Factors Associated with The Success of GERD Therapy

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

ABSTRAK PATOGENESIS DAN PROGRESIVITAS GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD) OLEH KAFEIN DALAM KOPI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penelitian tentang perdarahan yang disebabkan Stress Related Mucosal

Askep GERD Gastroesophageal Reflux Disease

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN GOUTHY ARTHRITIS

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN GASTRITIS TERHADAP PENGGUNAAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DAN ANTASIDA DI PUSKESMAS S. PARMAN BANJARMASIN

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012).

BAB. I PENDAHULUAN UKDW. Global Initiative for Asthma (GINA) memperkirakan bahwa hampir 300

ABSTRAK FAKTOR RISIKO YANG BERPENGARUH TERHADAP DERAJAT HIPERTENSI PADA PASIEN RAWAT INAP RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JUNI-AGUSTUS 2011

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sendawa, rasa panas di dada (heartburn), kadang disertai gejala regurgitasi

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk menyebut suatu kondisi akumulasi lemak pada hati tanpa adanya

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka

EFEKTIVITY BURPING BABY AFTER FEEDING TO PREVENT GASTROESOPHAGEAL REFLUX IN INFANT AT PERINATOLOGI ROOM RSUD RUBINI MEMPAWAH

HUBUNGAN IMT PADA DM TIPE II DENGAN KEJADIAN DISFUNGSI SEKSUAL PADA WANITA USIA SUBUR (15-49 TAHUN) DI PUSKESMAS BROMO MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum

BAB 1 PENDAHULUAN. keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PROLAPSUS UTERI DI RSUP Dr. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

*Fakultas Kesehatan Masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

METODE Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X

Kata kunci: Body Mass Index (BMI), Underweight, Overweight, Obesitas, Indeks DMF-T, Karies.

BAB I PENDAHULUAN. untuk membantu seorang pakar/ahli dalam mendiagnosa berbagai macam

4.6 Instrumen Penelitian Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Etika Penelitian BAB V.

BAB I PENDAHULUAN. telah meningkatkan kualitas hidup manusia dan menjadikan rata-rata umur

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA CARCINOMA MAMMAE DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI 2012-DESEMBER 2013

BAB I PENDAHULUAN. aliran darah dalam vena mengalami arah aliran retrograde atau aliran balik

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK PENDERITA DISPEPSIA DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

2 Penyakit asam urat diperkirakan terjadi pada 840 orang dari setiap orang. Prevalensi penyakit asam urat di Indonesia terjadi pada usia di ba

ABSTRAK PENGARUH SARAPAN YANG TIDAK TERATUR, FAKTOR GENETIK TERHADAP RISIKO OBESITAS DAN BMI (BODY MASS INDEX) YANG ABNORMAL

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain studi cross-sectional.

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

ABSTRAK PENILAIAN KUALITAS HIDUP PASIEN PPOK RAWAT JALAN DENGAN METODE SAINT GEORGE S RESPIRATORY QUESTIONNAIRE (SGRQ)

Acupuncture in the Management of Functional Dyspepsia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kata kunci : asap rokok, batuk kronik, anak, dokter praktek swasta

ABSTRAK. Hubungan Penurunan Pendengaran Sensorineural dengan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Terkontrol dan Tidak Terkontrol di RSUP Sanglah

BAB 1 : PENDAHULUAN. perubahan. Masalah kesehatan utama masyarakat telah bergeser dari penyakit infeksi ke

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional).

BAB 1 PENDAHULUAN. perempuan. Artinya bahwa laki-laki mempunyai risiko PJK 2-3x lebih besar

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN RAWAT INAP DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012

ABSTRAK. Kata kunci: HIV-TB, CD4, Sputum BTA

BAB III METODE PENELITIAN

KORELASI PERILAKU MEROKOK DENGAN DERAJAT HIPERTENSI PADA PENDERITA HIPERTENSI DI PUSKESMAS WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN BANJARBARU

BAB I PENDAHULUAN. leiomyoma uteri, fibromioma uteri, atau uterin fibroid. 1 Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan setiap manusia sejak mulai meninggalkan masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor

BAB I PENDAHULUAN. Triple Burden Disease, yaitu suatu keadaan dimana : 2. Peningkatan kasus Penyakit Tidak Menular (PTM), yang merupakan penyakit

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA DI PUSKESMAS JAGASATRU CIREBON

HUBUNGAN PERSENTASE BODY FAT

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman :

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering

ABSTRAK PENILAIAN TINGKAT TERKONTROLNYA ASMA BERDASARKAN METODE ASTHMA CONTROL TEST TM PADA PENDERITA ASMA

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun(rahayu, 2014). Menurut

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

ABSTRAK HUBUNGAN FREKUENSI MAKAN TERHADAP GEJALA MAAG PADA MAHASISWA AKADEMI FARMASI ISFI BANJARMASIN

DAFTAR ISI. Sampul Dalam... i. Lembar Persetujuan... ii. Penetapan Panitia Penguji... iii. Kata Pengantar... iv. Pernyataan Keaslian Penelitian...

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO 2012

Refluks Gastroesofageal pada Anak

Refluks gastroesofagus adalah pasase isi lambung

Angka Kejadian dan Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di 78 RT Kotamadya Palembang Tahun 2010

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit

KAJIAN PENGOBATAN HIPERTENSI DI PUSKESMAS KARANG ASAM SAMARINDA

BAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

DAFTAR ISI BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU PADA PETUGAS AVIATION SECURITY BANDARA JUWATA TARAKAN DENGAN INDEKS MASSA TUBUH kg/m 2

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

PREVALENSI OBESITAS PADA PASIEN YANG OSTEOARTHRITIS DI RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK, MEDAN TAHUN Oleh: Noormimi Khatijah Binti Kasim

HUBUNGAN ANTARA KONTROL ASMA dengan KUALITAS HIDUP ANGGOTA KLUB ASMA di BALAI KESEHATAN PARU MASYARAKAT SEMARANG

DIABETES MELITUS (TIPE 2) PADA USIA PRODUKTIF DAN FAKTOR-FAKTOR RESIKO YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS DI RSUD Dr. SOEROTO KABUPATEN NGAWI)

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) OLEH : PUTU KRISNA SIANTARINI

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang

ABSTRAK. Olivia, 2012; Pembimbing I : drg. Donny Pangemanan, SKM. Pembimbing II : dr. Laella K. Liana, Sp.PA., M.Kes.

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak

BAB I PENDAHULUAN. atau tekanan darah tinggi (Dalimartha, 2008). makanan siap saji dan mempunyai kebiasaan makan berlebihan kurang olahraga

PROPORSI DAN KARAKTERISTIK PENYEBAB PERDARAHAN SALURAN CERNA BAHAGIAN ATAS BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN ENDOSKOPI DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN

Transkripsi:

Artikel Penelitian Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Terapi GERD 1 Suzanna Ndraha, 2 Donny Oktavius, 2 Fransisca, 2 Julian Leonard Sumampouw, 2 Ni Nyoman Juli, 2 Ricco Marcel 1 Staf Pengajar Bagian IPD, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) 2 Mahasiswa Strata 1 Program Studi Kedokteran Umum, Fakultas Kedokteran Ukrida Alamat Korespondensi: susanndraha @gmail.com Abstrak Introduksi: Penyakit Refluks Gastro Esofagus (PRGE) atau yang lebih dikenal dengan nama Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD), merupakan kondisi yang terjadi bila aliran balik isi lambung ke esofagus memberikan keluhan dan mengganggu kualitas hidup seseorang. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan terapi GERD, serta menguji keefektifan dalam mendiagnosis GERD dengan menggunakan kuesioner GERD Q. Metode: Enam puluh subjek yang memiliki gejala heartburn dan atau regurgitasi didata selama periode Maret-Mei 2015, dengan menggunakan disain analitik kuantitatif observasional. Kuesioner GERD Q terdiri atas enam pertanyaan sederhana meliputi gejala refluks, dispepsia, dan konsumsi obat, skor 8 yang mendukung diagnosis GERD. Pasien GERD diterapi selama dua minggu dan diberikan obat sesuai dengan resep dokter dan kontrol kembali. Hasil: Berdasarkan hasil univariat, didapatkan 56,7% (34 subjek) adalah perempuan, gejala klinis heartburn atau regurgitasi saja ditemukan 63.3% (38 subjek), usia < 40 sebanyak 55% (33 subjek), nilai IMT 25 ditemukan 66.7% (40 subjek), pemberian terapi PPI dan prokinetik ditemukan 50% (30 subjek), gaya hidup sehat sebanyak 81.7% (49 subjek), dan GERD Q post-test yang membaik sebanyak 66.7% (40 orang). Pada hasil bivariat didapatkan hubungan yang bermakna antara keberhasilan terapi dengan usia (p 0.028,OR 3.667), jenis kelamin (p 0.002; OR 7.667), gejala klinis (p 0.037; OR 3.222), IMT (p 0.033; OR 4.188), dan terapi (p 0.001; OR 7.429). Kesimpulan: Pasien GERD di RSUD Koja yang berusia 40 tahun, laki-laki, nilai IMT 25 kg/m 2, dan memiliki gejala heartburn atau regurgitasi saja, setelah diterapi dengan PPI dan prokinetik memiliki keberhasilan terapi yang lebih baik. Tetapi keberhasilan terapi GERD tidak dipengaruhi gaya hidup. Kata kunci: GERD Q, heartburn, regurgitasi, terapi Factors Associated with The Success of GERD Therapy Abstract Introductions: Gastro Esophageal Reflux Disease (PRGE) or better known as Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) is a condition that occurs when the backflow of gastric contents into the esophagus giving complaints and interfere with quality of life. Objective: This study aimed to analyze the factors associated with the therapeutic efficacy on GERD as well as to test the effectiveness of using questionnaire that are to diagnose, GERD Q. Methods: Sixty subjects with symptoms of heartburn and regurgitation recorded during the period from March until May 2015 using a quantitative analytical observational design. Q GERD questionnaire consist of six simple questions include symptoms of reflux, dyspepsia and drug consumption, the score 8 that support the diagnosis of GERD. GERD patients treated for 2 weeks and was given medication as prescribed and control back. Results: Based on univariate results, 56.7% (34 subjects) were women, the clinical symptoms of heartburn or regurgitation alone found in 63.3% (38 subjects), age <40 were 55% (33 subjects), the J. Kedokt Meditek Volume 22, No. 60 Sept-Des 2016 7

value of BMI 25 was found 66.7% (40 subjects), PPI and prokinetic therapy found 50% (30 subjects), a healthy lifestyle as much as 81.7% (49 subjects) and GERD Q post-test were improved as much as 66.7% (40 people). In the bivariate results of a significant association between the therapeutic efficacy with age (p 0.028, OR 3667), gender (p 0.002; OR 7,667), clinical symptoms (p 0.037; OR 3.222), BMI (p 0.033; OR 4188), and therapy (p 0.001; OR 7429). Conclusion: Patients GERD in Koja Hospital 40 years old, male, BMI values 25 kg / m2, and have symptoms of heartburn or regurgitation alone, after therapy with PPI and prokinetic have a better therapeutic success. But the success of GERD therapy is not influenced by lifestyle. Keywords: Q GERD, heartburn, regurgitation, therapy Pendahuluan Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal Reflux Disease/ GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks isi lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring, dan saluran napas. Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang lama. 1 Prevalensi GERD di Asia relatif rendah dibandingkan negara maju. Di Amerika, hampir 7% populasi mempunyai keluhan heart burn dan 20-40% diperkirakan menderita GERD. Prevalensi esofagitis di negara-negara Barat berkisar 10-20% sedangkan di Asia hanya 3-5%, terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%). Tidak ada predileksi gender pada GERD, laki-laki dan perempuan mempunyai risiko yang sama, namun insidens esogafitis pada laki-laki lebih tinggi (2:1 sampai 3:1), begitu pula Barrett s esofagitis lebih banyak dijumpai pada laki-laki (10:1). 1,2 Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktorfaktor yang dapat menurunkan tonus LES: 1). adanya hiatus hernia, 2). panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). obatobatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiat, dan lain-lain, 4). faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES. 1 Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi, dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrostemal yang mirip dengan keluhan pada serangan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett s esophagitis. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulse-rasi esofagus yang berat. GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/nccp), suara serak, laringitis, erosi gigi, batuk kronik, bronkiektasis, atau asma. 2,3 8 J. Kedokt Meditek Volume 22, No. 60 Sept-Des 2016

Di sarana kesehatan yang belum mampu melakukan pemeriksaan endoskopi SCBA, maka dilakukan wawancara dengan kuesionar khusus. GERD kuesioner adalah kombinasi dari kuesioner divalidasi digunakan dalam studi DIAMOND. Sebuah analisis lebih dari 300 pasien di pelayanan kesehatan primer menunjukkan bahwa GERD-Q dapat memberikan sensitivitas dan spesifisitas dari 65% dan 71%. Selain itu, GERD-Q juga menunjukkan kemampuan untuk mengevaluasi dampak relatif dari GERD pada kehidupan pasien dan untuk memberikan bantuan dalam memilih terapi. Untuk setiap pertanyaan yang dapat dilihat pada tabel 1, responden harus mengisi sesuai dengan frekuensi gejala bahwa mereka memiliki pengalaman dalam seminggu. Skor 8 atau lebih adalah direkomendasikan cut-off point untuk mendeteksi individu dengan kecenderungan tinggi untuk memiliki GERD. 3 Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks) terlihat pada tabel 1. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflux disease (NERD). 2 J. Kedokt Meditek Volume 22, No. 60 Sept-Des 2016 9

Tabel 2. Klasifikasi Los Angeles Berdasarkan Gambaran Endoskopi 2 Gambaran Endoskopi A. Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5mm B. Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa saling berhubungan C. Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen D. Lesi muko sa esofa g us yang bersif at sirkum f er e nsia l (menge lilingi seluruh lume n esofa gu s) Konsensus nasional tahun 2004 untuk GERD menyebutkan bahwa pengobatan di Indonesia dengan PPI adalah obat yang paling efektif untuk mengobati GERD, dibandingkan dengan antasida, prokinetik, dan H2 bloker receptor. PPI bekerja dengan menghambat sekresi ion H+ oleh sel parietal. PPI memiliki beberapa efek samping, tetapi dapat ditoleransi dengan penggunaan jangka panjang. PPI harus diberikan selama delapan minggu sebagai pengobatan awal GERD. Karena keunggulan dan keefektifan PPI maka terapi GERD harus dimulai dengan PPI. Namun dalam beberapa kasus pemberian PPI saja tidak cukup untuk mengatasi gejala GERD. Beberapa studi membuktikan bahwa kombinasi PPI dan prokinetik lebih baik efikasinya dibandingkan dengan PPI monoterapi. PPI tidak stabil pada ph rendah, dan dismotilitas akan memperlambat pengosongan lambung, yang mengakibatkan retensi PPI. Retensi PPI dalam lambung dapat menyebabkan efek gangguan supresi asam, sebaliknya transit PPI yang lebih cepat akan meningkatkan efikasinya. Prokinetik adalah agen yang meningkatkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah (LESP), meningkatkan peristaltik esofagus, dan meningkatkan pengosongan lambung. 3 Hasil Penelitian ini dilakukan pada pasien dengan gejala heartburn atau regurgitasi. Dari 60 subjek penelitian didapatkan sebanyak 56,7% (34 subjek) adalah perempuan, sedangkan 43.3% (26 subjek) adalah laki-laki. Gejala klinis heartburn atau regurgitasi lebih banyak ditemukan yaitu 63.3% (38 subjek), sedangkan 36.7% (22 subjek) dengan gejala heartburn dan regurgitasi. Usia < 40 tahun ditemukan sebanyak 55% (33 subjek) sedangkan 45% (27 subjek) berusia 40 tahun. Nilai IMT 25 kg/m 2 ditemukan sebanyak 66.7% (40 subjek) sedangkan 33.3% (20 subjek) dengan nilai IMT <25 kg/m 2. Pemberian terapi PPI dan Prokinetik ditemukan 50% (30 subjek) dan dengan terapi lainnya ditemukan 50% (30 subjek). Gaya hidup sehat sebanyak 81.7% (49 subjek) sedangkan gaya hidup yang tidak sehat sebanyak 18.3% (11 subjek) terlihat pada tabel 3. Pada hasil bivariat dengan uji Chi Square terlihat pada tabel 4 didapatkan bahwa pada pasien usia 40 tahun setelah diberi terapi selama dua minggu terjadi perbaikan pada 22 subjek (81.5%), dan memiliki keberhasilan terapi GERD tiga kali lebih baik, dibandingkan pasien dengan umur <40 tahun. Pada pasien laki-laki setelah diberi terapi selama dua minggu, terjadi perbaikan sebanyak 22 subjek (88.5%) dan memiliki keberhasilan terapi GERD tujuh kali lebih baik, dibandingkan pasien perempuan. Pasien dengan gejala klinis heartburn atau regurgitasi saja, setelah diterapi selama dua minggu terjadi perbaikan pada 29 orang (76.3%) dan memiliki keberhasilan terapi GERD tiga kali lebih baik, dibandingkan pasien yang memiliki gejala heartburn dan regurgitasi. Pasien yang memiliki indeks massa tubuh 25 kg/m 2 setelah diterapi selama dua minggu, terjadi perbaikan pada 23 orang (57.5%), dan memiliki keberhasilan terapi GERD tiga kali lebih baik, dibandingkan pasien yang memiliki indeks massa tubuh < 25 kg/m 2. 10 J. Kedokt Meditek Volume 22, No. 60 Sept-Des 2016

Tabel 3. Karakteristik 60 Subyek Penelitian No. Karakteristik Frekuensi Persentase (%) 1. GERD Post Test a. Tidak membaik 20 33.3 b. Membaik 40 66.7 2. Jenis Kelamin a. Perempuan 34 56.7 b. Laki-laki 26 43.3 3. Usia a. <40 Tahun 33 55 b. 40 Tahun 27 45 4. Gejalaklinis a. Heartburn dan Regurgitasi 22 36.7 b. Heartburn / Regurgitasi 38 63.3 5. IMT a. 25 kg/mm 2 40 66.7 b. <25 kg/mm 2 20 33.3 6. Terapi a. Terapi Lain 30 50 b. PPI dan Prokinetik 30 50 7. Gaya Hidup a. Tidak Sehat ( 3) 11 18.3 b. Sehat (<3) 49 81.7 GERD Q skor yang dilakukan pada 60 subjek penelitian yang telah diterapi selama dua minggu terjadi perbaikan skor post test sebanyak 66.7% (40 orang), sedangkan 33.3% (20 subjek) tidak membaik. Tabel 4. Hasil Bivariat pada Keberhasilan Terapi GERD Perbaikan Skor GERD No. Variable Tidak Membaik Membaik Total p value OR (95%) CI n n 1. Jenis Kelamin a. Perempuan 17 17 34 0.002 7.667 b. Laki-laki 3 23 26 (1.932-30.420) Jumlah 20 40 60 2. Umur a. < 40 tahun b. 40 tahun Jumlah 15 18 33 0.028 3.667 5 22 27 (1.117-12.034) 20 40 60 3. Gejala Klinis a. Heartburn dan 11 11 22 0.037 3.222 Regurgitasi (1.055-9.890) b. Heartburn / Regurgitasi 9 Jumlah 20 IMT 4. a. 25 kg/m 2 b. <25 kg/m 2 17 Jumlah 3 20 Terapi 5. a. Terapi lain b. PPI dan Prokinetik 16 Jumlah 4 29 38 40 60 23 40 17 20 40 60 14 30 26 30 0.033 0.001 4.188 (1.056-16.619) 7.429 (2.078-26.553) Gaya Hidup 20 40 60 6. a. Tidak sehat ( 3) b. Sehat (<3) 3 8 11 Jumlah 17 32 49 20 40 60 0.637 0.706 (0.165-3.014) J. Kedokt Meditek Volume 22, No. 60 Sept-Des 2016 11

Pemberian PPI dan prokinetik selama dua minggu menunjukkan keberhasilan terapi pada 26 orang (86.7%) dan memiliki keberhasilan terapi GERD empat kali lebih baik, dibandingkan pasien yang diberi terapi lainnya terlihat pada gambar 1. Sedangkan gaya hidup tidak mempunyai nilai kemaknaan pada keberhasilan terapi GERD. T idak membai k Membai k Gambar 1. Hubungan antara Terapi dengan Keberhasilan Terapi GERD Diskusi Kebanyakan pasien yang diteliti adalah perempuan sebanyak 34 subjek (56,7%). Beberapa penulis di negara-negara Barat melaporkan bahwa perbedaan jenis kelamin tidak mempengaruhi kejadian GERD. Studi menemukan bahwa pasien perempuan dengan GERD lebih dominan dibandingkan dengan laki-laki. Di Jepang, Miyamoto meneliti 163 subyek, dengan hasil penderita GERD sebanyak 99 orang (60,7%) adalah perempuan. 4 Namun untuk keberhasilan terapi GERD pada penelitian ini ditemukan, bahwa laki-laki sebanyak 22 subjek (88.5%) memiliki keberhasilan terapi GERD tujuh kali lebih baik daripada pasien dengan jenis kelamin perempuan. Miyamoto, dkk mengemukakan bahwa keberhasilan terapi tunggal PPI pada pria memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan terapi tunggal PPI pada wanita. Alasan perempuan lebih rentan untuk menderita GERD mungkin terkait dengan hormon wanita. Tubuh wanita memproduksi hormon estrogen dan progesterone. Salah satu fungsi hormon ini adalah untuk merelaksasi otot dalam tubuh, termasuk otot dalam saluran pencernaan. Maka dari itu, wanita lebih rentan terkena GERD. 1 Umur dapat mempengaruhi terjadinya GERD, karena seiring dengan bertambahnya umur maka produksi saliva yang dapat membantu penetralan ph pada esofagus berkurang sehingga tingkat keparahan GERD menjadi meningkat. Sehingga, pada usia >40 tahun terjadi peningkatan insiden GERD. 1 Hasil bivariat pada penelitian ini menunjukkan terdapat 22 orang (81.5%) yang berusia 40 tahun memiliki keberhasilan terapi GERD tiga kali lebih baik daripada pasien usia < 40 tahun. Namun belum ada penelitian lain yang menunjukkan usia dengan keberhasilan terapi GERD. Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal (ekstraesofagus). Gejala GERD 70% merupakan tipikal, yaitu: heartburn dan atau regurgitasi. Gejala atipikal (ekstraesofagus) berupa; batuk kronik dan kadang wheezing, suara serak, pneumonia aspirasi, fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri dada nonkardiak. Menurut penelitian gejala yang khas dan yang paling sering dijumpai yaitu heartburn dan regurgitasi. Keluhan ini dapat dihubungkan dengan GERD karena memiliki angka sensitivitas 93% dan spesifisitas 71%. 5 Dari hasil bivariat didapatkan pasien dengan gejala klinis heartburn atau regurgitasi saja sebanyak 29 orang (76.3%) memiliki keberhasilan terapi 12 J. Kedokt Meditek Volume 22, No. 60 Sept-Des 2016

GERD tiga kali lebih baik daripada pasien dengan gejala heartburn dan regurgitasi. Pace E, dkk 6 mengemukakan bahwa pemberian terapi PPI yang berhubungan dengan indeks massa tubuh (IMT) memberikan efektivitas yang sama saja baik pada IMT <25 kg/m 2 maupun 25 kg/m 2. 6,7 Hasil bivariat pada penelitian ini menunjukkan bahwa indeks massa tubuh 25 kg/m 2 setelah diberi terapi dua minggu terjadi perbaikan sebanyak 23 (57.5%) dan memiliki keberhasilan terapi GERD tiga kali lebih baik daripada pasien dengan indeks massa tubuh < 25 kg/m 2. Ketidaksesuaian ini mungkin disebabkan karena pengukuran yang tidak akurat. Malekzadeh et al, 10 melaporkan beberapa faktor risiko yang meningkatkan resiko untuk terjadinya GERD, seperti obesitas, diet tinggi lemak, terlalu banyak makan, makanan pedas, merokok, pakaian ketat, stres emosional, makanan cepat saji biasa, teh dan kopi, kehamilan, obat, serta kebiasaan berbaring segera setelah makan. 7,8 Pada hasil bivariat penelitian ini didapatkan gaya hidup sehat sebanyak 32 subjek (65.3%),. dimana tidak terdapat hubungan yang bermakna antara keberhasilan terapi GERD dengan gaya hidup yang sehat maupun tidak, dikarenakan faktor seperti usia, merokok, alkohol, tingkat pendidikan, dan penggunaan NSAID tidak terkontrol. Miyamoto mengatakan bahwa skor FSSG yang tinggi adalah salah satu faktor yang berhubungan dengan kegagalan monoterapi PPI, selain jenis kelamin perempuan, konsumsi alkohol, dan obesitas. Dengan demikian, GERD dengan skor FSSG yang tinggi membutuhkan kombinasi terapi PPI dengan prokinetik untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. 4,9 Dari hasil bivariat penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian PPI dan prokinetik selama dua minggu menunjukkan adanya perbaikan gejala pada 26 orang (86.7%) dan memiliki keberhasilan terapi GERD empat kali lebih baik, dibandingkan pasien yang diberi terapi lainnya. Kesimpulan Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan yang bermakna pada faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi GERD, faktor tersebut antara lain umur, jenis kelamin, gejala klinis, indeks massa tubuh, dan pemberian PPI dengan prokinetik. Tetapi gaya hidup tidak mempengaruhi keberhasilan terapi GERD. Daftar Pustaka 1. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p.317-21. 2. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Ukrida, 2013.h.21-4. 3. Kelompok Studi GERD Indonesia. Konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/ GERD) di Indonesia 2004. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia 2004.p.7-17 4. Miyamoto M, Haruma K, Takeuci K, Kuwabara M. Frequency scale for symptoms of gastroesophageal reflux disease predicts the need for addition of prokinetics to proton pump inhibitor therapy. J Gastroenterol Hepatol. 2008;23:746 51. 5. Mark H. Diagnosis of Gastroesofageal Reflux Disease. University of Georgia, Athens, Georgia Am Fam Physician. 2010 May 15;81(10):1278-80. Diunduh tanggal 22 April 2015 6. Pace F, et all. Does BMI affect the clinical efficacy of proton pump inhibitor therapy in GERD? The case for rabeprazole. Eur J Gastroenterol Hepatol 2011;23: 845-5 7. Ndraha S. Frequency scale for the symptoms of GERD score for gastroesophageal reflux disease in Koja Hospital. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive Endoscopy 2010; 11(2): 75-8 8. Ndraha S. Combination of PPI with a prokinetic drug in gastroesophageal reflux disease. Acta Med Indones-Indones J Intern Med 2011;43(4): 233-6. 9. Yusuf I. Medical review: diagnosis gastroesofageal refluks disease (GERD) secara klinis. Volume 22. Jakarta : FKUI. 2009, hal.117-20 10. Malekzadeh R, Moghaddam SN, Sotoudeh M. Gastroesophageal reflux disease: the new epidemic (cited 2010 August 25). Available from url:http://www.ams.ac.ir/aim/0362/0362127.ht m J. Kedokt Meditek Volume 22, No. 60 Sept-Des 2016 13