I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan yang sangat penting di dunia, karena padi merupakan pangan pokok bagi lebih dari setengah penduduk dunia (Lu 1999). Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2013), padi merupakan kebutuhan pangan pokok bagi lebih dari 90% penduduk Indonesia karena memiliki kandungan karbohidrat tinggi dan sumber energi utama penduduk Indonesia. Produksi pertanian dapat ditingkatkan melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Program ekstensifikasi pertanian terbentur pada terbatasnya lahan yang sesuai. Beralih fungsinya lahan pertanian menjadi pemukiman atau kawasan industri, terutama di pulau Jawa, merupakan salah satu faktor penyebab lahan pertanian menjadi sempit. Pembukaan lahan baru untuk pertanian harus dilakukan. Namun, pembukaan lahan baru belum dimanfaatkan dengan optimal, terutama di luar Pulau Jawa yang mempunyai banyak kendala, karena sebagian besar lahan adalah lahan marginal seperti lahan asam, lahan garam, dan lahan sangat kering (Suharsono 2006, Susanto et al 2012, Wangiyana et al 2008). Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengembangan pertanian tersebut adalah besar dan beragamnya cekaman abiotik yang dapat menyebabkan rendahnya produktivitas tanaman dibandingkan dengan pertanian pada lahan yang telah lama dibuka (Makarim 2006). Cekaman abiotik seperti kekeringan, kadar garam tinggi ( salinitas), suhu tinggi atau rendah, keasaman tanah, tercatat menurunkan hasil pertanian dunia hingga lebih dari 50% (Wood 2005). Kekeringan merupakan kendala utama pada pertanaman padi untuk lahan gogo dan tadah hujan (Balasubramanian et al 2007) dan sangat tidak diinginkan dalam budidaya tanaman karena dapat menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman (Kadir 2011). Dalam siklus hidup tanaman, mulai dari perkecambahan sampai panen, tanaman selalu membutuhkan air. Tidak satupun proses metabolisme tanaman dapat berlangsung tanpa air. Tanaman yang mengalami kekurangan air secara 1
2 umum mempunyai ukuran lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh normal (Kurniasari et al 2010). Perubahan pola iklim merupakan fenomena global yang menjadi tantangan serius pada saat ini dan masa-masa yang akan datang. Rusaknya infra stuktur pengairan menyebabkan resiko kekeringan bukan hanya terjadi di lahan gogo dan sawah tadah hujan, tetapi mengancam juga pertanaman padi sawah irigasi terkendali (Supriyanto 2013). Oleh karena itu, diperlukan upaya pengusahaan teknik budidaya yang baik pada lahan basah maupun lahan kering. Lahan kering merupakan salah satu jenis lahan marjinal, berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (2012), lahan kering Indonesia 144 juta hektar dengan spesifikasi 77,4% lahan perbukitan dan 22,6% berupa dataran. Keadaan ini merupakan prospek pengembangan padi lahan kering yaitu padi gogo terutama padi gogo lokal. Kondisi lahan kering tadah hujan, tergantung air hujan untuk kebutuhan airnya dan seringkali intensitas curah hujan tidak pasti, menyebabkan tanaman padi gogo sangat beresiko mengalami cekaman kekeringan. Sehingga varietas padi yang ditanam harus yang toleran kekeringan dan berumur pendek. Padi rojolele merupakan salah satu varietas padi unggul lokal asli Indonesia, berasal dari subspecies javanika yang banyak ditanam di Indonesia selain Pandan Wangi. Kedua varietas padi tersebut, disebut juga padi bulu karena ujung biji mempunyai bulu yang panjang (Ishak 2000). Padi rojolele juga digunakan sebagai induk persilangan dalam program penelitian IRRI (Mudjisihono et al 2002). Mengingat arti pentingnya padi rojolele tersebut perlu dilestarikan, sehingga tidak segera punah. Hal ini tentunya akan bermanfaat untuk kelestarian dan pengembangan sumber pangan kita. Padi rojolele juga dicatat sebagai sumber benih sepanjang masa artinya sekali menanam hasilnya selalu dapat digunakan sebagai sumber benih untuk penanaman berikutnya tanpa mengenal batas waktu. Hasil produksinya memiliki kualitas tinggi yaitu pulen dan wangi serta mempunyai nilai ekonomi tinggi (Mudjisihono et al 2001). Padi unggul lokal Kabupaten Klaten dengan nama Rojolele telah dirilis Departemen Pertanian pada tahun 2003.
3 Masalah yang dihadapi petani saat ini adalah masih terbatasnya genotipe padi yang tahan kekeringan dan berproduksi tinggi (Mariska dan Lestari 2006). Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melakukan penelitian agar mendapatkan genotipe padi yang berproduksi tinggi dan tahan cekaman kekeringan. Para pemulia tanaman telah melakukan berbagai usaha agar mendapatkan genotipe padi yang mempunyai sifat toleran terhadap cekaman kekeringan. Keberadaan berbagai genotipe padi lokal yang beragam merupakan modal bagi pemulia sebagai bahan untuk merakit dan mendapatkan varietasvarietas unggul yang toleran terhadap kekeringan (Meutia et al 2010). Salah satunya adalah pengembangan padi lokal rojolele yang diharapkan dapat toleran cekaman kekeringan dan dapat berproduksi tinggi. Penelitian untuk mendapatkan galur-galur padi yang berproduksi tinggi dan toleran kekeringan, masih perlu dilakukan. Keadaan ini, merupakan prospek untuk pengembangan padi lahan kering yaitu terutama padi lokal (Cahyadi et al 2013). Padi rojolele merupakan salah satu varietas padi unggul lokal asal Delanggu Kabupaten Klaten dan telah dirilis Departemen Pertanian pada tahun 2003. Hasil produksinya memiliki kualitas yang tinggi yaitu pulen dan wangi serta mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Mudjisihono et al 2001). Penerapan teknologi budidaya pertanian melalui penggunaan benih unggul dan perbaikan lingkungan tumbuh merupakan kunci utama peningkatan produktvitas tanaman padi. Selama ini budidaya tanaman padi hanya difokuskan pada lahan sawah atau lahan yang digenangi air, sedangkan pada lahan kering belum mendapatkan perhatian, padahal jika potensi lahan kering dapat dimanfaatkan secara optimal untuk budidaya tanaman padi maka luas areal tanaman padi akan bertambah yang berarti bahwa produksi padi secara nasional akan meningkat (Samullah dan Drajat 2001). Teknik mutasi dalam bidang pemuliaan tanaman dapat digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik sehingga memungkinkan pemulia melakukan seleksi genotipe tanaman sesuai dengan tujuan pemuliaan yang dikehendaki. Mutasi induksi dapat dilakukan pada tanaman dengan perlakuan bahan mutagen tertentu terhadap organ reproduksi tanaman seperti biji, stek batang, serbuk sari,
4 akar rhizome, juga kalus hasil kultur jaringan (Rahayu 2009). Salah satu teknik yang mampu memperbaiki mutu tanaman adalah radiasi. Radiasi dalam meningkatkan mutu genetik tanaman menghasilkan sinar radioaktif yang menyebabkan induksi mutasi sehingga tercipta keragaman baru sebagai dasar seleksi. Adanya keragaman genetik akibat radiasi dari sinar gamma membuka peluang lebih luas bagi kemajuan pemuliaan tanaman, sehingga diperoleh beberapa sifat yang diinginkan dan dapat diwariskan. Benih padi yang diperlakukan dengan radiasi sinar gamma selain mengalami perubahan genetik juga dapat mengalami perubahan fisiologis pada generasi M0. Pemanfaatan radiasi telah banyak digunakan dalam penelitian dan pengembangan varietas tanaman baru (Daeli et al 2013), khususnya penggunaan radiasi sinar gamma yang telah menghasilkan genotipe mutan padi harapan toleran cekaman kekeringan (Lestari 2006). Tanaman padi dapat tumbuh dan berkembang baik pada lingkungan yang ekstrim seperti kekeringan, melalui proses evolusi atau artificial mutasi. Proses ini terjadi dengan cara perubahan konstitusi genetik sebagai upaya adaptasi tanaman terhadap lingkungan. Penggunaan iradiasi sinar gamma telah menghasilkan genotipe mutan padi harapan toleran cekaman kekeringan (Lestari 2006). Kadir et al (2007) dan Mariska et al (1998), melaporkan bahwa penggunaan iradiasi sinar gamma mampu meningkatkan sifat toleransi tanaman peka menjadi toleran. Mutan padi hasil mutasi tersebut diharapkan dapat dikembangkan sebagai tanaman padi lahan kering. Penelitian awal pada padi varietas Rojolele ini menunjukkan interaksi antara cekaman kekeringan 100% kapasitas lapang dengan dosis radiasi sinar gamma 100 Gray memperlihatkan jumlah gabah isi tertinggi. Sedangkan dosis radiasi sinar gamma 400 Gray memperlihatkan hanya interaksi antara cekaman 0% kapasitas lapang dengan dosis radiasi 400 Gray yang mampu menghasilkan gabah isi. Pada dosis radiasi sinar gamma 500 Gray menunjukan tidak ada tanaman padi yang menghasilkan gabah isi.
5 B. Perumusan Masalah Bagaimana keragaan (performa) yang ditunjukkan oleh padi Rojolele M2 hasil radiasi sinar gamma pada cekaman kekeringan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaan (performa) dari Padi Rojolele M2 hasil dari radiasi sinar gamma pada cekaman kekeringan. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk bahan referensi dalam hal memperkaya pengetahuan tentang pemuliaan tanaman dalam upaya mendapatkan varietas padi yang tahan terhadap cekaman kekeringan dan memberikan informasi kepada petani mengenai M2 dari padi Rojolele yang tahan terhadap kekeringan.