat pada Komando Pusat, oleh karena itu pengaturan kelompokkelompok bersenjata tersebut menjadi sukar, terlebih pada masa itu bangsa indonesia sedang menghadapi kekuatan Belanda yang didahului Inggris untuk kembali menduduki Indonesia. Untuk menghadapi situasi tersebut timbul gagasan untuk mendirikan badan yang mengatur disiplin dikalangan organisasi bersenjata. Secara otonom di beberapa daerah mulai berdiri Polisi Tentara (PT) seperti di Aceh yang bermarkas di Kutaraja dengan kekuatan dua Kompi pasukan, demikian pula di Sumatera Utara didirikan satuan Polisi Tentara Sumatera Timur serta di Bengkulu juga dibentuk satuan Polisi Tentara pada resimen TKR Bengkulu. 1 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang Hukum Militer dan Bela Negara, Jakarta, 1996,hlm 1. 1

2 Tanggal 26 September 1945 dibentuk satu Batalyon Polisi Tentara Divisi Jawa Barat yang mewakili pulau jawa, selain bertugas sebagai Badan Kepolisian dalam Divisi juga melakukan tugas-tugas pertempuran sesuai dengan kondisi perjuangan saat itu. Sehubungan suasana genting yang sangat memaksa, maka Markas Tertinggi TKR memandang perlu mengadakan suatu peraturan sementara di bidang Kepolisian Militer. Tanggal 8 Desember 1945, Markas Tertinggi TKR memberi petunjuk, agar tiap-tiap Divisi dibentuk Polisi Tentara, yang bertugas menyelidiki, mengusut, dan menuntut perkara perkara dimuka Pengadilan Tentara, Divisi maupun Resimen TKR di Jawa dan Sumatera. Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan tiang penyangga kedaulatan negara Republik Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi. UUD 1945 khususnya Pasal 30 ayat (2) menyatakan bahwa Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung (amandemen ke dua UUD 1945). Perubahan (Amandemen) UUD 1945 membawa perubahan mendasar terhadap penyelengaraan kekuasaan kehakiman yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Konsekuensi dari perubahan ini adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebelum di undangkannya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, pembinaan Peradilan Militer berada di bawah Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. Terhitung sejak tanggal 1 September 2004, organisasi, administrasi, dan finansial Peradilan Militer dialihkan dari TNI ke Mahkamah

3 Agung. Akibat dari perlaihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan beralih menjadi personel organik Mahkamah Agung, akan tetapi pembinaan keprajuritan bagi personel militer tetap dilaksanakan oleh Markas Besar TNI. 2 Hukum militer merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan dari hukum nasional yang sekaligus juga merupakan subsistem dari ketentutan yang mengatur tentang pertahanan dan keamanan Negara. Agar hal tersebut dapat dicapai, maka sistem dan asas-asas pokok hukum militer harus bertitik tolak dari tugas militer dan dari asas-asas pokok hukum nasional, disisi lain hukum militer berkewajiban menjamin terselenggaranya tugas-tugas militer dengan baik dan benar. Hukum militer yang merupakan subsistem dari sistem pertahanan keamanan Negara perlu mengatur secara tegas mengenai operasional dari tatanan kehidupan bela Negara yang melahirkan pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Angkatan perang Republik Indonesia yang bersaptamarga dan bersumpah prajurit sebagai Bhayangkari Negara dan bangsa dalam bidang pertahanan Keamanan Negara adalah penindak dan penyangga awal, pengamanan, pengawal, penyelamat bangsa dan Negara serta sebagai pelopor dan pelatih rakyat guna menyiapkan kekuatan pertahanan keamanan Negara dalam menghadapi setiap bentuk ancaman musuh atau lawan dari manapun datangnya. 3 Menghayati dan meresapi nilai-nilai sapta marga dan sumpah prajurit diharapkan akan menjadikan setiap prajurit angkatan perang Republik Indonesia memiliki sendi-sendi yang 2 www.wikipedia.com [Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas diakses pada hari sabtu, tanggal 5 agustus 2009 pukul 01:02 am]. 3 Moch. Faisal Salam, S.H., M.H., Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2006. Hlm 21.

4 kokoh, kode etik dalam pergaulan, kode kehormatan dalam perjuanagan, kode moral dalam perilaku serta nilai-nilai yang di emban dalam menjalankan tugas. Militer merupakan orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur, oleh karena itu bagi mereka diadakan norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus. Institusi militer merupakan institusi yang peran dan posisinya khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan prajuritnya dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan keselamatan negara. Kenyataannya Hukum Pidana Militer dipisahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) sebagai hukum material dan hukum acara pidana militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai hukum formal. Terhadap setiap perbuatan yang merupakan pelanggaran hukum dengan kategori tindak pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI atau yang dipersamakan dengan Prajurit TNI, maka berdasarkan ketentuan Hukum Pidana Militer harus diproses melalui Pengadilan Militer. Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan militer menyatakan bahwa Pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer Pertempuran. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang khas dalam struktur kenegaraan. Sebagai tulang punggung pertahanan negara, institusi militer dituntut untuk dapat menjamin disiplin dan kesiapan prajuritnya dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap keamanan dan keselamatan negara. Untuk itu, hampir semua institusi militer di seluruh negara memiliki

5 mekanisme peradilan khusus yang dikenal sebagai peradilan militer. Peradilan militer di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan militer. Undang-Undang tersebut mmengatur beberapa hal mengenai yurisdiksi peradilan militer, struktur organisasi dan fungsi peradilan militer, hukum acara peradilan militer dan acara koneksitas, serta hukum Tata Usaha Militer. Di sisi lain, dalam sistem peradilan militer tidak ada kejelasan mengenai jaminan terhadap hak-hak sipil bagi anggota militer ketika mereka berurusan dengan peradilan militer. Hak untuk didampingi pengacara, hak untuk mengetahui alasan penangkapan dan/atau dakwaan, hak untuk tidak diintimidasi dan disiksa, hak untuk menghubungi dan bertemu keluarga, dan lain-lain, sama sekali tidak diatur dalam sistem peradilan militer Indonesia. Prajurit atau anggota militer merupakan warga negara (citizens in uniform), dengan demikian prajurit atau militer juga memiliki hak yang sama di muka hukum dengan warga negara yang lain, di mana negara harus menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut. Ketika seorang anggota militer melakukan sebuah tindak pidana, ada beberapa jalur hukum yang mereka miliki. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, apapun bentuk tindak pidana yang dilakukan maka akan diadili di peradilan militer. Jika ada unsur tindak pidana umum di dalamnya, dan dilakukan bersama-sama dengan warga sipil, maka harus digunakan hukum acara koneksitas. Untuk menerapkan hukum acara koneksitas terlebih dahulu harus dibentuk sebuah tim koneksitas

6 yang mensyaratkan adanya keputusan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan serta persetujuan dari Menteri Kehakiman. 4 Praktek penyelenggaran peradilan militer di Indonesia juga terlihat mengarah pada pemberian hukuman yang tidak sesuai dengan rasa keadilan publik, serta cenderung tertutup dari kontrol publik. Ketidakadilan dan ketertutupan tersebut juga melanda aspek-aspek lain dalam sistem peradilan militer, terutama dalam penggunaan mekanisme koneksitas dan eksistensi Dewan Kehormatan Militer/Dewan Kehormatan Perwira. Dengan demikian harus dilakukan perubahan terhadap mekanisme hukum yang berlaku di tubuh militer. Adanya tindak pidana yang melibatkan unsur sipil dan militer baik dalam hal subyek maupun tindak pidana yang menyebabkan terjadinya konflik yurisdiksi (tumpang tindih kewenangan mengadili). Konflik yurisdiksi dan ketidakpastian hukum ini juga berasal dari ketentuan hukum yang menyerahkan otoritas menentukan kewenangan peradilan. Kebutuhan untuk mengatasi ketidakpastian hukum akan terus terjadi, karena dalam jangka panjang masih mungkin ada suatu tindak pidana yang berada dalam dua yurisdiksi peradilan. Hal ini disebabkan oleh diabaikannya prinsip pembedaan penempatan satuan militer dan instalasi militer dari civilians dan civilian objects sesuai dengan hukum humaniter. Pembentukan koneksitas tetap harus menjamin terlaksananya prinsip-prinsip umum dalam penyelenggaraan peradilan seperti equality before the law, independensi, imparsialitas, akuntabilitas, fair trial, murah, cepat dan sederhana. Koneksitas adalah mekanisme hukum acara untuk mengadili tindak pidana yang perkaranya dicakup oleh kewenangan dua peradilan yakni Peradilan Militer 4 http://www.prakarsa rakyat.org diakses pada hari minggu tanggal 06 september 2009 pukul 09.35.

