12 BAB II KAJIAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Devinisi Kepuasan Pernikahan Kepuasan merupakan suatu hal yang di hasilkan dari penyesuaian antara yang terjadi dengan yang di harapkan, atau perbandingan dari hubungan yang aktual dengan pilihan jika hubungan yang dijalani akan berakhir. Baik suami maupun istri dapat mengalami ketidakpuasan dalam pernikahan meskipun tidak ada konflik dalam rumah tangganya. Namun mereka juga dapat merasa sangat puas dalam ikatan dengan masalah penyesuaian yang tidak terpecahkan (Burges & Locke, 1960); Waller, 1952; klemer, 1970, (Ardhianita & Andayani, 2004) Kepuasan sangat dipengaruhi oleh besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu hubungan dengan tingkat perbandingan. Perbandingan di sini erat hubungannya dengan persepsi tentang keadilan (Sears, 1999). (Klemer, 1970) menunjukan bahwa kepuasan dalam pernikahan dipengaruhi oleh harapan pasangan itu sendiri terhadap pernikahannya, yaitu harapan yang terlalu besar, yaitu harapan terhadap nilai-nilai pernikahan, harapan yang tidak jelas, tidak adanya harapan yang cukup, dan harapan yang berbeda (Ardhinata & Andayani, 2004). Pernikahan menurut Stephen (Faradila & Paputungan, 2013) adalah persatuan secara seksual yang diakui secara sosial, diawali dengan sebuah
13 perayaan atau pemberitahuan kepada khalayak umum serta adanya perjanjian secara eksplisit dan bersifat permanen. Selain itu pernikahan merupakan pengesahan secara sosial hak asuh anak.wingjodipoero (evalina 2007) mendefinisikan pernikahan sebagai suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, sebab pernikahan tidak hanya menyangkut mempelai wanita atau pria saja, tetapi juga menyangkut keluarga kedua mempelai. Adapun pengertian pernikahan menurut Dariyo (2004) merupakan ikatan kudus (suci atau sakral) antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pernikahan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi (Anonim, 1988). Pernikahan adalah merupakan suatu perjanjian perikatan antara suami dan istri yang tentunya akan menimbulkan hak-hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Untuk membina keluarga bahagia maka suami maupun istri harus mendapatkan hak dan menunaikan kewajibannya dengan baik (Soemyati, 2007) Dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan, disebutkan bahwa pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Bab 1 pasal 7 disebutkan bahwa pernikahan
14 diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Ada 6 asas yang prinsip dalam Undang-Undang Pernikahan yaitu : a. Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b. Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa suatu pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, dan disamping itu tiap-tiap pernikahan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Undang-Undang perkawinan/pernikahan ini menganut asas monogamy. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari satu. d. Undang-Undang menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan, agar dapat mewujudkan tujuan secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. e. Karena tujuan pernikahan adalah untuk keluarga yang bahgia kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.
15 f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami dan istri. Dalam Undang-Undang perkawinan/pernikahan tersebut diatas telah mengatur secara tegas mengenai hal-hal yang menyangkut tentang hukum pernikahan dan perlindungannya terhadap pasangan (suami dan istri) serta apa saja dalam lembaga perkawinan guna terwujudnya kehidupan perkawinan yang kekal. Pernikahan dalam agama Islam adalah salah satu bentuk ibadah yang merupakan perwujudan taqwa dan tempat dimana seksualitas diperbolehkan agar dapat melanjutkan keturunan, serta memperluas hubungan kekeluargaan antar pasangan. Pernikahan adalah suatu status dimana orang yang berada diluar ingin masuk, sedangkan orang yang ada didalam status ini ingin keluar. Sehingga dalam pernikahan terjadi ambivalensi, satu pihak ingin terlibat dan pihak lain ingin menghindari. Dalam mengambil keputusan untuk menikah, seseorang memiliki tujuan yang berbeda-beda, sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masingmasing individu.
