KEBERADAAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH PADA PROSES PERADILAN PIDANA : KAJIAN Nurhasan 1

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB II HAK-HAK TERSANGKA DALAM HUKUM ACARA PIDANA. seseorang yang menjalani pemeriksaan permulaan, dimana salah atau tidaknya

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK TERSANGKA PADA PENYIDIKAN PERKARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

PENANGKAPAN DAN HAM. ( Studi Terhadap Praktek Penangkapan Tersangka Pelaku Tindak Pidana di. Wilayah Polres Sukoharjo ) SKRIPSI

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

BANTUAN HUKUM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum yang sangat

PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA TERHADAP PENANGKAPAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Di Polresta Palu)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. penduduk adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

9/13/2012 8:29 AM Ngurah Suwarnatha 1

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PERLINDUNGAN HAK- HAK TERSANGKA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

ALASAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PEMBERHENTIAN SUATU PERKARA 1 Oleh: Intansangiang Permatasari Malagani 2

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah perbuatan melawan hukum. secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

BAB III PENGATURAN TERHADAP HAK-HAK TERSANGKA YANG TIDAK MAMPU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

IMPLEMENTASI PASAL 31 KUHAP TENTANG PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN ATAU TANPA JAMINAN (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Boyolali)

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Mahrus, 2011, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, UII Pers, Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

PENDAHULUAN ABSTRAK. Pengadilan Negeri Gorontalo. Hasil penelitian yang diperoleh adalah terhadap penerapan Pasal 56 KUHAP tentang

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

KEBERADAAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH PADA PROSES PERADILAN PIDANA : KAJIAN Nurhasan 1 Abstract The principle of presumption of innocence is the most basic principal in determining a person's guilt or innocence in a judicial process that guarantees of human rightsmaintained and protected, then it is interesting to see how the existence of the principle of presumption of innocence in the criminal justice system and dependencieswith human rights. The purpose of this research was: 1) in order to know and understand the basic settings of the existence of presumption of innocence in the criminal justice system. 2) to know and explain the relationship of the principle of presumption of innocence with human rights. The meaning implied in the protection and recognition of the principle of presumption of innocence, is a very important element ofmeaning and purpose in order to uphold and respect towards the rights of a person. The principle of presumption of innocence that is the embodiment of human rights which guarantee the protection of the rights of the suspect or the accused in thecriminal justice process. Keyword: the principle of presumption of innocence, human rights, criminal justice PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945), seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Hal ini mempunyai arti bahwa negara Republik Indonesia adalah negara demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala hak warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya. Penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam sebuah negara hukum merupakan suatu hal yang sangat esensial. Di Indonesia penghargaan terhadap hak asasi manusia di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 28D angka (1) yang berbunyi : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selanjutnya, Pasal 5 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang jak asasi manusia juga mengatur mengenai penghargaan terhadap hak asasi manusia. Adapun bunyi pasal itu yaitu: Bahwa setiap orang diakui sebagai manusia pribadi, oleh karena itu berhak memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaan di depan hukum. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak. Maka dari itu, untuk tercapainya maksud dan tujuan dari penghargaan hak asasi manusia yang diatur pada Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 5 Undang-Undang hak asasi manusia dapat terwujud, para aparatur penegak 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Batanghari 205

hukum dalam melakukan proses hukum harus mengedapankan asas-asas dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang mengatur perlindungan terhadap keluhan harkat dan martabat manusia, salah satu asas yang paling pokok pada proses peradilan pidana adalah asas praduga tak bersalah (Presumption of innocence). Hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana terdiri dari: 1. Kedudukan yang sama bagi semua orang dimuka siding peradilan, 2. Sidang pengadilan yang adil dan terbuka denga majelis hakim yang independen, 3. Asas praduga tak bersalah, 4. Pemberian hak-hak tersangka atau terdakwa, 5. Peradilan khusus bagi tersangka atau terdakwa di bawah umur, 6. Hak pidana untuk mengajukan peninjauan kembali, 7. Pemberian ganti rugi dan rehabilitasi, 8. Nebis in idem Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukum acara pidana menentukan proses peradilan pidana. Oleh karena itu, kewajiban untuk memberikan jaminan atas perlindungan hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana selama menjalani proses peradilan pidana sampai menjalani hukumannya, diatur juga didalam Hukum Acara Pidana. Kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh negara atau pemerintah dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Sehubungan dengan itu, pada proses peradilan pidana, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya seringkali mengabaikan hak-hak tersangka sehingga tidak terpenuhinya hak-hak tersangka atau terdakwa sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-Undang. Seperti para tersangka atau terdakwa tidak didampingi oleh penegak hukum, padahal sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 56 yang menyatakan tersangka atau terdakwa yang dituntut 5 tahun lebih penjara atau hukuman wajib didampingi oleh penasehat hukum. Oleh karena itu penerapan asas praduga tak bersalah belum dapat terwujud serta kurang dapat di implementasikan dengan benar, sehingga tujuan dari penyelenggaran peradilan pidana untuk mencari keadilan belum terwujud sebagaimana mestinya. Mengingat bahwa asas praduga tak bersalah merupakan asas yang paling pokok dalam menentukan seseorang bersalah atau tidak bersalah dalam proses peradilan yang menjamin hak asasi manusia tetap terjaga dan terlindungi, maka adalah hal yang menarik untuk melihat bagaimana keberadaan asas praduga tak bersalah dalam sistem peradilan pidana dan keterkaitannya denga hak asasi manusia. Rumusan masalah 1. Bagaimana keberadaan asas praduga tak besalah pada sistem peradilan pidana? 2. Bagaimanakah keterkaitan atau hubungan antara asas praduga tak bersalah denga hak asasi manusia? PEMBAHASAN Keberadaan asas praduga tak bersalah pada sistem peradilan pidana 206

Keberadaan asas praduga tak bersalah pada sistem peradilan pidana sangat erat kaitannya dengan pengaturan dan tujuan asas praduga tak bersalah itu sendiri pada sistem peradilan pidana. Pengaturan asas praduga tak bersalah dapat kita jumpai di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UUPKK) yang telah diperbaharui denga Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang kemudian diperbaharui kembali menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dana tau dihadapan dimuka siding pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia PAsal 18 ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu siding pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan di dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), asas praduga tak bersalah tidak dijelaskan secara tegas tercantum dalam salah satu pasal, tetapi hal itu tersirat dalam penjelasan Umum Angka 3. Dalam Penjelasan Umum tersebut ditegaskan bahwa: Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluruhan harkat dan martabat manusia yang telah diletakkan didalam Undang- Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 harus ditegakkan dalam Undang-Undang ini. Asas tersebut salah satunya adalah asas setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dan atau dihadapannya dimuka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Seterusnya didalam Bab III (tiga) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP dinyatak bahwa: Sebagai seseorang yang belum dinyatakan bersalah maka ia wajib mendapatkan hak-hak seperti: hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam fase penyidikan, hak segera mendapat pemeriksaan dipengadilan dan mendapat putusan seadil-adilnya, hak untuk diberitahu apayang disangkakan atau didakwakan kepadanya dengan bahasa yang dimengerti olehnya, hak untuk menyiapkan pembelaannya, hak untuk mendapat juru bahasa, hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk dikunungi oleh keluarga. Pengakuan terhadap asas praduga tak bersalah dalam hukum acara pidana yang berlaku di negara kita mengandung dua maksud. Pertama, untuk memberikan perlindungan dan 207