7 dan Peradilan Umum, khususnya tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang secara paralel diatur dalam hukum pidana militer dan umum. Peran serta Oditur Militer di dalam acara koneksitas sangat di butuhkan, dengan harapan perkara koneksitas yang di periksa dapat memenuhi asas kepastian hukum dan rasa keadilan bagi pihak-pihak yang di adili. Fungsi Oditur Militer dalam menangani perkara koneksitas di lingkungan peradilan militer sangat vital, karena oditur militer akan membela kepentingan Negara yang harus dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa merugikan hak dan kepentingan individu lainnya. Dari hal tersebut di atas maka peran dan fungsi Oditur Militer dalam menangani perkara koneksitas di lingkungan peradilan militer yang transparan dan akuntabel serta tidak memihak sangat diperlukan guna menciptakan keadilan bagi para pencari keadilan pada perkara koneksitas. Bertolak dari pemikiran diatas maka penulis mengambil judul penelitian Tinjauan Terhadap Fungsi Oditur Militer dalam Proses Perkara Koneksitas di Lingkungan Peradilan Militer. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah fungsi Oditur Militer dalam proses perkara koneksitas di lingkungan peradilan militer? 2. Apa saja kendala yang dihadapi Oditur Militer dalam Menangani perkara koneksitas? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui fungsi Oditur Militer dalam proses perkara koneksitas di lingkungan peradilan militer.

8 2. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi Oditur Militer dalam menangani perkara koneksitas. D. Manfaat Penelitian Dengan melakukan penelitian ini, maka manfaat yang akan diperoleh adalah: 1. Bagi penulis Memperoleh tambahan pengetahuan mengenai fungsi Oditur Militer dalam peradilan perkara Koneksitas di lingkungan peradilan militer serta mengetahui kendala apa saja yang dihadapi oleh Oditur Militer dalam menangani perkara koneksitas. 2. Bagi mahasiswa Untuk menambah wawasan hukum khususnya dalam hal fungsi Oditur Militer dalam peradilan perkara Koneksitas di lingkungan peradilan militer serta mengetahui kendala apa saja yang dihadapi oleh Oditur Militer dalam menangani perkara koneksitas. 3. Bagi masyarakat Untuk memberi pengetahuan hukum mengenai penegakkan hukum yang dilakukan oleh Oditur Militer dalam peradilan perkara koneksitas di lingkungan peradilan militer serta kendala-kendalanya. E. Batasan Konsep 1. Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

9 2. Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. 3. Perkara Koneksitas adalah tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh militer dan sipil. 4. Militer adalah Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Prajurit adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Pada ilmu hukum dogmatik/normatif, jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum dengan melakukan abstraksi melalui proses deduksi dari hukum positif yang berlaku, yang berupa sistematisasi hukum, sinkronisasi hukum secara horizontal dan harmonisasi hukum secara vertikal, karena merupakan sebuah kegiatan ilmiah yang didasarkan atas metode sistematika serta pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum dan mengadakan penelitian secara analisis terhadap fakta hukum yang ada.

10 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif berupa data sekunder, yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. a. Bahan hukum primer yang akan dipakai berupa norma hukum positif peraturan perundang-undangan yaitu; 1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Pasal 30 ayat (2) Konstitusi Negara kita telah mengatur bahwa Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dana keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisisn Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. 2) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1958 Nomor 127. 3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 nomor 76. 4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Prajurit Angkatan bersenjata Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1988 nomor 4. 5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 nomor 84.

