BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama khususnya di Indonesia. Kondisi balita kurang

dokumen-dokumen yang mirip
Status Gizi. Sumber: Hasil PSG Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul tahun

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. faktor yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan, karena masa balita

BAB I PENDAHULUAN. keemasan, yang memiliki masa tumbuh kembangnya berbagai organ tubuh. Bila

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memasuki era globalisasi karena harus bersaing dengan negara-negara lain dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan berat

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Balita merupakan kelompok masyarakat yang rentan gizi. Kelompok

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada

BAB 1 PENDAHULUAN. anak di negara sedang berkembang. Menurut WHO (2009) diare adalah suatu keadaan

BAB 1 PENDAHULUAN. pertama. Pemberian ASI secara eksklusif pada bayi penting untuk. meningkatkan kelangsungan hidup dan kualitas bayi.

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi lebih dapat terjadi pada semua tahap usia mulai dari anak -

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita adalah masa yang membutuhkan perhatian lebih dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia.

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Salah satu penentu kualitas sumber daya manusia adalah gizi seimbang. Kekurangan

Arumsari, et al, Evaluasi Program Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P).

BAB I PENDAHULUAN. rangka mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, terlebih pada

BAB I PENDAHULUAN. otak dimulai dalam kandungan sampai dengan usia 7 tahun (Menteri Negara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan. tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. pertama kali posyandu diperkenalkan pada tahun 1985, Posyandu menjadi. salah satu wujud pemberdayaan masyarakat yang strategis

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu target dalam Millenieum Develomment Goals (MDG s). utama pembangunan kesehatan (Kemenkes, 2009b).

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pembangunan kesehatan, yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka

BAB 1 PENDAHULUAN. ganda yaitu masalah kurang gizi dan gizi lebih. Kurang energi protein (KEP) pada

BAB IPENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Balita menjadi istilah umum bagi anak dengan usia dibawah 5 tahun (Sutomo

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, sehingga sering diistilahkan sebagai periode emas sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi 20%, maupun target

BAB I PENDAHULUAN. fisik. Pertumbuhan anak pada usia balita sangat pesat sehingga memerlukan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di Indonesia diare merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan anak.

BAB I PENDAHULUAN. Motorik halus adalah pergerakan yang melibatkan otot-otot halus pada tangan

BAB I PENDAHULUAN. tahun Konsep pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Untuk menciptakan sumber daya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kekurangan gizi terutama pada anak-anak akan mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. Status gizi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Esa Unggul

BAB I PENDAHULUAN. (pos pelayanan terpadu) di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I sesuai data

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Developments Program), Indonesia menempati urutan ke 111

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. ASI merupakan susu yang tepat untuk bayi karena susu ini khusus diproduksi ibu

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berkualitas. Dukungan gizi yang memenuhi kebutuhan sangat berarti

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya paling besar mengalami masalah gizi. Secara umum di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kurang, gizi baik, dan gizi lebih (William, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. mendapat perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2025 adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan karena konsumsi makanan yang tidak seimbang, mengkonsumsi

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental

BAB I PENDAHULUAN. target Millenium Depelopment Goals (MDGs) Dimana angka kematian bayi

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau diobati dengan akses yang mudah dan intervensi yang terjangkau. Kasus utama

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan Afrika. Menurut World Health Organization (dalam Briawan, 2013), anemia

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare merupakan salah satu penyebab morbiditas dan. Secara nasional, target Sustainable Development Goals (SDGs) untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat. sasaran yang membutuhkan layanan (Depkes RI, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

BAB I PENDAHULUAN. atau konsentrasi hemoglobin dibawah nilai batas normal, akibatnya dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Makanan memiliki peranan penting dalam tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. dan Kusuma, 2011). Umumnya, masa remaja sering diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan

BAB I PENDAHULUAN. yang harus ditangani dengan serius. Ditinjau dari masalah kesehatan dan gizi, terhadap kekurangan gizi (Hanum, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare adalah salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada

BAB I PENDAHULUAN. Gigi merupakan bagian dari alat pengunyahan pada system pencernaan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. apabila prasyarat keadaan gizi yang baik terpenuhi. Masalah gizi yang sering

BAB I PENDAHULUAN. masih tergolong tinggi, meskipun terjadi penurunan signifikan di beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Diare adalah sebagai perubahan konsistensi feses dan perubahan frekuensi

BAB I PENDAHULUAN. 24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat,

BAB I PENDAHULUAN. utama atau investasi dalam pembangunan kesehatan. 1 Keadaan gizi yang baik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menurunkan prevalensi kurang gizi sesuai Deklarasi World Food Summit 1996

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi memiliki dimensi luas, tidak hanya masalah kesehatan tetapi

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lima tahun pertama kehidupan anak adalah masa yang sangat penting karena

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang sering terjadi pada anak balita, karena anak. balita mengalami pertumbuhan badan yang cukup pesat sehingga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehat dan berkembang dengan baik (Kemenkes, 2010). sebagai makanan dan minuman utama (Kemenkes, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. WHO (World Health Organization) mendefinisikan Diare merupakan

protein, natrium, klorida, dan besi untuk memenuhi kebutuhan bayi yang prematur.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia mengalami masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menderita anemia. Anemia banyak terjadi pada masyarakat terutama pada. tinggi. Menurut World Health Organization (WHO, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. postpartum adalah masa yang dimulai dari tanda akhir periode intrapartum

Transkripsi:

2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan gizi pada balita hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama khususnya di Indonesia. Kondisi balita kurang gizi yang terdiri dari balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk merupakan penyebab utama tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada anak balita di negara berkembang termasuk di Indonesia (WHO, 2016). Gizi pada balita menjadi penting karena pada periode tersebut akan terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat yang kemudian akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di masa mendatang (Pudjiaji, 2003). Angka kejadian balita dengan kurang gizi di Indonesia terjadi secara masif dengan wilayah sebaran yang hampir merata. Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi kurang gizi pada anak balita sebesar 19,6%, yang berarti masalah kurang gizi di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi (Riskesdas, 2013). Angka prevalensi tersebut terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4%) dan tahun 2010 (17,9%), angka tersebut terlihat meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4% tahun 2007, 4,9% pada tahun 2010, dan 5,7% pada tahun 2013 sedangkan prevalensi gizi kurang, naik sebesar 0,9% dari tahun 2007 ke tahun 2013. Berdasarkan acuan target MDGs 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi kurang gizi sudah mencapai sasaran salah satunya Provinsi

3 Bali. Meskipun demikian, prevalensi balita gizi kurang di Provinsi Bali dalam tiga tahun terakhir ditemukan masih memiliki kecenderungan untuk meningkat. Menurut data Riskesdas (2007), di Provinsi Bali terdapat 11,4% balita kekurangan gizi yang terdiri dari 8,2% balita berstatus gizi kurang dan 3,2% balita berstatus gizi buruk. Angka tersebut sempat menurun 0,4% pada tahun 2010 dimana prevalensi kurang gizi sebesar 11,0% (Riskesdas, 2010). Angka tersebut kembali meningkat pada tahun 2013 dengan prevalensi kurang gizi sebesar 13,2% yang terdiri dari gizi kurang 10,2% dan gizi buruk 3%. Dilihat dari distribusinya, kasus kurang gizi menyebar secara merata di seluruh daerah di Provinsi Bali. Kota Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali yang merupakan wilayah yang telah berkembang pesat pun tidak luput dari kasus balita kurang gizi. Menurut data profil kesehatan Kota Denpasar, pada tahun 2013 terdapat 118 balita (0,8%) memiliki BB/U di bawah garis merah sehingga dikategorikan sebagai kekurangan gizi. Angka kasus tersebut sempat menurun di tahun 2014 yaitu sebanyak 32 balita (0,1%), namun kembali meningkat pada tahun 2015 mencapai 67 (0,27%) kasus balita dengan berat badan di bawah garis merah pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Kasus balita kurang gizi tersebut menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat prevalensinya yang masih fluktuatif dan adanya kemungkinan kasus yang under-reported sehingga menyebabkan perbedaan jumlah kasus kurang gizi yang sebenarnya ada di masyarakat. Menanggapi permasalahan gizi tersebut, Kementrian Kesehatan melakukan upaya penanggulangan salah satunya dengan program Pemberian

