KAJIAN EPIGENETIK GEN GROWTH HORMONE (GH) MELALUI PENYUNTIKAN PMSG DAN HCG PADA TERNAK BABI UNTUK OPTIMASI PRODUKSI NONNY MANAMPIRING

dokumen-dokumen yang mirip
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Superovulasi terhadap Produksi Anak Babi

PRODUKSI BIBIT TERNAK BABI UNGGUL MELALUI PERBAIKAN LINGKUNGAN UTERUS INDUK SELAMA KEBUNTINGAN DEBBY JACQUELINE JOCHEBED RAYER

PENAMBAHAN DAUN KATUK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Jurnal Kajian Veteriner Desember 2015 Vol. 3 No. 2 : ISSN :

Performans Reproduksi Induk Babi yang Diovulasi Ganda dengan PMSG dan hcg sebelum Pengawinan. Abstrak

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi


KEMAMPUAN MENCIT SWISS WEBSTER BERSUPERKEHAMILAN DAN MEMELIHARA ANAKNYA

PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH

PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN KELINCI LEPAS SAPIH PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE SKRIPSI BADRI YUSUF

PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO

PENDAHULUAN Latar Belakang

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

Perbaikan Fenotipe Pertumbuhan Anak Babi Lokal Melalui Penyuntikan Gonadotropin Sebelum Induk Dikawinkan

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H

PROFIL METABOLIT HORMON ESTROGEN DAN PROGESTERON FESES SELAMA KEBUNTINGAN SERTA POLA KELAHIRAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) TESIS

SUPLEMENTASI SOMATOTROPIN UNTUK MEMPERBAIKI TAMPILAN FISIOLOGIS TIKUS BETINA USIA ENAM BULAN DAN SATU TAHUN NI WAYAN SUDATRI

SKRIPSI. PERFORMAN REPRODUKSI INDUK SAPI BALI PASCA SINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN (PGF 2α ) DAN HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN (hcg)

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH FOLIKEL YANG MENGALAMI OVULASI TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN DOMBA PADA BERAHI PERTAMA SETELAH PENYUNTIKAN PGF2,

PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

SKRIPSI TRESNA SARI PROGRAM STUD1 ILMU NUTFUSI DAN MAKAWAN TERNAK

OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ABSTRAK. Samuel Widodo, Pembimbing 1 : Khie Khiong, dr., S.Si., M.Si., M.Pharm.Sc., PhD., PA(K). Pembimbing 2 : Sijani Prahastuti, dr., M.Kes.

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

Pertumbuhan dan Perkembangan Uterus dan Plasenta Babi dengan Superovulasi. Growth and Development of the Uterus and Placenta of Superovulated Gilts

PERFORMANS BAKALAN YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK BABI YANG DIOVULASI GANDA DENGAN PMSG DAN hcg SEBELUM PENGAWINAN MIEN THEODORA ROSSESTHELLINDA LAPIAN

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

Peningkatan Produktivitas Domba pada Skala Peternakan Rakyat Melalui Pemberian Hormon Pregnant Mare Serum Gonadotrophin

SURAT PERNYATAAN. Y a n h e n d r i NIM. B

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

Penampilan Reproduksi Induk Babi Landrace yang Dipelihara Secara Intensif di Kabupaten Badung

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH NANAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

PROFIL KOLESTEROL DAN TRIGLISERIDA DARAH SERTA RESPON FISIOLOGIS TIKUS YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG SATE DAGING SAPI SKRIPSI ROHMAH RETNO WULANDARI

PENGARUH JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KINERJA ANAK DOMBA SAMPAI SAPIH. U. SURYADI Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT... PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN Growth Hormone PADA DOMBA EKOR TIPIS SUMATERA

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT

Fungsi tubuh diatur oleh dua sistem pengatur utama: Sistem hormonal/sistem endokrin Sistem saraf

KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN

PENDAHULUAN Latar belakang

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG GULAI DAGING DOMBA SKRIPSI ETIK PIRANTI APRIRIA

5 KINERJA REPRODUKSI

Kualitas Karkas Babi Potong yang Dilahirkan dari Induk yang Disuperovulasi Sebelum Pengawinan

PENGARUH JENIS SINKRONISASI DAN WAKTU PENYUNTIKAN PMSG TERHADAP KINERJA BERAHI PADA TERNAK KAMBING ERANAKAN ETAWAH DAN SAPERA

ABSTRAK PENELITIAN BERBASIS HIBAH UNGGULAN PERGURUAN TINGGI (U.P.T) TAHUN 2015

PROFIL TRIGLISERIDA DAN KOLESTEROL DARAH SERTA RESPON FISIOLOGIS TIKUS (Rattus novergicus) YANG DIBERI PAKAN SATE DAGING DOMBA

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DANKOMPONEN RAGAM SIFAT PERTUMBUHAN PADA BANGSA BABI YORKSHIRE

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

PERSENTASE KARKAS DAN KOMPONEN NON KARKAS KAMBING KACANG JANTAN AKIBAT PEMBERIAN PAKAN DENGAN KADAR PROTEIN DAN ENERGI YANG BERBEDA SKRIPSI.

Kata Kunci : Kelakai (Stenochlaena palustris), berat badan, panjang badan, kalsifikasi tulang femur, janin tikus wistar

PENGGUNAAN PROGESTERON SINTETIK PADA SAPI PERAH FRIES HOLLAND (FH) PENERIMA INSEMINASI BUATAN DAN DI EMBRIO SAPI MADURA

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

EFEK KOMBINASI EKSTRAK DAUN KATUK

PENGARUH TARAF PENAMBAHAN ZEOLIT DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA PRODUKSI MENCIT (Mus musculus) LEPAS SAPIH HASIL LITTER SIZE PERTAMA

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN KOMPONEN RAGAM SIFAT PERTUMBUHAN PADA BANGSA BABI LANDRACE

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH YANG BERBEDA SKRIPSI VINA MUHIBBAH

SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

Transkripsi:

KAJIAN EPIGENETIK GEN GROWTH HORMONE (GH) MELALUI PENYUNTIKAN PMSG DAN HCG PADA TERNAK BABI UNTUK OPTIMASI PRODUKSI NONNY MANAMPIRING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kajian Epigenetik Gen Growth Hormone (GH) Melalui Penyuntikan PMSG dan hcg pada Ternak Babi untuk Optimasi Produksi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Meret 2017 Nonny Manampiring NIM B161120021

RINGKASAN NONNY MANAMPIRING. Kajian Epigenetik Gen Growth Hormone (GH) Melalui Penyuntikan PMSG dan hcg pada Ternak Babi untuk Optimasi Produksi. Dibimbing oleh WASMEN MANALU, CECE SUMANTRI dan HERA MAHESHWARI. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang mempunyai kontribusi cukup tinggi dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi sebagian penduduk Indonesia. Ternak babi merupakan hewan politokus ialah hewan yang memiliki banyak anak dalam tiap kelahiran. Ternak babi juga cepat dalam meningkatkan populasinya, sehingga sangat potensial untuk dikembangbiakkan. Walaupun demikian, produksi ternak babi belum optimal dilihat dari rendahnya efisiensi produksi, yaitu tingginya kematian embrio selama masa kebuntingan dan kematian anak pada minggu pertama dilahirkan, tingginya keragaman jumlah anak, dan rendahnya bobot lahir anak. Rendahnya efisiensi produksi ternak sangat ditentukan oleh keberhasilan reproduksi. Anggapan utama karena ketidaksempurnaan lingkungan uterus dan faktor yang terkait dengan sistem reproduksi betina yaitu rendahnya rasio antara hormon-hormon kebuntingan (estrogen, progesteron dan laktogen plasenta). Berbagai langkah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas ternak babi, di antaranya melalui perbaikan kemampuan uterus dan plasenta dalam memediasi pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus melalui peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan terutama progesteron, estradiol dan faktor pertumbuhan. Sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan dapat ditingkatkan melalui peningkatan jumlah kelenjar penghasilnya atau melalui peningkatan aktivitas sintetik kelenjar yang ada dengan cara penyuntikan pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) dan human chorionic gonadotrophin (hcg) pada induk sebelum pengawinan. Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahapan dalam satu rangkaian penelitian untuk mengkaji epigenetik gen GH ternak babi untuk optimasi produksi. Penelitian tahap pertama bertujuan untuk mengetahui efek dari penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebelum pengawinan terhadap performa induk dan anak yang dilahirkan. Hewan percobaan yang digunakan adalah 32 ekor babi dara keturunan Landrace sebagai calon induk dan seluruh anak yang dihasilkannya. Hormon yang digunakan adalah PMSG dan hcg dengan dosis 600 IU per induk pada 16 ekor calon induk dan sisanya disuntik NaCl fisiologis. Penyeragaman berahi dilakukan dengan menyuntikkan prostaglandin (PGF2α). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebelum pengawinan dapat memperbaiki performa induk dan anak, dilihat dari rataan lama kebuntingan yang lebih cepat 4 hari (P<0.05), peningkatan konsentrasi hormon estradiol (P<0.05) dan progesteron (P>0.05), peningkatan bobot badan anak yang lahir hidup (P<0.05), panjang badan, tinggi tungkai, pertambahan bobot badan anak yang meningkat (P<0.05), serta mortalitas anak turun menjadi 13.26%. Penelitian ini membuktikan bahwa kondisi dalam rahim induk bisa mempengaruhi pertumbuhan anak saat masa prenatal, prasapih, bahkan sampai umur 150 hari. Penelitian tahap kedua bertujuan untuk mengkaji seberapa besar lingkungan uterus, melalui penyuntikan PMSG dan hcg pada induk mempengaruhi ekspresi

gen hormon pertumbuhan (Growth hormone, GH) pada hati dan pituitari anak babi serta korelasinya dengan pertumbuhan anak. Pertumbuhan dan perkembangan embrional sampai pertumbuhan anak setelah setelah lahir, salah satunya dikontrol oleh GH. GH dihasilkan dari lobus anterior pituitari otak, target utama GH adalah organ hati. Hewan percobaan yang digunakan adalah anak-anak dari induk yang disuntik PMSG dan hcg dan dari induk kontrol, masing-masing perlakuan 4 ekor anak berumur 100 hari, dari litter size 8 anak. Pengambilan mrna dari jaringan pituitari dan hati, dilakukan untuk melihat adanya perbedaan ekspresi gen GH anak dari induk yang diberi PMSG dan hcg dengan kelompok kontrol menggunakan quantitative Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (qrt-pcr), dengan gen housekeeping β-aktin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen GH terekspresi pada organ hati dan pituitari. Penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebelum pengawinan dapat meningkatkan ekspresi gen GH anak secara signifikan (P<0.05) pada hati, dan tidak signifikan pada pituitari (P>0.05). Penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebelum pengawinan berkorelasi positif dengan bobot anak usia 100 hari, rataan pertambahan bobot badan harian anak, persentase karkas, panjang badan dan tinggi tungkai pada anak usia 100 hari (P<0.05). Disimpulkan bahwa peningkatan pertumbuhan prenatal dan pertumbuhan postnatal anak babi yang lahir dari induk yang disuntik dengan PMSG dan hcg sebelum pengawinan dapat meningkatkan ekspresi gen GH. Ekspresi gen yang berbeda dalam penelitian ini disebabkan karena status metilasi DNA yang berbeda pula, karena penambahan gugus metil pada bagian CpG island di promoter gen GH. Berdasarkan penelitian sebelumnya, melalui pendekatan insilico dengan mengkaji ekspresi gen GH yang berbeda yang ditunjukan oleh anak babi dari induk yang diberi perlakuan penyuntikan PMSG dan hcg sebagai faktor lingkungan luar gen menjadi kajian epigenetik dalam penelitian ini. Penelitian tahap ketiga bertujuan untuk mengetahui efek dari penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebelum pengawinan terhadap bobot tubuh, karkas, dan bobot organ dalam tubuh anak. Pada tahap ketiga ini digunakan anak-anak babi dari tahap satu untuk dieuthanasia. Pada usia 150 hari, 8 anak babi dengan bobot badan yang sama yaitu sekitar 85 kg dipilih untuk dieuthanasia. Parameter yang diukur adalah bobot badan, bobot karkas, dan bobot organ dalam tubuh yaitu bobot otak, jantung, hati, ginjal, limpa, paru-paru, usus, ovarium, dan testis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak babi yang lahir dari induk yang disuntik dengan PMSG Dan hcg sebelum pengawinan memiliki bobot relatif karkas lebih tinggi dari kontrol (P<0,05), dan pada bobot organ dalam tubuh khususnya bobot absolut dan relatif dari usus lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (P<0,05). Selain itu, babi yang lahir dari induk yang disuntik dengan PMSG dan hcg sebelum pengawinan cenderung memiliki bobot absolut dan relatif organ lebih tinggi dibanding kontrol namun tidak signifikan (P>0,05) yaitu pada otak, jantung, hati, ginjal, limpa, dan paru-paru. Dapat disimpulkan bahwa kinerja pertumbuhan yang baik dari anak babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan didukung oleh pertumbuhan dan perkembangan organ tubuh (organogenesis) yang baik selama masa kehamilan yang akhirnya menunjang fungsi fisiologis yang lebih baik pada masa postnatal. Kata kunci: PMSG hcg, GH, performans induk, pertumbuhan anak, ekspresi gen.

SUMMARY NONNY MANAMPIRING. Epigenetic Study of Growth Hormone (GH) Gene Through the Injection of PMSG and hcg on Sows Prior to Mating for Optimized Production. Supervised by WASMEN MANALU, CECE SUMANTRI and HERA MAHESHWARI. Pigs is a kind of the livestock that has quite high contribution in producing animal protein for some residents of Indonesia. Pig is a politokus animal that has a lot of children in each birth. It is also quick in increasing the population, so that it is potential to be breed. However, the production of pigs is not optimal due to the low efficiency of production, because of the high rate mortality of the embryo during pregnancy and piglet mortality after birth, high diversity of the number of piglet, and low birth weight of piglets. Low efficiency production is largely determined by the success of reproduction. The main assumption is due to the imperfections uterine environment and factors related to the female reproductive system, that is the low ratio between pregnancy hormones (estrogen, progesterone and placental lactogen). Several methods are used to increase the productivity of sows, including by improving the ability of uterus and placenta in mediating the growth and development of the embryo and fetus through increased secretion of endogenous hormones of pregnancy, especially progesterone, estradiol and growth factors. The secretion of endogenous hormones of pregnancy can be increased by increasing the number of the producing glands or through increased synthetic activity of existing nodes by injection of pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) and human chorionic gonadotrophin (hcg) on sows prior to mating. This research was divided into three phases in a series of studies to examine epigenetic of GH gene in pigs for optimized production. The first phase of this study aims to determine the effect of injection of PMSG and hcg on sows prior to mating on the performance of the sows and piglet born. The experimental gilts used were Landrace that were divided into two groups: 1) gilts injected with physiological NaCl 0.90% solution as control, and 2) gilts injected with PMSG and hcg at a dose of 600 IU to increase endogenous secretions of pregnant hormones. Unification of estrus was performed by injecting prostaglandin (PGF2α). The results show that the injection of PMSG and hcg on sows prior to mating can improve the performance of sows and piglets, when it is seen from the average lenght of gestation time faster 4 days (P<0.05), increased concentration of the estradiol hormone (P<0.05) and progesterone (P>0.05), an increase piglets body weight (P<0.05), body length, leg height, body weight gain (P<0.05), as well as mortality rates in piglets decrease to 13.26%. This study proves that the sows uterine conditions can affect the growth of the piglets during the prenatal period, pre-weaning, even up to the age of 150 days. The second phase of this study aims to examine the effect of uterine environment through the injection of PMSG and hcg on sows prior to mating of the growth hormone (GH) gene expression in the liver and pituitary of the piglets born to gilts and their correlation with the growth performances. Growth and development are controlled by growth hormone (GH) gene. GH is produced from the anterior pituitary lobe of the brain, the main target of GH is the liver. The

experimental gilts used were Landrace from the first phase experiment that were divided into two groups: 1) gilts injected with physiological NaCl 0.90% solution as control, and 2) gilts injected with PMSG and hcg to increase endogenous secretions of pregnant hormones. The experimental gilts were maintained during pregnancy until parturition. At the age of 100 days postpartum, 8 piglets (4 piglets born to gilts injected with NaCl 0.90% as control and 4 piglets born to gilts injected with PMSG and hcg) were selected from the experimental piglets born in the same litter size of 8 and were euthanized for measurement of GH gene expression in the pituitary and liver. Messenger ribonucleic acid (mrna) was extracted from pituitary and liver tissue to observe differences in GH gene expression of piglets using real time quantitative Reverse Transcription- Polymerase Chain Reaction (qrt-pcr), with β-actin as a housekeeping gene. The results showed that GH gene expressed in the liver and pituitary. Piglets born to gilts injected with PMSG and hcg prior to mating had higher GH gene expression in the pituitary even though the increase was not statistically significant in the t-test analysis (P>0.05), and increase GH gene expression was significantly (P <0.05) in the liver. GH gene expression levels correlated with the average daily weight gain in piglets, the body weight, height and leg length in piglets age of 100 days. It is concluded that the improved prenatal growth and postnatal growth of piglets born to gilts injected with gonadotropin was associated with the increased expression of growth hormone gene. The different level of gene expression in this study due to differences in DNA methylation status, because of the addition of a methyl group at the CpG island in the promoter of GH gene. Based on previous research, through insilico approach by studying the different level of GH gene expressions shown by piglets from sows injected PMSG and hcg as external environmental gene factors is an epigenetic studies in this research. The third phase aims to determine the effect of injecting PMSG and hcg on sows prior to mating to the carcass weights, and the internal organs weight (the absolute and relative weights) of mature pigs born to gilts. The experimental gilts from the first phase study were maintained during pregnancy up to parturition and the born piglets were maintained up to 150 days post partum. At the age of 150 days, 8 pigs (4 pigs from each group) with similar body weights, around 85 kg, were selected for measurement of the weights of internal organs and carcass weight. Parameters measured were the body weight, carcass weight, and the weights of brain, heart, liver, kidney, spleen, lungs, intestine, ovary, and testis. The results showed that pigs born to gilts injected with PMSG dan hcg prior to mating had a higher relative weights of carcass (P<0.05), and higher absolute and relative weights of intestine compared to control (P<0.05). In addition, pigs born to gilts injected with PMSG dan hcg prior to mating tended to have higher (P>0.05) absolute and relative weights of brain, heart, liver, kidneys, spleen, and lungs compared to control. It is concluded that better performances of pigs born to gilts injected with gonadotropin prior to mating is supported by a better growth and development of body organs during pregnancy that support a better physiological functions during postnatal life. Keywords: PMSG hcg, GH, sows performance, piglets performance, gene expression.

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN EPIGENETIK GEN GROWTH HORMONE (GH) MELALUI PENYUNTIKAN PMSG DAN HCG PADA TERNAK BABI UNTUK OPTIMASI PRODUKSI NONNY MANAMPIRING Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Faal dan Khasiat Obat SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Asep Gunawan, SPt, MSc Dr drh Damiana Rita Ekastuti, MS Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Revolson A Mege, MSi Dr drh Damiana Rita Ekastuti, MS

Judul Disertasi Nama NIM : Kajian Epigenetik Gen Growth Hormone (GH) Melalui Penyuntikan PMSG dan HCG pada Ternak Babi untuk Optimasi Produksi : Nonny Manampiring : B161120021 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof Ir Wasmen Manalu, PhD Ketua Prof Dr Ir Cece Sumantri, MSc Anggota Dr drh Hera Maheshwari, MSc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Faal dan Khasiat Obat Dekan Sekolah Pascasarjana Prof Ir Wasmen Manalu, PhD Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 16 Februari 2017 Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-nya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak Januari 2015 sampai Agustus 2016. Judul yang dipilih dalam penelitian ini ialah kajian epigenetik gen growth hormone (GH) melalui penyuntikan PMSG dan hcg pada ternak babi untuk optimasi produksi. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada program studi Ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan banyak terima kasih kepada: 1. Komisi pembimbing Prof Ir Wasmen Manalu, Ph.D AIF, Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc dan Dr drh Hera Maheshwari, MSc yang selalu dengan sabar dan bijaksana memberikan arahan, bimbingan, saran, motivasi dan perhatian dalam menyelesaikan disertasi ini. 2. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Dekan beserta seluruh Dosen dan staf Fakultas Kedokteran Hewan yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi S3 di Program Studi Ilmu Faal dan Khasiat Obat. 3. Dr Asep Gunawan, SPt MSc dan Dr drh Damiana Rita Ekastuti, MS AIF atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi dalam ujian tertutup atas semua komentar, saran, kritikan dan arahan yang diberikan sangat membantu demi perbaikan penulisan disertasi ini. 4. Prof Dr Revolson A Mege, MSi dan Dr drh Damiana Rita Ekastuti, MS AIF atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi dalam ujian terbuka atas semua komentar, saran, kritikan dan arahan yang diberikan sangat membantu demi perbaikan penulisan disertasi ini. 5. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia atas beasiswa untuk studi S3 melalui Beasiswa Unggulan (BPPDN - BU 2012). 6. Kepala Laboratorium Genetika Molekuler Ternak Fakultas Peternakan IPB atas kesempatan yang diberikan untuk melaksanakan penelitian. 7. Teman-teman seperjuangan di LGMT yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian di Laboratorium, mbak Shelvi, mbak Isyana, mbak Nawal, mas Furkon, mas Saleh serta semua teman-teman ABGSci yang tidak bisa dituliskan semuanya, terima kasih atas kebersamaannya, semoga silaturahmi kita tetap terjalin. 8. Teman-teman mahasiswa program doktor dan magister IFO angkatan 2012 (Bapak La Ode Sumarlin, Ibu Friska Montolalu, Ibu Atin Supiyani) atas kebersamaannya selama menempuh studi, semoga silaturahmi kita tetap terjalin. 9. Teman-teman yang tinggal bersama di asrama mahasiswa Sam Ratulangi tahun 2012-2017 atas kebersamaan selama menempuh studi, semoga kekeluargaan kita tetap terjalin. 10. Bapak Ronald Kalalo, SPt sebagai pimpinan CV. Walian dan sebagai pemilik kandang peternakan babi yang digunakan dalam penelitian, yang telah memberikan kesempatan bagi kami dalam menggunakan fasilitas dan ternak

yang dimiliki untuk tujuan penelitian, serta kepada semua pegawai di kandang yang telah membatu selama penelitian. 11. Ucapan terima kasih disampaikan kepada orang tua, mami Ruth Pelealu SPd dan alm.papi Welly Manampiring, serta mertua, mami Magritce Parera dan papi James Wayong SE, kakak-kakak, ponakan dan seluruh keluarga atas semua doa, kasih sayang dan bantuannya. 12. Ucapan terima kasih kepada suami terkasih Reynold Wayong SH atas kesabaran, dorongan, bantuan, doa serta perhatian dan curahan kasih sayang. 13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas segala doa, bantuan dan dukungannya. Segala kritik dan saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaan tulisan ini sangat dihargai. Karya ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi berbagai pihak dalam rangka pengembangan teknologi ternak babi. Bogor, Maret 2017 Nonny Manampiring

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 5 Kebaruan Penelitian 5 Ruang Lingkup Penelitian 5 2 EFEK PENYUNTIKAN PMSG DAN HCG PADA INDUK BABI SEBELUM PENGAWINAN PADA PERFORMA INDUK DAN PERTUMBUHAN ANAK 7 Pendahuluan 7 Materi dan Metode 8 Hasil dan Pembahasan 9 Simpulan 22 3 EKSPRESI GEN GROWTH HORMONE (GH) ANAK BABI YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK YANG DISUNTIK PMSG DAN HCG SEBELUM PENGAWINAN 23 Pendahuluan 23 Materi dan Metode 25 Hasil dan Pembahasan 29 Simpulan 35 4 EFEK PENYUNTIKAN PMSG DAN HCG PADA INDUK BABI SEBELUM PENGAWINAN TERHADAP BOBOT KARKAS DAN ORGAN DALAM TUBUH ANAK 36 Pendahuluan 36 Materi dan Metode 38 Hasil dan Pembahasan 39 Simpulan 45 5 PEMBAHASAN UMUM 46 6 SIMPULAN DAN SARAN 50 DAFTAR PUSTAKA 51 LAMPIRAN 60 RIWAYAT HIDUP 61

DAFTAR TABEL 2.1 Rataan konsentrasi progesteron dan estradiol serum pada umur kebuntingan 5, 10, dan 15 minggu pada induk babi kontrol dan perlakuan penyuntikan PMSG-hCG sebelum pengawinan 10 2.2 Performans Performans reproduksi induk dan pertumbuhan anak babi yang dilahirkan oleh induk kontrol dan induk yang disuntik PMSG-hCG sebelum pengawinan 12 2.3 Pertumbuhan anak per litter size pada anak babi yang dilahirkan oleh induk kontrol dan induk yang disuntik PMSG-hCG pada litter size rendah, sedang, dan tinggi 19 3.1 Primer spesifik untuk gen GH dan β-aktin 28 3.2 penyuntikan NaCl fisiologis sebagai kontrol dan PMSG-hCG pada induk sebelum pengawinan pada pertumbuhan anak usia 100 hari 29 3.3 Ekspresi mrna gen GH pada pituitari dan hati anak babi yang dilahirkan oleh induk kontrol dan induk yang disuntik PMSG-hCG sebelum pengawinan 31 3.4 Korelasi antara level ekspresi gen GH dengan pertumbuhan anak 34 4.1 Bobot karkas anak babi yang dilahirkan oleh induk kontrol yang disuntik NaCl fisiologis dan PMSG hcg sebelum pengawinan 39 4.2 Bobot tubuh dan bobot organ dalam babi pada umur 150 hari pada babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl 0.9% sebagai kontrol dan induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan 41 4.3 Bobot relatif organ dalam babi pada umur 150 hari pada babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl 0.9% sebagai kontrol dan induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan 41 DAFTAR GAMBAR 1.1 Bagan alir penelitian 6 2.1 Kurva pertambahan bobot badan anak 21 3.1 Sekuens primer Gen GH (AY536527) dan β-aktin (DQ845171) 28 3.2 Perbandingan CT gen GH (target) dengan gen β-aktin (housekeeping gene): H1 sampai H8 adalah CT hati, P1 sampai P8 adalah CT pituitari 30 3.3 Level ekspresi gen GH (2 -ΔΔCt ) pada pituitari dan hati pada anak babi 32 DAFTAR LAMPIRAN 1 Komposisi bahan dan zat makanan dalam ransum induk 60 2 Komposisi bahan dan Kandungan Zat-zat Makanan Dalam Ransum untuk Anak Babi Umur 3-10 Minggu, Umur 11-18 minggu dan Babi penggemukan (>18 minggu) 60

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan bagian dari Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), yaitu suatu zona pasar bebas Asean. MEA memberikan peluang sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia, termasuk sektor peternakan, karena MEA mendorong pemerintah dan masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri, mengurangi impor, dan meningkatkan ekspor. Kenyataan saat ini, permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia ialah belum mampu memenuhi permintaan daging dalam negeri yang terus meningkat melebihi daya produksi nasional. Salah satu penyebabnya ialah kurangnya produksi karena rendahnya kemampuan induk ternak dalam menghasilkan jumlah anak dan atau bobot yang optimal. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut ialah dengan mengembangkan ternak yang dapat berproduksi dengan cepat dan memiliki tingkat prolifikasi yang tinggi, di antaranya ialah ternak babi. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang mempunyai kontribusi cukup tinggi dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi sebagian penduduk Indonesia. Ternak babi merupakan hewan politokus, yaitu hewan yang memiliki banyak anak dalam tiap kelahiran. Ternak babi juga cepat dalam meningkatkan populasinya sehingga sangat potensial untuk dikembangbiakkan (Ensminger 1991). Ternak babi dikembangkkan berdasarkan tujuan untuk memperoleh keuntungan dari penjualan stok dan bibit, babi sapihan, babi potong, atau hasil ternak babi. Ternak babi dan atau produk olahannya sangat potensial sebagai komoditas ekspor nasional. Pasar komoditas ini masih terbuka lebar ke berbagai negara, seperti Singapura dan Cina. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia, pada tahun 2015 Indonesia telah mengekspor ternak babi ke luar negeri dengan jumlah 28.145.599 kg dengan nilai USD 55,42 juta. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan ekspor babi hidup dari Indonesia ke Singapura pada Juli 2016 sebesar 11,61% menjadi USD 4.58 juta atau setara dengan Rp 59,54 miliar dari periode bulan sebelumnya sebesar USD 4,10 juta, dan jumlah ini terus meningkat sampai saat ini. Populasi ternak babi tertinggi pada tahun 2015 terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur, selanjutnya Sumatera Utara, Bali, Sulawesi Selatan, Papua, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Kepulauan Riau. Produksi ternak sangat ditentukan oleh keberhasilan reproduksi. Kenyataannya, produktivitas ternak babi masih belum optimal, dilihat dari rendahnya efisiensi produksi, yaitu tingginya kematian embrio selama masa kebuntingan, tingginya keragaman jumlah anak sekelahiran per induk, dan rendahnya bobot lahir anak-anak sekelahiran. Masalah rendahnya produktivitas selama kebuntingan merupakan akumulasi dari rendahnya tingkat pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan, serta rendahnya jumlah anak yang dapat bertahan hidup. Rendahnya efisiensi reproduksi disebabkan oleh ketidaksempurnaan lingkungan uterus dan faktor yang terkait dengan sistem reproduksi betina, yaitu rendahnya rasio antara hormon-hormon kebuntingan seperti estrogen, progesteron, dan laktogen plasenta. Hormon-hormon kebuntingan ini berperan dalam perangsangan dan pengaturan pertumbuhan dan

2 perkembangan uterus, plasenta, dan kelenjar susu (Manalu et al. 1998; Manalu dan Sumaryadi 1998). Faktor-faktor yang juga berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan ialah hormon-hormon pertumbuhan (Rothschild et al. 2007; Wilson dan Ford 2000). Berbagai langkah telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas induk babi, di antaranya perbaikan kemampuan uterus dan plasenta dalam memediasi pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus melalui peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan terutama progesteron, estrogen dan hormon pertumbuhan. Sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan dapat ditingkatkan melalui peningkatan jumlah kelenjar penghasilnya atau melalui peningkatan aktivitas sintetik kelenjar yang ada. Penyuntikan pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (hcg) pada induk telah terbukti dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, embrio dan fetus, bobot lahir, bobot sapih, keseragaman bobot anak per induk, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, dan produksi susu pada domba (Manalu et al. 1997; Manalu et al. 1998; Manalu et al. 2000), sapi (Sudjatmogo et al. 2001), dan kambing (Adriani et al. 2004). Mege (2006) melaporkan hasil superovulasi pada induk babi sebelum dikawinkan terbukti dapat memperbaiki produktivitas induk dan anak babi yang dilihat dari perbaikan performa induk serta pertumbuhan anak yang dilahirkan. Pertumbuhan dan perkembangan embrional sampai pertumbuhan anak setelah lahir dikontrol oleh beberapa hormon, di antaranya hormon pertumbuhan (Growth hormone, GH). Pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemidahan substansi sel-sel, peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu (Lawrence dan Fowler 2002). Pertumbuhan dikendalikan oleh beberapa gen, salah satu gen yang diduga merupakan gen utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah gen pengkode hormon pertumbuhan yang berperan dalam sekresi hormon pertumbuhan (Sutarno et al. 2005). GH pada babi disintesis dari 190 asam amino, lokasi gen GH terletak di kromosom 12 (Gene bank AY536527). Gen GH mempunyai peranan yang sangat penting pada proses reproduksi mamalia (Hull dan Harvey 2001; Khatib et al. 2008), pertumbuhan dan perkembangan sel hewan (Pierzchala et al. 2004), proses reproduksi, laktasi, dan pertumbuhan tubuh (Burton et al. 1994). Murphy et al. (2008) menyatakan bahwa gen hormon pertumbuhan sangat berperan penting dalam reproduksi, embriogenesis, dan pertumbuhan lainnya. GH dapat meningkatkan efisiensi produksi, pengurangan deposisi lemak, merangsang pertumbuhan otot dan tulang, serta meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (Etherton dan Bauman 1998). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gen hormon pertumbuhan secara signifikan berhubungan dengan variasi rataan pertumbuhan pada sapi (Sutarno et al. 1996) dan pertumbuhan serta karkas pada babi (Bižienė et al. 2011). Ekspresi gen atau sifat yang muncul (fenotipe) pada pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, faktor genetik, dan interaksi antara lingkungan dan genetik. Ekspresi gen adalah proses bagaimana informasi yang ada di dalam DNA bisa disalin melalui proses transkripsi menjadi RNA dan ditranslasikan menjadi protein. Perubahan fenotipe yang disebabkan oleh faktor lingkungan dari luar gen dapat diwariskan pada keturunannya (Hackett et al. 2013), dimana perubahan fenotipe yang disebabkan oleh faktor lingkungan dapat

menyebabkan perubahan genom, yaitu bentuk kompleks DNA dan protein berubah, tapi tidak mengubah susunan nukleotida DNA. Hal ini berdampak pada perubahan pengaturan kromatin yang mempengaruhi ekspresi gen, sehingga terjadi perubahan fisiologi dan perilaku (Hsieh dan Fischer 2005; Noor 2008), dan kejadian ini disebut dengan epigenetik. Epigenetik mencakup seluruh mekanisme yang menyebabkan perbedaan ekspresi gen. Pengaturan epigenetik ditentukan oleh metilasi DNA, modifikasi histon, dan ekspresi gen mrna. Perubahan dalam epigenetik tidak terjadi dalam DNA itu sendiri, melainkan terjadi pada lingkungan di sekitarnya. Enzim dan bahan kimia lain mempengaruhi molekul DNA untuk membuat protein atau selsel baru. Gen tidak berubah, namun beberapa gen diaktifkan atau dinonaktifkan sesuai dengan interaksi antara gen dan lingkungan (Holliday 2005). Meskipun kode genetik tidak berubah, ekspresi kode genetik tersebut bergantung pada faktor pemicu (lingkungan), seperti menajemen dan fasilitas pemeliharaan, stress, air, iklim, bahan kimia, diet atau nutrisi (selama kehamilan) yang berdampak pada anak yang dihasilkan. Beberapa penelitian sebelumnya telah mengkaji epigenetik yang terjadi pada ternak yang disebabkan oleh nutrisi, zat berbahaya seperti racun, dan agen penyebab infeksi pada hewan yang terpapar yang mempengaruhi ekspresi gen turunannya (Feeney et al. 2014). Metilasi dan demetilasi gen termasuk dalam mekanisme epigenetik, yaitu adanya penambahan gugus metil pada DNA (Allis et al. 2007). Berdasarkan struktur gen, sekuen gen GH memiliki daerah CpG island di bagian promoter (Illingworth et al. 2010), sebagai pengatur transkripsi yang berhubungan dengan pola metilasi seperti kejadian gene silencing (gen non aktif) maupun sebaliknya (Sellner et al. 2007). Perubahan pada daerah CpG island dapat merubah regulasi pola ekspresi gen. Feeney et al. (2014) melakukan penelitian epigenetik transgenerasi pada ternak babi jantan dengan diet tinggi mikronutrien yang membuktikan adanya metilasi DNA pada hati dan otot di generasi ke-2 (F2). Berdasarkan penelitian sebelumnya, melalui pendekatan insilico pada ekspresi gen (Murray et al. 2007), dengan mengkaji ekspresi gen GH pada anak babi yang diberi perlakuan penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebagai faktor lingkungan luar gen dapat menentukan adanya metilasi DNA, sebagai kajian epigenetik dalam penelitian ini. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian yang mengkaji pengaruh penyuntikan PMSG dan hcg pada fenotipe ternak babi, yaitu performa induk dan performa anak yang dihasilkan. Performa yang ditunjukkan oleh anak karena faktor interaksi gen dengan lingkungan (pemberian PMSG dan hcg) akan menjadi kajian morfologi dan genetik, dengan melihat ekspresi gen GH dan performa yang ditunjukkan pada anak-anak yang berasal dari induk yang disuntik dan yang tidak disuntik PMSG dan hcg. Diharapkan pada akhirnya produksi ternak babi akan optimal. 3 Perumusan Masalah Salah satu masalah mendasar dalam industri peternakan babi adalah rendahnya produktivitas ternak. Rendahnya produksi tidak hanya disebabkan oleh kehilangan konseptus selama kebuntingan dengan tingkat mortalitas mencapai

4 30% sampai 50%, tetapi juga oleh kehilangan anak pada periode prasapih dengan tingkat mortalitas anak yang mencapai 20%. Keberagaman jumlah dan bobot anak saat dilahirkan menjadi salah satu penyebab anak yang lahir dengan bobot rendah tidak mampu bersaing untuk mempertahankan hidupnya. Salah satu penyebabnya ialah ketidaksiapan lingkungan uterus dalam menyiapkan nutrisi melalui sekresi kelenjarnya. Peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan ini dapat dipacu dengan penggunaan hormon, seperti PMSG dan hcg. Perbaikan produktivitas induk dengan memberikan kondisi yang baik bagi pertumbuhan embrio dan fetus dalam kandungan akan memberikan dampak yang baik bagi performa anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya sampai usia dewasa. Berbagai upaya terus dilakukan dalam meningkatkan produktivitas ternak. Untuk itu, informasi tentang pengaruh faktor lingkungan pertumbuhan embrio dan fetus melalui penyuntikan PMSG dan hcg pada genetik anak, dalam hal ini adalah ekspresi gen GH, sangat dirasa penting guna menunjang usaha perbaikan produktivitas ternak babi. Performa induk dan pertumbuhan anak yang dihasilkan diteliti, sehingga pada akhirnya diharapkan produksi ternak akan optimal melalui penyuntikan PMSG dan hcg pada induk. Dengan demikian, diharapkan akan meningkatkan produktivitas induk yang dilihat dari sisi genetik (ekspresi gen GH) dan performa pertumbuhan anak-anak yang dilahirkan akibat penyuntikan hormon pada induk sebelum pengawinan yang berdampak sampai pada anak-anak yang dilahirkan. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan produksi ternak babi melalui penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebelum pengawinan, serta mengkaji ekspresi gen GH pada anak babi yang dilahirkan oleh induk disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis (kontrol). Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji pengaruh penyuntikan PMSG dan hcg pada induk babi sebelum pengawinan pada lama kebuntingan induk, pertumbuhan induk, litter size anak yang dilahirkan (lahir hidup, lahir mati, dan total lahir), serta profil estradiol dan progesteron pada induk bunting. 2. Mengkaji pengaruh penyuntikan PMSG dan hcg pada induk babi sebelum pengawinan pada pertumbuhan anak babi yang dilahirkan yaitu bobot dan dimensi tubuh pada saat baru lahir (0 hari), 21 hari, 50 hari, dan 150 hari, dan mortalitas anak. 3. Mengkaji pengaruh penyuntikan PMSG dan hcg pada induk babi sebelum pengawinan pada ekpresi gen GH pada jaringan pituitari dan hati pada anakanak yang dihasilkan serta korelasinya dengan pertumbuhan anak sebagai kajian epigenetik. 4. Mengkaji pengaruh penyuntikan PMSG dan hcg pada induk babi sebelum pengawinan pada bobot organ dalam tubuh (jantung, hati, ginjal, otak, paruparu, usus halus, usus besar, limpa, ovarium/testis), serta karkas babi.

5 Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan tentang kaitan fisiologis hormon reproduksi (melalui penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebelum pengawinan) dengan produksi ternak babi. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang hubungan antara penyuntikan PMSG dan hcg induk sebelum pengawinan pada ekspresi gen GH pada anak babi. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah dan peternak babi dalam upaya perbaikan reproduksi untuk mencapai produksi ternak babi yang optimal. Kebaruan Penelitian Belum ada penelitian tentang kajian epigenetik tertantang pada ternak babi, yaitu usaha perbaikan kualitas kebuntingan induk melalui penyuntikan PMSG dan hcg, yaitu kajian tentang ekspresi gen GH pada anak yang induknya disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan. Belum ada penelitian tentang efek penyuntikan induk dengan PMSG dan hcg sebelum pengawinan pada bobot organ dalam tubuh pada anak pada usia dewasa. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dan tahapan penelitian ini dapat dilihat dalam diagram alir penelitian pada Gambar 1.

6 Produktivitas rendah Optimasi produksi? 32 Induk babi Penyeragaman berahi dengan 16 induk disuntik PMSG+hCG dosis 600 IU 16 Induk disuntik NaCl fisiologis 0.9% kawin Induk bunting kawin - Lama kebuntingan - Bobot badan induk bunting - Litter size anak yang dilahirkan (lahir hidup, mati, dan total lahir) - Bobot badan dan dimensi tubuh saat lahir - Konsentrasi hormon estradiol - Konsentrasi hormon progesteron Anak babi LS rendah: 6-8 anak LS sedang: 9-11 anak LS tinggi: 12-14 anak - Bobot dan ukuran tubuh - Pertambahan bobot anak usia 21, 50dan 150 hari postpartum - Mortalitas prasapih Euthanasia - Bobot organ dalam tubuh - Karkas - Pertumbuhan Isolasi jaringan qrt-pcr KAJIAN EPIGENETIK Data ekspresi gen GH Gambar 1.1 Bagan alir penelitian

2 EFEK PENYUNTIKAN PMSG DAN HCG PADA INDUK BABI SEBELUM PENGAWINAN PADA PERFORMA INDUK DAN PERTUMBUHAN ANAK 7 Pendahuluan Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki kontribusi yang cukup tinggi dalam memenuhi kebutuhan protein hewani. Keunggulan ternak babi ialah mudah dipelihara dan merupakan ternak yang efisien dalam mengubah pakan menjadi daging. Ternak babi termasuk ternak politokus, yaitu ternak yang memiliki banyak anak dalam setiap kelahiran sehingga sangat potensial untuk dikembangbiakkan. Namun, produksi ternak sangat ditentukan oleh keberhasilan reproduksi. Kenyataannya, produktivitas ternak babi masih belum optimal, dilihat dari rendahnya efisiensi produksi, yaitu tingginya kematian embrio selama masa kebuntingan, tingginya keragaman jumlah anak sekelahiran per induk dan rendahnya bobot lahir anak-anak sekelahiran. Keberagaman jumlah dan bobot anak saat dilahirkan menjadi salah satu penyebab anak yang lahir dengan bobot rendah tidak mampu bersaing untuk mempertahankan hidupnya sehingga angka mortalitas anak meningkat. Kejadian tersebut mengurangi produksi anak babi per kelahiran per induk (Belstra et al. 1999). Rendahnya efisiensi reproduksi disebabkan oleh ketidaksempurnaan lingkungan uterus dalam menyiapkan nutrisi melalui sekresi kelenjarnya (Wu et al. 1988) dan faktor yang terkait dengan sistem reproduksi betina, yaitu rendahnya sekresi dan konsentrasi hormon-hormon kebuntingan seperti estrogen, progesteron, dan laktogen plasenta. Estradiol merupakan hormon estrogen yang bentuknya paling aktif dan kuat di antara estrogen lain, sehingga estradiol dianggap sebagai jenis utama dari hormon estrogen. Hormon-hormon kebuntingan ini berperan dalam perangsangan dan pengaturan pertumbuhan, di antaranya perkembangan uterus, plasenta, dan kelenjar susu (Manalu et al. 1998; Manalu dan Sumaryadi 1998). Berbagai langkah telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas induk babi, di antaranya melalui perbaikan kemampuan uterus dan plasenta dalam memediasi pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus melalui peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan, terutama progesteron dan estradiol. Sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan dapat ditingkatkan melalui peningkatan jumlah kelenjar penghasilnya atau melalui peningkatan aktivitas sintetik kelenjar yang ada. Penyuntikan pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (hcg) pada induk telah terbukti dapat meningkatkan sekresi hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, embrio, fetus, bobot lahir, dan bobot sapih, keseragaman bobot anak per induk, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu dan produksi susu pada domba (Manalu et al. 1997; Manalu et al. 1998; Manalu et al. 2000), sapi (Sudjatmogo et al. 2001), dan kambing (Adriani et al. 2004). Mege (2006) melaporkan hasil superovulasi pada induk babi sebelum dikawinkan terbukti dapat memperbaiki produktivitas induk dan anak babi yang dilihat dari perbaikan performa induk pada pertumbuhan anak yang dilahirkan. Perbaikan pertumbuhan ini masih terus

8 berlanjut sampai pada perbaikan kualitas karkas dan percepatan umur potong pada babi (Lapian et al. 2013). Perbaikan produktivitas pada induk dengan memberikan kondisi yang baik bagi pertumbuhan embrio dan fetus dalam kandungan akan memberikan dampak yang baik bagi performa anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut penelitian Bygren et al. (2014), kondisi dalam rahim induk bisa mempengaruhi kesehatan anak bukan saja ketika bayi, tapi sampai usia dewasa. Dengan demikian, diharapkan melalui penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebelum pengawinan akan meningkatkan produktivitas induk yang dilihat dari performa induk pada saat bunting, performa anak-anak yang dilahirkan, termasuk pertumbuhan dan mortalitas pada anak. Materi dan Metode Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan babi CV.Wailan yang berlokasi di Kecamatan Tomohon Utara, Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara. Analisis hormon dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB. Ternak yang digunakan adalah calon induk atau babi dara keturunan Landrace sebanyak 32 ekor dengan bobot badan berkisar 95 103 kg dan anak-anak yang dihasilkannya. Ternak babi keturunan Landrace dipilih karena babi keturunan Landrace memiliki pertumbuhan yang cepat dengan rataan konsumsi pakan harian relatif sama dengan ternak babi bangsa Yorkshire dan Duroc. Pakan yang berikan sama dan disesuaikan dengan pakan yang digunakan di perusahaan. Induk dipelihara di kandang individu dan diberi pakan pada pagi dan sore hari, air minum tersedia ad libitum. Hormon yang digunakan adalah pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (hcg) (PG 600, Intervet, Belanda) dengan dosis 600 IU per induk, dan untuk penyeragaman berahi digunakan Prostaglandin (PGF2α) (Lutalyse, Intervet, Belanda) 2 kali dengan interval waktu 14 hari. Pada penyuntikan PGF2α yang kedua, atau 3 hari sebelum berahi, dilakukan penyuntikan PMSG dan hcg secara intramuskuler pada 16 ekor induk, sedangkan kelompok kontrol, yaitu 16 induk disuntik dengan NaCl fisiologis. NaCl fisiologis 0.9% berperan sebagai kontrol pada perlakuan. Babi dara dalam penelitian ini dikawinkan pada berahi kedua setelah pubertas. Setelah babi menampakkan gejala berahi, pejantan dimasukkan ke dalam kandang untuk mengawini betina yang berahi. Calon induk babi dikawinkan pada hari kedua estrus dengan tanda-tanda vagina berwarna merah, mengeluarkan cairan yang cukup kental, dan bagian punggung bila ditekan babi hanya diam. Tanda-tanda ini menunjukkan bahwa babi percobaan siap menerima pejantan. Babi dikawinkan 2 kali yaitu pada pagi hari dan sore hari di hari yang sama. Pada tahapan ini, parameter yang diukur adalah bobot induk bunting pada hari ketika dikawinkan atau ketika perkiraan terjadi pembuahan dan pada hari ke 35, serta pengukuran lama kebuntingan dan litter size (jumlah anak dalam satu kelahiran dari tiap induk) yaitu litter size hidup lahir, mati lahir, dan total lahir. Sampel darah juga di ambil untuk menentukan konsentrasi hormon estradiol dan progesteron dalam darah dengan menggunakan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay, ELISA (DRG Instruments GmbH, Marburg, Jerman). Kisaran standard yang digunakan untuk penentuan konsentrasi estradiol mulai dari

0 sampai dengan 2000 ρg/ml, dan 0 sampai dengan 40 ηg/ml pada progesteron. Sampel darah diambil dari 26 ekor induk bunting umur 5, 10 dan 15 minggu dan dianalisis secara duplo. Darah diambil menggunakan venoject dan tabung vacutainer dari vena jugularis, kemudian dilakukan pemisahan komponen darah untuk pengambilan serum. Serum yang terpisah di simpan pada suhu -20 o C sampai waktu pengujian. Induk babi dipelihara sampai partus, dan pada tahap selanjutnya anak-anak yang dilahirkan ditandai dengan nomor dan dilakukan pengukuran bobot badan anak yang lahir hidup, panjang badan dan tinggi tungkai, pertambahan bobot badan anak pada usia 21, 50 dan 150 hari postpartum, dan mortalitas anak serta pertumbuhan anak per litter size. Pengukuran panjang tubuh dilakukan dengan cara mengukur dari bagian anterior vertebrae cervicales primum sampai tuber sacrale dengan menggunakan meteran. Mortalitas anak babi prasapih (%) diperoleh dengan menghitung jumlah anak yang mati dari seperindukan selama menyusui, kemudian dibagi dengan jumlah anak yang lahir hidup dan dikalikan dengan 100% (persentase mortalitas). Penelitian ini menggunakan uji t dengan dua sampel independen. Data pertumbuhan anak dari perbedaan litter size diolah menggunakan RAL dengan pola faktorial 2x3. Faktor pertama ialah dosis penyuntikan PMSG dan hcg dengan 2 level, yaitu 0 dan 600 IU. Faktor kedua ialah litter size yang terdiri atas 3 level, tinggi (12-14 ekor), sedang (9-11 ekor), dan rendah (6-8 ekor). Analisis data diolah dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 20. 9 Hasil dan Pembahasan Profil Hormon Estradiol dan Progesteron Konsentrasi hormon estradiol dan progesteron dalam darah induk pada umur kebuntingan 5, 10, dan 15 minggu pada induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan menunjukkan hasil yang berbeda dari induk yang disuntik dengan NaCl fisiologis. Perbedaan nilai pada kedua perlakuan menunjukkan bahwa penyuntikan PMSG dan hcg dapat meningkatkan konsentrasi hormon estradiol dan progesteron. Namun, dalam analisis statistik yang menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) hanya pada hormon estradiol, sedangkan pada hormon progesteron terjadi peningkatan namun tidak signifikan. Konsentrasi hormon estradiol pada induk yang disuntik PMSG dan hcg lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan induk yang disuntik NaCl fisiologis (Tabel 2.1). Peranan penyuntikan hormon PMSG dan hcg sebelum pengawinan diharapkan dapat menghasilkan folikel yang lebih banyak sehingga kadar estrogen di dalam darah induk menjadi lebih tinggi (Madyawati et al. 2002) karena hormon PMSG dan hcg mempunyai kemampuan yang baik dalam meningkatkan sintesis dan sekresi estradiol dan progesteron. Bila terjadi kebuntingan, hormon estradiol dan progesteron disekresikan oleh korpus luteum dan plasenta (Pickard dan Ashworth 1995) untuk mempersiapkan lingkungan uterus untuk implantasi, dan berperan dalam mempertahankan kebuntingan (Dunlap dan Stromshak 2004). Rataan konsentrasi hormon estradiol pada minggu ke 5, 10, dan 15 juga menunjukkan peningkatan nilai masing-masing, yaitu 36.31±1.197, 56.54±4.331,

10 dan 479.79±193.778 ρg/ml. Pada awal kebuntingan konsentrasi hormon ini sedikit, kemudian kadarnya mulai naik sampai pada akhir kebuntingan (Tabel 2.1). Pada akhir kebuntingan aktivitas estradiol dibutuhkan untuk relaksasi pelvis yang berfungsi untuk membuka saluran reproduksi agar fetus dapat keluar. Dengan demikian, estradiol dibutuhkan dalam konsentrasi tinggi pada akhir kebuntingan untuk membantu proses kelahiran. Tabel 2.1 Rataan konsentrasi progesteron dan estradiol serum pada umur kebuntingan 5, 10, dan 15 minggu pada induk babi kontrol dan perlakuan penyuntikan PMSG-hCG sebelum pengawinan Parameter Estradiol (ρg/ml) Progesteron (ηg/ml) Umur Kelompok Rataan bunting (minggu) Kontrol PMSG-hCG 5 34.19±1.702 a 38.42±0.900 b 36.31±1.197 10 48.68±3.150 a 64.41±6.918 b 56.54±4.331 15 236.50±107.95 a 723.09±341.91 b 479.79±193.78 5 27.92±3.600 30.73±2.457 29.32±2.086 10 32.91±3.739 35.89±2.523 34.54±2.121 15 26.89±1.637 34.65±6.597 30.77±3.500 Nilai dalam bentuk rataan±standard error; a,b Superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan secara nyata (P<0.05). Peningkatan estradiol berpengaruh pada konsentrasi progesteron karena hormon ini merupakan hormon luteotropik bagi korpus luteum. Estradiol terlibat dalam pertumbuhan dan peningkatan kemampuan fungsional korpus luteum agar tetap mensekresi progesteron melalui mekanisme biosintesis kolesterol (Niswender et al. 2000). Hormon progesteron adalah hormon yang dihasilkan oleh korpus luteum, dan juga didapati di adrenal, plasenta, dan testis. Secara umum progesteron bekerja pada jaringan yang telah dipersiapkan oleh estrogen. Menurut Hafez (1987), progesteron merupakan hormon kebuntingan karena aktivitas progesteron dapat menyebabkan penebalan endometrium uterus dan perkembangan kelenjar uterus dalam persiapan terjadinya implantasi embrio yang sudah dibuahi, dan menjaga kebuntingan (Niswender et al. 2000; Wilson dan Ford 2000). Progesteron menginduksi uterine milk protein (UTMP) yang diproduksi oleh uterus selama kebuntingan. Uterine milk protein adalah bagian dari embryotroph yaitu penyaluran nutrisi kepada embrio oleh plasenta (Khatib et al. 2007). Konsentrasi hormon progesteron meningkat pada pertengahan kebuntingan (Mege et al. 2006) dan menurun pada akhir kebuntingan. Hasil yang sama ditemukan pada penelitian ini di mana nilai rataan progesteron pada minggu ke 5, 10, dan 15 adalah 29.32±2.086, 34.54±2.121, 30.77±3.500 ηg/ml. Penurunan progesteron menjelang partus seperti ditampilkan ada Tabel 2.1, disebabkan oleh aktivitas kortisol yang biasanya meningkat menjelang partus kemudian merangsang prostaglandin untuk melakukan aksi luteolitik dan merangsang kontraksi miometrium bagi proses kelahiran (Currie dan Thorburn 1977). Penyuntikan PMSG dan hcg dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi estradiol dan progesteron untuk menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan

uterus untuk menyediakan lingkungan uterus dan plasenta yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus serta mempertahankan kebuntingan (Mege et al. 2006; Wilson dan Ford 2001; Dunlap dan Stromshak 2004). Progesteron dan estradiol, disamping meningkatkan ekspresi faktor-faktor perumbuhan epitel uterus, juga terlibat dalam proliferasi dan diferensiasi embrio (Geisert dan Schmitt 2002), merangsang sintesis, sirkulasi dan sekresi substrat (Vallet et al. 2002; Vallet et al. 2004) yang sangat esensial untuk meregulasi kelangsungan hidup dan perkembangan konseptus ternak mamalia. Jika terjadi ketidakseimbangan hormon-hormon kebuntingan dan faktor-faktor pertumbuhan sangat berpengaruh pada perbaikan lingkungan uterus, kelangsungan hidup, dan pertumbuhan embrio dan fetus serta jumlah anak sekelahiran (Sterle et al. 2003). 11 Lama Kebuntingan Lama kebuntingan adalah periode waktu dari mulai terjadinya fertilisasi sampai dengan kelahiran. Lama kebuntingan ternak babi dalam penelitian ini adalah 108-118 hari, dengan rataan 112.63±0.55 hari. Lama kebuntingan pada ternak babi telah banyak dilaporkan sebelumnya, seperti pada penelitian Lapian et al. (2013) rataan lama kebuntingan ternak babi adalah 112.76 hari, 114 hari (Purba et al. 2014; Asih 2003), dan 111-117 hari (Toelihere 1993). Lama kebuntingan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penyuntikan PMSG dan hcg dapat mempercepat waktu kebuntingan yaitu rataan lebih cepat 4 hari. Rataan lama kebuntingan pada perlakuan penyuntikan PMSG dan hcg adalah 110.38±0.50 hari sedangkan pada induk yang disuntik dengan NaCl fisiologis rataannya adalah 114.86±0.55 hari. Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). Lama kebuntingan yang lebih cepat pada induk yang disuntik PMSG dan hcg akan memberikan nilai ekonomis di peternakan karena jarak waktu untuk reproduksi selanjutnya menjadi lebih singkat. Beberapa faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan ternak, di antaranya ialah perbedaan bangsa babi, faktor fetus, ukuran dan jumlah anak yang dikandung, jenis kelamin anak, dan umur induk. Semakin tua umur induk, maka semakin lama periode kebuntingan. Penelitian ini menggunakan induk dengan umur yang sama sehingga perbedaan lama kebuntingan tidak disebabkan oleh umur induk. Semakin banyak jumlah anak yang dikandung (litter size) maka lama kebuntingan semakin pendek, begitu pula sebaliknya jumlah anak semakin sedikit lama kebuntingan semakin panjang. Hal ini disebabkan karena jumlah anak yang banyak maupun ukuran anak yang besar akan menyebabkan perkembangan uterus menjadi lebih cepat. Faktor lain yang mempengaruhi lama kebuntingan ialah faktor genetik, kekurangan gizi, penyakit, kelaparan, dan stress (Jainudeen dan Hafez 2000). Penelitian lainnya membuktikan bahwa lama kebuntingan induk dipengaruhi oleh jenis kelamin anak yang dikandung, banyaknya anak yang memiliki jenis kelamin betina memiliki waktu kebuntingan yang lebih cepat dibandingkan dengan jenis kelamin jantan yang cenderung lebih lama (Demural et al. 2007; Prasojo et al. 2008). Hasil menunjukan bahwa jumlah anak betina yang dikandung lebih banyak dibandingkan jantan pada induk yang disuntik PMSG dan hcg. Perbedaan lama kebuntingan pada penelitian ini terjadi karena penyuntikan PMSG dan hcg pada induk dapat memperbaiki kualitas lingkungan uterus babi

12 sebagai tempat pertumbuhan embrio ternak babi sehingga embrio bisa berkembang dengan baik karena lingkungan tumbuh embrio dan fetus yang baik (Mege et al. 2006). NaCl fisiologis pada penelitian ini berperan sebagai kontrol bagi perlakuan, tidak membawa dampak pada induk karena hanya berperan sebagai cairan isotonik. Tabel 2.2 Performans reproduksi induk dan pertumbuhan anak babi yang dilahirkan oleh induk kontrol dan induk yang disuntik PMSG-hCG sebelum pengawinan Parameter Kelompok Rataan Kontrol PMSG hcg Lama kebuntingan (hari) 114.86±0.55 B 110.38±0.50 A 112.63±0.55 BB awal induk bunting (kg) 98.75±0.60 98.63±0.66 98.69±0.44 BB induk 35 hari kebuntingan 117.63±0.76 118.06±0.76 117.84±0.60 (kg) Litter size hidup lahir (ekor) 8.81±0.36 9.69±0.35 9.25±0.26 Litter size mati lahir (ekor) 0.69±0.27 0.19±0.14 0.44±0.15 Litter size total lahir (ekor) 9.50±0.56 9.88±0.38 9.69±0.33 PBA lahir (cm) 20.58±0.15 A 21.56±0.10 B 21.07±0.12 TT depan (cm) 14.01±0.10 A 14.95±0.09 B 14.48±0.11 TT belakang (cm) 15.00±0.12 A 16.09±0.13 B 15.55±0.13 BL per ekor (kg/ekor) 1.27±0.01 A 1.35±0.02 B 1.31±0.01 BL per litter (kg/litter) 11.16±0.45 A 13.02±0.37 B 12.09±0.33 BB anak 150 hari (kg/ekor) 68.09±0.32 A 80.18±0.54 B 74.13±1.13 BB anak 150 hari (kg/litter) 599.09±23.09 A 776.49±28.11 B 687.79±2.40 PBA 150 hari (cm) 60.89±0.26 A 71.17±0.18 B 66.03±0.94 Mortalitas (%) 17.97±1.01 13.26±4.92 16.62±1.55 Nilai dalam bentuk rataan±standard error. A,B Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01); BB: Bobot badan, PBA: Panjang badan anak, TT: Tinggi tungkai, BL: Bobot lahir. Bobot Badan Induk Bunting Parameter bobot badan induk bunting dalam penelitian ini diukur pada hari ketika pembuahan terjadi dan pada hari ke-35 kebuntingan. Hasil menunjukkan bahwa pada awal kebuntingan, bobot badan induk adalah sama pada kelompok induk yang disuntik PMSG dan hcg dengan induk yang disuntik NaCl fisiologis dengan rataan 98.69 kg, yaitu masing-masing 98.75 kg dan 98.63 kg. Bobot badan induk pada awal kebuntingan ini menunjukkan bahwa induk yang digunakan dalam penelitian ini memiliki bobot yang sama. Pada umur kebuntingan 35 hari, induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan mempunyai bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan induk kontrol yang disuntik NaCl fisiologis. Rataan bobot induk bunting pada induk babi yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan ialah 118.06±0.76 kg dengan rentang 111 kg sampai 122 kg, sementara pada induk yang disuntik NaCl fisiologis ialah 117.63±0.76 kg

dengan rentang 113 sampai 125 kg. Perbedaan bobot badan pada usia kebuntingan 35 hari ini dalam analisis statistik tidak berbeda nyata (P>0.05). 13 Litter size Litter size anak dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga pengamatan, yaitu litter size hidup lahir, mati lahir, dan total lahir. Rataan litter size anak lahir hidup, lahir mati, dan total lahir pada induk babi yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan secara berturut-turut adalah 9.69±0.35, 0.19±0.14, dan 9.50±0.56 ekor, sedangkan pada induk yang disuntik NaCl fisiologis, rataan litter size anak lahir hidup, lahir mati, dan total lahir secara berturut-turut adalah 8.81±0.36, 0.69±0.27, dan 9.50±0.56 ekor. Hasil analisis statistik menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05). Perbedaan litter size yang tidak nyata antara perlakuan disebabkan karena keterbatasan uterus sebagai wadah tumbuh kembang anak pada masa prenatal pada ternak politokus, sehingga penambahan jumlah anak tidak signifikan dibandingkan dengan ternak monotokus. Pada ternak monotokus, dengan penyuntikan hormon gonadotropin pada ternak domba dilaporkan mampu meningkatkan litter size, bobot lahir, bobot prasapih, memperbaiki status kesehatan induk domba bunting, dan juga meningkatkan produksi susu induk (Manalu et al. 1998a; Manalu et al. 2000b; Andriyanto et al. 2013). Jumlah anak yang lahir hidup dalam penelitian ini adalah 8 sampai 12 ekor pada induk yang disuntik PMSG dan hcg, dan 6 sampai 11 ekor pada induk yang disuntik NaCl fisiologis. Litter size merupakan faktor yang menentukan tingkat keberhasilan suatu usaha peternakan babi. Pada beberapa peternakan yang menjual ternak babi sebagai bibit, jumlah anak yang lahir hidup lebih banyak akan memberikan keuntungan yang besar. Jumlah anak per kelahiran ini dipengaruhi oleh bangsa babi dan sudah berapa kali induk babi tersebut beranak (Millegres et al. 1983). Perbedaan litter size dalam penelitian ini walaupun tidak signifikan namun penyuntikan PMSG dan hcg dapat meningkatkan jumlah anak. Litter size antar perlakuan dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh periode kelahiran maupun berapa kali induk babi tersebut beranak karena penelitian ini menggunakan babi dara. Walaupun analisis statistik tidak berbeda nyata, babi dara yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan menunjukkan jumlah anak babi yang lahir mati lebih sedikit dibandingkan dengan induk dara yang disuntik dengan NaCl fisiologis. Hal ini disebabkan karena anak babi yang lahir dari induk yang disuntik NaCl fisiologis memiliki bobot badan yang beragam; ada yang tinggi dan ada yang rendah di bawah 900 g sehingga anak dengan bobot lahir rendah lahir dalam keadaan lemah. Persentase kematian pada ternak babi yang terjadi sebelum proses kelahiran ialah sekitar 10% dan pada proses kelahiran maupun setelah lahir bisa sampai 90% (Sihombing 2006). Sesuai dengan pengamatan di lapangan, beberapa anak yang lahir dan akhirnya mati diawali dengan tremor, suhu tubuh yang rendah, dan bobot badan yang rendah. Kematian umumnya terjadi pada saat lahir sampai 3 hari pascakelahiran. Anak babi yang akhirnya mati, ketika dilahirkan dengan bobot badan rendah, belum sanggup berdiri dan bersaing dengan anak-anak lain dalam mendapatkan susu induk sehingga butuh bantuan dari peternak untuk

14 penjagaan ekstra pada anak tersebut untuk mencegah kematian anak karena tidak sanggup bersaing. Total lahir anak dalam penelitian ini ialah 9.69±0.33 ekor, yaitu berkisar dari 6 sampai 14 ekor anak. Faktor yang mempengaruhi angka kelahiran adalah keadaan hormonal, makanan, dan cekaman atau stress selama kebuntingan induk (Stevenson dan Britt 1981). Pakan ternak babi yang digunakan adalah pakan jadi yang sudah memenuhi kebutuhan nutrisi induk bunting. Kondisi lingkungan sebagai sumber cekaman atau stress selama induk bunting adalah sama untuk kedua perlakuan, kecuali kondisi hormonal yang berbeda karena penyuntikan PMSG dan hcg. Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan pada ternak babi Landrace, jumlah anak yang dilahirkan pada setiap kelahiran adalah 8-12 ekor anak (Eusebio 1980), dengan rataan 10.94 ekor (Milagres et al. 1983), 9.69 ekor (Tumbelaka et al. 2007), atau 10.76 ekor (Lapian et al. 2013). Litter size total lahir dalam penelitian ini baik pada induk yang disuntik PMSG dan hcg maupun NaCl fisiologis menunjukkan jumlah anak yang lebih rendah dibanding dengan rataan litter size beberapa penelitian sebelumnya. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena induk yang digunakan dalam penelitian ini merupakan iduk baru pertama beranak. Sesuai dengan pernyataan dari Lawlor dan Lynch (2007) bahwa paritas pertama pada induk akan menghasilkan anak babi yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pada kelahiran kedua, yang jumlah anak babi yang dilahirkan semakin meningkat. Toelihere (1993) menyatakan bahwa besarnya litter size lahir bervariasi menurut tiap masa kelahiran pada induk yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh umur, varitas, lingkungan, dan kemampuan reproduksi tiap induk ternak babi. Semakin sering induk beranak, semakin besar litter size lahir, dan biasanya mencapai puncak pada kelahiran ketiga atau keempat kemudian stabil sampai kelahiran keenam atau ketujuh, selanjutnya terjadi penurunan secara bertahap. Dari total lahir anak yang dihasilkan memberikan gambaran bahwa induk memberikan respons yang baik terhadap pemberian PMSG dan hcg yang aktivitasnya mirip dengan kerja follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH), yaitu merangsang pertumbuhan folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen yang akan merangsang ovulasi dan perkembangan korpus luteum untuk menghasilkan ovum dan jumlah anak sekelahiran yang lebih banyak (Mege et al. 2007). Dimensi tubuh Dimensi tubuh anak lahir dalam penelitian ini meliputi pengukuran panjang badan anak lahir, pengukuran tinggi tungkai depan, dan tinggi tungkai belakang. Analisis statistik menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01) pada induk yang disuntik PMSG dan hcg dibandingkan dengan yang disuntik NaCl. Rataan panjang badan anak lahir adalah 21.56±0.10 cm pada anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg dan 20.58±0.15 cm pada anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis. Tabel 2.2 memperlihatkan bahwa anak babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis lebih pendek. Penyuntikan gonadotropin pada induk domba dan kambing sebelum pengawinan menghasilkan anak dengan badan yang lebih panjang dibandingkan

dengan anak yang dilahirkan induk kontrol (Manalu et al. 2000; Adriani et al. 2004). Perbedaan panjang badan ini disebabkan karena anak-anak yang dilahirkan telah tumbuh dengan baik, baik pada masa fetus maupun ketika dilahirkan. Perbedaan ini diduga karena efek penyuntikan PMSG dan hcg pada induk meningkatkan sekresi hormon estrogen dalam tubuh induk. Menurut penelitian Niswender et al. (2000) pada tikus dan kelinci, estrogen menstimulasi hipertropi dan mempertahankan sel-sel luteal selama kebuntingan. Tinggi tungkai depan pada penelitian ini adalah 14.95±0.09 cm pada anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg dan 14.01±0.10 cm pada anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis. Analisis statistik menunjukkan perbedaan sangat nyata antara kedua perlakuan. Penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebelum pengawinan dapat meningkatkan panjang badan anak yang lahir. Tinggi tungkai depan anak berbanding lurus dengan panjang tubuh anak. Perbaikan reproduksi induk yang berdampak pada dimensi tubuh anak yang dilahirkan disebabkan karena induk babi yang disuntik PMSG dan hcg mampu meningkatkan sekresi endogen hormon kebuntingan, terutama estradiol dan progesteron sehingga uterus berfungsi secara optimal dan memberikan lingkungan yang optimum sebagai tempat tubuh kembang fetus. Dengan demikian, anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg tumbuh lebih baik dan memiliki dimensi tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis sebagai kontrol. Pertumbuhan tulang yang baik diharapkan dapat menopang tubuh ternak dan menjadi parameter pertambahan panjang dan tinggi ternak Perbaikan dimensi tubuh juga terlihat pada tinggi tungkai belakang anak. Penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebelum pengawinan mampu memperbaiki rataan tinggi tungkai belakang anak yang dilahirkan, yaitu 16.09±0.13, sedangkan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis tinggi tungkai belakangnya ialah 15.00±0.12. Hal ini sesuai dengan penelitian Manalu et al. (1996), Manalu dan Sumaryadi (1998), Adriani et al. (2004), dan Lapian et al. (2013) bahwa anak domba, kambing, babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik gonadotrotophin sebelum pengawinan akan meningkatkan ekspresi genotipe pertumbuhan (dimensi tubuh ternak). Hal ini disebabkan karena estrogen merangsang hipertropi dan hiperplasia endometrium dan miometrium akibatnya ukuran uterus bertambah dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum pubertas. Sebaliknya, kekurangan estrogen menyebabkan aktivitas osteoblastik, matris tulang, dan deposit kalsium dan fosfor berkurang sehingga tulang tidak tumbuh maksimal. Pada penelitian ini, tinggi tungkai belakang berbanding lurus dengan tinggi tungkai depan dan panjang badan anak. 15 Bobot badan anak lahir Pengamatan bobot badan anak yang lahir dibagi menjadi dua, yaitu bobot badan anak per ekor dan bobot badan anak per litter size. Menurut Pond dan Maner (1974) anak babi yang mempunyai bobot badan rendah erat hubungan dengan ketahanan hidup. Anak babi yang lahir umumnya mempunyai bobot badan tidak seragam, yaitu ada yang mempunyai bobot badan yang tinggi, ada yang

16 rendah. Bobot lahir dapat mempengaruhi ketahanan hidup anak babi setelah lahir. Anak babi yang dilahirkan dengan bobot badan yang tinggi dapat kesempatan hidup sampai disapih. Sebaliknya, anak yang mempunyai bobot badan rendah kemungkinan tidak akan bertahan hidup. Hal ini disebabkan oleh persaingan dalam menyusu antaranak babi itu sendiri. Anak babi yang mempunyai bobot badan tinggi lebih mendapatkan kesempatan untuk memperoleh air susu dibandingkan dengan anak dengan bobot badan rendah. Secara keseluruhan bobot badan anak yang lahir per ekor dalam penelitian ini memiliki rataan 1.31±0.02 kg. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dari Sihombing (1997) bahwa bobot lahir anak bervariasi antara 1.09-1.77 kg. De Borsotti et al. (1982) menyatakan bahwa bobot lahir anak babi dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain genetik, frekuensi induk babi beranak (parity), umur induk, bangsa induk, dan jumlah anak babi seperindukan pada waktu lahir (litter size). Rataan total bobot lahir per litter size adalah 12.09±0.33 kg. Total bobot lahir per litter size adalah penjumlahan total masing-masing anak dari tiap induk. Bobot lahir anak per ekor menunjukkan perbedaan sangat nyata dalam analisis statistik (P<0.01). Anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan memiliki bobot lahir yang lebih tinggi (1.35±0.02 kg) dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis (1.27±0.01 kg). Bobot lahir anak babi berhubungan erat dengan litter size anak babi dan berdasarkan hasil penelitian, litter size mempengaruhi bobot lahir anak babi. Anak babi dari litter size tinggi memiliki bobot lahir yang lebih rendah dan beragam, sebaliknya anak babi dari liter size rendah memiliki bobot badan yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Gordon (2008) yang menyatakan bahwa jumlah anak sekelahiran sedikit akan meningkatkan bobot lahir, begitu juga sebaliknya anak babi yang dilahirkan dalam jumlah yang banyak akan menurunkan bobot lahir. Anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan memiliki rataan total bobot badan per litter 12.09±0.33 kg dan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis memiliki total bobot badan per litter 11.16±0.45 kg. Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01), yaitu penyuntikan induk dengan PMSG dan hcg sebelum pengawinan memperbaiki kualitas kebuntingan induk. Perbaikan kualitas kebuntingan dengan perbaikan lingkungan uterus melalui sekresi hormon kebuntingan, baik estradiol maupun progesteron dan faktor-faktor pertumbuhan, pada gilirannya akan sangat menentukan kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan konseptus sejak praimplantasi sampai menjelang kelahiran (Carson et al. 2000), serta pertumbuhan dan perkembangan intrauterus (Valet et al. 2000) dan pada pemeliharaan fetus untuk memfasilitasi sirkulasi substrat dari induk ke anak karena lapisan dinding rahim menjadi kaya pembuluh darah dan banyak muara kelenjar selaput rahim yang terbuka dan aktif (Wilson et al. 1999). Konsentrasi progesteron dan estradiol ini berkorelasi positif dengan peningkatan bobot uterus, bobot fetus dalam kandungan, dan bobot anak saat lahir (Manalu dan Sumaryadi 1999; Mege et al. 2007).

17 Pertumbuhan Anak Pertumbuhan anak dapat diukur dari bobot dan dimensi tubuh anak dalam selang waktu tertentu. Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah ukuran atau dimensi tingkat sel organ maupun individu yang dapat diukur dengan bobot, ukuran panjang, umur tulang, dan keseimbangan metabolik. Pertumbuhan secara umum diketahui dengan mengukur kenaikan bobot badan, yang dengan mudah dapat dilakukan dengan penimbangan berulang-ulang (Murtidjo 1990). Perkembangan anak babi sangat bergantung pada kemampuan anak babi tersebut mengkonsumsi air susu pada induk babi selama laktasi. Biasanya, faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan adalah produksi air susu induk, jumlah anak yang dilahirkan, pemeliharaan induk yang sedang menyusui, kualitas ransum yang diberikan, dan keturunan/genetik ternak babi itu sendiri. Pada penelitian ini, pertumbuhan anak diukur pada bobot dan panjang badan anak pada umur 150 hari. Rataan bobot badan anak per ekor setelah umur 150 hari ialah 74.13±1.13 kg. Anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan memiliki bobot badan 80.18±0.54 kg pada umur 150 hari, sedangkan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis hanya 68.09±0.32 kg pada umur 150 hari. Analisis statistik menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). Demikian juga dengan total bobot badan anak per litter size, yaitu 776.49±28.11 kg pada induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan, sedangkan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis hanya 599.09±23.09 kg. Perbedaan bobot badan anak pada usia 150 hari ini merupakan akumulasi pengaruh bobot lahir anak. Bobot lahir akan mempengaruhi penampilan ternak babi sampai pada penyapihan. Manajemen pada kandang penelitian yang digunakan menggunakan bobot badan sebagai dasar penjualan ternak babi selain sebagai bibit, yaitu ketika ternak babi tersebut telah memiliki bobot di atas 90 kg. Pada penelitian ini, bobot 90 kg dicapai oleh beberapa ekor anak babi percobaan pada usia 175 hari atau 25 minggu pada anak babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan. Pertambahan bobot badan dalam penelitian ini lebih cepat jika dibandingkan dengan pendapat Whittemore (1980) yang menyatakan bahwa pada umur 28 minggu bobot badan mencapai 95 kg. Pencapaian bobot 90 kilogram yang lebih cepat pada anak yang dihasilkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan berkaitan dengan peningkatan sekresi estradiol dan progesteron pada awal kebuntingkan yang merupakan sinyal pembuka kunci bagi diferensiasi embrio dalam kandungan, yang mempunyai efek pada program pertumbuhan dan perkembangan prenatal dalam kandungan (Mege et al. 2007) yang akhirnya secara permanen sebagai sifat yang diwariskan kepada anak sampai periode berikutnya (Dziuk 1992; Gillespie dan James 1998) yang berkaitan dengan kejadian epigenetik. Panjang badan anak pada umur 150 hari pada anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan ialah 71.17±0.18 cm, sementara pada anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis hanya 60.89±0.26 cm. Analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan penyuntikan PMSG dan hcg berpengaruh sangat nyata pada panjang badan anak babi pada usia 150 hari. Panjang anak babi ini berhubungan erat dengan bobot

18 badannya dan peningkatan raatan tinggi badan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyuntikan PMSG dan hcg pada induk babi sebelum pengawinan dapat meningkatkan pertumbuhan anak baik pada saat sebelum lahir, yang ditunjukkan oleh bobot lahir, maupun pertumbuhan pascalahir sampai pada umur 150 hari. Hasil penelitian ini menguatkan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Penyuntikan hormon gonadotropin dapat meningkatkan sekresi hormon estradiol dan progesteron yang disertai dengan peningkatan jumlah anak serta ekspresi gen pertumbuhan, yang ditunjukkan oleh pertambahan nilai bobot badan dan dimensi tubuh (Manalu et al. 1997; Sumaryadi dan Manalu 2000). Peningkatan sekresi endogen hormon kebuntingan dan faktor pertumbuhan sangat penting dalam perangsangan laju pertumbuhan sejak diferensiasi sel jaringan embrio, dan memperbaiki bobot lahir, serta laju pertumbuhan prasapih, yang merupakan salah satu strategi yang potensial dalam memperbaiki kuantitas dan kualitas produksi ternak babi. Menurut pendapat Bygren et al. (2014) kondisi dalam rahim induk bisa mempengaruhi kesehatan anak bukan saja ketika bayi, tapi sampai usia dewasa. Mortalitas Rataan angka mortalitas anak babi pada masa prasapih dalam penelitian ini ialah 16.62±1.55%. Menurut Sihombing (2006) mortalitas pada babi sekitar 20-25%, demikian juga penelitian Lapian et al. (2013) angka mortalitas pada babi adalah 20.78%. Data pada penelitian ini menunjukkan angka mortalitas yang lebih rendah dibanding beberapa penelitian sebelumnya, hal ini disebabkan karena kandang tempat penelitian sudah memiliki manajemen yang baik. Mortalitas anak babi berhubungan dengan bobot lahir anak babi. Anak babi dengan bobot lahir yang tinggi akan mempunyai daya tahan hidup yang semakin baik. Eusebio (1980) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot lahir anak babi maka daya tahan tubuh akan semakin meningkat dan anak babi mempunyai kesempatan yang besar untuk bertahan hidup. Penurunan rasio antara hormon-hormon kebuntingan dapat menyebabkan peningkatan kematian embrional, juga penurunan pertumbuhan prenatal dan bobot lahir, dan meningkatkan mortalitas selama prasapih, terutama terjadi pada minggu pertama setelah lahir. Anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg sebelum pengawinan menunjukkan mortalitas sebesar 13.26±4.92%, sedangkan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis mempunyai mortalitas sebesar 17.97±1.01%. Hasil ini menunjukkan bahwa penyuntikan induk dengan PMSG dan hcg sebelum pengawinan menurunkan angka mortalitas pada anak. Pertumbuhan anak per litter size Pertambahan bobot badan anak dalam penelitian ini terbagi menjadi bobot badan anak pada umur 21 hari per litter size, 50 hari per litter size, 150 hari per litter size, dan pertambahan bobot badan anak serta rataan pertambahan bobot badan sampai usia 150 hari. Ternak diambil beberapa sampel dari litter size yang berbeda, yaitu litter size rendah (6-8 anak), sedang (9-11 anak), dan tinggi (12-14 anak). Ternak babi memiliki 3 fase pertumbuhan, yaitu starter, grower, dan

finisher. Fase starter adalah fase ketika pertumbuhan anak bergantung pada kecukupan kuantitas dan kualitas susu induk. Fase grower adalah saat pertumbuhan babi yang paling cepat dan merupakan fase yang paling efisien dalam mengkonversi makanan menjadi daging. Babi pada periode grower memiliki bobot rata-rata 35 kg hingga mencapai bobot badan 60 kg. Periode grower merupakan periode yang harus diperhatikan akan kebutuhan zat makanannya, dan ransum yang bermutu tinggi adalah salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi performans babi grower. Tabel 2.3 Pertumbuhan anak per litter size pada anak babi yang dilahirkan oleh induk kontrol dan induk yang disuntik PMSG-hCG pada litter size rendah, sedang, dan tinggi Parameter Kelompok Litter size Rendah (6-8 ekor) (n=8) Sedang (9-11 ekor) (n=8) BBA lahir (kg) BBA 21 hari (kg) PBBA 0-21 hari (kg) RPBBH 0-21 hari (kg/hari) BBA 50 hari (kg) BBA 150 hari (kg) PBBA 22-150 hari (kg) RPBBH 21-150 (kg/hari) RPBBH (kg/hari) Tinggi (12-14 ekor) (n=4) Kontrol 1.24±0.058 A 1.21±0.055 A - PMSG hcg 1.47±0.044 B 1.39±0.030 B 1.38±0.032 Rataan 1.35±0.048 1.30±0.041 1.38±0.032 Kontrol 4.53±0.158 4.43±0.087 - PMSG hcg 5.45±0.426 5.35±0.445 5.18±0.085 Rataan 4.99±0.257 4.89±0.256 5.18±0.085 Kontrol 3.29±0.127 3.23±0.113 - PMSG hcg 3.98±0.392 3.96±0.429 3.80±0.084 Rataan 3.64±0.222 3.59±0.239 3.80±0.084 Kontrol 0.16±0.006 0.15±0.005 - PMSG hcg 0.19±0.019 0.19±0.020 0.18±0.004 Rataan 0.17±0.011 0.17±0.011 0.18±0.004 Kontrol 9.35±0.167 A 9.27±0.106 A - PMSG hcg 12.72±0.940 B 12.38±0.924 B 12.25±0.323 Rataan 11.03±0.682 10.83±0.646 12.25±0.323 Kontrol 68.33±0.760 A 67.75±1.296 A - PMSG hcg 82.97±1.197 B 81.75±1.424 B 80.38±1.068 Rataan 75.65±2.307 74.75±2.302 80.38±1.068 Kontrol 63.80±0.717 A 63.32±1.345 A - PMSG hcg 77.52±0.828 B 76.40±1.081 B 75.20±1.021 Rataan 70.66±2.133 69.86±2.137 75.20±1.021 Kontrol 0.499±0.0064 A 0.495±0.0105 A - PMSG hcg 0.606±0.0056 B 0.597±0.0085 B 0.588±0.0079 Rataan 0.552±0.0167 0.546±0.0167 0.588±0.0079 Kontrol 0.45±0.005 A 0.44±0.008 A - PMSG hcg 0.54±0.008 B 0.54±0.009 B 0.53±0.007 Rataan 0.50±0.015 0.49±0.015 0.53±0.007 Nilai dalam rataan±standard error, BBA = Bobot badan anak, PBBA = Pertambahan bobot badan anak, RPBBH = Rataan pertambahan bobot badan harian; A,B superskrip yang berbeda pada lajur yang sama di setiap parameter menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01) 19

20 Bobot badan pada umur 21 hari pada anak babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis dalam penelitian ini ialah 4.53±0.158 kg pada litter size rendah (6-8 anak), 4.43±0.087 kg pada litter size sedang (9-11 anak), dan tidak ada anak babi pada litter size tinggi (12-14 anak). Sementara itu, bobot badan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg ialah 5.45±0.426 kg pada litter size rendah (6-8 anak), 5.35±0.445 kg pada litter size sedang (9-11 anak), dan 5.18±0.085 kg pada litter size tinggi (12-14 anak). Rataan bobot badan anak saat dipisahkan dari induknya (disapih) ialah 4.98 kg. Bobot sapih tersebut termasuk bobot badan sapih yang rendah karena menurut rekomendasi NRC (1998) bobot sapih per ekor adalah sekitar 13-18 kg dengan waktu 35-42 hari. Berdasarkan data pertumbuhan anak pada penelitian ini dapat dilihat bahwa walaupun anak disapih lebih awal, anak-anak babi percobaan mampu bertahan hidup. Pertambahan bobot badan anak per litter size pada umur 21 hari menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi walaupun tidak nyata (P>0.05) pada anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis. Hal ini menunjukkan bahwa anak dengan bobot lahir yang tinggi memiliki pertambahan bobot badan lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki bobot lahir rendah. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penyuntikan induk dengan PMSG dan hcg sebelum pengawinan sangat nyata (P<0.01) memperbaiki bobot badan anak pada usia 50 hari, sedangkan pada litter size lahir (rendah, sedang, tinggi) dan interaksi keduanya tidak nyata. Anak dengan litter size rendah memiliki rataan bobot badan anak pada usia 50 hari sebesar 11.12±2.14 kg yang lebih rendah jika dibandingkan dengan rekomendasi dari NRC (1998) yang menyatakan bahwa bobot 13-18 kg dicapai pada umur 35-42 hari. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena pada usia tersebut anak masih dalam tahap penyesuaian diri dengan pakan yang baru sejak dipisah dari induknya. Pada penelitian ini, anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis pada umur 150 hari memiliki bobot badan 68.33±0.760 kg pada litter size rendah, 67.75±1.296 kg pada litter size sedang, dan tidak ada anak babi pada litter size tinggi. Sementara itu, bobot badan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg ialah 82.97±1.197 kg pada litter size rendah, 81.75±1.424 kg pada litter size sedang, dan 80.38±1.068 kg pada litter size tinggi. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penyuntikan induk dengan PMSG dan hcg sebelum pengawinan sangat nyata memperbaiki bobot badan anak pada usia 150 hari (P<0.01), sedangkan litter size lahir dan interaksi keduanya menunjukkan perbedaan nilai, namun tidak nyata. Rataan perbedaan bobot tubuh anak pada usia 150 hari ini sangat jelas, yaitu 68.33±0.760 kg pada anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis, sedangkan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg adalah 82.97±1.197 kg. Rataan selisih bobot badan anak pada usia 150 hari antara perlakuan ialah sekitar 11-13 kg. Selisih bobot badan tersebut tentu akan membawa keuntungan yang besar bagi sebuah peternakan. Rataan pertambahan bobot badan harian anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis ialah 0.45±0.005 kg/ekor/hari pada litter size rendah, 0.44±0.008 kg/ekor/hari pada litter size sedang, sedangkan pada anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg memiliki rataan pertambahan

bobot badan harian 0.54±0.008 kg/ekor/hari pada litter size rendah, 0.54±0.009 kg/ekor/hari pada litter size sedang, dan 0.53±0.007 kg/ekor/hari pada litter size tinggi. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penyuntikan induk dengan PMSG dan hcg sebelum pengawinan secara sangat nyata (P<0.01) memperbaiki pertambahan bobot badan harian anak. Rataan pertambahan bobot badan harian anak saat masih menyusu pada induk yang disuntik NaCl fisiologis sebelum pengawinan ialah 0.16±0.006 kg/ekor/hari pada litter size rendah dan 0.15±0.005 kg/ekor/hari pada litter size sedang. Sementara itu, anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg memiliki rataan pertambahan bobot badan harian sebesar 0.19±0.019 kg/ekor/hari pada litter size rendah, 0.19±0.020 kg/ekor/hari pada litter size sedang, dan 0.18±0.004 kg/ekor/hari pada litter size tinggi. Sementara itu, rataan pertambahan bobot badan harian anak pada usia 22 sampai 150 hari, yaitu saat anak tidak lagi bergantung pada susu induk atau lepas sapih, namun telah mengkonsumsi pakan jadi dari peternakan. Rataan pertambahan bobot badan anak dari umur 22 hari sampai 150 hari pada anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis lebih rendah dibanding dengan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg. Pola pertumbuhan anak babi percobaan dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pertambahan bobot badan harian anak di bawah usia 21 hari sangat bergantung pada susu induk, genetik, kondisi kebuntingan, dan lingkungan, sedangkan pada anak babi lepas sapih sangat bergantung pada ransum (nutrisi) yang diberikan. Hasil pengamatan pada Tabel 2.3 memperlihatkan rataan umum pertambahan bobot badan anak harian. Pertambahan bobot badan harian anak babi yang dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg lebih tinggi 0.11 kg/ekor/hari dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis. 21 PMSG hcg Kontrol 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 0 H A R I 2 1 H A R I 5 0 H A R I 1 0 0 H A R I 1 5 0 H A R I Gambar 2.1 Kurva pertambahan bobot badan anak Manalu dan Sumaryadi (1999) serta Mege (2006) menyatakan bahwa superovulasi dengan pemberian hormon gonadotropin pada induk dapat meningkatkan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan yang meyebabkan pertumbuhan uterus, embrio, dan fetus, bobot lahir dan bobot sapih yang lebih tinggi, yang dengan demikian berdampak pada perbaikan pertambahan bobot badan harian anak. Selain mempercepat usia mencapai bobot potong, penyuntikan gonadotropin pada induk dapat menghemat konsumsi ransum harian dengan pertambahan bobot badan yang meningkat atau lebih efisien dalam penggunaan ransum (Lapian et al. 2013). Perbedaan-perbedaan dalam pertumbuhan anak yang

22 dilahirkan oleh induk yang disuntik PMSG dan hcg menyebabkan peningkatan pertumbuhan anak. Perbedaan tersebut memberi gambaran bahwa adanya pengaruh hormon yang sama fungsinya dengan hormon LH dan FSH pada pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus selama kebuntingan, terutama modulasi progesteron dan estradiol serta faktor pertumbuhan, yang akan menentukan penampilan anak pascalahir (Foxcroft dan Town 2004). Perbedaan nyata yang ditunjukkan pada anak yang dilahirkan oleh induk yang disuntik NaCl fisiologis ialah tidak adanya anak babi pada litter size tinggi, yaitu kelahiran dengan jumlah anak 12-14 anak per induk. Hal ini disebabkan karena secara fisiologis, babi memberikan respons yang baik terhadap pemberian PMSG dan hcg yang kerjanya mirip dengan FSH dan LH, yaitu merangsang pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium untuk mensekresi estrogen yang selanjutnya merangsang ovulasi dan perkembangan korpus luteum untuk menghasilkan ovum yang lebih banyak dan berpotensi meningkatkan jumlah anak sekelahiran (Mege et al. 2007). Estradiol dan progesteron yang dihasilkan pada awal kebuntingan merupakan sinyal pembuka bagi proses diferensiasi embrio dalam kandungan, yang mempunyai efek pada program pertumbuhan dan perkembangan prenatal dalam kandungan (Ashworth 1992; Mege et al. 2007), yang pada akhirnya secara permanen sebagai sifat yang diwariskan pada anak sampai periode berikutnya (dewasa) (Gillespie et al. 1998; Dziuk 1992). Bobot badan anak dan pertumbuhan pada anak dengan litter size tinggi (12-14 anak), sedang (9-11 anak), dan rendah (6-8 anak) memiliki pola yang sama, yaitu dari anak dari litter size rendah umumnya memiliki pertumbuhan yang lebih baik atau lebih cepat, kemudian diikuti pada litter size sedang, dan litter size tinggi. Anak-anak pada litter size tinggi memiliki pola pertumbuhan yang lebih lambat dibanding yang litter size rendah karena jumlah anak yang banyak. Namun pola pertumbuhan tersebut dalam analisis statistik tidak menunjukkan perbedaan nyata antara anak pada litter size rendah, sedang, dan tinggi. Simpulan Penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebelum pengawinan dapat meningkatkan performa induk dan anak dilihat dari peningkatan konsentrasi hormon estradiol (P<0.05) dan progesteron (P>0.05) pada induk, mempersingkat lama kebuntingan (P<0.05), meningkatkan pertumbuhan prenatal yang diwujudkan dalam perbaikan bobot lahir (P<0.05), dimensi tubuh anak (P<0.05), pertambahan bobot badan anak (P<0.05), serta menurunkan angka mortalitas pada anak (P>0.05).

23 3 EKSPRESI GEN GROWTH HORMONE (GH) PADA ANAK BABI YANG DILAHIRKAN OLEH INDUK YANG DISUNTIK PMSG DAN hcg SEBELUM PENGAWINAN Pendahuluan Industri peternakan merupakan industri strategis karena industri ini adalah penyedia protein hewani yang sangat dibutuhkan masyarakat. Permasalahan yang masih dihadapi saat ini dalam bidang peternakan di Indonesia adalah ketidakmampuan memenuhi permintaan daging yang terus meningkat, melebihi daya produksi nasional. Hal ini disebabkan karena rendahnya produktivitas atau efisensi produksi. Keberagaman jumlah dan bobot anak saat dilahirkan menjadi salah satu penyebab anak yang lahir dengan bobot rendah tidak mampu bersaing untuk mempertahankan hidupnya (Smith et al. 2007; Cabrera et al. 2012). Kejadian tersebut mengurangi produksi anak babi per kelahiran per induk. Salah satu penyebab tingginya mortalitas dan keragaman anak, berawal dari ketidaksiapan lingkungan uterus dalam menyiapkan nutrisi melalui sekresi kelenjarnya (Wu et al. 1988) sehingga berakibat pula pada rendahnya jumlah dan bobot anak yang lahir, serta rendahnya pertumbuhan (Zindove et al. 2014). Salah satu penyebab rendahnya efisiensi reproduksi, berkaitan dengan sistem reproduksi betina, di antaranya ialah rendahnya rasio antara hormon-hormon kebuntingan (estrogen dan progesteron) dan faktor-faktor pertumbuhan (Wilson et al. 1999). Peningkatan sekresi endogen hormon-hormon kebuntingan ini dapat dirangsang dengan penggunaan hormon PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin) dan hcg (human Chorionic Gonadotropin) (Manalu et al. 1999). Penggunaan berbagai hormon yang berperan dalam merangsang ovulasi dan kebuntingan biasa disebut dengan istilah superovulasi (Hiraizumi et al. 2015). Keberhasilan superovulasi sangat bergantung pada perkembangan oosit selama pertumbuhan folikel (Sirard et al. 2006). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa superovulasi induk dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta (Nenghui et al. 2013; Mege et al. 2007), kualitas embrio (Adriani et al. 2007; Wu et al. 2013; Imron et al. 2016), memperbaiki performans anak yang dilahirkan pada ternak domba (Manalu et al. 1997; Manalu et al. 1998; Manalu et al. 2000), sapi (Kimura et al. 2007), dan kambing (Adriani et al. 2004). Mege et al. (2006) dan Lapian et al. (2013) melaporkan hasil superovulasi pada induk babi sebelum dikawinkan terbukti dapat memperbaiki produktivitas induk dan anak babi, dilihat dari perbaikan performa induk dan pertumbuhan anak yang dilahirkan. Pertumbuhan dan perkembangan embrional sampai pertumbuhan anak setelah lahir dikontrol oleh beberapa hormon, salah satunya ialah hormon pertumbuhan (Growth hormone, GH). Target utama dari GH adalah hati. Pembentukan dan pengeluaran GH diatur oleh Growth hormone releasing hormone (GHRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus, kemudian GHRH akan merangsang produksi dan pengeluaran hormon pertumbuhan (GH). Hormon pertumbuhan akan menstimulasi hati untuk memproduksi faktor pertumbuhan seperti insulin atau insulin-like growth factor 1 (IGF-1) (Block at al. 2008).

24 Hormon ini merangsang pertumbuhan dan pemanjangan tulang dan pertumbuhan otot (Rybarczyk et al. 2007). GH juga memiliki peranan dalam pertumbuhan anak sejak dalam kandungan (embrional dan fetus) sampai pertumbuhan setelah lahir. Pengaruh GH pada proses fisiologis tubuh sangat kompleks (Katoh et al. 2008). GH adalah komponen pokok yang mengontrol sebagian dari proses fisiologis kompleks, yaitu pertumbuhan dan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Murphy et al. (2008) dan Yardibi et al. (2009) menyatakan bahwa gen hormon pertumbuhan sangat berperan penting dalam reproduksi, embriogenesis, laktasi, dan pertumbuhan lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa grup gen hormon pertumbuhan secara signifikan berhubungan dengan respons superovulasi, tingkat ovulasi, dan kualitas embrio (Sumantri et al. 2011), serta variasi rataan pertumbuhan pada sapi (Sutarno et al. 1996) dan pertumbuhan serta karkas pada babi (Bižienė et al. 2011). Informasi yang dibawa oleh bahan genetik tidak bermakna apapun bagi suatu organisme apabila tidak diekspresikan menjadi fenotipe. Setiap sifat yang tampak (fenotipe) yang berkaitan dengan pertumbuhan anak babi dikontrol oleh gen, apakah gen tersebut akan terekspresi atau justru berada dalam keadaan inaktif (silent). Gen tidak berubah, namun beberapa gen diaktifkan atau dinonaktifkan sesuai dengan interaksi antara gen dan lingkungan (Holliday 2005). Studi tentang perubahan fenotipe atau ekspresi genetika yang disebabkan oleh mekanisme selain perubahan sekuen DNA dasar disebut dengan epigenetika, dimana perubahan ekspresi gen terjadi karena faktor lingkungan. Ekspresi gen merupakan rangkaian proses penerjemahan informasi genetik (dalam bentuk urutan basa pada DNA atau RNA) menjadi protein, lebih jauh disebut fenotipe. Epigenetik mencakup seluruh mekanisme yang menyebabkan perbedaan ekspresi gen pada sel-sel tertentu. Pengaturan epigenetik ditentukan oleh metilasi DNA, modifikasi histon, dan ekspresi gen mrna (Allis et al. 2007). Meskipun kode genetik tidak berubah, ekspresi kode genetik tersebut bergantung pada faktor pemicu (lingkungan), seperti menajemen dan fasilitas pemeliharaan, stress, air, iklim, bahan kimia, diet atau nutrisi (selama kehamilan) yang berdampak pada anak yang dihasilkan. Beberapa penelitian sebelumnya telah mengkaji epigenetik yang terjadi pada ternak babi yang disebabkan oleh diet tinggi nutrisi pada induk maupun pada turunannya (Feeney et al. 2014). Gen GH memiliki peluang untuk terjadinya metilasi, yaitu penambahan gugus metil pada daerah CpG island. Berdasarkan struktur gen, gen GH memiliki daerah CpG island yaitu daerah yang kaya akan ulangan sekuen GC di bagian promoter (Illingworth et al. 2010). Panjang sekuen CpG island ialah 50-100 bp dan berfungsi sebagai pengaturan transkripsi (Carnici et al. 2006; Deaton dan Bird 2011). Daerah CpG island ini berhubungan dengan pola metilasi seperti kejadian pemadatan kromatin dan gene silencing (Sellner et al. 2007). Metilasi ini dapat menurunkan atau meningkatkan tingkat transkripsi bergantung dari sifat metilasi apakah positif (suppressor) atau negatif (repressor) (Jones dan Takai 2001). Mutasi pada CpG island juga dapat merubah regulasi pola ekspresi gen dengan cara merubah posisi target transcriptional regulatory (Doherty et al. 2014). Status metilasi DNA yang berbeda akan menghasilkan ekspresi gen yang berbeda, hal ini disebabkan oleh penambahan gugus metil pada bagian CpG island di promoter gen GH. Epigenetik transgenerasi pada ternak babi jantan dengan diet tinggi mikronutrien membuktikan adanya metilasi DNA pada hati dan otot di generasi

ke-2 (F2) (Feeney et al. 2014). Zhiguo et al. (2012) melaporkan tentang ekspresi gen GH pada ternak babi tertinggi terdapat pada usia awal pertumbuhan atau pada periode starter dan grower dan semakin menurun sejalan dengan pertambahan usia. Berdasarkan penelitian sebelumnya, melalui pendekatan insilico (Murray et al. 2007) dengan mengkaji ekspresi gen GH pada anak babi yang diberi perlakuan penyuntikan PMSG dan hcg pada induk sebagai faktor lingkungan luar gen dapat menentukan adanya metilasi DNA sebagai faktor yang mempengaruhi level ekspresi gen GH, menjadi kajian epigenetik dalam penelitian ini. Gen GH biasanya digunakan sebagai penanda genetik dalam program seleksi ternak. Analisis ekspresi gen dapat diukur secara akurat dan cepat dengan menggunakan teknik quantitative real-time PCR (qrt-pcr). Teknik qpcr dianggap yang paling akurat dan dapat diandalkan untuk validasi data ekspresi yang diperoleh. Normalisasi data merupakan faktor penting, dimana diperlukan gen acuan untuk validasi data ekspresi, dan dalam penelitian ini digunakan gen β- aktin sebagai gen yang memiliki ekspresi yang stabil pada hampir seluruh sel tubuh (Rebouças et al. 2007; Mallona et al. 2010). Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengkaji seberapa besar lingkungan uterus induk melalui penyuntikan PMSG dan hcg mempengaruhi ekspresi gen GH pada anak. 25 Materi dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Perusahaan Peternakan Babi CV.Wailan, Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara. Analisis ekspresi gen dengan menggunakan quantitative Reverse Transcriptase - Polymerase Chain Reaction (qrt-pcr) dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari Maret 2015 sampai dengan Agustus 2016. Persiapan Hewan Uji Ternak yang digunakan berasal dari penelitian Tahap 1, yaitu anak-anak dari 32 induk babi keturunan Landrace yang diberi perlakuan. Perlakuan dalam penelitian ini ialah penyuntikan hormon gonadotropin pada 16 induk sebelum pengawinan dan 16 induk lainnya disuntik NaCl fisiologis 0.9% sebagai kontrol. Hormon gonadotropin yang digunakan adalah hormon PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin) dan hcg (human Chorionic Gonadotropin) (PG 600. Intervet, Belanda) dengan dosis 600 IU per induk. Ternak diberi pakan yang sama sesuai dengan yang ada di perusahaan yang diberikan dua kali sehari dan air minum tersedia ad libitum.

26 Pengukuran Pertumbuhan Anak Pertumbuhan anak merupakan data fenotipe dalam penelitian ini, yaitu bobot lahir, bobot pada usia 100 hari, rataan pertambahan bobot badan harian, panjang badan anak, serta tinggi tungkai depan dan belakang. Panjang badan diukur dengan mengukur jarak antara samping tulang tuberculum humeralis lateralis sampai ujung tulang tuberculum ischiadum. Data rataan pertambahan bobot badan harian dihitung dari bobot absolut anak pada usia 100 hari, dikurangi dengan bobot lahir, kemudian dibagi dengan 100 hari. Data persentase bobot karkas diperoleh dengan penimbangan bobot karkas, kemudian dibagi dengan bobot tubuh anak dan dikalikan dengan 100%. Sampel Ekspresi Gen GH Data ekspresi gen GH diperoleh dari hati dan pituitari pada anak-anak yang dieuthanasia. Euthanasia dilakukan pada 8 anak yaitu 4 anak dari induk yang yang disuntik PMSG dan hcg, dan 4 anak dari induk yang disuntik NaCl fisiologis pada usia 100 hari. Data ekspresi gen GH yang diperoleh akan dibandingkan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Ekstraksi mrna mrna diekstraksi dari jaringan hati dan pituitari. Jaringan diambil secara aseptis sekitar 1 gram dan disimpan dalam tabung eppendorf 1.5 ml yang berisi RiboSaver RNA stabilization solution sampai jaringan terendam, kemudian disimpan pada suhu 4 o C sampai pada waktu pengujian. mrna diekstraksi dengan menggunakan metode GeneJet RNA Purificatin Kit (Thermo Scientific, Lithuania, EU). Ekstraksi dilakukan dengan mengambil ±30 mg jaringan, kemudian sampel dimasukkan ke dalam tabung baru 1.5 ml berisikan buffer lisis sebanyak 300 µl (14.3M β-mercaptoethanol per 1 ml lisis buffer), dan dihancurkan dengan mikro pestle, kemudian divorteks sampai homogen. Kemudian ditambahkan 600 µl proteinase K, divorteks sampai homogen, diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit, kemudian disentrifuge 12000 rpm selama 15 menit. Kemudian, bagian supernatan dipindahkan ke tabung baru. Sebanyak 450 µl EtOH absolut ditambahkan kemudian dicampurkan dengan cara memipet, kemudian dimasukkan ke dalam kolom (jika lebih dari 700 µl dilakukan berulang kali), disentrifuge dengan kecepatan 12000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya, sebanyak 700 µl wash buffer 1 ditambahkan dan disentrifuge dengan kecepatan 12000 rpm selama 1 menit. Kemudian ditambahkan 600 µl wash buffer 2 dan disentrifuge dengan kecepatan 12000 rpm selama 2 menit. Kemudian ditambahkan 250 µl wash buffer 2 dan disentrifuge dengan kecepatan 12000 rpm selama 2 menit, kemudian dipindahkan colom ke tabung baru. Sebanyak 100 µl nuclease yang bebas air ditambahkan dan disentrifuge dengan kecepatan 12000 rpm selama 1 menit. Kemudian sampel mrna siap digunakan atau disimpan pada suhu -20 o C.

27 Uji Kualitas mrna Hasil Ekstraksi Konsentrasi dan kemurnian mrna dianalisis menggunakan spektofotometer. Kemurnian mrna yang berkorelasi dengan kualitas mrna ditentukan oleh tingkat kontaminasi protein dengan cara membagi nilai kepadatan optik pada panjang gelombang 260 nm (OD260) dengan nilai kepadatan optik pada panjang gelombang 280 nm (OD280). Jika nilai yang didapatkan berkisar antara 1.8 2.0 (260/280>1.80) maka mrna dikatakan murni (Sambrook et al. 1989). Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Reverse transcription atau transkripsi balik di mana mrna ditranskripsi balik menjadi cdna menggunakan kit Trancriptor Synthesis First Strand cdna (Thermo Scientific, Lithuania, EU). RNA template yang digunakan adalah RNA template sampel dan kontrol masing-masing 2 µl. Pembuatan premix I dilakukan dengan mencampurkan 9 µl dengan 1 µl primer oligo dt yang dalam penelitian ini digunakan primer forward dan reverse baik pada GH maupun pada β-aktin. Kemudian dinkubasi pada suhu 65 C selama 5 menit (pada mesin PCR). Premix II dibuat dengan cara mencampurkan 4 µl buffer, 1 µl riboblock, 2 µl dntp, dan 1 µl Enzim RT. Kemudian diinkubasi pada suhu 42 C selama 60 menit selanjutnya diinkubasi pada suhu 78 C selama 5 menit. Hasil yang didapatkan ialah template dalam bentuk cdna sampel dan cdna standar. Tahapan berikutnya ialah pembuatan standar dan optimasi serta pengoperasian qrt-pcr (Analytic Jena, AG qtower 4 channels, Germany). Optimasi dilakukan dengan menggunakan mesin PCR konvensional dengan elektroforesis gel agarose 1.5% dan juga menggunakan real time PCR. Optimasi bertujuan untuk mendapatkan standar yang baik untuk hasil RT-PCR pada sampel. Optimasi dikatakan baik apabila nilai R 2 >0.90. Sampel didistribusikan ke dalam tube RT-PCR kemudian disentrifuge horizontal 25000 rpm selama 10 detik. Bahan terdiri atas 1 µl sampel, 4.9 µl H2O, 5 µl mastermix (CybrGreen), 0.2 µl primer (forward dan reverse). Selanjutnya mesin RT-PCR dioperasikan dengan kondisi sebagai berikut: pada suhu 95 C selama 5 menit, pada suhu 95 C selama 10 detik (denaturation), kemudian diikuti dengan suhu 60 C selama 20 detik (annealing), dan pada suhu 72 C selama 30 detik (extension). Proses PCR berlangsung selama 39 siklus. Primer Gen Sekuen primer yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan sekuens primer GH babi yang dipublikasikan oleh Miao Zhiguo et al. (2012) dan dirancang dengan program Primer3 & Primer analysis. qrt-pcr membutuhkan housekeeping gene sebagai kontrol internal, yaitu gen yang memiliki kesamaan (homolog) 99% dengan target gen GH, yaitu gen β-aktin.

28 Tabel 3.1 Primer spesifik untuk gen GH dan β-aktin Gen target Kode Sekuens primer Ukuran (bp) GH EA284 F: 5 - TGG TGT TTG GCA CCT CAG AC - 3 159 (AY536527) EA285 R: 5 - CGT CAT CAC TGC GCA AGT TT - 3 β-actin EA286 F: 5 - CAT CCT GCG TCT GGA CCT G -3 161 (DQ845171) EA288 R: 5 - CCA TCT CCT GCT CGA AGT CC -3 Primer Gen GH (AY536527): Primer Gen β-aktin (DQ845171): Gambar 3.1 Sekuens primer Gen GH (AY536527) dan β-aktin (DQ845171) Metode Kuantifikasi Ekspresi Gen Jumlah atau kuantifikasi ekspresi gen GH dihitung berdasarkan pendekatan jumlah relatif terhadap gen target (GH) dan gen housekeeping (β-aktin), dengan perbandingan cycle threshold (CT). Rumus untuk menghitung Delta delta CT yaitu: ΔΔCT = ΔCT perlakuan ΔCT kontrol (Silver et al. 2006). Ekspresi antara gen target dengan gen kontrol dapat dibandingkan dengan persamaan 2 -ΔΔCt (Schmittgen dan Livak 2008). Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji t dua sampel independen baik pada pengukuran bobot, dimensi dan pertumbuhan, dengan sampel anak dari induk yang disuntik PMSG dan hcg yang dibandingkan