BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mahoni (Swietenia macrophylla, King) termasuk pohon tropis yang berasal dari Amerika Tengah. Tanaman ini merupakan salah satu spesies terbesar dari genus Swietenia serta memiliki nilai ekonomi yang sangat penting, karena telah lama digunakan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan antara lain sebagai bahan bangunan, mebel, dan bijinya untuk obat. Pemanfaatan tanaman untuk kesehatan merupakan bagian dari budaya masyarakat Indonesia sudah turun temurun dari generasi ke generasi (Yuli, 2004). Masyarakat Indonesia sejak dahulu telah mengenal dan memanfatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan obat tradisional untuk pengobatan berbagai jenis penyakit (Tuti et. al., 2007). Biji mahoni adalah salah satu obat tradisional yang biasa digunakan untuk penyakit malaria, melancarkan peredaran darah, dan mengurangi rasa sakit, kencing manis, tekanan darah tinggi, encok, eksim, peluruh lemak, dan masuk angin (Dalimarta, 2001). Pada tahun 70-an banyak orang mencari biji mahoni untuk obat rematik, malaria, dan obat kuat. Sesudah penggunaan obat tradisional marak kembali dengan semboyan back to nature di tahun 90-an, pencarian biji mahoni semakin meningkat. Masyarakat mengkonsumsi biji mahoni terutama untuk obat kencing manis karena penyakit ini merupakan masalah dalam masyarakat berkaitan dengan komplikasinya. Penelitian juga telah dilakukan untuk mengkaji aktivitas antihiperglikemik dari biji mahoni, diantaranya adalah penelitian Mursiti (2004, 2009) yang menyebutkan bahwa biji mahoni efektif sebagai penurun glukosa darah (antihiperglikemik). Penelitian tersebut belum menyebutkan secara spesifik senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas atntihiperglikemik tersebut. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui data tentang jenis metabolit sekunder dalam biji mahoni yang memiliki aktivitas antihiperglikemik, sehingga dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien, dikembangkan sebagai bahan obat, disintesis menjadi senyawa 1
2 lain yang lebih berguna, atau menjadi model untuk sintesis senyawa demi kesejahteraan manusia. Diabetes melitus merupakan penyakit degenarif yang timbul pada seseorang yang juga disebabkan oleh pola makan yang tidak sehat. Diabetes melitus merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin (Gilman, 2007), sehingga tubuh tidak dapat memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi (Anonim, 2005; Syamsudin et al., 2010). Data WHO pada tahun 2003 menunjukkan bahwa diabetes adalah penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan cukup insulin, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Hormon insulin berfungsi mengatur kadar glukosa darah sebagai sumber energi dan sintesis lemak. Kekurangan hormon insulin menyebabkan glukosa bertumpuk dalam darah (hiperglikemia) dan akhirnya disekresikan lewat urin tanpa digunakan yang disebut juga dengan istilah glucosuria (Tjay dan Rahardja, 2007). Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolismenya terganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% karbohidrat yang dikonsumsi mengalami matabolisme sempurna menjadi CO 2 dan H 2 O, 5% diubah menjadi glikogen dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada kondisi diabetes melitus, semua proses tersebut terganggu (Handoko dan Suharto, 1995). Penderita diabetes melitus dapat mengalami ketoasidosis yang menyebabkan pingsan (Tjay dan Rahardja, 2007), stroke, dan impotensi pada pria (Jhonson, 1998). Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia karena merupakan salah satu penyakit dengan karena komplikasi kronis dan angka kematian yang tinggi (WHO, 2003). Penderita diabetes melitus dewasa ini terus meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat kemakmuran dan berubahnya gaya hidup. Kenaikan jumlah penduduk dunia yang terkena penyakit diabetes semakin mengkhawatirkan. Data WHO menunjukkan bahwa pada tahun 2000 jumlah penduduk dunia yang menderita diabetes melitus sudah mencapai 171.230.000 orang dan pada tahun 2030 diperkirakan jumlah penderita diabetes di
3 dunia akan mencapai jumlah 366.210.100 orang atau naik sebesar 114% dalam kurun waktu 30 tahun. Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar jumlah penderita diabetes melitus di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000 di Indonesia terdapat 8,4 juta penderita penyakit diabetes melitus dan diperkirakan akan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (Soegondo et al., 2009). Masyarakat menganggap diabetes melitus merupakan penyakit orang tua atau penyakit yang hanya timbul karena faktor keturunan, padahal setiap orang dapat mengidap penyakit diabetes melitus baik tua maupun muda. Diabetes melitus tercantum dalam urutan ke-4 prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif setelah penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Gejala dan ciri-ciri yang mengarah pada diabetes melitus seringkali diabaikan, seperti poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (selalu merasa haus), poiifagia (selalu merasa lapar), dan penurunan berat badan secara drastis. Gejala dan ciri diabetes melitus muncul karena adanya gangguan metabolisme karbohidrat akibat terganggunya kinerja pankreas. Gangguan metabolisme karbohidrat ini menyebabkan tubuh kekurangan energi sehingga penderita umumnya terlihat lemah, lemas, dan tidak bugar. Penderita diabetes melitus biasanya berobat karena komplikasi yang timbul dan sedikit yang berobat pada stadium dini. Kelainan pada kulit merupakan manifestasi klinis yang sering menyebabkan penderita datang kepada dokter. Seseorang yang sudah dinyatakan terkena diabetes melitus oleh dokter, tidak ada cara lain yang dapat dipilih selain menjalani pengobatan, karena jika tidak diobati dan tidak ditangani secara serius, maka komplikasi yang lebih serius akan terjadi. Banyak cara dapat dilakukan untuk mengatasi diabetes melitus. Penderita dapat memilih cara terbaik sesuai dengan nasihat dokter dan tidak memutuskan untuk mengkonsumsi obat secara sembarangan, karena jika obat tersebut tidak sesuai dengan kondisi tubuh, maka efek sampingnya bisa sangat merugikan kesehatan secara keseluruhan. Penderita diabetes melitus diobati dengan obat oral antihiperglikemik dan insulin (Ali et al., 2006). Obat ini, bagaimanapun, tidak cocok untuk digunakan selama kehamilan dan dapat menghasilkan efek samping yang serius (Kumar et al., 2008; Saha dan Verma, 2012). Penggunaan tanaman
4 obat sebagai antihiperglikemik sudah populer sejak lama dan turun temurun karena obat herbal umumnya dianggap sebagai bebas dari efek toksik (Helmstadter, 2008). Biji mahoni yang dikenal sebagai skyfruit, di Malaysia digunakan untuk mengobati diabetes dan tekanan darah tinggi (Helmstadter, 2008; Karthic et al., 2008), memiliki aktivitas antiinflamasi, antimutagenik dan antitumor (Wong et al., 2008). Biji mahoni memiliki aktivitas antipiretik, antijamur, dan antihipertensi. Efek farmakologis tersebut diperoleh dari biji kering yang ditumbuk halus menjadi bubuk (Ling et al., 2009). Penelitian untuk memperoleh senyawa antihiperglikemik yang lebih efektif dan lebih aman dari herbal telah menjadi bidang penelitian aktif, salah satunya adalah penelitian tentang obat tradisional yang mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah. Pada tahun 1980 WHO merekomendasi agar dilakukan penelitian terhadap tanaman yang memiliki efek menurunkan kadar gula darah karena pemakaian obat modern kurang aman (Kumar, et al., 2005). Penelitian bahan alam umumnya, khususnya biji mahoni sebagai antihiperglikemik, diarahkan pada peningkatan status biji mahoni sebagai obat tradisional jamu menjadi obat herbal terstandar hingga nanti akhirnya termasuk dalam golongan fitofarmaka. Hal ini juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mendapatkan alternatif obat antihiperglikemik yang aman dan efektif. Berdasarkan penelusuran literatur yang penulis lakukan, ternyata belum ada penelitian ilmiah yang secara jelas menyebutkan jenis senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antihiperglikemik dari biji mahoni. Adanya kenyataan tersebut telah mendorong peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang senyawa di dalam biji mahoni yang bertanggung jawab terhadap aktivitas tersebut. Kajian fitokimia biji mahoni memperlihatkan bahwa mahoni mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, dan saponin yang merupakan metabolit sekunder utama biji ini. Mengingat baru sebagian kecil tentang biji mahoni yang telah diteliti, kajian lebih lanjut terhadap tumbuhan ini masih memberi peluang untuk ditemukannya senyawa baru yang memiliki aktivitas antihiperglikemik sehingga dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pengobatan dan membantu masyarakat dalam mendapatkan alternatif obat
5 antihiperglikemik yang aman dan efektif. Penelitian mengenai hal ini dapat mengoptimalkan pemanfaatan tumbuhan mahoni, bukan hanya sebagai bahan bangunan tapi juga bijinya sebagai sumber bahan kimia yang memiliki aktivitas antihiperglikemik. Penelitian ini juga mengungkapkan bahan kimia baru, unik, dan sangat berguna dalam industri farmasi dan bioindustri, dalam rangka pemberdayaan dan pelestarian keanekaragaman hayati tumbuhan tropis secara berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 1.2 Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah senyawa metabolit sekunder apakah yang terdapat dalam biji mahoni yang memiliki aktivitas antihiperglikemik? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengisolasi, mengidentifikasi, dan menentukan senyawa metabolit sekunder dari biji mahoni. 2. Menentukan aktivitas antihiperglikemik senyawa metabolit sekunder yang berhasil diisolasi. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Data tentang jenis metabolit sekunder dalam biji mahoni yang memiliki aktivitas antihiperglikemik diharapkan dapat digunakan sebagai data untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dikembangkan sebagai bahan obat yang lebih efektif dan efisien, disintesis menjadi senyawa lain yang lebih berguna, atau menjadi model untuk sintesis senyawa. 2. Membantu masyarakat dalam mendapatkan alternatif obat antihiperglikemik yang aman dan efektif, serta dapat meningkatkan status obat tradisional jamu menjadi obat herbal terstandar hingga golongan fitofarmaka. 1.5 Urgensi dan Keaslian Penelitian Penelitian ini adalah pengembangan IPTEKS dan teknologi bidang kimia bahan alam dan obat. Pengembangan ilmu kimia bidang bahan alam umumnya,
6 dan biji mahoni khususnya, diarahkan pada usaha untuk memperoleh data tentang jenis dan struktur senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalamnya yang memiliki aktivitas antihiperglikemik. Penelitian mengenai hal ini akan dapat mengoptimalkan pemanfaatan tumbuhan mahoni, bukan hanya sebagai bahan bangunan tapi juga sebagai sumber bahan kimia yang memiliki aktivitas antihiperglikemik. Penelitian ini juga mengungkapkan bahan-bahan kimia baru, unik, dan sangat berguna dalam industri farmasi dan bioindustri, dalam rangka pemberdayaan dan pelestarian keanekaragaman hayati tumbuhan tropis secara berkelanjutan. Bertolak dari kenyataan di atas, memungkinkan kita untuk melanjutkan eksplorasi bahan-bahan bioaktif dari tumbuhan terutama bijinya. Hasil penelusuran pustaka menunjukkan bahwa kajian aktivitas antihiperglikemik metabolit sekunder murni yang terdapat dalam spesies tumbuhan mahoni belum pernah dilaporkan sebelumnya.