I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

Analisis Kesenjangan dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi] KUSWANDONO

IDENTIFIKASI KINERJA DAN KESENJANGAN STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA [Spizaetus bartelsi]

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

IV. METODE PENELITIAN

V. ANALISIS STAKEHOLDER DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

SUAKA ELANG: PUSAT PENDIDIKAN BERBASIS KONSERVASI BURUNG PEMANGSA

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch)

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR)

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

STIKOM SURABAYA BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi semakin pesat,

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. (Firdaus, 2012). Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SMP NEGERI 3 MENGGALA

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

BAB I PENDAHULUAN. ( 17/8/ % Spesies Primata Terancam Punah)

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PELESTARIAN SATWA BURUNG DAN IKAN

BAB I PENDAHULUAN. Perburuan satwa liar merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumber

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.1

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

Keputusan Kepala Bapedal No. 56 Tahun 1994 Tentang : Pedoman Mengenai Dampak Penting

I. PENDAHULUAN. Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem memiliki pengaruh yang besar terhadap ekosistem tersebut. Gangguan terhadap jenis-jenis burung pemangsa ini akan mempengaruhi rantai dan jaring-jaring makanan dalam ekosistem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan salah satu jenis burung pemangsa endemik di Pulau Jawa, sangat berperan dalam mempengaruhi ekosistem di pulau Jawa. (Prawiradilaga, 1999; Ekawati et al. 2003a; Kuswandono et al, 2003a; PTRCJMH 1998). Pada awalnya, perkiraan penyebaran dan populasi elang Jawa ini sangat rendah, karena penelitian belum dilakukan secara intensif. Pengamatan sebelum tahun 1980 relatif sedikit dilakukan, sehingga sulit untuk menunjukkan bukti tentang penurunan populasi. Sejak tahun 1990, data dan informasi terkait dengan penyebaran dan populasi elang Jawa mulai terkumpul dan terdapat catatan terbaru dari para peneliti baik dari dalam negeri maupun luar negeri (Dephut 2007). Tercatat penyebaran elang Jawa pada 62 lokasi hingga awal tahun 2000 (Sözer et al. 1998). Berdasarkan catatan tersebut terdapat informasi penyebaran sebelum tahun 1950 dan ada 5 lokasi yang saat ini sudah tidak ditemukan elang Jawa (Collar et al. 2001). Sebaran selebihnya masih dapat dijumpai pada tempat yang sama dan terdapat catatan temuan baru penyebaran elang Jawa dari para peneliti. Penyebaran elang Jawa pada saat ini adalah di bagian utara dan tengah sepanjang pulau Jawa. (Dephut 2007). Elang Jawa merupakan jenis burung pemangsa yang sangat tergantung pada hutan selalu hijau (evergreen forest specialist) (Nijman dan van Balen 2003; Syartinilia 2008). Habitat utama untuk elang Jawa dewasa adalah hutan selalu hijau (hutan primer) dan sebagian kecil wilayah hutan sekunder, sementara elang Jawa anak dan remaja lebih menyukai area hutan terbuka (hutan dengan rumpang dan hutan tanaman muda) dibandingkan elang Jawa dewasa. Prawiradilaga et al. (2003) menyebutkan bahwa elang Jawa mendiami daerah hutan tropis, dari daerah

2 pantai hingga sampai ketinggian 3.000 m dpl dan sangat tergantung dengan hutan primer. Selain itu tercatat pula elang Jawa menggunakan hutan sekunder yang berdekatan dengan hutan primer. Elang Jawa merupakan salah satu jenis burung pemangsa paling terancam punah yang tersisa (Collar et al. 2001). Jenis ini menghadapi resiko kepunahan akibat berkurangnya luasan habitat karena perubahan peruntukkan. Pengurangan luas kawasan yang merupakan habitat elang Jawa dan populasi manusia yang meningkat dalam 4 5 dekade yang terakhir memberikan dampak kurang baik terhadap upaya pelestarian elang Jawa (Dephut 2007). Faktor lain yang juga menimbulkan resiko kepunahan adalah maraknya perburuan jenis elang Jawa untuk diperdagangkan secara ilegal (Sözer et al. 1998; Prawiradilaga et al. 2003; Gjershaug et al. 2004). Populasi elang Jawa yang paling banyak ada di wilayah Jawa Barat (Dephut 2007). Wilayah TN Gunung Halimun Salak merukapan salah satu kawasan berhutan terluas di pulau Jawa (Whitten et al. 1996), sehingga diduga memiliki populasi terbesar jenis ini. Wilayah penyebaran elang Jawa lainnya yang cukup penting adalah di kawasan TNGGP, CA Telaga Warna dan sekitarnya (Dephut 2007) atau sering disebut sebagai wilayah Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur). Kawasan tersebut digunakan sebagai wilayah jelajah dan tempat bersarang sejumlah pasangan elang Jawa (Suparman 2005). Berdasarkan Keppres nomor 114 tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) menyebutkan bahwa berdasarkan fungsi kawasan Bopunjur dibagi menjadi fungsi Kawasan Lindung (KL) dan fungsi Kawasan Budidaya (KBd). Kawasan lindung ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Dengan adanya perbedaan fungsi kawasan dalam dasar penetapan tersebut di atas akan berakibat terjadinya perbedaan pola pengelolaan KL dan KBd. Hal ini kurang menguntungkan bagi upaya pelestarian jenis elang Jawa karena pada kenyataannya elang Jawa menggunakan kedua bentuk kawasan tersebut sebagai wilayah jelajahnya,

3 meskipun penggunaan KBd tidak sesering penggunaan KL. Pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya akan lebih terjamin pada kawasan yang berstatus sebagai KL karena adanya peraturan perundangan yang mengaturnya, antara lain Undangundang (UU) nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU nomor 41/1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang yang melindungi kawasan dan hidupan liar yang ada di dalamnya. Kesenjangan (gap) dalam pengelolaan habitat elang Jawa antara wilayah KL dan KBd perlu diketahui. Kesenjangan pengelolaan habitat sangat ditentukan oleh kinerja pemangku kepentingan (stakeholder), dalam hal ini adalah pemangku kawasan. Untuk mengetahui kinerja dari stakeholder tersebut maka perlu dilakukan analisis stakeholder. Dari semua informasi tersebut dapat dilakukan identifikasi penyelesaian masalah agar upaya pelestarian habitat elang Jawa dapat berjalan dengan efektif sehingga pelestarian terhadap jenis pun dapat dicapai. Hal tersebut sejalan dengan amanat UU nomor 5/1990 yaitu bahwa pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya dengan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. 1.2. Kerangka Pemikiran Elang Jawa termasuk salah satu burung pemangsa dilindungi. Status perlindungan satwa di Indonesia ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) nomor 421/Kpts/Um/8/1970 pada tanggal 26 Agustus 1970 tentang tentang tambahan ketentuan Dierenbeschermings Ordonantie 1931 jo Dierenbeschermings Verordening 1931. Elang Jawa mendapat perlindungan tambahan dalam pasal 21 ayat 2 UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menyebutkan tentang berbagai larangan terkait satwa yang dilindungi. Perlindungan hukum diperkuat lagi dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) nomor 4 tahun 1993 yang menetapkan elang Jawa sebagai burung nasional dan lambang spesies langka. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 7/1999 tentang

4 Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menegaskan bahwa semua famili Accipitridae (termasuk jenis elang Jawa) adalah merupakan satwa yang dilindungi. PP nomor 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyebutkan secara khusus bahwa elang Jawa termasuk jenis yang tidak diperbolehkan ditangkarkan untuk tujuan perdagangan, bahkan keturunan setelah F2 masih termasuk satwa dilindungi. Dalam PP nomor 8/1999 juga disebutkan bahwa elang Jawa termasuk salah satu dari jenis-jenis satwa yang hanya dapat dipertukarkan atas persetujuan Presiden. Pada perlindungan tingkat internasional, elang Jawa termasuk dalam daftar CITES Lampiran II, yang berarti dilarang untuk diperdagangkan di seluruh perdagangan internasional tanpa adanya ijin. Keberadaan jenis harus ditunjang oleh keberadaan habitat dan habitat alami elang Jawa pada umumnya adalah hutan (hutan primer, hutan sekunder dan hutan tanaman). Perlindungan terhadap habitat alaminya di pulau Jawa dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan UU nomor 5/1990, UU nomor 41/1999 tentang Kehutanan, UU nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan perundangan terkait lainnya dalam bentuk Kawasan Lindung (KL). KL tersebut dapat berupa Kawasan Suaka Alam (KSA) terdiri dari cagar alam (CA) dan suaka margasatwa (SM), Kawasan Pelestarian Alam (KPA) terdiri dari taman nasional (TN), taman hutan raya (THR) dan taman wisata alam (TWA). Bentuk lain dari KL dapat berupa taman buru (TB) atau hutan lindung (HL). TN Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan kawasan hutan sekitarnya merupakan habitat alami bagi elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dengan kondisi baik. Jumlah pasangan elang Jawa yang diindikasikan dengan ditemukannya sarang aktif elang Jawa di TNGGP dan kawasan hutan di sekitarnya sejak tahun 1996-2006 adalah 11 sarang (pasang). Enam (6) sarang berada di dalam kawasan TNGGP, 3 sarang berada di Cagar Alam Telaga Warna dan 2 sarang berada pada hutan Perum Perhutani (Suparman 2005). Dengan adanya kampung di sekitar dan di dalam kawasan TNGGP serta terjadinya degradasi hutan pada hutan lindung, hutan produksi dan kawasan berhutan dalam wilayah perkebunan yang ada di sekitar TNGGP, maka menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap kelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya.

5 Aktivitas manusia dapat berpengaruh terhadap dinamika kehidupan dan terganggunya proses ekologis di hutan yang merupakan habitat satwa liar. Kerusakan habitat berpengaruh terhadap penurunan kualitas habitat dan akan memberikan tekanan terhadap elang Jawa. Tekanan paling dominan akibat hilangnya habitat adalah akibat alih fungsi lahan (perubahan peruntukkan), baik secara legal maupun ilegal. Masih adanya perburuan dan perdagangan ilegal jenis elang Jawa (juga menambah ancaman terhadap kelestarian elang Jawa (Sözer et al. 1998; Prawiradilaga, 1999; Prawiradilaga et al, 2003). Peraturan perundangan terkait pelestarian elang Jawa dan habitatnya yang ada saat ini hanya mengatur perlindungan jenis elang Jawa dan perlindungan hutan yang kebetulan menjadi habitat elang Jawa sebagai kawasan lindung (KL). Perlindungan habitat elang Jawa lainnya di luar KL yaitu hutan produksi (HP), kawasan perkebunan dan kawasan budidaya (KBd) lainnya belum diatur dalam peraturan perundangan. Dalam peraturan perundangan yang ada terkait pengelolaan KBd hanya menyebutkan tentang pelestarian lingkungan secara umum. Dalam kenyataannya KL dan KBd dikelola oleh stakeholder (pemangku kepentingan) yang berbeda dengan tujuan dan pelaksanaan pengelolaan yang berbeda pula. Hal tersebut menyebabkan upaya pelestarian jenis elang Jawa harus melibatkan peran serta dan kerjasama dari stakeholder yang ada. Pemerintah Pusat (atau organisasi yang diberi kewenangan untuk mengelola oleh Pemerintah Pusat) memiliki kewenangan mengelola jenis satwa dilindungi dan kawasan lindung. Stakeholder lainnya seperti Pemerintah Daerah, pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga pendidikan dan segenap lapisan masyarakat diharapkan turut berpartisipasi sesuai dengan kapasitasnya. Peran serta dan kerjasama stakeholder dapat mempercepat upaya pencapaian pelestarian elang Jawa. Sinergi antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan perencanaan pembangunan daerah (Provinsi dan Kabupaten) menjadi mutlak diperlukan untuk menjamin upaya yang optimal antara pembangunan masyarakat wilayah sekitar hutan dan upaya pelestarian elang Jawa dan habitatnya. Dalam pembuatan RTRW dan perencanaan pembangunan daerah diduga masih terdapat kesenjangan

6 dengan program Nasional. Dalam perencanaan daerah belum memuat perencanaan detail untuk perlindungan jenis tertentu yang dilindungi (termasuk jenis elang Jawa) dan perlidungan kawasan yang menjadi habitat jenis tertentu dilindungi tersebut. Di lain pihak, diduga kesenjangan juga terjadi dalam upaya pelestarian elang Jawa yang berada di dalam kawasan lindung dengan yang berada di luarnya (kawasan budidaya). Dugaan kesenjangan lainnya yang terjadi adalah antara kinerja pelaksanaan tugas (kinerja implementasi) dengan tugas pokok dan fungsi yang dimandatkannya (kinerja normatif) dari stakeholder yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola jenis elang Jawa dan atau mengelola kawasan yang menjadi habitatnya. Dalam rangka pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya, maka kesenjangan yang ada perlu diperkecil atau dihilangkan. Untuk intu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan ada tersebut. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan maka dapat diidentifikasi solusi untuk mengatasi kesenjangan yang ada. Hasil dari analisis kesenjangan ini diharapkan dapat membantu mengidentifikasi beberapa permasalahan yang ada sehingga dapat dicari solusi untuk mengatasinya. Gambar kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1. Keterangan: KL = Kawasan Lindung KBd = Kawasan Budidaya Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Kesenjangan Dalam Pelestarian Elang Jawa [Spizaetus bartelsi]

7 1.3. Perumusan Masalah Sözer and Nijman (1995b) menyebutkan ada empat ancaman utama terhadap elang Jawa, yaitu: kurangnya perhatian terhadap biologinya, hilangnya habitat, perburuan dan perdagangan ilegal. Penyempitan kawasan hutan yang menjadi habitatnya terjadi karena laju pembangunan infrastruktur dan pemukiman yang pesat serta peningkatan kebutuhan lahan untuk budidaya termasuk pertanian. Pembangunan tersebut banyak dilakukan dengan mengkonversi kawasan hutan yang berakibat habitat elang Jawa menjadi hilang, terfragmentasi dan menurun kualitasnya (Prawiradilaga 1999). Faktor lain yang menjadi penyebab kelangkaan jenis elang Jawa adalah sifat biologisnya. Elang Jawa memiliki laju reproduksi yang rendah dan proses dewasa kelamin yang lambat. Elang Jawa hanya bertelur satu butir setiap dua tahun sekali. Hal ini disebabkan masa pengeraman, perawatan anak di sarang dan ketergantungan burung muda terhadap induk cukup lama (Prawiradilaga 1999). Dilihat dari aspek biologisnya, elang Jawa rawan terhadap kepunahan, sehingga perlindungan habitatnya menjadi wajib dilakukan untuk menyelamatkannya dari kepunahan. Hutan yang merupakan habitat utama elang Jawa dapat berbentuk hutan alam yang pada umumnya berupa kawasan lindung (KL) maupun berbentuk hutan produksi (Prawiradilaga 1999). Habitat non hutan bagi elang Jawa dapat berupa kawasaan budidaya seperti: perkebunan, ladang dan sawah (Thiollay dan Meyburg 1988; Prawiradilaga 1999; Nijman dan van Balen 2003; Kuswandono et al. 2003b). Masing-masing kawasan tersebut dikelola oleh stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan yang berbeda, sehingga tujuan dan pola pengelolaan kawasan pun juga berbeda. Hal tersebut dapat berakibat terhadap perbedaan penanganan kawasan yang menjadi habitat elang Jawa pada masingmasing bentuk kawasan pemangkuan. Terkait dengan digunakannya KL dan KBd sebagai habitat elang Jawa, maka perlu dilihat lebih lanjut apakah terdapat kesenjangan dalam pengelolaan KL dan KBd yang akan berpengaruh terhadap upaya pelestarian jenis elang Jawa dan atau habitatnya. Di sisi lain, tidak semua pengelola KL memiliki kinerja yang baik, yang ditunjukkan dengan adanya kesenjangan antara kinerja normatif

8 dengan kinerja implementasi. Beberapa kesenjangan tersebut dapat menghambat upaya-upaya dalam pelestarian elang Jawa. Beberapa hal yang perlu dikaji berkaitan dengan upaya pelestarian jenis elang Jawa dan habitatnya, antara lain: 1. Siapa saja stakeholder pemangku kawasan yang wilayahnya digunakan oleh elang Jawa sebagai habitat? Siapa saja stakeholder selain pemangku kawasan yang terkait dengan pelestarian elang Jawa? 2. Bagaimana kesenjangan kinerja pemangku kawasan lindung (KL) dengan kinerja pemangku kawasan di luar kawasan lindung (kawasan budidaya/ KBd) terkait dengan pelestarian jenis dan habitat elang Jawa? 3. Apa yang harus dilakukan untuk mengurangi dan atau menghilangkan kesenjangan yang ada dalam upaya pelestarian elang Jawa dan habitatnya? 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui kesenjangan dalam upaya pelestarian elang Jawa. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: 1. Mengidentifikasi stakeholder (pemangku kepentingan) dalam pelestarian elang Jawa. 2. Mengidentifikasi peraturan perundangan terkait pelestarian elang Jawa. 3. Mengetahui kinerja stakeholder dalam pelestarian elang Jawa. 4. Mengetahui kesenjangan: kinerja normatif dan kinerja implementasi semua stakeholder, kinerja kelompok stakeholder di dalam kawasan lindung dengan di luar kawasan lindung (di kawasan budidaya), serta kesenjangan kinerja antar stakeholder dalam kawasan lindung. 5. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan. 1.5. Manfaat Penelitian Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam membuat program dan aktifitas semua stakeholder yang terkait dengan elang Jawa dan atau habitatnya. Program dan aktifitas yang ada diharapkan dapat memperkecil kesenjangan yang ada dalam upaya pelestariannya.