4 Makanan Tambahan Pemulihan (PMT Pemulihan) bagi seluruh balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk. PMT Pemulihan merupakan program yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi anak serta untuk mencukupi kebutuhan zat gizi anak agar tercapainya status gizi dan kondisi yang baik sesuai dengan umur anak tersebut (Kemenkes RI, 2011). Dalam pelaksanaannya di Kota Denpasar, bahan makanan yang diberikan bagi balita kurang gizi berupa bahan makanan buatan pabrik seperti susu dan biskuit yang kandungan gizinya telah disesuaikan dengan angka kebutuhan gizi sehari bagi balita. Hal ini dilakukan mengingat dari aspek kepraktisan pendataan, penyiapan, distribusi, evaluasi dan lebih terjangkau (Dinas Kesehatan Kota Denpasar, 2011). Program tersebut bersifat top-down yang merupakan program pusat dan dilaksanakan oleh seluruh pemerintah daerah termasuk oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar sebagai penanggung jawab daerah dan Puskesmas sebagai penanggung jawab lapangan. Pelaksanaan program PMT Pemulihan yang bersifat top-down tersebut memiliki kelemahan yaitu terabaikannya hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat, karena penetapan program langsung dari pusat tanpa mengkaji apa yang sebenarnya diperlukan oleh masyarakat (Khomsan et al., 2007). Program PMT Pemulihan dengan menggunakan makanan tambahan buatan pabrik sudah dilaksanakan sejak tahun 2011 di Kota Denpasar, akan tetapi angka prevalensi kurang gizi hingga kini masih saja fluktuatif. Berdasarkan rekapitulasi data yang didapatkan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar, dari 29 balita gizi buruk yang mendapatkan PMT Pemulihan selama 3 bulan yang dimulai

5 pada Oktober 2015 hingga Desember 2015, tidak terdapat balita yang status gizi nya meningkat, sedangkan pada balita gizi kurang, dari 111 balita yang mengalami gizi kurang, hanya 8 balita yang status gizinya meningkat setelah mendapat bantuan PMT Pemulihan. Hal tersebut menujukkan sangat sedikit perbaikan gizi, dimana seharusnya seluruh balita yang menjadi sasaran pemberian PMT Pemulihan mengalami peningkatan berat badan dengan kriteria ada kenaikan berat badan sekitar 50g/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut (Kemenkes RI, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arumsari (2013), dari hasil evaluasi pemberian PMT di Kabupaten Jember terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan tidak tercapainya target perbaikan gizi pada program pemberian PMT Pemulihan, antara lain adalah penerimaan masyarakat sasaran terhadap program PMT Pemulihan dan praktik pemberian PMT Pemulihan yang tidak tepat di tingkat rumah tangga. Penelitian lebih lanjut mengenai penerimaan maupun praktik pemberian PMT Pemulihan di rumah tangga belum pernah dilakukan di Indonesia. Berdasarkan komunikasi personal pada tanggal 16 September 2016 yang dilakukan kepada pemegang program gizi di Dinas Kesehatan Kota Denpasar mengenai beberapa kendala di lapangan terkait pemberian PMT Pemulihan, didapatkan informasi bahwa terdapat beberapa pengasuh balita yang merespon negatif dan melakukan praktik pemberian PMT yang tidak sesuai prosedur yang seharusnya. Ada yang sekedar menandatangani formulir telah menerima paket PMT, ada pula yang mengatakan kualitas makanan yang diberikan tidak cocok atau tidak sesuai dengan keinginan orang tua balita. Misalnya ibu dari kelas non