11 6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 1997 Tentang hukum disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 Nomor 67. 7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 4169. 8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 8. 9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9. 10) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 67. 11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 127. b. Bahan hukum sekunder, yang digunakan adalah buku-buku, literatur, dan pendapat-pendapat serta bahan-bahan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

12 c. Bahan hukum tersier yang digunakan, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, studi kepustakaan, mempelajari, meneliti dan menyampaikan data yang diperoleh dari buku-buku, dan peraturan perundang-undangan. 4. Metode Analisis Langkah-langkah melakukan analisis yaitu: a. Deskripsi yang memaparkan atau menguraikan isi maupun struktur hukum positif, berupa peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan oditur militer dalam perkara koneksitas. b. Sistematisasi isi, langkah ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis isi dan struktur hukum positif kemudian dilakukan sistematisasi secara horizontal dan vertikal. Secara vertikal dengan menggunakan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah, yaitu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 Tentang pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Prajurit Angkatan bersenjata Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 1997 Tentang

13 hukum disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasioanal Indonesia. c. Analisis hukum positif secara vertikal, prinsip penalaran yang digunakan adalah derogasi, yaitu menolak suatu aturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, sehingga ditemukan asas hukum Lex Superiori Derogat Legi Inferiori. Secara horizontal tidak terdapat konflik hukum. d. Interpretasi hukum positif dalam penulisan hukum ini, penulis menguraikan interpretasi gramatikal, sistematis, dan teleologis. Interpretasi gramatikal adalah mengartikan suatu term hukum atau suatu bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. Interpretasi sistematis yaitu dengan titik tolak dari suatu sistem aturan menggantikan ketentuan hukum. Interpreasi teleologis yaitu setiap interpretasi pada dasarnya adalah teleologis, betitik tolak pada tujuan diundangkannya suatu norma. e. Menilai hukum positif yang dikaji dalam penelitian ini adalah Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 nomor 84. Dari hukum positif yang dipakai, diprediksi bahwa masalah koneksitas di lingkungan peradilan militer mengurangi hak dan kepentingan terdakwa. Langkah selanjutnya adalah membandingkan antara bahan hukum primer dan sekunder, membandingkan peraturan Perundang-undangan

14 yang berlaku dengan buku-buku atau pendapat hukum sehingga diperoleh pemahaman atau pengertian yang jelas. Langkah terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu metode penyimpulan yang bertolak dari proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini atau aksiomatik) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat khusus. Dalam hal ini yang umum berupa peraturan Perundang-undangan dan norma hukum yang telah ditetapkan sebagai pedoman yang harus diikuti dalam hal penanganan perkara koneksitas. Hal yang khusus yaitu kenyataan yang ada dimasyarakat tentang peran Oditur Militer dalam penanganan perkara koneksitas di lingkungan peradilan Militer. G. Kerangka Usulan Proposal Penelitian Bab I. Pendahulauan Bab ini terdiri dari sub-sub bab yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, batasan konsep, metode penelitian. Bab II. Pelaksanaan Fungsi Oditur Militer Bab pembahasan ini akan memberikan penjelasan mengenai pokok-pokok penulisan hukum ini, yaitu Pelaksanaan Fungsi Oditur Militer. Sub bab bagian A akan membahas Tinjauan Umum Mengenai Oditur Militer yang terdiri dari pengertian Oditur Militer, tugas dan wewenang Oditur Militer. Sub bab B akan membahas mengenai Tinjauan Umum Mengenai

15 Peradilan Militer yang terdiri atas pengertian peradilan militer, susunan dan kekuasaan peradilan militer. Sub bab C akan membahas Pelaksanaan Fungsi Oditur Militer Dalam Menangani Perkara Koneksitas yang dibagi kedalam pengertian koneksitas, unsur-unsur koneksitas, penyidikan perkara koneksitas, dan penuntutan perkara koneksitas. Pada sub bab D akan membahas mengenai Kendala yang di Hadapi Oditur Militer dalam Menangani Perkara Koneksitas di Lingkungan Peradilan Militer. Bab III. Penutup. Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisa.