BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi saat ini banyak masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah serta masyarakat umum. Salah satu masalah yang sangat umum sekarang adalah meningkatnya konsumsi rokok dikalangan masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008, diperkirakan ada sebanyak 1,26 miliar perokok di seluruh dunia dan sekitar 200 juta diantaranya adalah perokok wanita. Ada 10 negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia, yaitu Cina (390 juta perokok), India (144 juta perokok), Indonesia (65 juta perokok), Rusia (61 juta perokok), Amerika Serikat (58 juta perokok), Jepang (49 juta perokok), Brazil (24 juta perokok), Bangladesh (23,3 juta perokok), Jerman (22,3 juta perokok), Turki (21,5 juta perokok). Menurut Tobacco Atlas (2012), Indonesia menduduki urutan keempat di antara negara-negara dengan tingkat agregat konsumsi tembakau tertinggi di dunia pada tahun 2012. Indonesia juga mengalami peningkatan tajam konsumsi tembakau dalam 30 tahun terakhir yaitu dari 33 milyar batang per tahun di tahun 1970 ke 217 milyar batang di tahun 2000. Antara tahun 1970 dan 1980, konsumsi meningkat sebesar 159%. Faktor-faktor yang ikut berperan adalah iklim ekonomi yang positif dan mekanisasi produksi rokok di tahun 1974. Antara tahun 1990 dan 2000,
peningkatan lebih jauh sebesar 54% terjadi dalam konsumsi tembakau, meskipun pada saat itu sedang mengalami krisis ekonomi (Depkes, 2004). Di Indonesia, prevalensi perokok menurut provinsi yang tertinggi adalah Kalimantan Tengah (43,2%), dan yang terendah adalah provinsi Sulawesi Tenggara (28,3%), sementara itu Sumatera Utara (35,7%). Prevalensi penduduk umur 15 tahun ke atas yang merokok tiap hari sebesar 28,2 persen. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap tiap hari oleh lebih dari separuh (52,3%) perokok adalah 1-10 batang dan sekitar 20 persen sebanyak 11-20 batang per hari (Riskesdas, 2010) Kemudian penduduk yang merokok 1-10 batang per hari paling tinggi dijumpai di Maluku (69,4%), disusul oleh Nusa Tenggara Timur (68,7%), Bali (67,8%), DI Yogyakarta (66,3%), dan Jawa Tengah (62,7%). Sedangkan persentase penduduk merokok dengan rata-rata 21-30 batang per hari tertinggi di Provinsi Aceh (9,9%) dikuti Kepulauan Bangka Belitung (8,5%) dan Kalimantan Barat (7,4%). Sementara itu persentase penduduk merokok dengan rata-rata lebih dari 30 batang per hari tertinggi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (16,2%), Kalimantan Selatan (7,9%) serta Aceh dan Kalimantan Tengah (5,4%) (Riskesdas, 2010). Merokok sangat tidak memberi manfaat bagi pemakainya. Banyak penyakit yang disebabkan oleh karena merokok, yaitu antara lain kanker paru-paru, saluran pernapasan kronik, kardiovaskuler, kanker mulut dan tenggorokan, kanker pankreas, kanker darah, ginjal, kanker leher rahim, kanker lambung. Tidak hanya menyerang para perokok saja, melainkan juga menyerang orang-orang yang disekitar perokok karena terhirup asap rokok (perokok pasif). Konsentrasi zat berbahaya di dalam tubuh perokok pasif lebih besar karena racun yang terhisap melalui asap rokok perokok
aktif tidak terfilter. Sedangkan racun rokok dalam tubuh perokok aktif terfilter melalui ujung rokok yang dihisap (WHO, 2008). Pemerintah sudah melakukan upaya untuk mengurangi konsumsi rokok dengan beberapa peraturan dan kebijakan yang telah dibuat. Peraturan yang pernah dibuat pemerintah untuk menanggulangi konsumsi rokok serta perlindungan terhadap orang yang terkena asap rokok yaitu PP No.8/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yang sudah direvisi menjadi PP No. 19 Tahun 2003, kemudian diubah kembali menjadi PP 109 Tahun 2012, Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dalam Pasal 22 tentang kesehatan lingkungan, Pasal 45 tentang kesehatan sekolah, Pasal 38 tentang penyuluhan kesehatan dan Pasal 44 tentang pengamanan zat adiktif. Namun sekarang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 sudah diamandemen menjadi Undang-Undang 36 Tahun 2009 dan pasal yang menyangkut pengendalian rokok terdapat dalam Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116 serta Pasal 199 (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2011). Kawasan Tanpa Rokok (KTR) telah diatur dalam pasal 115 pada Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menetapkan KTR di wilayahnya. KTR adalah area atau ruangan yang dilarang untuk melakukan kegiatan seperti produksi, penjualan, iklan, promosi dan/atau penggunaan rokok. Tujuannya adalah agar dapat melindungi kesehatan masyarakat dilingkungan dengan memastikan bahwa tempat-tempat yang umum bebas dari jangkauan asap rokok. Adapun tempat-tempat umum yang dimaksud meliputi : a) fasilitas tempat pelayanan kesehatan, b) tempat belajar mengajar, c)
tempat bermain anak, d) tempat ibadah, e) angkutan umum, f) tempat kerja, serta g) tempat-tempat umum yang telah ditentukan (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2011). Ada beberapa alasan mengapa KTR harus dikembangkan, yaitu a) agar dapat melindungi anak-anak dan orang yang bukan perokok dari segala resiko kesehatan yang diakibatkan oleh asap rokok orang lain, b) agar dapat mencegah perasaan tidak nyaman, bau, dan kotoran dari ruangan merokok, c) agar dapat membantu mengembangkan opini masyarakat bahwa tidak merokok merupakan sebuah perilaku yang lebih normal, d) dapat mengurangi konsumsi rokok secara bermakna dengan menciptakan lingkungan yang mendorong perokok agar berhenti atau yang terus merokok dapat mengurangi konsumsi rokoknya (Crofton dan Simpson, 2009). Dibeberapa wilayah di Indonesia KTR sudah berjalan dengan baik, misalnya, pada daerah DKI Jakarta. Daerah ini adalah daerah yang pertama kali mengeluarkan peraturan yang terkait dengan rokok. Peraturan itu dimuat pada Keputusan Gubernur No. 11 Tahun 2004 tentang Pengendalian Rokok di Tempat Kerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota, serta pada Perda Provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2011). Selain DKI Jakarta, ada beberapa daerah yang juga sudah menerapkan KTR, yaitu Kota Bandung dengan Perda No. 03 Tahun 2005, Kota Bogor dengan Perda No. 08 Tahun 2006, Kota Palembang dengan Perda No. 07 tahun 2009, Kota Padang Panjang dengan Perda No. 08 Tahun 2009, Kota Surabaya dengan Perda N0. 05 Tahun 2008 dan Peraturan Walikota (Perwali) No. 25 tahun 2009, Provinsi D.I.
Yogyakarta dengan Peraturan Gubernur Provinsi Yogyakarta No. 42 Tahun 2009, Kota Cirebon dengan Perwali No. 27A/2006, Kabupaten Bangli dengan Perda No. 24 Tahun 2010, Kota Tangerang dengan Perda Kota Tangerang No. 5 Tahun 2010, Kota Pontianak dengan Perda Kota Pontianak No.10 Tahun 2010, Kota Semarang dengan Perwali Kota Semarang No. 12 Tahun 2009, Kabupaten Gunung Kidul dengan Peraturan Bupati GunungKidul No. 22 Tahun 2009, serta beberapa daerah lainnya (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2011). Kota Medan merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Jumlah penduduk kota Medan sekitar 2.097.610 dengan kepadatan 7.913/km2 dan sebanyak 19,3% penduduknya adalah perokok (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2009). Hal ini dapat meningkatkan kesehatan yang buruk bagi masyarakat di lingkungan Kota Medan, baik bagi perokok pasif maupun perokok aktif. Kota Medan sendiri sampai sekarang belum mempunyai peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok. Ini merupakan tanggung jawab dari semua kalangan, yaitu pemerintah dan masyarakat. Tanggung jawab pemerintah adalah dari segi memberikan kebijakan yang kuat, serta dapat memberikan fasilitas dari kebijakan tersebut, yang menghasilkan program. Namun keputusan dalam pengesahan kebijakan ada ditangan lembaga legislatif. Lembaga legislatif, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berfungsi sebagai pemegang kekuasaan membentuk peraturan daerah, membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang diajukan oleh Bupati/Walikota, melakukan pengawasan atas pelaksanaan peraturan daerah dan APBD. Anggota DPRD secara aktif ikut berperan dalam penyusunan
peraturan daerah, tidak hanya menyetujui rancangan peraturan daerah yang diberi pemerintah daerah, dan berperan penting dalam penganggaran daerah. Orientasi dasar politik DPRD yaitu agenda politik yang sangat nyata dan yang langsung memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk penanggulangan kemiskinan, peningkatan aksebilitas dan kualitas pendidikan serta kesehatan, pemberantasan korupsi dan reformasi. Untuk itu perlu kebijakan dari DPRD mengenai KTR karena ini berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Persepsi sangat dibutuhkan dalam memberikan keputusan untuk sebuah kebijakan serta menguatkan kebijakan tersebut atas persepsi yang diberikan. Menurut Robbins, persepsi adalah sebuah proses yang digunakan oleh individu untuk mengelola dan menafsirkan apa yang menjadi kesan mereka dalam hal memberikan makna pada lingkungan disekitar mereka. Setiap individu memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap satu hal yang ditanyakan kepada mereka, dan pandangan tersebut tergantung pada tingkat pengetahuan individu masing-masing (Robbins, 2006). Penelitian Susanti (2011) tentang persepsi unsur pimpinan Fakultas Kesehatan Masyarakat tentang kawasan tanpa rokok menyimpulkan bahwa informan setuju dengan adanya kawasan tanpa rokok yang telah direalisasikan di beberapa daerah dan universitas di Indonesia dan semua informan juga setuju jika di FKM USU ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok karena kawasan tanpa rokok memiliki dampak positif terutama dalam bidang kesehatan.
Maka dari pada itu dibutuhkan persepsi anggota DPRD dalam upaya merujuk pada upaya-upaya untuk mendukung kebijakan pemerintah kota dalam mengatasi masalah yang ada di masyarakat. DPRD memiliki kewenangan yang sangat besar dan penting dalam membuat, menyesuaikan, memutuskan, dan mengontrol akan adanya sebuah peraturan daerah sebagai sebuah kebijakan pada pemerintahan daerah tersebut. Ini mengandung arti bahwa DPRD mempunyai kewenangan untuk lebih berperan aktif dalam menanggulangi permasalahan kesehatan yang ada di masayarakat daerah tersebut sehingga terciptanya masyarakat dan daerah yang sehat dan bersih untuk perkembangan pembangunan daerah Kota Medan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : bagaimana persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan terhadap kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami persepsi anggota DPRD Kota Medan tentang kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Medan. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui persepsi anggota DPRD Kota Medan terhadap kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Medan.
2. Untuk mengetahui sejauh mana peran para anggota DPRD Kota Medan dalam mendukung kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Medan. 3. Untuk mengetahui sudah sejauh mana rancangan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Medan. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan bagi DPRD Kota Medan dalam membuat atau merumuskan kebijakan terutama dalam bidang kesehatan di Kota Medan untuk kesempatan yang akan datang. 2. Sebagai masukan bagi Pemko Medan dalam mengusulkan kebijakan terutama dalam bidang kesehatan. 3. Sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan refrensi bagi penelitian selanjutnya. 4. Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang penelitian. 5. Untuk menambah khasanah Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya dalam bidan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.