6 warga miskin menginginkan anaknya tidak diberi susu Dancow melainkan Vitalac, atau susu dengan merek yang lebih mahal sesuai dengan yang dikonsumsi anak. Selain aspek penerimaan, aspek praktik pemberian PMT Pemulihan di tingkat rumah tangga juga menjadi hal penting. Penelitian yang dilakukan oleh Cohuet et al. (2012) di Nigeria, menemukan bahwa sering terjadi kesalahan persepsi yang menyebabkan kesalahan dalam memberikan PMT Pemulihan yaitu sebagian besar pengasuh balita menganggap PMT Pemulihan bukan sebagai makanan tambahan tetapi sebagai makanan pokok. Selain itu dalam praktik pemberiannya, pengasuh balita tidak hanya memberikan makanan tambahan pada anaknya yang memiliki status gizi kurang tetapi juga pada anaknya yang lain yang tidak membutuhkan, bahkan jika balita tidak menyukai makanan yang diberikan, maka pengasuh cenderung melakukan penjualan/penukaran PMT Pemulihan dengan bahan makanan lainnya (Cohuet et. al., 2012). Jika pemberian PMT Pemulihan tidak tepat sasaran dan tidak sesuai prosedur maka akan mengurangi efektivitas PMT Pemulihan untuk perbaikan gizi balita (Wang et al., 2014). Hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia khususnya di Kota Denpasar yang menilai penerimaan program PMT Pemulihan serta praktik pemberian PMT di tingkat rumah tangga. Penelitian mengenai penerimaan dan praktik pemberian makanan tambahan cukup banyak dilakukan di luar negeri (Ahmed, et al., 2014; Cohuet, et al., 2012; Becket et al., 2016; Mridha et al., 2012; Wang et al., 2014; Brockdorf et al., 2015), namun terdapat beberapa perbedaan dengan konteks negara berkembang khususnya Indonesia baik dari jenis makanan tambahan yang diberikan, budaya makan pada masyarakat di

7 tempat penelitian serta kondisi sosioekonomi dan geografisnya. Padahal, sangat penting untuk mengetahui penerimaan dan praktik pengasuh balita dalam pemberian PMT Pemulihan sehingga akan memberikan manfaat potensial dalam program suplementasi gizi dan meningkatkan pemahaman mengenai aspek-aspek tersebut guna pengembangan intervensi selanjutnya. Mengingat pula bahwa di Indonesia program PMT Pemulihan bersifat top-down dan seringkali tidak melihat apakah program tersebut benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih mendalam dari sudut pandang masyarakat. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang teah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut. 1.2.1 Bagaimana penerimaan pengasuh balita terhadap PMT Pemulihan bagi balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar? 1.2.2 Bagaimana praktik pemberian PMT Pemulihan oleh pengasuh balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar? 1.2.3 Bagaimana gambaran pola pemberian makanan pokok oleh pengasuh kepada balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar? 1.2.4 Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi penerimaan dan praktik pemberian makanan tambahan pemulihan bagi balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar?

8 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui secara mendalam penerimaan dan praktik dalam Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan oleh pengasuh balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar. 1.3.2 Tujuan Khusus Untuk mengetahui secara mendalam mengenai mengenai hal-hal berikut. 1. Makna penerimaan PMT Pemulihan oleh pengasuh balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar. 2. Tipologi praktik Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan pada tingkat rumah tangga bagi balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar. 3. Gambaran pola pemberian makanan pokok oleh pengasuh kepada balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar 4. Faktor yang melatarbelakangi penerimaan dan praktik Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan bagi balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis penelitian adalah menjadi masukan dalam upaya pengembangan dan penerapan Ilmu Kesehatan Masyarakat bidang manajemen program gizi kesehatan masyarakat. 1.4.2 Manfaat praktis penelitian adalah dapat bermanfaat bagi pemegang kebijakan pada bidang manajemen program kesehatan serta gizi kesehatan

9 masyarakat khususnya dalam melakukan intervensi terhadap hal-hal yang dipandang perlu untuk perbaikan program penanggulangan kasus balita gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat.