BAB I PENDAHULUAN. anaknya akan lahir dengan kondisi fisik dan mental yang normal, sehingga

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. masa pernikahan. Berbagai harapan mengenai keinginan memiliki anak pun

BAB I PENDAHULUAN. dan kasih sayang. Melainkan anak juga sebagai pemenuh kebutuhan biologis

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. lanjut usia atau lansia (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006). Keberadaan panti

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. istri. Ketika pasangan suami istri memutuskan untuk memiliki anak, mereka

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Deskripsi cantik fisik, setiap orang punya paham sendiri-sendiri. Orang

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus (Heward dan Orlansky, 1992) adalah anak dengan

BAB I PENDAHULUAN. menjalani kehidupan. Masyarakat membutuhkan layanan kesehatan seperti

BAB I PENDAHULUAN. 14 persen. Total dokter yang dibutuhkan secara nasional hingga tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga

BAB I PENDAHULUAN. orang kepercayaan, penasehat, orang yang berkarir, dan sebagai orang tua

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hana Nailul Muna, 2016

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan (profesi dokter) merupakan institusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. dambaan bagi setiap keluarga. Suatu pernikahan diharapkan mampu memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan menyiptakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. Individu pada tahap perkembangan dewasa awal umumnya aktif, kreatif,

Rizka Hendarizkianny Self Compassion 2015 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap diri mereka

BAB I PENDAHULUAN. tenaga pendidik yang disebut dengan dosen. Menurut jenisnya, perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. ini disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri, yaitu merupakan penyakit AIDS,

BAB I PENDAHULUAN. harapan tersebut bisa menjadi kenyataan. Sebagian keluarga memiliki anak yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. Belakangan berbagai media di Indonesia, baik cetak maupun elektronik banyak mengulas

BAB I PENDAHULUAN. Gereja dan Tata Laksana Gereja Sinode X Bab XXIV dan Bab XXVII, pendeta

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Hasyim,

BAB I. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga

BAB I PENDAHULUAN. mahasiswa yang beragama Buddha. Seiring dengan bertambahnya usia, keinginan

BAB I PENDAHULUAN. beragam. Hal ini didukung oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, serta semakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Body Dissatisfaction. body image sebagai suatu sikap dan penilaian individu mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. penerapan teori yang didapat sebelumnya dari periode praklinik untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan bahwa ia membutuhkan suatu proses belajar yang memungkinkan dirinya untuk

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

BAB I PENDAHULUAN. menyelenggarakan upaya kesehatan, dengan memberdayakan berbagai kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dalam keluarga membuat remaja akan merasakan bahwa dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. terhadap ancaman bahaya kebakaran (Kidokoro, 2008; Sufianto dan Green, 2011). Kota

BAB I PENDAHULUAN. Fakultas Psikologi merupakan salah satu fakultas unggulan di Universitas

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fase kehidupan manusia secara umum ialah menikah. Setelah

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa terdapat lebih dari 9 juta

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial di lingkungan instansi pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. Masalah penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2014 semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. bagian daerah lain, dan salah satunya adalah etnis Tionghoa. Sebagai etnis yang

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia. Menurut mantan Wapres Boediono (dalam Munady, 2014)

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga merupakan salah satu impian bagi setiap individu yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era modern saat ini, masyarakat dalam kehidupan dewasa mulai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehadiran anak umumnya merupakan hal yang dinanti-nantikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan setiap ibu (UNICEF,

BAB I PENDAHULUAN. Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menerima bahwa anaknya didiagnosa mengalami autisme.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat diukur secara kuantitas dari waktu ke waktu, dari satu tahap ke tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan suatu bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. Belakangan ini Indonesia marak terjadi kasus kekerasan. Kejadian demi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak merupakan hal yang diharapkan oleh orang tua, terlebih

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. A. Simpulan. pencapaian kebermaknaan hidup pada ibu dari penyandang cerebral palsy adalah

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BABI PENDAHULUAN. Anak adalah permata bagi sebuah keluarga. Anak adalah sebuah karunia

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB 1 PENDAHULUAN. psikologis, sosial, dan spiritual (Hidayat, 2009). Sedangkan menurut Undang-

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rentang kehidupan, individu berkembang dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam

LAMPIRAN. repository.unisba.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perusahaan mengandalkan berbagai divisi karyawan yang saling

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memiliki buah hati merupakan dambaan dari setiap orangtua agar menjadi keluarga yang sempurna. Setiap orangtua memiliki satu gambaran atau impian bahwa anaknya akan lahir dengan kondisi fisik dan mental yang normal, sehingga mengungkapkan perasaan banggadengan menceritakan kelebihan dan kesuksesan anaknya kepada sanak keluarga, tetangga dekat maupun jauh. Seorang anak dikatakan tumbuh terlihat dari perubahan fisik yang dapat diukur secara kuantitas dari masa kemasa dan dari satu peringkat keperingkat berikutnya dan perkembangan dapat dilihat dari perubahan secara kualitas dengan membandingkan sifat terdahulu dengan sifat yang sudah terbentuk (Papalia, 2001). Proses pertumbuhan dan perkembangan setiap anak akan berbeda satu sama lain. Nyatanya, anak-anak didunia ini tidak seluruhnya terlahir secara normal. Permasalahan yang muncul dapat berupa gangguan pada tahap perkembangan fisik, gangguan bahasa, gangguan emosi, maupun gangguan sensori motorik (psikis). Bentuk kelahiran anak dengan gangguan fisik maupun psikis biasa disebut dengan Anak Berkebutuhan Khusus. Menurut data dari Tim Nasional Percepatan Panggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2011, jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia adalah sekira 18 ribu anak. Di tahun yang sama, pemerintah Indonesia pun telah mengesahkan UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) atau Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas dengan undang-undang Nomor 19 Tahun 1

2 2011, sebagai salah satu usaha untuk menjamin persamaan hak untuk anak-anak berkebutuhan khusus. (republika.co.id) Melahirkan anak dengan karakteristik berkebutuhan khusus akan menjadi kesulitan tersendiri bagi orangtua, khususnya bagi seorang ibu. Seorang ibu mengalami tekanan mengenai perawatan dan penanganan langsung pada anaknya yang berkebutuhan khusus karena pada umumnya ibu dianggap sebagai individu yang memiliki kedekatan emosional tertinggi dengan anaknya. Hambatan dan penyesuaian diri pun tidak berhenti pada saat kelahiran anak saja, tetapi terus berlanjut ketika orangtua membesarkan anak. Bagi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus menjadi sebuah peristiwa hidup yang tidak terduga dan tidak dapat diantisipasi, sekaligus mengarahkan orangtua pada pengalaman yang traumatis (Seligman & Darling, 1997). Sebagian anak berkebutuhan khusus mungkin tidak memiliki kekuatan yang dibutuhkan untuk mengurus diri, sehingga bagi orangtua dapat diartikan sebagai tahun demi tahun yang penuh dengan kekhawatiran dan kelelahan (Martin & Colbert, 1997). Keluarga menjadi pihak utama yang seharusnya mendukung anak berkebutuhan khusus untuk hidup dan berkembang sesuai haknya, meskipun seringkali keberadaan anak berkebutuhan khusus di tengah keluarga menimbulkan problem yang sangat berat. Dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus ibu mengalami kelelahan fisik karena kurang memiliki waktu untuk beristirahat. Selain itu, ibu kesulitan untuk membagi perhatiannya antara anak dan suaminya, tambahan pengeluaran keuangan untuk kebutuhan anak bekebutuhan khusus sehingga seringkali hal ini membuat mereka merasa kelelahan dan tidak bebas karena kehadiran anak berkebutuhan khusus menambah tugas-tugasnya, dan mereka tidak dapat melakukan aktivitas yang

3 disukainya, seperti menghabiskan waktu dengan suami dan teman mereka atau meneruskan karir di pekerjaan mereka. Menurut Dra. Heryanti Satyadi M.Si., psikolog, salah seorang Psikolog dari I Love Psychologist, orang tua perlu memiliki perhatian yang lebih untuk membesarkan ABK karena anak-anak ini berbeda dari anak pada umumnya. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangan mengalami kelainan atau penyimpangan fisik, mental-intelektual, sosial dan atau emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya, sehingga mereka memerlukan perlakuan khusus. Salah satu komunitas yang berkatian dengan anak berkebutuhan khusus di kota Bandung adalah Percik Insani. Percik Insani merupakan komunitas para orang tua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus, bersama dengan para pemerhati, para ahli dan praktisi, sebagai sarana perjumpaan, sharing, dan berbagi pengetahuan atau pengalaman. Tujuannya yaitu bersama-sama memberikan perhatian dan kasih kepada sesama manusia yang berkebutuhan khusus dengan cara mengembangkan potensi individu berkebutuhan khusus menjadi manusia yang seutuhnya, seperti yang dilansir dari laman situs resminya. Menurut survey awal peniliti terhadap 5 Ibu yang bergabung di komunitas Percik Insani, para ibu menunjukan respon yang beragam. Seorang ibu bercerita, ketika anak yang dilahirkannya didiagnosis mengalami down syndrome, ia mengalami shock yang hebat. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya; merasa tidak percaya akan berita itu, sedih langsung menyergap, menolak kenyataan itu, dihantui perasaan bersalah mengapa harus melahirkan anak dengan kondisi seperti itu, membayangkan anak itu akan tumbuh dan berkembang berbeda dengan anak lain, hati selalu dilanda keragu-raguan, membutuhkan waktu yang lama untuk bisa

4 dengan lancar mengucapkan kata down syndrome. Kekhawatiran lain yang dirasakan oleh ibu adalah masa depan anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Ibu merasa cemas akan masa depan anak mengingat kurangnya kemampuan sosialisasi dan komunikasi anak berkebutuhan khusus, yang akan menyulitkan mereka untuk membangun relasi dengan orang lain. Pengalaman lain berasal dari seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus, sejak ia mengetahui bahwa anaknya adalah berkebutuhan khusus, ia merasa malu mengakui keberadaan anaknya yang berkebutuhan khusus dan memandang gangguan perkembangan yang dialami oleh anaknya sebagai aib. Perlu waktu tahunan untuk bisa menerima keadaan anaknya tersebut. Setelah itu ia memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya untuk anaknya tersebut dan ia mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada anak tersebut. Ia menganggap bahwa dengan kehadiran anaknya yang berkebutuhan khusus, ia dapat berubah menjadi seorang yang penyabar dan penyayang. Setiap kejadian yang ia lalui bersama anaknya sangat berkesan bagi dirinya. Ibu lain bercerita, ketika mengetahui anaknya didiagnosis autis, hampir setiap malam ia menangis di samping tubuh anaknya yang sedang tertidur pulas. Ia menyesali diri sendiri, bahkan hampir menyalahkan Tuhan, kenapa harus ia yang mengalami hal ini. Semua teori ilmu tentang bagaimana mendidik dan mengasuh anak yang selalu ia pelajari semenjak hamil sia-sia. Semua harapan dan mimpimimpi indahnya untuk memiliki anak yang membanggakan terhapus. Ia merasa minder melihat anak-anak lain mencapai prestasi tertentu sedangkan anaknya untuk memakai baju sendiri pun tidak mampu dilakukannya. Ibu selanjutnya bercerita ia sempat mengalami masa-masa shock yang luar biasa saat mengetahi anaknya berkebutuhan khusus. Namun kemudian ia sadar, ia harus

5 berbuat sesuatu untuk kesembuhan anaknya. Ia bersama suaminya mendatangi ahli pediatrik untuk memberikan terapi pada anaknya. Mahalnya biaya terapi menjadikan hal tersebut menjadi beban lain yang harus dihadapinya. Ada juga ibu yang pada awalnya ia merasa malu dan minder karena memiliki anak berkebutuhan khusus. Seiring dengan waktu ia bisa membuka hatinya untuk tetap melanjutkan hidup dan merawat anaknya tersebut dengan membawa anaknya ke luar kota untuk diterapi seminggu sekali di kota tersebut. Ia rela mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk perawatan serta pengobatan anaknya agar anaknya yang berkebutuhan khusus dapat memiliki kemajuan perkembangan yang pesat. Berdasarkan data diatas, maka dapat dikatakan bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus benar-benar menguras tenaga, pikiran bahkan perasaan, menyita waktu, terlebih biaya yang tidak sedikit untuk berbagai pengobatan, terapi yang harus dijalani serta alat-alat bantu yang dibutuhkan oleh anak berkebutuhan khusus tersebut. Mahalnya biaya pengobatan dan terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia, untuk 90 menit hingga 120 menit pertemuan dengan tenaga terapis, para orang tua harus merogoh kocek antara 100 ribu hingga 150 ribu rupiah. Hal tersebut tentu saja sangat mahal lantaran dalam satu hari, idealnya mereka bertemu terapis tiga sampai empat kali pertemuan. Jika dihitung 100 ribu rupiah misalnya, maka dalam satu hari, dibutuhkan 300 sampai 400 ribu rupiah. Dan jika dihitung satu bulan dengan frekuensi pertemuan hampir tiap hari, maka orang tua yang anaknya mengidap autis harus membayar sekitar 9 juta rupiah tiap bulan. Ini ditambah biaya obat-obatan, alat-alat peraga dan perangsang anak, sampai biaya konsultasi kepada ahli. Untuk sekali konsultasi saja bisa mencapai 500-1 juta rupiah jika konsul ke ahli kenamaan. (tribunnews.com). Kehadiran anak berkebutuhan khusus membuat ibu merasa terbeban secara emosi maupun ekonomi. Selain itu ibu

6 dengan anak berkebutuhan khusus dituntut agar lebih memahami mengenai perkembangan anak dengan kemampuan yang bervariasi, konsisten memberikan perhatian dan kepedulian serta mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh anak. Ibu juga harus aktif memperbaharui pengetahuan mengenai berkebutuhan khusus. Mengasuh, mendidik, melatih dan membesarkan anak berkebutuhan khusus dapat menjadi beban bagi para ibu karena memiliki pekerjaan ekstra yang melampaui apa yang seharusnya dilakukan. Perlakuan ibu terhadap anak berkebutuhan khusus pun berbeda-beda antara ibu yang satu dengan ibu yang lain tergantung dari penerimaan ibu terhadap ketidaksempurnaan anaknya. Apabila ibu dapat menerima dan memahami dirinya ketika menghadapi kesulitan, memandang permasalahan sebagai proses dari merawat anak, dan dapat menghayati segala pengalamannya sebagai sebuah pembelajaran, hal ini akan membantu sang ibu dalam menghadapi anaknya yang berkebutuhan khusus. Ibu juga dapat memandang kehidupannya secara lebih positif. Berbagai tindakan terhadap diri sendiri ini dapat membangun rasa empati, kesabaran, dan ketekunan dalam merawat anak berkebutuhan khusus. Sebaliknya, apabila ibu terlalu fokus dalam memandang ketidaksempurnaan anaknya menjadikan ibu kurang menyadari bahwa anak berkebutuhan khusus juga memiliki kelebihan yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan anak di masa yang akan datang. Hal inilah yang membuat ibu merasa tertekan, khawatir, cemas, dan kurang menikmati hidupnya. Kemampuan untuk menghibur diri dan peduli pada diri sendiri ketika mengalami penderitaan, kegagalan, dan ketidakmampuan daripada mengkritik diri dengan keras, melihat suatu pengalaman sebagai bagian pengalaman manusia secara umum daripada mengisolasi diri sendiri serta memperlakukan pikiran-pikiran dan

7 perasaan-perasaan yang terbuka dengan penuh kesadaran daripada terpaku dan membesar-besarkannya dikonsepkan sebagai self-compassion (Neff,2003). Self-compassion didefinisikan sebagai adanya keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan, memberikan kebaikan dan pengertian pada diri sendiri, tidak menghakimi kekurangan dan kegagalan yang dialami, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003). Ada tiga komponen self-compassion yang ditunjukkan yakni self-kindness, a sense of common humanity, dan mindfulness (Neff, Kirkpatrick, & Rude, 2007). Bila disadari dan dimanfaatkan ketiga komponen inidapat memberikan pengaruh terutama saat menghadapi masa-masa sulit dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus. Komponen self-kindness merujuk pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus, perlu memahami dan menerima diri apa adanya serta memberikan kebaikan, kelembutan, bukan menyakiti dan menghakimi saat diri sendiri mengalami kegagalan atau penderitaan. Sedangkan sense of common humanity adalah kesadaran individu bahwa kegagalan, kesulitan, dan tantangan adalah bagian dari hidup manusia dan merupakan milik semua orang, bukan hanya dirinya sendiri. Mindfulness adalah keadaan untuk menerima pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan keadaan yang muncul sebagaimana adanya tanpa menghakimi, menekan atau menyangkalnya. Dengan adanya pemahaman mengenai berbagai kesulitan yang dihadapi oleh ibu dengan anak berkebutuhan khusus, self-compassion sangat dibutuhkan dalam merawat, membimbing, dan membesarkan anak. Kemampuan-kemampuan inilah yang diharapkan dimiliki oleh ibu dengan anak berkebutuhan khusus agar mereka dapat menghadapi hambatan-hambatan yang dialami.

8 Melihat pentingnya kemampuan ketenangan diri, penguasaan diri, dan kepedulian pada diri sendiri ketika ibu mengalami kegagalan dalam merawat anak berkebutuhan khusus, maka peneliti tertarik untuk meneliti Studi Deskriptif mengenai derajat Self-Compassion pada ibu dengan anak berkebutuhan khusus di Komunitas X Kota Bandung, yang terdiri dari komponen Self-Kindness, a sense of comman humanity, dan Mindfulness. 1.2 Identifikasi Masalah Dari berbagai pemaparan diatas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran self-compassion pada ibu dengan anak berkebutuhan khusus di Komunitas X Kota Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran self-compassion ibu dengan anak berkebutuhan khusus di Komunitas X Kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa tinggi-rendahnya self-compassion (self-kindness, a sense of comman humanity, dan mindfulness) pada ibu dengan anak berkebutuhan khusus di Komunitas X Kota Bandung.

9 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Kegunaan teoretis dalam penelitian ini adalah: 1) Menambah informasi mengenai self-compassion khususnya self-compassion pada ibu dengan anak berkebutuhan khusus bagi bidang Psikologi, Perkembangan, dan Psikologi Positif. 2) Memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion. 1.4.2 Kegunaan Praktis Kegunaan praktis dalam penelitian ini adalah: 1) Memberikan informasi kepada ibu dengan anak berkebutuhan khusus di Komunitas X Kota Bandung, mengenai self-compassion yang dimiliki setiap orangtua. Diharapkan mereka dapat menggunakan informasi ini untuk memahami diri dan sebagai bahan pertimbangan bagaimana memerlakukan anak berkebutuhan khusus yang dimilikinya. 2) Memberikan manfaat bagi para ibu dengan anak berkebutuhan khusus di Komunitas X Kota Bandung, agar lebih dapat menyadari manfaat dari selfcompassion sehingga dapat mengoptimalkannya. 3) Memberikan informasi tentang sejauh mana self-compassion pada ibu dengan anak berkebutuhan khusus di Komunitas X Kota Bandung, agar dapat dilakukan pengamatan dini melalui seminar atau diskusi di komunitas anak berkebutuhan khusus.

10 1.5 Kerangka Pemikiran Ibu dengan anak berkebutuhan khusus yang terstigma oleh keterbatasan anaknya mengalami kelelahan karena tuntutan pengasuhan tambahan, terisolasi secara sosial, dan terbebani biaya finansial atas pengasuhan sang anak, yang mungkin menyebabkan kesulitan yang lebih besar (Blacher & Baker, dalam Martin & Colbert, 1997). Mengasuh, mendidik, melatih, dan membesarkan anak berkebutuhan khusus dapat menjadi beban bagi para ibu karena mereka memiliki pekerjaan ekstra yang melampaui apa yang seharusnya bisa dilakukan. Selfcompassion ibu dengan anak berkubutuhan khusus dapat mengurangi bebanbebannya sendiri seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Seperti yang dikatakan oleh Neff, self-compassion yaitu adanya keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan tersebut, memberikan pengertian dan kebaikan pada diri sendiri, tidak menghakimi kekurangan dan kegagalan yang dialami, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia. Ada tiga komponen self-compassion yang ditunjukkan yakni self-kindness, a sense of common humanity, dan mindfulness (Neff, Kirkpatrick, & Rude, 2007). Bila Ibu dengan anak berkebutuhan khusus menyadari dan memanfaatkan ketiga komponen ini maka dapat memberikan manfaat dalam penanganan anak berkebutuhan khusus. Komponen self-kindness (Neff, Kirkpatrick, & Rude, 2007) kemampuan untuk memahami dan menerima diri apa adanya, serta mentoleransi, menyayangi, dan juga memberikan perhatian tanpa mengkritik diri sendiri. Bila dikaitkan dengan kondisi ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus, maka self-kindness merupakan kemampuan ibu untuk memahami, menerima diri apa adanya, menyayangi, dan

11 memberikan perhatian tanpa mengkritik diri sendiri dalam menjalani kehidupan sebagai seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Dengan tidak menyalahkan diri sendiri dan tidak merasa malu karena telah melahirkan anak berkebutuhan khusus, merupakan titik awal dari self-kindness yang tentunya akan meningkatkan toleransi terhadap kesulitan-kesulitan yang dialami. Dengan begitu, Ibu mencegah hal-hal pengkritikan terhadap dirinya sendiri. Di sisi lain, bila seorang ibu dengan anak berkebutuhan khusus memiliki tingkat toleransi yang rendah, secara tidak langsung menambah kesulitan yang dialaminya, sehingga akan lebih merasa malu, gagal dan kecewa telah melahirkan anak berkebutuhan khusus (self-judgment). Kesulitan atau kegagalan lain yang dirasakan oleh sang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Komunitas X kota Bandung ketika sang ibu membandingkan anaknya dengan anak lain yang tidak berkebutuhan khusus, ibu malu terhadap keterbatasan anaknya yang secara fisik terlihat berbeda dengan anak non-berkebutuhan khusus. Komponen a sense of common humanity (Neff, Kirkpatrick, & Rude, 2007) memberikan pandangan bahwa kegagalan dan masalah adalah hal yang lumrah sebagai manusia. Jika ibu dengan anak berkebutuhan khusus memandang keadaan ini bukan hanya ia saja yang mempunyai anak berkebutuhan khusus dan bahwa beberapa ibu lain mengalami hal yang serupa dengan anaknya, maka ibu tidak akan merasa sendiri dalam kesulitannya dan tidak merasa minder (common humanity). Dengan mengingat orang lain juga mengalami penderitaan yang sama, bahkan mungkin lebih buruk, akan membuat individu melihat suatu kejadian dalam perspektif yang lebih luas. Apabila seorang ibu dengan anak berkebutuhan khusus memiliki a sense of common humanity yang rendah, saat mereka gagal, mereka lebih senang untuk menyendiri dan tidak terhubung dengan lingkungan di sekitar,

12 dibandingkan menganggap ketidaksempurnaan mereka sebagai pengalaman yang wajar dialami semua manusia (Isolation). Hal ini membuat individu membenci dirinya sendiri dan memunculkan perasaan tidak layak untuk tetap terhubung dengan orang lain, untuk itulah individu memilih untuk menyendiri. Komponen mindfulness (Neff, Kirkpatrick, & Rude, 2007) adalah keadaan menerima pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan keadaan yang muncul sebagaimana adanya, tanpa menghakimi, menekan atau menyangkalnya. Jika kesulitan yang dialami oleh ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Komunitas X kota Bandung dipandang secara objektif, dapat membuat ibu lebih optimis terhadap masa depan anak. Ibu dengan anak berkebutuhan khusus menjadi tidak terpaku pada kekurangan anak, melainkan dapat melihat kelebihan yang dimiliki oleh anak. Ibu dapat berusaha untuk mencari tempat terapi yang sesuai dengan kebutuhan anaknya. Komponen mindfulness memberi kesadaran akan kemampuan menyeimbangkan emosi, sehingga tidak perlu menolak ataupun mengabaikan,akan tetapi juga tidak memikirkannya dengan berlebihan; sehingga membuat tertekan. Mindfulness merujuk pada keseimbangan emosi yang diperlukan, sehingga masalah yang dihadapi tak perlu membuatnya merasa tenggelam atau meratapi nasib berlama-lama. Apabila ibu dengan anak berkebutuhan khusus di Komunitas X kota Bandung memiliki mindfulness yang rendah akan membuat penilaian ibu terhadap diri terbungkus oleh reaksi emosional berlebihan yang mendominasi kehidupan nyata mereka sehari-hari. Reaksi over-identification ini muncul ketika ibu berusaha menghindari untuk melihat kekurangan atau sesuatu yang buruk tentang dirinya secara nyata. Secara garis besar, ibu dengan anak berkebutuhan khusus di Komunitas X kota Bandung dikatakan memiliki Self-compassion yang tinggi apabila ibu dengan

13 anak berkebutuhan khusus di Komunitas X kota Bandung memiliki komponen selfkindness, sense of common humanity, dan mindfullness yang tinggi. Ibu memahami kekurangannya dalam mengasuh dan membesarkan anak berkebutuhan khusus tanpa mengeritik dirinya sendiri. Ibu memberikan rasa aman dan perlindungan terhadap dirinya dan menyadari bahwa ketidaksempurnaan merupakan bagian dari kehidupan. Pada saat yang bersamaan, ibu bisa melepaskan keinginannya untuk menjadi lebih baik dari orang lain sehingga dapat melihat kekurangan atau kegagalan yang dihadapi secara objektif tanpa menghidar atau melebih-lebihkan hal tersebut. Selfcompassion yang tinggi akan memberikan manfaat bagi ibu dengan anak berkebutuhan khusus di Komunitas X kota Bandung, yaitu ibu akan memiliki emosi yang lebih stabil (emotional resilience) dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus, memiliki self-esteem yang tinggi sehigga meningkatkan kepercayaan diri dalam merawat anaknya dan berorientasi pada perkembangan diri (motivation and personal growth), dan memiliki kebahagian hidup (well-being). Sedangkan self-compassion dikatakan rendah apabila ibu dengan anak berkebutuhan khusus di Komunitas X kota Bandung memiliki komponen selfkindeness, sense of common humanity, dan mindfullness yang rendah atau salah satu dari komponennya rendah. Ibu akan terus menerus mengeritik diri saat mengetahui bahwa anaknya berkebutuhan khusus dan saat ibu mengalami kegagalan dalam merawat anak yang bekebutuhan khusus. Ibu memerhatikan kekurangan yang ada tanpa melihat kelebihan yang dimilikinya, sehingga ibu menunjukkan pandangan yang sempit bahwa hanya dirinya yang memiliki kekurangan dan harus menghadapi kegagalan dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus, dan ibu juga melebihlebihkan kegagalan yang dihadapinya saat ini.

14 Kerangka pemikiran dapat dijabarkan dalam bagan sebagai berikut: Ibu dengan anak berkebutuhan khusus Self Compassion Tinggi Rendah Self kindness - Toleransi -Kasih sayang -Perhatian Sense of common humanity -Penguasaan diri Mindfulness - Rasa optimis - Positive thinking Gambar 1.1 Bagan Kerangka Berpikir Data sosiodemografis dari responden digunakan untuk menemukan dan mengenali keadaan-keadaan yang berkaitan dengan ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus yaitu, nama, usia, tingkat pendidikan terakhir, dan pekerjaan serta identitas anak yaitu: nama, usia, tingkat pendidikan, dan urutan anak berkebutuhan khusus dalam keluarga. 1.6 Asumsi 1. Ibu dengan anak berkebutuhan khusus menghadapi hari-hari yang sulit dalam mengasuh anaknya yang berkebutuhan khusus. 2. Penghayatan pengalaman sehari-hari ibu dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus akan menjadi penentu dari self-compassion. 3. Tinggi dan rendahnya Self-compassion menandakan sejauh mana ibu menghadapi situasi sulit.