jaminan terhadap seorang manusia yang telah dituduh melakukan tindak pidana dalam proses pemeriksaan perkara agar jangan sampai diperkosa hak asasinya. Kedua, memberikan pedoman pada petugas agar membatasi tindakannya dalam melakukan pemeriksaan karena yang diperiksanya adalah manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang sama dengan yang melakukan pemeriksaan. Menurut M. Yahya Harahap tujuan diadakannya asas praduga tak bersalah pada sistem peradilan pidana adalah: Tujuan diadakannya asas praduga tak bersalah untuk memberikan pedoman kepada penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur yang menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai subjek karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. Aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara pemeriksaan inkusator yang menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai objek yang dapat diperlakukan sewenang-wenang. Sedangkan menurut R. Atang Ranoemihardja menyatakan bahwa asas praduga tak bersalah dimaksudkan untuk: Menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan memperoleh hak-hak tertentu baginya dalam rangka memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabatnya, baik hak mendapat pemeriksaan oleh penyidikan, hak diberi tahu jelas dalam Bahasa yang dimengerti apa yang disangkakan dana tau apa yang didakwakan kepadanya, hak member memberikan keterangan secara bebas tanpa adanya tekanan dan paksaan dari penyidik maupun hak untuk memperoleh bantuan hukum. Tujuan lain dari asas praduga tak bersalah adalah memberikan pengakuan dan perlindungan sejumlah hak-hak tertentu yang wajib diperhatikan aparat penegak hukum sebagaimana yang dimuat dalam KUHAP. Hak-hak tertentu berupa seperangkat hak-hak kemanuasiaan yang wajib dihormati dan dilindungi pihak penegak hukum adalah: 1. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan kepada penuntut umum (Pasal 50 ayat (1) KUHAP)\ 2. Segera diajukan kepengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat (2) dan (3) KUHAP) 3. Tersangka berhak diberi tahu dengan jelas dengan Bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangka dan didakwakan padanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat (1) dan (2) KUHAP) 4. Berhak memberikan keterangan secara bebas baik kepada penyidik maupun kepada hakim pada proses pemeriksaan didepan sidang pengadilan (Pasal 52 KUHAP) 5. Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru Bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan jika tersangka atau terdakwa tidak mengerti Bahasa Indonesia (Pasal 53 ayat (1) Jo Pasal 177 ayat (1) KUHAP) 6. Berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukumnya selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP) 208

7. Berhak mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya selama ia dalam tahanan (Pasal 58 KUHAP) 8. Berhak diberitahu kepada keluarga atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya (Pasal 59 KUHAP) 9. Berhak memilih sendiri penasehat hukum yang disukainya (Pasal 55 KUHAP). Bahkan mengenai bantuan penasehat hukum bukan semata-mata hak yang ada pada tersangka atau terdakwa, akan tetapi dalam hal seperti yang ditentukan pada (Pasal 56 KUHAP), guna memenuhi hak mendapat bantuan hukum, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat wajib menunjuk penasehat hukum bagi tersangka atau terdakwa apabila tidak mampu menyedikan penasehat hukumnya. 10. Berhak diberitahu kepada keluarganya atau orang yang serumah dengan dia atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya. Pemberitahuan tersebut dilakuka pejabat yang bersangkutan (Pasal 59 KUHAP) 11. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau orang lain, guna mendapatkan jaminan atas penangguhan penahanan atau bantuan hukum (Pasal 60 KUHAP) 12. Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasehat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga, sekalipun hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan tersangka atau terdakwa (Pasal 61 KUHAP) 13. Berhak mengirim surat dan menerima surat setiap kali yaitu diperlukannya kepada dan dari penasehat hukumnya dan sanak keluarga, untuk keperluan surat menyurat ini pejabat yang besangkutan harus menyediakan peralatan yang diperlukan (PAsal 62 ayat (1) KUHAP) 14. Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 64 KUHAP) 15. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP) 16. Berhak mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (Pasal 68 KUHAP) 17. Berhak untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas setiap tindakan dan perlakuan penangkapan, penahanan dan penuntutan yang tidak sah atau yang bertentangan dengan hukum (Pasal 68 KUHAP) Dengan diadakannya pengakuan terhadap pemberian hak-hak tersebut diatas dengan sendirinya KUHAP telah menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa berada dalam posisi yang sama derajat dengan aparat penegak hukum. Sebagai konsekuensinya dianutnya asas praduga tak bersalah pada sistem peradilan pidana adalah tersangka atau terdakwa yang dituduh melakukan suatu tindak pidana, tetap tidak boleh diperlakukan sebagai seseorang yang bersalah hingga pengadilan menyatakan bahwa ia bersalah dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi, semua pihak termasuk aparat penegak hukum harus tetap menjunjung tinggi hak asasi tersangka atau terdakwa. 209

Hubungan atau keterkaitan asas praduga tak bersalah denga hak asasi manusia Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang di atur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), bahwa Indonesia adalah negara hukum. Suatu negara yang berdasarkan atas hukum menurut Sudargo Gautama harus menjamin persamaan setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Hal ini merupakan condito sine quonom, mengingat bahwa negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari keterkaitan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah, penguasa tidak boleh bertindak sewenangwenang terhadap individu dan kekuasaannya pun harus dibatasi. Kedudukan dan hubungan individu dengan negara hukum sebagaimana yang dikatakan oleh Sudargo Gautama, bahwa dalam suatu negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakantindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Dengan dianutnya konsep negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka pengakuan dan jaminan perlindungan hak asasi manusia terhadap setiap warga negara wajib diberikan oleh negara, termasuk pada proses peradilan pidana. Hak asasi manusia sering didefinisakan dengan hak-hak yang demikian melekat pada manusia, sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mungkin dikatakan makhluk yang mempunyai harkat dan martabat dan pada dasarnya manusia tidak lah sama maka tidak boleh ada pembedaan dalam pemberian jaminan dan perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu pula dikatakan bahwa hak-hak tersebut tidak dapat dicabut dan tidak boleh dilanggar. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), HAM diartikan sebagai: Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Manusia diciptakan oleh sang pencipta dilengkapi dengan hakhaknya. Oleh karena itu, hak-hak tersebut melekat pada diri manusia sebagai yang sangat mendasar atau asasi. Hak asasi yang yang sangat fundamental ialah manusia dilahirkan merdeka dan memiliki hak-hak yang sama. Sebagai manifestasi dari hak asasi yang sangat fundamental adalah hak asas bahwa manusia harus dianggap tidak bersalah sebelum dibuktikan ada kesalahannya atau asas praduga tak bersalah. Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa asas praduga tak bersalah merupakan perwujudan hak asasi manusia yang memberikan perlindungan terhadap keluruhan harkat dan martabat yang wajib dijunjung tinggi. Pengaturan suatu asas dalam hal ini asas praduga tak bersalah sebagai perwujudan hak asasi manusia, untuk menegakkan dan melindunginya sesuai prinsip negara hukum yang demokratis adalah diperlukan. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 281 ayat (5) perubahan (amandemen) keempat UUD 1945 yang berbunyi: 210

Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan Perundangundangan. Adapun asas praduga tak bersalah sebagaimana yang diatur Pasal 281 ayat (5), dapat kita jumpai didalam peraturan perundang-undangan pelaksanaannya, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang diganti dengan Undang-Undang Nomor Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan dimuka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya untuk mempertegas pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia melalui asas praduga tak bersalah sebagaimana yang diatur oleh Pasal 281 ayat (5) UUD 1945, didalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 18 ayat (1), yang berbunyi: Setiap orang yang ditangkap, ditahan atau dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam siding pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan didalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), asas praduga tak bersalah sebagai perwujudan hak asasi manusia sebagaimana yang diatur Pasal 281 ayat (5), asas tersebut tidak dijelaskan secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal, tetapi hal itu tersirat dalam penjelasan Umum angka 3 (tiga). Didalam penjelasan Umum angka 3 ditegaskan bahwa: Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluruhan harkat dan martabat manusia yang telah diletakkan di dalam Undang- Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 harus ditegakkan dalam Undang-Undang ini (KUHAP). Asas tersebut salah satunya adalah asas setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dana tau dihadapkan dimuka pengadilan menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dari penjelasan diatas yang telah dipaparkan, jelas sekali bahwa asas praduga tak bersalah merupakan perwujudan hak asasi manusia yang memberikan perlindungan dan jaminan kepada tersangka atau terdakwa agar diperlakukan layaknya orang yang tidak bersalah dan diberikan jaminan hukum untuk melindungi keluruhan harkat dan martabatnya sebagai manusia serta dapat memperoleh hakhaknya sebagaimana yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Pada proses peradilan pidana, hak asasi manusia diwujudkan dengan adanya asas praduga tak bersalah didalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 diubah menjadi Undang- 211

Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UUPKK) yang telah diperbaharui dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang kemudian diperbaharui kembali menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, asas praduga diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi: Bahwa setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka siding pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum. Dengan demikian, bahwa setiap tersangka atau terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum adanya putusan pengadilan menyatakan kesalahannya hingga keputusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap dan jaminan perlindungan terhadap hak asasinya wajib dipenuhi oleh penegak hukum. Oleh karena itu, Undang-Undang yang mengatur tentang proses pemeriksaan perkara pidana, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana harus dapat melindungi hak asasi manusia tersangka atau terdakwa dari penyalahgunaan wewenang penegak hukum yang bertindak sewenangwenang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mardjono Reksodiputro, apabila kita meneliti secara mendalam pertimbangan disusunnya KUHAP ditujukan untuk melindungi atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa). Hal ini sesuai dengan unsurunsur dalam asas praduga tak bersalah adalah asas utama perlindungan hak asasi manusia melalui proses hukum yang adil (due process of law), yang mencakupi sekurang-kurangnya: 1. Perlindungan terhadap tindakan seewenag-wenang dari pejabat negara 2. Bahwa pengadilanlah yang berhak menentukan salah tidaknya terdakwa 3. Bahwa sidang pengadilan harus terbuka tidak boleh bersifat rahasia 4. Bahwa tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan hak asasinya agar dapat membela diri sepenuhnya Menurut M. Yahya Harahap, dalam proses pemeriksaan perkara pidana dikenal dengan sistem pemeriksaan akusatur (accusatoir) dan pemeriksaan inkuisitur (inquisitoir). Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan prinsip akusatur atau accusatory procedure. Prinsip akusatur ini menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkatan pemeriksaan: 1. Adalah subjek bukan sebagai objek, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. 2. Yang menjadi objek periksaan dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka atau terdakwa. Ke arah itulah pemeriksaan ditujukan. Selanjutnya menurut Mien Rukmini menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia pada proses peradilan pidana tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, yaitu: Hal ini dapat dilihat dari aparat hukum yang melakukan suatu upaya 212

paksa harus mengedepankan hak asasi tersangka atau terdakwa dari segala ketimpangan-ketimpangan yang dapat merugikan tersangka atau terdakwa dari segala tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum. Karena dalam melakukan upaya paksa aparat penegak hukum sering terjadi pemeriksaan yang menyimpang mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah yang memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Apabila ditelaah dari pendapat yang dipaparkan para sarjana atau ahli diatas, pendapat yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa unsur-unsur yang terkandung asas praduga tak bersalah adalah asas utama perlindungan hak asasi manusia melalui asas proses hukum yang adil. Dari pendapat tersebut tergambar secara jelas bahwa diadakannya asas praduga pada proses penegakan hukum memberikan perlindungan hak asasi manusia yang menjauhkan tersangka atau terdakwa dari tindakan sewenangwenang dari aparat penegak hukum dan asas praduga tak bersalah menjadi dasar bagi pemenuhan jaminan dan perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa sebagai makhluk yang memiliki keluruhan harkat dan martabat yang wajib dijunjung tinggi dalam proses penegakan hukum. Selanjutnya pendapat yang dikemukakan oleh M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa dalam proses pemeriksaan perkara pidana, asas praduga tak bersalah yang dianut oleh KUHAP memberikan pedoman kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan. Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang bersifat inkuisitur atau incuisitoraal system yang menempatkan tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan sewenang-wenang. Ini berarti prinsip akusatur merupakan suatu prinsip yang menjunjung tinggi hak asasi manusia yang melindungi hak-hak tersangka dari tindakan sewenang-wenang dari penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum. Sedangkan pendapat yang dikemukakan oleh Mien Rukmini tergambar secara jelas bahwa asas praduga tak bersalah merupakan asas yang memberikan perlindungan kepada tersangka atau terdakwa dari tindakan aparat penegak hukum yang melakukan upaya paksa sering mengabaikan hakhak tersangka yang memiliki keluruhan harkat dan martabat sebagai manusia, sehingga tersangka seharusnya diperlakukan layaknya orang yang tidak bersalah meskipun terhadap tersangka atau terdakwa dapat dilakukan upaya paksa yang dapat merampas kemerdekaannya. Maka dari itu, aparat penegak hukum sebelum melakukan upaya paksa harus memperhatikan hak-hak tersangka yang memiliki keluruhan harkat dan martabat sebagai manusia agar tidak dilanggar. Pada proses peradilan pidana perlindungan hak asasi manusia diwujudkan dengan diadakannya asas praduga tak bersalah yang memberikan perlindungan dari tindakan sewenangwenang dari aparat penegak hukum. Pengakuan asas praduga tak bersalah berhubungan erat dengan hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh penegak hukum. Konsekuensinya adalah tersangka atau terdakwa memiliki kedudukannya yang sama oleh aparat penegak hukum, oleh 213

karena itu hak-hak tersangka atau terdakwa juga harus dihormati dan dipenuhi oleh aparat penegak hukum. SIMPULAN 1. Pengakuan asas praduga tak bersalah dalam sistem peradilan sudah diatur dan dituangkan kedalam bentuk peraturan perundang-undangan. Asas praduga tak bersalah, merupakan asas yang menyatakan bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan kemuka pengadilan karena disangka telah melakukan tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas praduga tak bersalah berisikan norma atau aturan yang menjadi landasan terhadap aparat penegak hukum dalam melaksanakan kewenangannya memperlakukan tersangka layaknya orang tidak bersalah dan menempatkan kedudukan tersangka sama derajatnya dengan penegak hukum dan menjamin pemenuhan hak-hak tertentu yang telah diberikan oleh Undang-Undang agar terpenuhi. 2. Hak asasi manusia sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep negara hukum berimplikasi pada adanya pengakuan jaminan perlindungan terhadap hak asasi warga negaranya. Sebgai bentuk jaminan tersebut asas praduga tak bersalah yang merupakan perwujudan hak asasi manusia, untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia. Pada proses peradilan perlindungan hak asasi manusia diwujudkan dengan adanya asas praduga tak bersalah, yang mana pengakuan terhadap asas praduga tak bersalah memberikan perlindugan hak asasi tersangka atau terdakwa agar menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa sebagai makhluk yang memiliki keluruhan harkat dan martabat yang harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh penegak hukum sehingga hak asasi tersebut tidak dilangar. DAFTAR PUSTAKA Ali, Zainudin, H, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2005 Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011 Effendy, Marwan, Sistem Peradilan Pidana: Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta: Referensi, 2012 Gautama, Sugardo, Pengertian Negara Hukum, Bandung: Alumni, 1983 Harahap, M Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007 Husin, Kadrin, Penerapan Asas-asas Hukum dalam Pembentukan Hukum Nasional, Lampung: Makalah Seminar, 1998 Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Galia Indonesia, 2001 Kaligis, O.C, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung: Alumni, 2006 Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011 Lamintang, P.A.F dan Lamintang, Theo, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010 214

Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Yogyakarta: Gajah Madah, 2008 Mansyur, Kahar, Membina Akhlak dan Moral, Jakarta: Mulia, 1985 Rukmini, Mien, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Alumni, 2007 Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014 Reksodipoetro, Mardjono, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana Inonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004 Ranoemihardja, Atang, R, Hukum Acara Pidana Studi Perbangdingan HIR dengan KUHAP, Bandung: Tarsito, 2008 Satoto, Sukamto, Pengertian Eksistensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (mengenai peraturan dan tujuannya didalam Ilmu Hukum), Yogyakarta: Offset, 2004 Yudowidagdo, Hendrastanto, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 2006 Peraturan Perundang-Undangan Indonesia., Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 215