16 2. Tujuan Pernikahan Tujuan pernikahan menurut Rahman (www.balipost.ac.id) merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting, diantaranya adalah : a. Pembentukan sebuah keluarga didalamnya seseorang dapat menemukan kedamaian pikiran b. Gairah seksual merupakan keinginan yang kuat dan juga penting. Setiap orang harus mempunyai pasangan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dalam lingkungan yang aman dan tenang. Orang harus menikmati kepuasan seksual secara benar dan wajar. c. Reproduksi atau sebagai wadah untuk melangsungkan perkawinan. Perkembangbiakan manusia akan berlanjut. Anak-anak adalah hasil dari perkawinan dan merupakan sumber kebahagiaan sejati bagi orang tua mereka. Olson & Fower (Liza & Julinda) mendefinisikan kepuasan pernikahan (marital Satisfaction) sebagai persatuan subjektif yang dirasakan pasangan suami istri berkaian dengan aspek yang ada dalam suatu perkawinan, sepeti rasa bahagia, puas, serta pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangan ketika mempertimbangkan semua aspek kehidupan pernikahannya, yang bersifat individual, adapun aspekaspek dalam pernikahan tersebut, yaitu komunikasi, kegiatan diwaktu luang, orientasi seksual, anak dan pengasuhan anak, keagamaan,
17 penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, hubungan dengan keluarga dan teman, kepribadian dan kesetaraan peran. Arti kepuasan pernikahan menurut Clayton (Ardhianita dan Andayani, 2004) merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan kondisi pernikahan. Evaluasi tersebut bersifat dari dalam diri seseorang (subjektif) dan memiliki tingkatan lebih khusus dibandingkan perasaan kebahagiaan pernikahan. Berdasarkan uraian pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah evaluasi subjektif suatu pasangan yang telah menikah terhadap kondisi pernikahan dan kualitas pernikahan yang berkaitan dengan kebahagiaan, harapan, dan tujuan yang ingin dicapai selama pasangan tersebut menikah. Kepuasan pernikahan lebih berdasarkan evaluasi subjektif pasangan suami istri, dimana hal tersebut meliputi kepuasan atas hubungan yang telah mereka alamai selama waktu menikah, kepuasan atas dasar komitmen pasangan masing-masing terhadap pernikahan mereka, dan kepuasan terhadap perasaan antara pasangan suami dan istri selama menikah. 3. Aspek-Aspek Dalam Kepuasan Pernikahan Berikut aspek-aspek kepuasan pernikahan menurut Fower & Olson (1989; 1993 a. Communication Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu terhadap komunikasi dalam hubungan mereka sebagai suami dan istri.
18 Aspek ini fokus pada tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan dalam membagi dan menerima informasi emosional dan kognitif. Laswell (Marini & Julinda, 2009) membagi komunikasi pernikahan menjadi lima elemen dasar, yaitu: keterbukaan diantara pasangan (honesty), kemampuan untuk mempercayai satu sama lain (ability to trust), sikap empati terhadap pasangan (emphaty) dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening skill) b. Leisure Activity Aspek ini mengukur pada pilihan kegiatan untuk menghabiskan waktu senggang. Aspek ini merefleksikan aktivitas sosial versus aktivitas personal, pilihan untuk saling berbagi antar individu, dan harapan dalam menghabiskan waktu senggang bersama pasangan. c. Religious Orientation Aspek ini mengukur makna kepercayaan agama dalam pernikahan. Nilai yang tinggi menunjukan agama merupakan bagian penting dalam pernikahan. Agama secara langsung mempengaruhi kualitas pernikahan dengan memelihara nilai-nilai suatu hubungan, norma dan dukungan sosial yang turut memberikan pengaruh yang besar dalam pernikahan, mengurangi perilaku yang berbahaya dalam pernikahan (Christiano, 200; Wilcox, 2004 dalam wolfinger & Wilcox, 2008). Pengaruh tidak langsung dari agama yaitu kepercayaan terhadap suatu agama dan beribadah cenderung memberikan kesejahteraan
19 secara psikologis, norma prososial dan dukungan sosial diantara pasangan (Ellison, dkk. 1994 dalam Wolfinger & Wilcox, 2008) d. Conflict Resolution Aspek ini mengukur persepsi pasangan mengenai eksistensi dan penyelesaian terhadap konflik dalam hubungan mereka. Aspek ini fokus pada keterbukaan pasangan terhadap isu-isu pengenalan dan penyelesaian masalah serta strategi-strategi yang digunakan untuk menghentikan argument. Selain itu juga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama dan membangun kepercayaan satu sama lain. e. Financial Management Aspek ini fokus pada bagaimana cara pasangan mengelola keuangan mereka. Aspek ini mengukur pola bagaimana pasangan membelanjakan uang mereka dan perhatian mereka terhadap keputusan finansial mereka. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keungan, harapan untuk memenuhi barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam pernikahan. Konflik yang dapat muncul jika salah satu pihak menunjukan otoritas terhadap pasangan juga tidak percaya terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan. f. Sexual Orientation
20 Aspek ini mengukur perasaan pasangan mengenai afeksi dan hubungan seksual mereka. Aspek ini menunjukan sikap mengenai isuisu seksual, perilaku seksual, kontrol kelahiran, dan kesetiaan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu. Hal ini dapat terjadi karena kedua pasangan telah memahami dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. g. Family and Friends Aspek ini menunjukan pasangan dalam berhubungan dengan anggota keluarga dan keluarga dari pasangan, serta teman-teman, serta menunjukan harapan untuk mendapatkan kenyamanan dalam menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman. h. Children and Parenting Aspek ini mengukur sikap dan perasaan terhadap tugas mengasuh dan membesarkan anak. Aspek ini fokus pada keputusan-keputusan yang berhubungan dengan disiplin, masa depan anak dan pengaruh anak terhadap hubungan pasangan. Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan. Orang tua biasanya memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan bila itu dapat terwujud.
21 i. Personality Issues Aspek ini mengukur persepsi individu mengenai pasangan mereka dalam menghargai perilaku-perilaku dan tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap masalah mengenai kepribadian masing-masing. j. Equalitarian Role Aspek ini mengukur perasaan dan sikap individu mengenai peran pernikahan dan keluarga. Aspek ini fokus pada pekerjaan, pekerjaan rumah, seks, peran sebagai oramg tua. Semakin tinggi nilai ini menunjukan bahwa pasangan memilih peran-peran egalitarian. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan Masalah-masalah yang dihadapi setiap istri pada pasangan commuter marriage berbeda-beda, bagaimana perasaan individu dalam setiap menghadapi masalah dan pengaruh perbedaan latar belakang serta pengalaman masing-masing individu memberikan tingkat kepuasan yang berbeda terhadap pernikahan. Menurut Purwaningsih (2004), terdapat empat faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan pasa pasangan suami istri, keempat faktor tersebut yaitu : a. Komunikasi interpersonal, komunikasi seharusnya bersifat dua arah. Dimana apapun yang dialami oleh pasangan pernikahan dapat diketahui oleh pasangan yang satu dengan yang lainnya. b. Keberadaan anak, Purwaningsih mengatakan bahwa keberadaan anak ini bersifat relative sesuai dengan tujuan dari pernikahan pasangan. Keberadaan anak akan mempengaruhi komunikasi pasangan suami istri.
22 Bahkan keberadaan anak akan meningkatkan atau menurunkan tingkat kepuasan pasangan pada pernikahan. c. Tingkat pendidikan, tingkat pendidikan berkaitan dengan kemampuan individu dalam memenugi kebutuhan dan aspirasi dalam pernikahan. d. Tahap perkembangan keluarga, perkembangan keluarga akan tumbuh seiring dengan bergantinya peran anggota keluarga termasuk pasangan suami istri. Masa surut perkembangan keluarga biasanya terjadi ketika anak berusia 17 tahun, dimana terjadi pola interaksi suami dan istri, perubahan pembagian tugas, dan persepsi subjektif terhadap kualitas pernikahan pasangan tersebut. Dapat disimpulkan kepuasan pernikahan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, komunikasi interpersonal, keberadaan anak, tingkat pendidikan, tahap perkembangan keluarga. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan menurut Hendrick (1992) yaitu : a. Premarital factors 1) Latar belakang ekonomi, dimana status ekonomi yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan bahaya dalam hubungan pernikahan. 2) Pendidikan, dimana pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat merasakan kepuasan yang lebih rendah karena lebih banyak menghadapi stressor seperti pengangguran atau tingkat penghasilan rendah
23 3) Hubungan dengan orang tua yang akan mempengaruhi sikap anak terhadap romantisme, pernikahan dan perceraian. b. Postmarital Factors 1) Kehadiran anak sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepuasan pernikahan terutama pada wanita (Bee & Mitchell, penelitian menunjukan bahwa bertambahnya anak bias menambah stress pasangan dan mengurangi waktu bersama pasangan (Hendrick & Hendrick 1992). Kehadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan suami istri berkaitan dengan harapan akan keberadaan anak tersebut. 2) Lama pernikahan dimana dikemukakan oleh Duvall bahwa tingkat kepuasan pernikahan tinggi diawal pernikahan, kemudian menurun setelah kehadiran anak dan kemudian meningkat kembali setelah anak mandiri. Semakin lama usia suatu pernikahan, semakin besar kemampuan pasangan untuk menghadapi masalah yang muncul ketika pasangan tidak tinggal bersama. 3) Jarak perpisahan yang semakin jauh juga membuat kehidupan pasangan menjadi semakin berat dan membuat stress. Jarak yang semakin jauh sama dengan biaya (telepon dan perjalanan) yang lebih tinggi dan juga membutuhkan energi dan waktu yang lebih banyak, selain itu, jarak yang jauh juga membuat kesempatan untuk bertemu dengan keluarga menjadi semakin sedikit.
24 B. Commuter Marriage 1. Definisi Commuter Marriage Rhodes menyatakan (Marini & Julinda, 2009) bahwa commuter marriage adalah pria dan wanita dalam pernikahan yang mempunyai dua karir, dimana masing-masing mempunyai keinginan untuk mempertahankan pernikahan namun juga memutuskan menjaga karir sehingga pasangan tersebut merasakan adanya komitemen yang kuat. Pasangan yang memilih pola hidup seperti ini menyadari bahwa karir dan pernikahan mereka berada pada prioritas utama (Gerstel & Gross, 1983;Winfield dalam Marini & Julinda, 2009). Definisi lain yang dikemukakan oleh Gerstel & Gross (1982), menyatakan bahwa commuter marriage adalah kesepakatan yang dilakukan dengan sukarela oleh pasangan suami istri, yang berada pada dua lokasi geografis yang berbeda dengan pekerjaan masing-masing dan dipisahkan setidaknya tiga malam dalam satu minggu selama sedikitnya tiga bulan. Menurut Gerstel & gross (Nisa, 2015) commuter marriage merupakan keadaan pernikahan yang terbentuk setelah pasangan tersebut mengambil keputusan dimana pasangan yang sama-sama bekerja mempertahankan dua tempat tinggal yang berbeda lokasi geografisnya dan (pasangan tersebut) terpisah paling lama tiga malam perminggu selama minimal tiga bulan. Menurut Gross (Nisa, 2015) pasangan commuter marriage dikategorikan dalam dua tipe, yaitu pasangan adjusting dan pasangan
25 established. Pertama pasangan adjusting adalah pasangan suami istri yang usia pernikahanya cenderung lebih muda, menjalani commuter marriage di awal pernikahan dan memiliki sedikit atau tidak ada anak. Kedua pasangan established, yaitu pasangan suami istri yang usia pernikahan lebih tua, telah lama bersama dalam pernikahan, dan memiliki anak yang sudah dewasa yang telah keluar dari rumah Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa commuter marriage merupakan kondidi perkawinan dimana pasangan suami istri harus tinggal terpisah secara georgaris dalam jangka waktu tertentu, perpisahan tersebut bersifat sementara tidak untuk selamanya.lebih lanjut lagi, kondisi keterpisahan itu telah diputuskan oleh pasangan suami istri secara sukarela tanpa paksaan pihak lain, bukan karena adanya masalah dalam prkawinan, seperti perceraian. 2. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Commuter Marriage Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya commuter marriage menurut Anderson (1992), yaitu sebagai berikut: a. Meningkatnya jumlah tenaga kerja wanita, dengan banyaknya wanita yang memilih untuk bekerja maka semakin banyak juga pasangan yang menikah yang menjalani commuter marriage. b. Meningkatnya jumlah pasangan yang sama-sama bekerja. Pada saat ini sudah banyak pasangan suami istri sama-sama bekerja.entah disebabkan karena tuntutan ekonomi atau gaya hidup, yang meningkatkan kemungkinan keluarga menjalani keadaan commuter.
26 c. Meningkatnya jumlah wanita yang mencari karir dengan training khusus, yang mana mengharuskan mereka untuk tinggal dikota yang berbeda dengan pasangan. d. Faktor lain yang juga mempengaruhi commuter marriage adalah pekerjaan yang menuntut orang untuk berpindah-pindah lokasi geografis mereka harus berpisah dengan pasangannya untuk sementara waktu. Misalnya, salah satu pasangan dituntut untuk bekerja diluar kota untuk sementara waktu dan sementara pasangannya tetap tinggal untuk menjaga anak-anak. Selain faktor yang dikemukakan diatas, Mardien & Prihantina (Liza & Julinda, 2009), juga menjelaskan beberapa faktor penyebab terbentuknya commuter marriage, sebagai berikut: 1) Karir dan pekerjaan. Tuntutan studi dan karir tidak jarang membuat suami istri terpisah oleh jarak. Misalnya istri tidak bias tinggal bersama dengan suami yang bertugas atau menjalani pendidikan dikota berbeda untuk waktu tertentu, karena harus menjaga anakanak yang masih sekolah. 2) Tuntutan ekonomi dan pola hidup, misalnya, untuk individu yang hendak meningkatkan perekonomian keluarga dengan menjadi tenaga kerja diluar negeri. 3) Penolakan hidup bersama, yaitu istri menolak untuk pindah mengikuti suami dengan berbagai alas an, seperti: suami belum memiliki tempat tinggal sendiri, menunggu harta orang tua atau
27 keluarga, atau menjaga orang tua yang kondisi kesehatannya kurang baik. 3. Jenis-Jenis Commuter Marriage Berikut terdapat beberapa jenis commuter marriage.menurut Harriett Gross (Nisa, 2015), ada dua tipe dari pasangan commuter marriage, yaitu: a. Pasangan adjusting, yaitu pasangan suami istri yang usia perkawinannya cenderung lebih muda, menjalani commuter marriage di awal pernikahan, dan memiliki sedikit atau tidak ada anak. b. Pasangan established, yaitu pasangan suami istri yang usia perkawinannya lebih tua, telah lama bersama dalam perkawinan dan memiliki anak yang sudaj dewasa yang telah keluar dari rumah. 4. Karakteristik Commuter Marriage Beberapa karakteristik (Marini & Julinda, 2009) yang membedakan pasangan commuter marriage dengan pasangan pada pernikahan umumnya antara lain : a. Lama pasangan tinggal dirumah yang berbeda bervariasi, mulai dari dari tiga bulan sampai 14 tahun. b. Jarak yang memisahkan pasangan tersebut minimal 65 km. c. Jarak yang bervariasi dari rumah utama kebanyakan pasangan tersebut menghabiskan waktu mereka di rumah yang berbeda (salah satu pasangan di rumah utama dan pasangan yang lain di rumah lain di tempat lain).
28 d. Pasangan biasanya melakukan reuni dengan variasi periode waktu yang berbeda-beda. Beerapa diantaranya melakukan reuni pada akhir pecan tanpa mempertanyakan kapan akan melakuka reuni selanjutnya. C. Kepuasan Pernikahan Pada Istri Yang Menjalani Commuter Marriage Dalam pernikahan terdapat pembagian peran antara suami dan istri, dimana suami mencari nafkah dan istri mengurus rumah tangga. Seringkali dalam melakukan perannya suami harus berjauhan dengan istri hal ini yang menjadikan istri terkadang harus melakukan perannya sendiri yang seharusnya dilakukan dengan suami khususnya dalam mengasuh anak yang masing usia bayi, dalam pengambilan keputusan,dan peran-peran lainnya. Karena pembagian peran yang kurang seimbang tentu akan mempengaruhi hubungan yang berakibat pada kepuasan pernikahan suami. Clayton mengemukakan kepuasan pernikahan adalah evaluasi subjektif suatu pasangan yang telah menikah terhadap kondisi pernikahan dan kualitas pernikahan yang berkaitan dengan kebahagiaan, harapan, dan tujuan yang ingin dicapai selama pasangan tersebut menikah. Namun dengan adanya kesepakatan bahwa pernikahan dan karir menjadi prioritas serta komitmen yang tinggi akan meminimalisir permasalahan pada istri akibat hubungan commuter marriage, bagi istri yang juga bekerja akan lebih menikmati kualitas karir akibat berpisah, kemampuan komunikasi tanpa harus bertemu hanya menggunakan media komunikasi seperti telepon. Pernikahan jarak jauh tidak menjadi masalah bagi pasangan apabila telah memprioritaskan keluarga dan karir, dan pasangan tersebut pun mampu mersakan kepuasan pernikahan.
29 D. Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan dan tinjauan pustaka diatas, maka kerangka pemikiran penelitian ini dilakukan dikarenakan adanya fenomena perkembangan dunia pekerjaan yang dipengaruhi globalisasi menjadikan pekerjaan tidak dibatasi teritori dan memunculkan pernikahan yang mana suami dan istri harus tinggal terpisah dalam satu waktu yang biasa dikenal commuter marriage sehingga dengan terjadinya commuter marriage apakah akan berpengaruh pada kepuasan pernikahan pada istri yang menjalani commuter marriage. Subjek dalam penelitian ini adalah istri yang menjalani commuter marriage bertempat tinggal di Kelurahan Gumilir Cilacap Utara Jawa Tengah. Para istri yang telah memutuskan tinggal di rumah yang berbeda karena alasan pekerjaan seringkali menghadapi permasalahan seperti waktu bersama, pembagian peran dalam rumah tangga, dan peranan lainnya yang seharusnya dilakukan bersama suami, yang akibat hal-hal tersebut istri seringkali menghadapi tekanan karena rutinitasnya yang harus dilakukan sendiri atau bekerja didalam rumah dan bekerja di tempatnya bekerja. Sebagai wanita yang sudah menikah kemudian menjalani commuter marriage persoalan yang berat biasanya ketika sudah hadir seorang anak dan harus mengasuhnya seorang diri yang kemudian akibat peran tersebut istri akan mengeluh kelelahan dan mengeluhkan karena rindu waktu bersama dalam melakukan peran.
30 Salah satu yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah commuter marriage karena didalam nya ada beberapa aspek-aspek kepuasan pernikahan yang tidak terpenuhi seperti komunikasi, pola asuh, peranan dalam rumah tangga, dan managemen keuangan (pencarian nafkah). Dimana dalam studi pendahuluan telah dijelaskan bahwa subjek penelitian yang telah menjalani commuter marriage kurang lebih 15 tahun bagi mereka prasangka bisa saja muncul, perasaan curiga dan juga pesimis terhadap pernikahannya. Hal yang sering dirasakan subjek selama menjalani commuter marriage adalah komunikasi yang sulit sehingga kurang nya keterbukaan dengan suami dan kesulitan dalam pengambilan keputusan, kemudian pembagian peran dalam rumah tangga yang tidak seimbang sehingga subjek sering kerepotan dalam membagi tugas rumah dan tugas di tempatnya bekerja. Permasalahan bisa bermacam-macam bagi istri yang menjalani commuter marriage namun dengan terpenuhi atau tidak terpenuhi aspek-aspek kepuasan pernikahan selama menjalani commuter marriage akan memberi gambaran bagi istri apakah merasa puas atau tidak merasa puas terhadap pernikahannya. Pengaruh commuter marriage terhadap kepuasan pernikahan pada istri dapat dilihat dalam bagan gambar sebagai berikut :
31 Istri yang menjalani Commuter Marriage Permasalahan yang dialami istri (kurangnya waktu bersama, pembagian peran yang tidak seimbang, kesetiaan, kepercayaan terhadap pasangan, kejenuhan terhadap rutinitas yang selalu dilakukan sendiri, orang yang kontraversi terhadap pilihannya menjalani CM Aspek-aspek Kepuasan. Pernikahan Communication Leisure Activity Religious Orientatio Conflict Resolution Finansial Management Sexual Orientation Family and Friends Children and Parenting Personality Issues Istri Puas Istri TidakPuas Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran