BAB V PENUTUP. Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan terkait dengan fokus

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini mengkaji tentang marginalisasi politik pengawasan pemilu

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Pengawasan dalam..., Ade Nugroho Wicaksono, FHUI, 2009

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pengawasan Pemilihan Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembar

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan pembahasan yang telah. diuraikan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BAB II DISKRIPSI ORGANISASI

Lampiran pertanyaan. Panwaslu Bantul. berapa jumlah yang sudah ditindaklanjuti?

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN TAHAPAN PENCALONAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BAB IV PENUTUP. 1. Peran organisasi profesi Notaris dalam melakukan pengawasan terhadap

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM MAHASISWA UNIVERSITAS JEMBER NOMOR 1 TAHUN 2017 tentang KODE ETIK KOMISI PEMILIHAN UMUM MAHASISWA

2017, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik In

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN TATA CARA PENYELESAIAN PELANGGARAN ADMINISTRASI PEMILIHAN UMUM

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU REPUBLIK INDONESIA

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai

KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

2017, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Neg

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum tentang Perubahan atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik I. Umum II. Pasal Demi Pasal...

BAB I KETENTUAN UMUM

PEDOMAN TEKNIS PEMANTAU DAN TATA CARA PEMANTAUAN DALAM PEMILIHAN UMUM BUPATI DAN WAKIL BUPATI KABUPATEN NGANJUK TAHUN 2012

PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

Oleh : Dr. Muhammad, S.IP., M.Si. (Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum di Indonesia sebagai salah satu upaya mewujudkan negara

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2014, bangsa Indonesia telah melaksanakan Pemilihan Umum

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

- 2 - Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG

PAKTA INTEGRITAS PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU 2014

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN NGANJUK KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN NGANJUK. NOMOR : 04/Kpts/KPU-Kab /2012 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I KETENTUAN UMUM

8. Menerima daftar pemilih dari PPK dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah

QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 1 TAHUN 2010

2 perlu menambah struktur organisasi baru Pengawas Tempat Pemungutan Suara; b. bahwa dengan bertambahnya struktur organisasi pengawas tempat pemunguta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

PANITIA PEMILIHAN RAYA IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGAWASAN DANA KAMPANYE PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 17 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-16.KP TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI PEMASYARAKATAN

2011, No Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

Lampiran I : KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN NGANJUK Nomor : 02/Kpts/KPU-Kab /2012 Tanggal : 7 Mei 2012

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN NEGARA PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Memperhatikan : 1. Keputusan Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum tanggal 30 Juli 2012.

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Penelitian ini mengkaji tentang Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU), proses. pengawasan dan hambatan-hambatan yang dialami dalam mengawasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014

Ambiguitas Pengaturan Politik Uang

KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA PANGKALPINANG. NOMOR : 06/Kpts/KPU-Kota /2013 TENTANG

BAB IV PENGAWASAN DAN PEMANTAUAN PEMILU

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b perlu menetapkan Keputusan Komisi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Siaran Pers. Jakarta, 6 November 2016

BAB II KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN LABUHAN BATU UTARA. A. Sejarah Singkat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Labuhan Batu

Budi Evantri Sianturi 1, Fifiana Wisnaeni 2. Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ABSTRAK

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN WONOGIRI

2 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tam

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan terkait dengan fokus kajian tentang praktik marginalisasi politik pengawasan pemilu di Kabupaten Banyumas. Berdasarkan hasil temuan dan analisa terhadap praktik pengawasan pemilu legislatif 2004 dan 2009 diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, terjadi praktik marginalisasi politik pengawasan pemilu. Desain politik penyelenggaraan pemilu menempatkan pengawas pemilu sebagai institusi politik penyelenggara pemilu dalam posisi yang lemah, marginal. Panwaslu tidak mempunyai otoritas memberi sanksi kepada para aktor politik pelaku pelanggaran pemilu. Panwaslu tidak mempunyai kekuatan politik dan hukum untuk memaksa para aktor politik pelaku pelanggaran pemilu untuk mematuhi Panwaslu. Tidak ada sanksi hukum bagi para aktor politik pelaku pelanggaran pemilu yang mengabaikan kewenangan Panwaslu tersebut. Bahkan diantara para aktor politik pelaku pelanggaran pemilu melakukan perlawanan yaitu dengan melakukan tekanan politik dan kriminalisasi Panwaslu. Kewenangan Panwaslu meneruskan kasus pelanggaran pemilu kepada aparat terkait, tidak disertai dengan adanya jaminan hukum bahwa para aktor politik pelaku pelanggaran pemilu itu akan di proses dan mendapat sanksi pidana atau administrasi pemilu. Pada akhirnya beberapa aktor politisi dan partai politik pelaku pelanggaran pemilu bebas dari jerat pidana pemilu dan lolos dari sanksi 249

administrasi pemilu. Panwaslu tidak diciptakan untuk menjadi instrument politik penting untuk mendukung upaya penegakan hukum dan aturan main pemilu. Kedua, desain politik penyelenggaraan pemilu yang menempatkan pengawas pemilu dalam posisi lemah dan melakukan praktik marginalisasi politik pengawas pemilu, merupakan produk politik para aktor politik, politisi dan partaipartai politik berkuasa di DPR sebagaimana tersusun dalam desain politik penyelenggaraan pemilu. Upaya mempertahankan eksistensi lembaga pengawas pemilu dalam peta politik penyelenggaraan pemilu tidak disertai dengan penguatasn lembaga pengawas pemilu secara sungguh-sungguh. Langkah ini merupakan suatu bentuk praktik politik eksternalisasi pengawasan pemilu para aktor politik, politisi dan partai-partai politik berkuasa di DPR. Aktor-aktor politik, politisi dan partai-partai politik berkuasa di DPR melepas tanggung jawab moral dan politik mengawasi, mengawal pemilu yang bersih, berkualitas, jujur, adil dan demokratis. Tanggung jawab moral dan politik itu didelegasikan kepada lembaga pengawas pemilu. Sementara itu para aktor politik, politisi dan partaipartai politik peserta pemilu sibuk dengan upaya politik meraih dukungan politik rakyat untuk meraih kekuasaan. Pada saat memperebutkan suara rakyat, para aktor politik, politisi dan partai-partai politik peserta pemilu tidak segan melakukan tindak pelanggaran pemilu. Ketiga, aktor-aktor politik, politisi dan partai-partai berkuasa menikmati keuntungan politik dibalik praktik marginalisasi politik pengawas pemilu. Posisi marginal Panwaslu membuat para aktor politik, politisi dan partai politik peserta pemilu dengan mudah dan leluasa menghindari tindakan tegas Panwaslu. Mereka 250

bebas dari jerat pidana pemilu dan lolos dari sanksi administrasi pemilu. Hal ini mendorong mereka melakukan duplikasi tindakan pelanggaran pemilu tanpa suatu kekhawatiran politik dan hukum. Kewenangan Panwaslu mengawasi aktor-aktor aparat penyelenggara pemilu (anggota KPU dan anggota sekretariat KPU) dan menyampaikan rekomendasi kepada KPU agar di bentuk Dewan Kehormatan KPU untuk mengadili para aktor aparat KPU yang melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pada akhirnya sulit terwujud. Para aktor KPU yang bertindak tidak netral, melakukan main mata dengan para aktor politik, politisi atau partai-partai politik peserta pemilu, akhirnya bebas dari jerat sanksi kode etik penyelenggara pemilu. Bebasnya para aktor KPU dari pengadilan kode etik penyelenggara pemilu ini menjadi semacam jaminan politik, keamanan posisinya sebagai anggota KPU, dari para aktor politik, politisi dan partai-partai politik berkuasa di DPR yang menyusun desain politik penyelenggara pemilu tersebut. Para aktor politik, politisi dan partai-partai politik berkuasa itu menikmati marginalisasi politik pengawas pemilu, sehingga tidak efektif mengawasi tindak netralitas aktor aparat KPU. Kondisi seperti ini terus menarik bagi para aktor politik peserta pemilu yang melakukan pelanggaran administrasi pemilu untuk terus menggoda KPU bertindak tidak netral, memihak kepentingan politik mereka. Sehingga para aktor politik peserta pemilu pelaku pelanggaran pemilu itu bebas dan lolos dari jerat sanksi administrasi pemilu. Keempat, marginalisasi politik pengawasan pemilu dan praktik politik eksternalisasi pengawasan pemilu, tersusun dalam desain politik penyelenggara 251

pemilu sebagai produk politik para aktor politik, politisi dan partai-partai politik berkuasa di DPR. Panwaslu dibebani tanggung jawab moral dan politik mengawasi dan menindaklanjuti setiap tidak pelanggaran pemilu. Tetapi Panwaslu tidak diberi otoritas politik dan hukum yang kuat untuk melakukan penegakan hukum, memberi sanksi pemilu. Para aktor politik berkuasa di DPR menciptakan lembaga pengawas pemilu untuk mengawasi para aktor politik, politisi dan partai-partai politik peserta pemilu. Tetapi pengawas pemilu dalam posisi lemah dan terus mengalami marginalisasi politik pengawas pemilu tidak memiliki kekuatan politik dan hukum untuk menindak tegas para aktor politik pelaku pelanggaran pemilu. Bahkan diantara para aktor politik itu tidak segan melakukan pelanggaran pemilu tanpa rasa takut adanya sanksi pidana pemilu atau sanksi administrasi pemilu. Sebab dalam beberapa kasus tindak pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh para aktor politik, politisi dan partai politik itu bebas dari jerat sanksi hukum dan administrasi pemilu. Inilah praktik politik lempar batu sembunyi tangan para aktor politik, politisi dan partai-partai politik berkuasa di DPR dalam praktik politik penyelenggaraan pemilu. Terakhir, beberapa butir kesimpulan penelitian ini dapat menjadi bahan pemikiran untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang. Terutama, terkait dengan pengawas pemilu dan upaya penegakan hukum pemilu. Sehingga pemilu paska reformasi benar-benar memenuhi harapan politik rakyat. Pertama, terselenggaranya pemilu yang lebih berkualitas, bersih, bebas, jujur, adil dan demokratis. Kedua, pemilu yang 252

berkualitas, bersih, bebas, jujur, adil dan demokratis akan menghasilkan aktoraktor politik, politisi wakil-wakil rakyat dan partai-partai politik berkuasa yang bersih, mempunyai integritas moral dan visi politik meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sehingga pemilu menjadi sarana transformasi politik demokrasi menuju masyarakat sejahtera, sekaligus meninggalkan paradigma politik lama, bahwa pemilu hanya sebagai sarana politik formal demokrasi prosedural menjadi ajang perebutan jabatan politik bagi para aktor-aktor politisi dalam buru kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. 2. Saran Pemilu yang berkualitas, bersih, bebas, jujur, adil dan demokartis terkait dengan adanya kemauan politik para aktor-aktor politik yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu (peserta pemilu, penyelenggara pemilu dan pemilih) sebagai agen politik mendukung terwujudnya pemilu yang berkualitas tersebut. Demikian pula, ketersediaan struktur (institusi penyelenggaraan pemilu) aturan main politik pemilu yang baik dan demokratis akan menciptakan situasi agen, para aktor politik yang patuh terhadap hukum, aturan main pemilu. Ada beberapa saran untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik, dan berkualitas di masa yang akan datang, terutama terkait dengan pengawasan pemilu dan penegakan hukum pemilu. Pertama, pengawasan pemilu sebaiknya menjadi mekanisme politik internal partai-partai politik peserta pemilu, yaitu dengan mengambil tanggung jawab moral dan politik untuk mewujudkan pemilu yang bebas dari kecurangan 253

dan pelanggaran. Pembentukan lembaga pengawas pemilu seperti saat ini, dari pusat (Bawaslu) sampai ke tingkat desa (PPL), tidak memiliki kekuatan kewenangan untuk menegakan hukum dan aturan main pemilu, adalah suatu bentuk pemborosan politik dan pemborosan anggaran negara. Sudah waktunya, membangun budaya politik pengawasan pemilu yang berbasis pada nilai-nilai, norma, etika, moral dan tradisi bangsa yang baik seperti sikap sportif, ksatria dan perwira dimiliki aktor-aktor politik yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, seperti aktor politik peserta pemilu, aktor aparat penyelenggara pemilu, pemilih, media dan aparat penegak hukum. Kedua, demokrasi yang berkualitas adalah adanya kepatuhan terhadap hukum dan berjalannya sanksi hukum bagi setiap pihak yang melakukan tindak pelanggaran hukum. Oleh karena itu, sesungguhnya yang dibutuhkan adalah sebuah lembaga penegak hukum pemilu yang bersifat ad hoc atau suatu bentuk lembaga pengadilan pemilu yang bersifat permanen, mempunyai kewenangan penuh untuk mengadili setindak tindak pelanggaran pemilu. Lembaga tersebut diharapkan dapat mengakhiri terjadinya pembiaran terhadap tindak pelanggaran pemilu dan tindakan curang lainnya, seperti kasus pelanggaran politik uang yang semakin luas tetapi sulit di proses Panwaslu, karena lemahnya posisi pengawas pemilu dan terjadinya praktik marginalisasi politik pengawas pemilu secara sistematis dan struktural.*** 254